Penguasaan Negara Atas Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Perspektif Hak Cipta di Indonesia
on
PENGUASAAN NEGARA ATAS EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF HAK CIPTA DI INDONESIA
Ida Bagus Yoga Darma Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail: [email protected]
I Wayan Wiryawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah memahami kedudukan negara sebagai pemegang Hak Cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan untuk mengetahui status masyarakat adat sebagai pelaksana dalam pelestarian EBT dalam perspektif Hak Cipta. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan negara sebagai pemegang hak cipta atas ekspresi budaya tradisional termuat dalam ketentuan Pasal 38 dan Pasal 39 UUHC yang menjekaskan kedudukan negara adalah sebagai pemgang otorisasi atas EBT. Sedangkan status masyarakat adat sebagai pelaksana dalam pelestarian EBT dalam perspektif hukum Hak Cipta tidak diatur secara eksplisit dalam UUHC namun sebagai masyarakat yang sudah turun temurun tentu perlu dipertegas bahkan diberikan hak sebagai Pemegang Hak Cipta atas EBT.
Kata Kunci: Ekspresi Budaya Tradisional, Penguasaan Negara, Masyarakat Adat
ABSTRACT
The purpose of this research is to understand the position of the state as the holder of the Copyright for Traditional Cultural Expressions (EBT) in Law No. 28 of 2014 concerning Copyright and to find out the status of indigenous peoples as executors in the conservation of EBT from a Copyright perspective. The research method used in this study is a normative legal research method with a statutory and conceptual approach. The results show that the state's position as the copyright holder of traditional cultural expressions is contained in the provisions of Article 38 and Article 39 of the UUHC which emphasize that the state's position is as the holder of authorization for EBT. Meanwhile, the status of indigenous peoples as executors in the conservation of EBT in the perspective of Copyright law is not explicitly regulated in the UUHC, but as a community that has been passed down from generation to generation, it certainly needs to be affirmed and even given rights as Copyright Holders of EBT.
Key words: Traditional Cultural Expression, Country Mastery, Indigenous Peoples
Museum hidup menjadi sebutan bagi bangsa Indonesia berkat tradisi dan budayanya yang begitu beragam.1 Keragamanan budaya dan tradisi lahir dari proses hidup masyarakat Indonesia yang bergantung pada kondisi alamnya. Alam dan perkembangan hidup masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan, hal ini karena
-
1 Telaumbanua, Tuhoni. "Kaum milenial & kebudayaan Nias: Di persimpangan jalan." SUNDERMANN: Jurnal Ilmiah Teologi, Pendidikan, Sains, Humaniora dan Kebudayaan 1, no.
kondisi alam mempengaruhi pola hidup masyaraktnya yang kemudian menghasilkan suatu kebudayaan yang beragam. Selain karena kondisi alam, kebudayaan yang lahir juga dihasilkan karena kemampuan intelektualitas masyarakat Indonesia sejak dulu yang sangat kreatif. Suatu budaya dan tradisi lahir karena adanya cipta rasa dan karsa manusia dalam suatu kelompok masyarakat, termasuk yang terjadi di Indonesia. Segala kreativitas itulah yang kemudian menghasilkan budaya dan tradisi sebagai bentuk karya-karya intelektual yang bernilai tinggi di tengah perkembangan dunia saat ini. Keadaan ini menjadi peluang terjadinya tindakan klaim oleh oknum tertentu jika tidak ada upaya perlindungan dari pemerintah.2 Mengingat kekayaan intelektual seperti budaya dan tradisi merupakan sebuah ekspresi budaya tradisional (selanjutnya disbut EBT) di Indonesia sangat banyak sehingga perlu upaya yang ekstra untuk mencegah adanya tindakan klaim pihak ilegal sebagaimana kasus klaim illegal atas keseniam oleh Negara tentangga seperti Malaysia tahun 2010. Hal ini menandakan bahwa pemerintah itu belum maksimal melakukan upaya perlindungan hukum untuk melindungi kekayaan budaya yang tertuang dalam berbagai bentuk ekspresi budaya tradisional masyarakat.
Pasca kejadian tersebut, pemerintah akhirnya melakukan evaluasi terhadap peraturan Hak Cipta khususnya pada beberapa ketentuan terkait HKI. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC) ada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan atas karya seni dan sastra sebagai objek perlindungannya. Akan tetapi, karya seni dan sastra yang merupakan warisan turun temurun pada awalnya belum mendapatkan kepastian perlindungan hukum dari Undang-Undang Hak Cipta sebagai bentuk EBT. Bahwa EBT merupakan karya-karya tidak masyoritas tidak diketahui Penciptanya dan telah diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat pengembannya yaitu masyarakat adat di suatu daerah. Serta perlindungan hukumnya juga belum mampu mengikuti perkembangan zaman, sehingga atas dasar tersebut dilakukan perubahan peraturan perundang-undangan terkait Hak Cipta melalui dibentuknya UUHC.3
Walaupun demikian, sistem hukum saat ini, khususnya terkait HKI, tidak memberi perlindungan memadai bagi EBT. Sebenarnya, syarat utama bagi perlindungan EBT adalah mengetahui harapan-harapan komunitas EBT yang sebenarnya menjadi “tuan”-nya. Juga amat penting meninjau isu-isu terkini tentang skema perlindungan yang memadai bagi EBT. Namun demikian, penelitian ini baru sampai tahap awal, yakni mengkaji historisitas dimasukkannya EBT ke dalam ranah hukum hak cipta dan makna peran negara sebagai pemegang hak cipta atas EBT.4
Selama kurun waktu 28 tahun, hukum Hak Cipta Indonesia sudah 4 (empat) kali diganti sejak pertama kali diundangkannya UUHC nasional tahun 1982. Keempat undang-undang tersebut mencantumkan EBT sebagai salah satu bidang yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Konsep penting dalam UUHC- Hak Moral (HM) dan Hak Ekonomi (HE), sepenuhnya tidak dapat diterapkan untuk EBT, karena EBT tidak dapat ditelusur siapa pencipta awal– sehingga hak moral melekat padanya. Jika
konsep hak moral yang merupakan konsep pokok tidak dimiliki dalam EBT, apalagi konsep hak ekonomi–yang merupakan konsep lanjutan konsekuensi dari hak moral tersebut. Selain itu, negara diberi otoritas oleh Undang-Undang untuk memegang hak cipta atas EBT. Otorisasi atas hak cipta atas EBT menjadi problem di tingkat teoretis dan praktis. Di tingkat teoretis, EBT adalah bukan hak cipta dan tidak bisa dikategorikan sebagai hak cipta. Di tingkat praktis, peran negara sebagai pemegang hak cipta masih perlu diperjelas pelaksanaan konkretnya.
Penelitian ini merujuk pada penelitian terdahulu Studi ini merujuk pada penelitian terdahulu yang telah publish pada Jurnal Kertha Semaya pada Bulan Agustus 2018, studi dilakukan oleh I Kadek Wahyu Putrayana dan I Nyoman Dharmada dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisonal Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 20145 yang mana dalam penelitian tersebut lebih membahas secara umum terkait perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional sebelum dan sesudah adanya UUHC. Sedangkan pada penelitian ini lebih membahas terkait kedudukan negara sebagai pemegang hak cipta dan status masyarakat hukum adat sebagai pelaksana dalam pelestarian EBT. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini diangkat judul “Penguasaan Negara Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Perspektif Hak Cipta Di Indonesia.”
Adapun permasahalan yang dikaji dalam artikel ini yaitu:
-
1. Bagaimanakah kedudukan negara sebagai pemegang Hak Cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional dalam Undang-Undang Hak Cipta?
-
2. Bagaimanakah status masyarakat adat sebagai pelaksana dalam pelestarian Ekspresi Budaya Tradisional dalam perspektif hukum Hak Cipta?
Tujuan kajian ini adalah untuk memahami kedudukan negara sebagai pemegang Hak Cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional dalam Undang-Undang Hak Cipta BT dan untuk mengetahui status masyarakat adat sebagai pelaksana dalam pelestarian EBT dalam perspektif hukum Hak Cipta.
-
2. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian sabagai salah satu hal mendasar pada hakikatnya bermakna memberikan pedoman dalam mempelajari, menganalisis, dan memahami hukum yang dimaksud. Dengan kata lain bahwa suatu ilmu dan pengetahuan didapatkan melalui penelitian dengan metode ilmiahnya. Penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang digunakan dimana penelitian hukum ini yang membahas dan menganalisis dalam tataran norma, asas dan doktrin hukum.6 Melalui upaya menelaah peraturan terkait HKI yang disebut pendekatan perundangan dan analisis terhadap konsep dan doktrin hukum digunakan untuk menunjang metode
normative pada penelitian ini.7 Pada penelitian ini digunakan analisis deskriptif kualitatif dalam menyusun secara sistematis bahan-bahan hukum yang diperoleh untuk menjawab permasalahan yang dikaji.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Kedudukan Negara Sebagai Pemegang Hak Cipta Atas Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Undang-Undang Hak Cipta
-
Adanya jaminan perlindungan hukum atas karya-karya EBT dalam rezim Hak Cipta memberikan angin segar bagi pelestarian karya intelektual dari masyarakat adat di seluruh Indonesia. Perlu disadari bahwa suatu karya intelektual manusia yang bernilai ekonomis yaitu karya seni dan budaya sebagai hasil kreativitas manusia dalam melahirkan berbagai karya intelektualitasnya yang bermutu tinggi tidaklah dilahirkan begitu saja. Sehinga karya seni dan budaya patut mendapat perlindungan yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf kesejateraan, tidak hanya untuk masyarakat adat dimana seni itu tumbuh dan berkembang, namun juga untuk bangsa dan negara Indonesia. Hasil karya intelektual itu lahir dari pengolahan dan proses dari cipta, karsa dan daya kreativitas manusia yang sedemikian mendalam dan bernilai ekonomis tinggi sudah selayaknya diberikan perlindungan hukum secara kolektif untuk mendapatkan hak ekslusif atas karya yang dilestarikan oleh masyarakat adatnya sampai saat ini.
Bahwa dalam perspektif Hak Cipta berdasarkan UUHC mengenai EBT telah diatur di dalam Pasal 38 UUHC yang mengatur bahwa:8
-
(1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara.
-
(2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
-
(3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.
-
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila mencermati, EBT pada dasaranya ada pada negara, dimana suatu negara memiliki kewajiban dalam emnajaga, menginventarisasi serta memelihara EBT sesuai ketentuan UUHC Pasal 38 Ayat (1). Selanjutnya, secara spesifik dijelaskan bahwaPemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan perwujudan negara yang berperan penting dalam perlindungan dan pemanfaatan EBT yang kian berkembang.9 Tidak hanya itu, juga wajib untuk menginventarisasi, menjaga, dan memelihara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 38 ayat (2) UUHC. Lebih lanjut,
selain diatur dalam Pasal 38 UUHC mengenai perlindungan EBT, juga telah diatur dan ditegaskan kembali pada Pasal 39 UUHC. Dalam ketentuan Pasal 39 UUHC dapat dikatakan bahwa EBT yang tidak ketahui siapa Penciptanya sebagai karya kolektif masyarakat tradisional, namun negara memiliki ha katas hak cipta tersebut untuk kepentingan Pencipta seperti merujuk pada Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3).10 Pasal 60 UUHC menjelaskan bahwa tidak terdapat batas waktu perlindungan EBT sebagai objek Hak Cipta.
Perkembangan EBT tidak luput dari adanya monopoly dan komersialisasi meskipun secara jelas telah dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah dan Negara merupakan pemegang otoritas tertinggi atas Hak Cipta, namun tidak menutup kemungkinan adanya pihak tertentu yang tanpa izin merusak dan melakukan pemanfaatan Hak Cipta secara komersial secara illegal. Disisi lain, ketentuan Pasal 38 ayat (4) UUHC terkait kekuasaan negara atas pengaturan EBT secara lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah hingga kini belum terlaksana. dinamika ini kemudian menimbulkan problematika hukum yaitu terjadinya berupa ketidakpastian hukum/legal uncertainty dalam praktiknya.
Apalagi banyak pendapat yang menyatakan bahwa pengaturan EBT dalam UUHC tidak tepat karena adanya perbedaan prinsip yang mendasar antara konsep EBT dan konsep Hak Cipta. Selain itu, tidak dijaminnya hak masyrakat adat secara pasti sebagai pengemban EBT atas Hak Moral maupun Hak Ekonomi yang timbul dari adanya Hak Ekslusif dalam Hak Cipta.11 Oleh karena itu, kedudukan negara sebagai pemegang Hak Cipta atas EBT tanpa adanya pengaturan lebih lanjut sejauh mana penguasaan negara dan tidak diaturnya hak-hak masyarakat adat pengemban EBT dalam UUHC juga menimbulkan problematika hukum yang diperlu dikaji kembali apakah EBT tetap dalam rezim Hak Cipta dan penguasaannya ada pada Negara ataukah EBT diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan terpisah dari UUHC dengan memberikan penguasaan EBT kepada masyarakat adatnya sebagai pengemban atas EBT yang telah diwariskan secara turun temurun.12
Budaya dan warisan budaya yang bersifat tradisional dapat bersifat komunal (dimiliki Bersama) begitulah pemahaman masyarakat saat ini. Inilah yang emmicu munculnya public domein, dimana budaya tradisional menjadi sesuatu yang terbuka untuk umum.13 Pada konsep tersebut tidak terkandung monopoli atas EBT seperti pada konsep HKI. Untuk itu, pengaturan hukum perlindungan atas pengetahuan dan EBT menjadi suatu urgensi untuk dilindungi dan didaftarkan serta dipublikasikan keberadaanya mengingat begitu mudahnya hal tersebut untuk diklaim secara illegal oleh pihak lain. Alasan nilai komersialitas atas pemanfaatan EBT, (2) pertimbangan sistem perdagangan dunia yang adil, dan (3) pentingnya perlindungan hak
masyarakat lokal menjadikan begitu besar urgensi perlindungan atas EBT untuk segera dipenuhi.14
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas dapat dianalisa bahwa Kedudukan negara selaku pemegang hak cipta atas EBT termuat dalam ketentuan Pasal 38 ayat 1 UUHC. Negara berkewajiban melakukan inventarisasi, menjaga, dan memelihara EBT seperti amanat Pasal 38 ayat (2) UUHC. Serta pada ketentuan Pasal 39 UUHC dapat dikatakan bahwa EBT yang tidak diketahui siapa Penciptanya sebagai karya kolektif masyarakat tradisional, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) bahwa Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh negara untuk kepentingan Pencipta. Sehingga dengan kata lain, negara berkedudukan sebagai hak cipta atas ekspresi budaya tradisional selama ciptaan tersebut merupakan ciptaan yang sudah ada secara turun temurun dan tidak diketahui pemilik maupun pemegang hak ciptanya sehingga negara memiliki hak untuk menjadi pemegang hak cipta terhadap ekspresi budaya tradisional tersebut.
-
3.2 Status Masyarakat Adat Sebagai Pelaksana dalam Pelestarian Ekspresi Budaya
Tradisional Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta
Masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang kuat dalam memegang teguh budaya, adat istiadat, kepercayaan yang dahulu dari generasi ke generasi telah turun-temurun diwariskan. Guna memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat tersebut sangat tergnatung terhadap sumber daya alam. Hal ini mendorong musik bamboo, serta tari-tarian sebagai miliknya. Pemanfaatan hal serupa juga dialamai oleh Negara-negara sedang berkembang pemiliki EBT seperti India, Peru, Brasil dan beberapa Negara Afrika. Oleh karena itu, EBT penting untuk mendapatkan perlindungan yang mampu mengakomodir hukum adat yang selama ini masih diemban oleh masyarakat. 15
Melindungi subjek-subjek hukum dan bersifat mengikat serta memiliki sanksi bagi pelanggaranya meruapkan definisi perlindungan hukum. Sifat sekaligus tugas hukum ialah perlindungan hukum yang diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Perlindungan hukum terhadap EBT begitu urgensi untuk diwujudkan oleh negara berkembang demi kelangsungan warisan budaya (warisan tak berwujud) yang mutlak harus dilestarikan. Guna memberikan perlindungan hukum atas EBT dapat ditempuh upaya yakni:16
-
(1) Inventarisasi dan dokumentasi sebagai upaya perlindungan EBT jangka pendek. Upaya ini tidak hanya dapat bersifat informatif, namun juga sebagai pembuktian. Mengambil dokumentasi gambar (foto) serta membuat tulisan maupun catatan khusus yang dibuat pemerintah merupakan salah satu Langkah pendokumentasian EBT
-
(2) Produk hukum (peraturan) perlindungan EBT sebagai upaya jangka menengah dan jangka Panjang. Produk hukum berupa peraturan perundangan yang mengatur secara spesifik perlindungan atas EBT merupakan bentuk perjuangan perlindungan EBT secara internasional dan wujud memperjuangkan kepentingan nasional bangsa.
Mengenai perlindungan terhadap EBT sudah terjadi sejak lama, ketika permasalahan EBT mendapatkan perhatian dan menjadi pembahasan secara internasional sejak empat puluh tahun. Pembahasan ini dimulai sejak revisi atas Konvensi Bern tahun 1967 di Stockholmdan di Paris 1971 yang kemudian diadaptasi ke TRIPs Agreement dan Konvensi PBB tentang Keragaman Hayati.17 Sehingga, Indonesia sebagai negara berkembang yang juga menjadi anggota TRIPs Agreement harus mampu menyesuaikan sistem hukum kekayaan intelektual yang disesuaikan dengan kondisi Negara mengenai perlindungan atas karya-karya EBT.
Kemudian Indonesia menggabungkan konsep kepemilikan individual sekaligus konsep kepemilikan kolektif sebagaimana yang terdapat dalam konsep perlindungan Hak Cipta dalam UUHC sebagai bagian dari jenis kekayaan intelektual yang perlu dilindungi.18 Hukum Hak Cipta mengakui perlindungan Hak Cipta secara otomatis, ketika telah terwujud dalam bentuk nyata sebagaimana atur dalam Article 2 paragraph (2) Berne Covention menyatakan: “It shall, however, be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe that works in general or any specific categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some material form.”19 Ini berarti, bahwa suatu karya intelektual di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan mendapatkan perlindungan ketika telah diwujudkan secara nyata dan difiksasi sebagai suatu bentuk yang riil.20 Kebijakan ini pun akhirnya mendapatkan kritikan dari beberapa ahli dikarenakan prinsip dasar perlindungan EBT yang bersifat komunal tidak sejalan dengan konsep perlindungan individual dalam rezim Hak Cipta.
Negara maju dan negara berkembang tentu memiliki kepentingan yang berbeda dan berbenturan terkait HKI yang menimbulkan konflik kepentingan. Bersifat public domein yakni dapat dengan mudah diakses itulah posisi EBT bagi negara maju, namun disisi lain hal tersebut tentu akan merugikan negara berkembang, yang beranggapan hal tersebut tidak mampu mengakomodasi perlindungan EBT.21 Perlindungan atas EBT mejadi salah satu bentuk intellectual activity.
Disatu sisi negara berkembang mengharapkan EBT untuk dilindungi secara internasional dalan paying hukum yang bersifat mengikat, namun disisi lain EBT diharapkan dapat menjadi public domain yang tidak perlu diatur sedemikian rupa dan
bukan merupakan sesuatu yang harus dilindungi.22 Bukan tanpa alasan, EBT dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga harus dilindungi agar tidak diakui oleh pihak illegal yang tidak disertai kejelasan atas pembagian keuntungan (benefit sharring), inilah bentuk konflik kepentingan yang dimaksud.23 Namun, saat ini sistem perlindungan hukum EBT belum memadai, inilah yang menjadi eklemahan dalam mengembangkan perlindungan hukum atas EBT.
Pada tahun 1990, Amerika Serikat mengintroduksi aturan khusus yang hanya memberikan perlindungan Hak Moral secara terbatas bagi karya seni visual atau the Visual Artistic Right Act 1990/VARA. Selebihnya, negara-negara yang mengakui konsepsi hak moral, ternyata memiliki derajat penghargaan yang berbeda-beda. Prancis misalnya, mengakui konsep droit de suit, yang penjabarannya juga ditumbuhkan dari konsep hak moral.24 Negara maju secara gencar dan sedemikia rupa berupaya untuk menekan negara-negara pada perang dunia ketiga sebagai bentuk konkrit perlindungan HKI mereka, namun disisi lain hal tersebut ettap saja merugikan negara berkembang, dimana EBT pada negara berkembang tetap saja tidak mendapat perlindungan seperti halnya perlindungan pada negara maju.25 Hal tersebut dipicu oleh rasa takut untuk kehilangan akses yang dirasakan negara maju dalam mengklaim dan mengambil alih EBT negar-negara berkembang yang telah terbukti mampu mendatangkan keuntungan ekonomis bagi mereka.26
Mendapatkan dukungan perlindungan EBT dari negara-negara maju bukan merupakan suatu perjaungan yang mudah. Pada "The Draft United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples," dipaparkan bahwa collective right atau hak kolektif masyarakat ditakutkan dapat menimbulkan benturan hak individual dan kolektif, inilah yang menjadi dasar penolakan oleh beberapa negara maju (Jepang, Amerika Serikat, Perancis dan Inggris).27 Hal tersebut kian memperjelas bahwa penolakan tersebut hanyalah bentuk ketakutan mereka akan hilangnya akses terhadap budaya dan pengetahuan tradisional yang dimiliki negara-negara berkembang yang begitu beragam.
Penolakan atas collective right dan tekanan pada negara-negara berkembang tidak sejalan dengan upaya-upaya negara maju yang begitu kuat berusaha melindungi HKI mereka dari kasus pelanggaran kerap terjadi di negara berkembang.28 Kondisi inilah yang mendorong kesadaran negara-negara berkembang untuk memperjuangkan keadilan mereka dalam pemanfaatan dan perlindungan atas EBT. Selayaknya EBT negara berkembang mendapatkan perlindungan hukum yang prima dari Penyelewengan terhadap EBT (misappropriation).
Komitmen perlindungan EBT secara internasional pada dasarnya telah dikemukakan pada deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on The Right of Indigenous-UNDRIP) tertanggal 13 September 2007. Deklarasi tersebut secara jelas menegaskan adanya collective right atas EBT.29 Meskipun secara jelas telah diatur dalam deklarasi seperti tersebut diatas, namun angka kasus pelanggaran atas EBT masih marak ditemukan. Hal tersebut kian memunculkan kesadaran yang bersifat komunal di tengah-tengah amsyarakat, untuk secara sadar melindungi warisan budaya tradisional. Namun, ketentuan TRIPs belum mampu diilhami secara menyeluruh oleh bangsa Indonesia, perlindunga hukum EBT di Indonesia belum secara penuh mampu menajdi paying hukum bagi amsyarakat adat dalam mengajukan tuntutan atas penyalahgunaan EBT secara komersial oleh pihak yang tidka memiliki ha katas EBT tersebut (pihak illegal).30 Maka, EBT harus dilestarikan masyarakat pengembannya agar tetap mampu diwariskan kepada generasi berikutnya sebagai warisan yang adiluhung karena nilai-nilai kehidupan dan moral yang terkandung di dalamnya agar tetap tegak sampai berakhirnya peradaban masyarakatnya.31 Dengan demikian, masyarakat adat diberikan status sebagai Pemegang Hak Cipta atas EBT yang telah diwariskan secara turun temurun dan tetap dilestarikan kepada generasi seterusnya.32
Dasar pertimbangan dalam perlindungan EBT di Indonesia dipicu oleh beberapa faktor diantaranya: 1) pertimbangan aspek keadilan, 2) urgensi pentingnya upaya pelestarian dan perlindungan EBT dari tindakan pelanggaran yang merugikan dan mengancam keberadaan EBT sebagai khasanah bangsa.33 Sehingga, dengan adanya pengaturan khusus yang memberikan pemegang Hak Cipta atas EBT kepada masyarakat adatnya diharapkan dapat memberi efek positif yang signifikan bagi komunitas masyarakat adat dalam melestarikan warisan kebudayaan mereka.
-
4. Kesimpulan
Kedudukan negara selaku pemegang hak cipta atas EBT termuat dalam ketentuan Pasal 38 ayat 1 UUHC. Negara berkewajiban melakukan inventarisasi, menjaga, dan memelihara EBT seperti amanat Pasal 38 ayat (2) UUHC. Serta pada ketentuan Pasal 39 UUHC dapat dikatakan bahwa EBT yang tidak diketahui siapa Penciptanya sebagai karya kolektif masyarakat tradisional, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) bahwa Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh negara untuk kepentingan Pencipta. Akan tetapi, Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas EBT sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (4) UUHC untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sampai saat ini belum ada
dilaksanakan. Status masyarakat adat sebagai pengemban Ekspresi Budaya Tradisional dalam perspektif hukum Hak Cipta perlu dipertegas bahkan diberikan hak sebagai Pemegang Hak Cipta atas EBT dengan melakukan pengaturan terpisah mengenai EBT dari UUHC. Pertimbangan aspek keadilan serta urgensi pentingnya upaya pelestarian dan perlindungan EBT dari tindakan pelanggaran yang merugikan dan mengancam keberadaan EBT menjadi alasan yang kuat begitu pentingnya perlindungan atas EBT untuk dikembangkan. Dalam upaya memberikan proteksi terhadap EBT, dibutuhkan upaya terencana dan berkesinambungan segera melaksanakan identifikasi, inventarisasi serta dokumentasi pengetahuan dan ekspresi kebudayaan tradisional untuk dicatat ke Kantor Kementrian Hukum dan HAM Direktorat Jendral HKI. Mengupayakan pengembangan dan pemanfaatannya demi meningkatkan kesejahteraan, terutama masyarakat pemilik awalnya. Pemerintah Indonesia perlu untuk segera membuat aturan hukum terkini yang bersifat responsive dan spesifik (sui generis) kaitannya dengan perlindungan atas HKI khsuusnya terkait EBT. Merealisasikan Peraturan Pemerintah khususnya pasal 38 Ayat (4) UUHC, serta menyediakan wadah perlindungan hukum terhadap kedudukan masyarakat adat sebagai pemilik EBT agar hak yang dimiliki oleh masyarakat adat terlindungi secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Lutviansori, Alif. Hak Cipta Dan Perlindungan Foklor Di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014
Jurnal Ilmiah :
Asri, Dyah Permata Budi. “Implementasi Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di Kabupaten Sleman.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 23, no. 4 (2016): 612–32.
———. “Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” JIPRO: Journal of Intellectual Property 1, no. 1 (2018): 13– 23.
Atsar, Abdul. “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” Law Reform 1, no. 2 (2018): 284– 99.
Bustani, Simona. “Urgensi Pengaturan Ekspresi Budaya (Folklore) Masyarakat Adat.” Jurnal Hukum PRIORIS 2, no. 4 (2016): 246–55.
Hasima, Rahman. “Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat Tolaki.” Literasi Hukum 2, no. 1 (2018): 15–27.
Hutabarat, Sylvana Murni D. “Perkembangan Dan Perlindungan Pengetahuan
Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Ditinjau Dari Perspektif Hak Kekayaan Intelektual.” Jurnal Yuridis 2, no. 2 (2015): 202–20.
Nugroho, Sigit. “Pengelolaan Ekspresi Budaya Tradisional (Ebt) Di Daerah Pasca Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta:(Perpektif Hukum Administrasi Negara).” Society 5, no. 1 (2017): 87–98.
Paramisuari, Anak Agung Sinta, and Sagung Putri ME Purwani. “Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai Rezim Hak Cipta.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 1 (2019): 1–16.
Rachmanullah, Danu, Lindati Dwiatin, and Kasmawati. “Perlindungan Hukum Terhadap Eskpresi Budaya Tradisional Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014.” Pactum Law Journal 1, no. 04 (2018): 348–61.
Rafianti, Laina, and Qoliqina Zolla Sabrina. “Perlindungan Bagi Kustodian Ekspresi Budaya Tradisional Nadran Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional Dan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia.” Padjadjaran Journal of Law 1, no. 3 (2014): 132–56.
Roisah, Kholis. “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Sistem Hukum Kekayaan Intelektual.” Masalah-Masalah Hukum 43, no. 3 (2014): 372–79.
Senewe, Emma Valentina Teresha. “Efektivitas Pengaturan Hukum Hak Cipta Dalam Melindungi Karya Seni Tradisional Daerah.” Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum 2, no. 2 (2015): 12–23.
Setyaningtyas, Ayu Citra, and Endang Sri Kawuryan. “Menjaga Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai 1, no. 2 (2016): 122– 32.
Sukihana, Ida Ayu, and I. Gede Agus Kurniawan. “Karya Cipta Ekspresi Budaya Tradisional: Studi Empiris Perlindungan Tari Tradisional Bali Di Kabupaten Bangli.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 1 (2018): 51–62.
Wedhitami, Bayangsari. “Upaya Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dengan Pembentukan Peraturan Daerah.” LAW REFORM 9, no. 2 (2014): 32–48.
Manuaba, Ida Bagus Wira Adi, and Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa. "Masyarakat Hukum Adat Dan Konsep Penguasaan Negara Atas Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12: 1834-1844.
Sandimas, Putu, And Anak Agung Sri Indrawati. "Perlindungan Hukum Atas Karya Tari Abuang Di Desa Tenganan Pegringsingan Sebagai Satu Bentuk Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Perspektif Hak Cipta." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, No. 6: 1-12.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Nomor 266 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5599)
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 4 Tahun 2021, hlm. 305-315
315
Discussion and feedback