KORELASI SEPARATISME TERHADAP SELFDETERMINATION DAN HAK ASASI MANUSIA PADA

SUATU WILAYAH DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A.A. Istri Agung Citra Prami Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Anak Agung Sri Utari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Artikel dengan topik hukum hak asasi manusia ini memiliki tujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai hak penentuan nasib sendiri dalam perspektif hukum internasional dan nasional Indonesia serta menjadi bahan bacaan untuk mengetahui korelasi antara aksi separatisme dengan hak menentukan nasib sendiri dan dalam berbagai aspek hukum seperti hukum kedaulatan dan hukum tentang hak asasi manusia. Dalam karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian secara normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) mengkaji ketentuan yuridis yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam artikel ilmiah ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa hak menentukan nasib sendiri diakui dan diatur secara tegas dalam beberapa konvensi dan resolusi internasional kemudian aksi separatisme yang berhubungan dengan hak tersebut sebagai salah satu bentuk pengimplementasian atas hak tersebut. Hubungan separatisme dengan self-determination yaitu separatisme merupakan bentuk dari suatu aksi dalam penentuan nasib sendiri, dimana merupakan salah satu cara pencapaian dan pelaksanaan dari self-determination. Namun dalam pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri terdapat batasan agar tidak berlaku secara luas dan menyalahi prinsip PBB mengenai kedaulatan negara.

Kata kunci: Separatisme, Hak Penentuan Nasib Sendiri, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia.

ABSTRACT

This article on the topic of human rights law has the aim of knowing the regulation of the right of selfdetermination from the perspective of Indonesian international and national law and as reading material to find out the correlation between separatism action and the right to self-determination and in various legal aspects such as sovereignty law and law. about human rights. This scientific paper using a normative research method with a statutory approach (statute approach) examines the juridical provisions that are used as legal material in this scientific article. The results of the research show that the right to selfdetermination is recognized and regulated explicitly in several international conventions and resolutions and then acts of separatism related to this right as a form of implementation of these rights. The relationship between separatism and self-determination, namely separatism is a form of action in self-determination, which is one way of achieving and implementing self-determination. However, in the exercise of the right to self-determination, there are limits so that it does not apply widely and violates the UN principles regarding state sovereignty.

Keywords: Separatism, the right of self-determination, International Law, Human Rights.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada manusia dari lahir sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak dapat dicabut oleh siapapun.1 Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kebebasan yang sebebas bebasnya terhadap dirinya untuk melakukan hal yang dikehendakinya dengan tujuan untuk memerdekakan dirinya sendiri. Namun hak asasi tiap tiap manusia tidaklah berlaku secara absolut karena bertujuan demi melindungi hak asasi antar manusia. Hak asasi manusia harus diakui dan dilindungi seluruh negara-negara dalam hukum nasional mereka sebagai dasar perlindungan secara hukum dan memberikan dasar kepastian hukum.2 Negara memiliki kewajiban penuh untuk melindungi HAM setiap individu seperti perlindungan terhadap penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan pemerintah, perlindungan dari tindakan penyiksaan oleh oknum berkuasa maka negara perlu memenuhi kewenangan dalam menjaga dan mewujudkan eksistensi perlindungan HAM.3 Right of Self Determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang yang diatur dalam hak asasi manusia dan diakui oleh hukum internasional.4

Hak menentukan nasib sendiri berupa hak untuk menentukan hak politik, ekonomi dan sosial. Inti dari right to self determination dewasa ini lebih kepada mengatur dan membahas mengenai kebebasan dalam memilih status politik. Hak menentukan nasib sendiri merupakan salah satu bentuk hak fundamental dalam hukum internasional dimana menciptakan terbentuknya perdamaian dan keamanan dalam masyarakat hukum internasional. Dimana hak penentuan nasib sendiri ini menyangkut kebebasan dan kemerdekaan kelompok-kelompok dan masyarakat etnis. Hak penentuan nasib sendiri ini telah diatur dalam beberapa konvensi dan deklarasi internasional sehingga kedudukan dari hak penentuan nasib sendiri ini penting adanya.5 Hak penentuan nasib sendiri pada prinsipnya tidak hanya berada dalam ruang lingkup pemisahan diri untuk membentuk sebuah negara lain yang baru namun juga terkait dalam ruang lingkup negara yang telah berdaulat atau dapat disebut penentuan nasib sendiri secara internal. Dalam sejarahnya hak untuk menentukan nasib sendiri (The Right of Self Determination) berawal sejak penjajahan yang dialami oleh negara negara di kawasan benua asia dan afrika dimana sejak berakhirnya perang Dunia II munculnya gagasan mengenai hak untuk menetukan nasib sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan. Dalam Teori hukum internasional pelaksanaan dari The Right of Self Determination ini diperdebatkan mengenai apakah setiap negara atau wilayah dapat

menggunakan hak ini secara absolut dan bagaimana batas dan syarat penggunaan dari The Right of Self Determination ini. Masalah dari pemberlakuan The Rights of Self Determination juga diperdebatkan mengenai bahwa hak ini bukan termasuk ke dalam hak asasi manusia karena melihat adanya keberlakuan tentang kedaulatan negara yang mebatasi pelaksanaan dari hak menentukan nasib sendiri tersebut.

Aksi memisahkan diri dengan dalil bentuk atas hak menentukan nasib sendiri menimbulkan aksi separatisme. Separatisme merupakan tindakan dimana individu atau sekelompok individu dalam suatu wilayah atau kesatuan besar melakukan aksi dengan bertujuan memisahkan diri dari suatu wilayah atau kesatuan besar tersebut dan membentuk wilayah sendiri yang merdeka. Individu atau sekelompok individu yang terlibat ini disebut sebagai separatis. Pada dasarnya aksi separatisme yang terjadi dalam sebuah negara dengan didasarkan aksinya kepada hak dalam menentukan nasib sendiri dianggap sebagai aksi pemberontakan. Aksi pemberontakan oleh para separatis termasuk kedalam pelanggaran terhadap hukum nasional wilayah kesatuan tersebut dimana aksi ini dapat digolongkan dalam beberapa tujuan seperti tujuan untuk bergabung dengan negara lain, membuat wilayah baru dan membentuk pemerintahan yang baru.

Korelasi antara aksi separatisme dengan hak menentukan nasib sendiri ini masih menjadi perdebatan dimana hak menentukan nasib sendiri secara hukum internasional diakui sebagai hak asasi manusia, sedangkan dalam hukum nasional dalam pelaksanaannya aksi atas dasar bentuk perwujudan self determination ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pemberontakan terhadap negara karena melanggar kedaulatan negara dimana permasalahan ini masih menjadi pro dan kontra apakah hak menentukan nasib sendiri merupakan sebuah bentuk aksi separatisme yang melanggar hukum nasional atau merupakan aksi yang legal karena berdasarkan atas hak asasi manusia yang diakui secara internasional oleh karenanya berangkat atas kasus tersebut penulis merasa tertarik untuk membahas mengenai bagaimana permasalahan ini dalam perspektif hukum internasional dan hak asasi manusia.

Sebelumnya telah terdapat penelitian yang membahas mengenai permasalahan separatisme dan Hak menentukan nasib sendiri yaitu ditulis oleh Firman Noor dengan judul Analisis Terhadap Kebijakan Pemerintah Tentang Separatisme Papua dimana tulisan ini lebih mengkhususkan pada pembahasan aksi separatisme yang terjadi di Papua.6 Penelitian selanjutnya oleh Arcanjo Juviano Savio dengan judul Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Rights of Self Determination) Rakyat Timor Leste Ditinjau Dari Hukum Internasional dimana tulisan ini mengkhususkan terhadap keberlakuan hak tersebut dalam pemisahan rakyat Timor Leste.7 Sedangkan dalam penelitian ini lebih menitikberatkan kepada korelasi antara aksi separatism dengan perwujudan dari hak atas kebebasan diri sendir dalam legalitasnya pada peraturan internasional dan hukum nasional Indonesia serta hak asasi manusia sehingga fokus daripada penelitian ini berbeda dengan tulisan penelitian terlebih dahulu.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan yang akan dibahas yaitu:

  • 1.    Bagaimana pengaturan secara yuridis mengenai keberlakuan hak menentukan nasib sendiri (The Right of Self Determination) dalam hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia?

  • 2.    Apakah aksi separatisme pada suatu wilayah merupakan suatu bentuk perwujudan hak menentukan nasib sendiri dalam pandangan hukum internasional serta hak asasi manusia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan jurnal penelitian ini yakni untuk mengetahui mengenai pengaturan atas Hak penentuan nasib sendiri (The Rights of Self Determination) dalam literatur-literatur dan hukum internasional, serta melihat keberlakuan dari hak penentuan nasib sendiri dalam hukum nasional Indonesia. Dalam pembahasan jurnal ini bertujuan pula untuk mengetahui bentuk pengimplementasian dari hak penentuan nasib sendiri yakni aksi separatisme pada suatu wilayah khususnya di Indonesia, bahwa aksi tersebut dapat dilakukan di Indonesia dan bagaimana hubungan dari aksi separatisme tersebut dalam pandangan hukum internasional serta hak asasi manusia.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian pada penelitian ini adalah menggunakan metode normatif. Metode normatif merupakan metode yang menggunakan studi kepustakaan yaitu menganalisis dan mencari sumber melalui peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum, dan dilihat dari sudut pandang norma dimana penelitiannya mencakup atas perbandingan hukum, asas-asas hukum, atau sistematika hukum.8 Menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) mengkaji ketentuan yuridis yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam artikel ilmiah ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Keberlakuan Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right of SelfDetermination) Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di Indonesia.

Arti hak penentuan atas nasib sendiri menurut Peter R. Baehr dalam penentuan nasib sendiri merujuk pada internal hak masyarakat untuk menentukan bentuk negara serta pemerintahan mereka sendiri.9 Peter R. Baehr menyatakan dimana penentuan nasib sendiri termasuk dalam hak suatu bangsa atau individu untuk menentukan pilihan bentuk negara serta pemerintahan sendiri. Bentuk daripada hak penentuan nasib sendiri yakni dapat berpartisipasi dalam hal politik dan budaya dalam permasalahan atau konflik negara yang mempunyai arti hak-hak untuk dapat mengatur permasalahan penduduk asli atau pribumi di dalam susunan pemerintahan negara.10

Hak penentuan nasib sendiri (The Rights of Self Determination) merupakan hak penting dan diatur oleh hukum internasional. Ketentuan tentang keberlakuan hak penentuan nasib sendiri menurut hukum internasional dapat dilihat dalam beberapa instrumen hukum internasional, yakni diatur dengan tegas dalam:

  • 1.    Resolusi 1514 (XV) yaitu pada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dilaksanakan pada tanggal 14 bulan desember tahun 1960 yang disebut sebagai Pernyataan Mengenai Kewajiban Pemberian Kemerdekaan Kepada Negeri-negeri dan Bangsa-Bangsa Terjajah. Kemudian status hukum dari resolusi 1514 (XV) ini disahkan oleh International Court of Justice atau Mahkamah Internasional pada tanggal 21 Juni Tahun 1971. Dengan terbentuknya resolusi ini menyatakan bahwa untuk mengakhiri segala bentuk penjajahan atas suatu bangsa menjadikan hak atas penentuan nasib sendiri sebagai hak fundamental untuk bangsa terjajah, pernyataan ini tertulis dalam Pasal 5 Resolusi Nomor 1514 (XV) yang menentukan bahwa bangsa dan penduduk asli dari wilayah jajahan berhak atas segala kekuasaan dengan diserahkan tanpa ada syarat khusus, sesuai kemauan dan kehendak bangsa dan masyarakat/penduduk asli daerah jajahan tersebut dengan dinyatakan bebas tanpa memandang agama atau warna kulit, perbedaan bangsa agar dapat mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya secara mutlak dan sempurna.

  • 2.    Ketentuan mengenai penentuan nasib sendiri dinyatakan jelas dan tegas di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dalam Pasal 1 ayat 1 yang menentukan bahwa seluruh individu memiliki hak untuk memilih atas nasibnya sendiri. Berlakunya hak itu menjadikan dasar untuk dengan bebas memilih status politik dan bebas meraih perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

  • 3.    Kemudian Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB mengemukakan bahwa untuk menumbuhkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa harus berlandaskan prinsip persamaan hak serta penentuan atas nasib sendiri bangsa dan rakyat, agar melakukan tindakan lain sesuai demi bertujuan mempererat perdamaian universal.

  • 4.    Menurut Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa semua Negara pihak pada kovenan ini, termasuk yang bertanggung jawab atas administrasi dari wilayah perwalian dan non-pemerintahan sendiri, harus mempromosikan mengenai realisasi hak penentuan nasib sendiri dan wajib menghargai hak tersebut, berdasarkan ketentuan tertulis dalam Piagam Persatuan Bangsa-bangsa.

  • 5.    Pengaturan mengenai self-determination lebih spesifik dinyatakan dalam beberapa Pasal Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Indigenous People (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples). Pada Pasal 1 menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas kenikmatan penuh sebagai seorang individu atas HAM dan kebebasan fundamental yang terdapat dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal atas Hak Asasi Manusia, dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional.

Dalam Pasal 2 semakin memperjelaskan mengenai hak-hak dasar yakni menyatakan bahwa masyarakat adat serta individu, bebas dan setara dengan masyarakat dan individu lainnya serta memiliki hak terlepas dari semua bentuk diskriminasi, khususnya dalam melaksanakan haknya yang diberdasarkan pada asal-usul atau identitas asli mereka. Kedua Pasal tersebut menyatakan jelas

mengenai HAM atas masyarakat adat dimana berlaku secara mutlak dan fundamental.

Kemudian dalam hubungannya dengan self-determination atau penentuan nasib sendiri sebagai salah satu bentuk dari hak yang diperoleh setiap masyarakat adat diatur pada Pasal selanjutnya yakni Pasal 3 yang menyatakan, masyarakat adat memiliki hak atas penentuan nasib sendiri. Kemudian diperjelas dalam kalimat bahwa berdasarkan hak itu mereka dengan bebas memilih status politiknya serta bebas dalam mencapai pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.

Pada Pasal 4 diatur kembali mengenai self-determination yang mengemukakan mengenai masyarakat adat dalam melaksanakan hak-haknya untuk menentukan pilihannya terhadap nasib sendiri, memiliki hak otonomi atau untuk menentukan pemerintahannya sendiri dalam hal yang berhubungan dengan urusan internal dan lokal mereka, serta cara dan saran untuk membiayai fungsi atas otonom mereka.

Bukti bahwa hak dalam penentuan nasib sendiri (Self-determination) merupakan Hak yang fundamental bagi seluruh individu dengan melihat banyak kovenan dan resolusi serta Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengatur secara tertulis tentang hak menentukan nasib sendiri yang memberikan landasan hukum dan legalitas atas keberlakuan daripada pelaksanaan penentuan nasib sendiri oleh bangsa-bangsa atau individu karena telah diakui dan diatur secara internasional dan bersifat universal.11

Dalam hukum nasional pengaturan mengenai hak penentuan nasib sendiri tidak diatur secara eksplisit dalam instrument hukum nasional di Indonesia. Di Indonesia bentuk nyata dari penentuan nasib sendiri pernah diatur pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No IV/MPR/1983 yakni mengenai sistem referendum melalui referendum konstitusional. Namun kedua peraturan tersebut telah dicabut sehingga tidak dapat berlaku kembali di Indonesia. Bentuk dari penentuan nasib sendiri di Indonesia yang berlaku saat ini yakni pengaturan mengenai Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus.

Otonomi daerah dan otonomi khusus merupakan bentuk penerapan daripada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana memberikan hak dan kewenangan kepada daerah otonom agar mengatur sistem pemerintahan serta kepentingan penduduk daerah dalam sistem NKRI. Otonomi daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi Serta Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian selanjutnya Otonomi Khusus yang diberikan kepada dua provinsi yakni Provinsi Irian Jaya yang selanjutnya menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Aceh yang menjadi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pemberian Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus adalah bentuk dari pelaksanaan Self-determination Internal di Indonesia yang merupakan negara yang berdaulat, sehingga memberi kesempatan kepada masyarakat atau penduduk asli setempat untuk berperan lebih besar dalam menentukan pemerintahannya sendiri, serta memberi peran lebih dalam untuk dapat mengelola pembangunan dan sumber daya alam di daerah setempat

Dalam pandangan ketatanegaraan hukum nasional otonomi adalah hak dimana termasuk memberikan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan, dan dalam perspektif hukum internasional pemberian otonomi khusus merupakan suatu bentuk kewenangan yang dilimpahkan kepada suatu daerah tertentu untuk mengatur urusan daerah tersebut sendiri dengan diakui dalam pengesahan undang-undang dimana pelimpahan kewenangan khusus ini dilaksanakan tanpa perlunya pemisahan wilayah dari negara induknya untuk membentuk negara baru. Usaha pemberian otonomi khusus ini dapat dikatakan sebagai jalan tengah agar menjaga kedaulatan negara dengan tidak terjadinya disintegrasi suatu negara serta sebagai perwujudan dari internal self government.12

  • 3.2    Aksi Separatisme Pada Suatu Wilayah Sebagai Bentuk Perwujudan Hak Penentuan Atas Nasib Sendiri Dalam Pandangan Hukum Internasional Serta Hak Asasi Manusia.

Menurut Manfred Nowak menentukan nasib sendiri secara internal merupakan hak bagi sebuah bangsa dengan bebas menentukan status politik mereka yang dapat didapatkan dengan pemberian otonomi khusus oleh negara. Dalam pemberian otonomi khusus tersebut berdasarkan proses pengambilan keputusan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. 13 James D. Fearon mendefinisikan Separatisme sebagai suatu bentuk aksi membangkang oleh sebuah daerah atau bangsa yang bertujuan untuk mendapatkan kebebasan karena adanya pelanggaran atas prinsip hak penentuan nasib sendiri bangsa tersebut.14

Hubungan separatisme dengan self-determination yaitu separatisme merupakan bentuk dari suatu aksi dalam penentuan nasib sendiri, dimana merupakan salah satu cara pencapaian dan pelaksanaan dari self-determination. Akan tetapi aksi separatisme yang dilakukan oleh kaum separatis sering dikaitkan dan disebut sebagai bentuk pemberontakan dikarenakan secara garis besar tujuan dari kaum separatis salah satunya yaitu melepaskan diri dari negara induknya kemudian menjadi negara yang bebas dan merdeka.15 Dalam beberapa literatur hukum nasonal bahkan aksi memberontak untuk bergabung dengan negara lain dan aksi menggulingkan pemerintah termasuk pada salah satu aksi sepratisme.

Aksi separatisme di Indonesia sendiri dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan menyimpang dari individu maupun sekelompok individu, yang memiliki tujuan melepaskan atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam suatu daerah tertentu. Dalam sisi hukum nasional, mengatur penegakan kedaulatan negara dan kedaulatan supremasi hukum yang tercantum didalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Undang-undang lainnya dimana bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dan untuk mengantisipasi serta menyelesaikan konflik keberadaan aksi separatisme di Indonesia. Pemisahan suatu

bangsa atau wilayah dari negara induknya bukanlah suatu hak, tetapi dapat dirundingkan dan diperjanjikan secara damai, apabila hal ini tidak dilaksanakan akan menimbulkan adanya konflik internal (internal armed conflict) yang menyebabkan munculnya pemberontakan terhadap kedaulatan negara yang pada dasarnya negara induk tentu menghormati dan menjunjung tinggi kedaulatan negara sehingga berusaha mempertahankan kedaulatan negaranya.

Aksi separatisme tentu berkaitan dengan perwujudan Hak penentuan nasib sendiri dimana merupakan salah satu hak asasi tiap individu namun walaupun termasuk kedalam Hak Asasi Manusia tentunya ada pembatasan-pembatasan agar hak ini tidak di diimplementasikan secara luas. Pada Resolusi Majelis Umum PBB (2625) tahun 1970 dalam Bab VI mengenai prinsip dari hak penentuan nasib sendiri dan dalam Resolusi 1514 tahun 1960 ada beberapa pernyataan dimana hak penetuan nasib sendiri tidak dapat digunakan kembali apabila sebelumnya telah sekali digunakan maka hak penentuan nasib sendiri tersebut telah berakhir, hal ini dinyatakan tepatnya dalam paragraph IV Declaration of Friendly Relations Tahun 1970.

Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa implementasi hak menentukan nasib sendiri tidaklah mengabaikan batas- batas wilayah yang sudah ada. Sehubungan kaitan separatisme dengan kedaulatan yakni dijabarkan dalam penggunaan kata “all people” yang tertulis dalam Pasal tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai “setiap orang” atau “semua individu” hal ini disebabkan agar tidak ditafsirkan secara luas dan bebas sehingga minoritas national group dikhawatirkan akan menggunakan hak tersebut untuk memisahkan diri dari sebuah negara, hal ini tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip PBB yakni adanya kedaulatan negara yang membatasi dan mempertahankan integritas territorial atas negara anggota. Hak menentukan nasib sendiri tersebut menurut John Humphrey hanya dapat direalisasikan dan dimiliki oleh sekelompok individu atau rakyat dari suatu daerah atau wilayah jajahan dan dibatasi dengan tidak dapat dilakukan lebih dari sekali yang berarti apabila hak tersebut telah digunakan maka tidak dapat diberlakukan kembali kedepannya.

Aksi dari kelompok separatis yang mendasarkan gerakannya sebagai bentuk pelaksanaan self-determination di Indonesia salah satu contohnya yaitu konflik papua, dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam konflik papua upaya separatis dilakukan oleh kelompok separatis asal papua yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memiliki tujuan untuk mencari dukungan masyarakat dunia dalam mewujudkan kemerdekaan papua dimana kelompok OPM ini merupakan organisasi bersenjata, dalam konflik papua ini pemerintah Indonesia melakukan beberapa upaya untuk mencari jalan tengah dari konflik papua tersebut dengan memberikan tindakan non represif misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang pemberian Otonomi Khusus bagi provinsi Papua.16

Gerakan separatis yang terjadi di Indonesia juga terjadi di Aceh dimana gerakan ini disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Awal mula gerakan ini terjadi sejak 1970-an dimana yang melatar belakangi terjadinya gerakan ini akibat rakyat aceh yang merasa bahwa pemerintah pusat tidak berlaku adil dalam beberapa masalah kepemerintahan

seperti dalam aspek perekonomian, sumber daya alam dan kehidupan.17 Sama halnya seperti papua, pemerintah telah mengupayakan usaha yang sama untuk menyelesaikan konflik GAM dengan upaya non represif dan represif yaitu dengan menempatkan kekuatan militer untuk meminimalisir keadaan di Aceh yang dimana upaya ini gagal dikarenakan adanya perlawanan balik dari GAM, kemudian adanya penyelesaian secara politik dan diplomasi.

  • IV.    Kesimpulan

Keberlakuan hak atas penentuan nasib sendiri (Self-determination) adalah hak dimana dapat dilakukan tiap individu karena hak tersebut diakui oleh hukum internasional Bukti bahwa hak penentuan nasib sendiri (Self-determination) adalah hak yang fundamental bagi seluruh individu. Tiap kovenan dan resolusi yang mengatur mengakui dan menyatakan secara jelas dan tegas bahwa Hak menentukan nasib sendiri (self-determination) dimiliki oleh tiap individu di dunia, dan tiap negara wajib mengakui dan memberlakukan hak ini terhadap rakyatnya. Namun dengan demikian tidak berlaku secara mutlak dikarenakan adanya peraturan yang membatasi pelaksanaan atas Hak Menentukan nasib sendiri ini menurut para ahli dan prinsip PBB. Hukum Nasional dari sebuah negara dapat dikategorikan sebagai suatu peraturan yang membatasi agar keberlakuan Hak Penentuan Nasib Sendiri ini tidak berlaku secara luas dan tetap mengakui adanya kedaulatan sebuah negara walaupun hak ini berlaku dan diakui oleh dunia. Hubungan separatisme dengan self-determination yaitu separatisme merupakan bentuk dari suatu aksi dalam penentuan nasib sendiri, dimana merupakan salah satu cara pencapaian dan pelaksanaan dari self-determination. Akan tetapi aksi separatisme yang dilakukan oleh kaum separatis sering dikaitkan dan disebut sebagai bentuk pemberontakan dikarenakan secara garis besar tujuan dari kaum separatis salah satunya yaitu melepaskan dirinya dari negara induk dan kemudian menjadi negara bebas dan merdeka. Saran penulis terhadap problematika ini yakni bahwa dalam pemberian otonomi khusus terhadap suatu daerah yang tengah menghadapi situasi berkaitan aksi separatisme akan lebih baik apabila terdapat perundingan terhadap kedua pihak untuk saling memberi keuntungan para pihak dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi secara damai dan setelah berlakunya Undang-Undang otonomi khusus tersebut agar isi dan tujuan yang ingin dicapai atas pembentukan daripada Undang-Undang tersebut benar benar terlaksana pada masyarakat, mementingkan kepentingan rakyat wilayah tersebut dengan memenuhi hak-hak atas wilayah tersebut sesuai yang tertulis dalam Undang-Undang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Baehr, Peter R. 2016. Human Rights: Universality in Practice. Human Rights: Universality in Practice.

Nowak, Manfred. U.N. Covenant on Civil and Political Rights-CCPR Commentary, 2nd Revised ed (Jerman: N. P. Engel Publisher, 2005.)

Jurnal

Ananda, Gede Resa and Dewa Gde Rudy. n.d. “Pengaturan Terhadap Hak Penentuan Nasib Sendiri Negara Timor Leste Di Tinjau Dari Hukum Internasional,” Kertha Negara 7, No. 2 (2019): 1-12.

Aswandi, Bobi, and Kholis Roisah. “Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM).” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, No.1 (2019) ): 128-145

Begem, Sarah Sarmila, Nurul Qamar, and Hamza Baharuddin. “Sistem Hukum Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Melalui Mahkamah Pidana Internasional.” SIGn Jurnal Hukum 1, No. 1 (2019) ): 1 -17

Febrianti, Sekar Wulan, Ajeng Sekar Arum, Windy Dermawan, and Akim. “Penyelesaian Konflik Internal Antara Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Separatisme Di Papua Melalui Mekanisme Horse-Trading.” Society 7, No. 2 (2019) ): 90-108

Flick, Barbara., Hak Bangsa-Bangsa Penduduk Asli & Penentuan Nasib Sendiri Secara Internal, dalam Hak Asasi Manusia (Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional dan Masyarakat), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1999.

Harita, Suluhsy Luhur. “Implementasi Self Determination Principle Terhadap Suku Bangsa Dalam Bentuk Internal Rights Self Determination.” JOM Fakultas Hukum 5. No. 2 (2018) ): 1-14

Muhammad, Mukmin. “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Positif Dengan Konsep Constitutional Importance.” Meraja Journal 1, No. 2 (2015) ): 31-38

Prasetyo, Bernardus Bayu And Sri Lestari Rahayu. “Legitimasi Pelaksanaan Referendum Rakyat Krimea Sebagai Upaya Menentukan Nasib Sendiri Menurut Ketentuan Hukum Internasional.” Belli ac Pacis 1, No. 1 (2015) ): 52-58.

Pratiwi, Eka Auliana. “Campur Tangan Asing Di Indonesia: Crisis Management Initiative Dalam Penyelesaian Konflik Aceh (2005-2012).” Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah 2, No. 2 (2019) : 83-90.

Savio, Arcanjo Juviano. "Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right of SelfDetermination) Rakyat Timor Leste Ditinjau Dari Hukum Internasional." Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta, (2015):1-12.

Sefriani, Sefriani. “Separatisme Dalam Perspektif Hukum Internasional: Studi Kasus Organisasi Papua Merdeka.” Unisia 1, No. 47 (2003) ): 41-53.

Sonata, Depri Liber. “Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum.” Fiat Justisia Jurnal ilmu Hukum 8, No. 1 (2014) ): 15—35

Suharyo. “Otonomi Khusus Di Papua Dan Aceh Sebagai Perwujudan Implementasi Peranan Hukum Dalam Kesejahteraan Masyarakat.” Jurnal Rechtsviding 5, No. 3 (2016) : 323-337.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Lembaran Negara Repulik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Untuk Provinsi Daerah Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4134).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633).

Konvensi Internasional

Charter of The United Nation.

International Covenant on Civil and Political Rights.

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.

United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.845-855

855