E-ISSN: Nomor 2303-0585.

PENGARUH PENGHAPUSAN ASAS STRICT

LIABILITY DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA TERHADAP MASIF DEFORESTASI DI INDONESIA

Muamar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Anak Agung Sri Utari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pembangunan merupakan hal yang wajar terjadi bagi kelangsungan hidup manusia, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia, namun pada saat yang bersamaan pembangunan tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup, seperti tindakan deforestasi yang masif akan pengalihan guna fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kawasan industri, hal ini di perparah dengan dihapusnya asas strict liability dalam Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dirasa dapat mengancam keberlangsungan lingkungan hidup karena pelanggaran-pelanggaran terhadap lingkungan akan terus bertambah seiring dengan pembukaan usaha-usaha korporasi baru menyangkut pekebunan kawasan industri. Asas strict liability yang terkandung dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 sudah cukup menguatkan untuk menjerat para korporasi yang melakukan pelanggaran terhadap lingkungan, dengan tidak adanya asas tersebut dalam Omnibus Law. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dua undang-undang, sebelumnya dan yang telah disahkan sehingga dapat diketahui aturan-aturan yang terkandung dalam suatu undang-undang berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, terlebih dalam kaitannya mengenai masif deforestasi di Indonesia. Metodelogi yang digunakan adalah metode penulisan hukum normatif agar dapat ditemukannya aturan ataupun doktrin hukum dalam menjawab permasalahan yang sedang dihadapi. Hasil penelitian menunjukan bahwa perubahan substansi frasa pada Omnibus Law terdapat 2 hasil yang dapat disampaikan dari penulisan ini, pertama, pengubahan frasa dari UU No. 32 Tahun 2009 ke Omnibus Law mencederai niat pemerintah Indonesia dalam menjaga lingkungan karena meniadakan asas strict liability sehingga korporasi nakal tidak dapat kembali terjerat, kedua, dari penghapusan asas tersebut terdapat dampak yang tidak bisa kita hindari, yaitu akan terjadinya deforestasi secara masif di daerah-daerah berpotensi yang kemudian akan digunakan sebagai perkebunan kawasan industri.

Kata Kunci: Omnibus Law, Strict Liability, Deforestasi

ABSTRACT

The gross development of a country is a natural things for human life whitstand, particularly for developing country as Indonesia. However, at the same time these development has a negative impact on environmental protection and preservation, as an example of massive deforestation, it will change the use of land from forest to plantation areas indusrty, this impact was exacerbated by the elimination of the principle of a strict liability in the Job Creation Act or Omnibus Law which was considered to be threatening the sustainability of the environment, for the reason violations against the environment will continue to increase along with the opening of new corporate businesses regarding industrial estate plantations. The principle of strict liability as regulate in Article 88 of Law No. 32 of 2009, which sufficient to strengthen to ensnare corporations that violate the environmental protection and

preservation, in the absence of that principle in the Omnibus Law, This paper focuses on the comparison of two Act, the Previously one and those that have been ratified. Therefore, it can be seen that the rules contained in the new act have an impact on the sustainability of the environment, especially, in relation to massive deforestation in Indonesia. The methodology is used in this paper is normative legal research methods that aim to find rules or legal doctrine in responding to answer the problems at hand. The result of this research shows that it can be found 2 results that can be conveyed from this paper, firstly, the amandment of the phrase from Law No.32 of 2009 to Omnibus Law injures the intention of Indonesian Government in protecting the environment because it eliminates the principle of strict liability, therefore, the corporations can not be tangled. Secondly, the elimination of its principle there are impact that we cannot avoid, specifically the dofrestation on that massive in some parts of areas which ptotential to be used as industrial estate plantations.

Keywords: Omnibus Law, Strict Liability, Deforestation

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Kehadiran Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang menyederhanakan lebih dari 70 aturan dengan rincian 15 Bab, 174 pasal, dan 11 Klaster dengan memberikan dampak pada setidaknya 79 undang-undang yang di dalamnya terdiri dari 1.203 pasal1 menjadi satu kesatuan undang-undang di Indonesia di tenggarai untuk mempermudah arus masuk investasi dengan alasan agar terciptanya lapangan kerja baru sehingga dalam pengerjaan rancangan undang-undang tersebut sangat dipercepat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Pusat. Bermacam Undang-undang pun diubah, termasuk salah satunya adalah Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam penulisan ini, dikenal dengan sebutan Omnibus Law. Kata Omnibus Law pertama kali mencuat ketika Presiden Joko Widodo berbicara dalam pidato pelantikan kenegaraannya2 berkomitmen dalam merampingkan berbagai aturan menjadi satu sehingga mempermudah banyak kegiatan yang dapat membawa manfaat bagi negara. Black’s Law Dictionary3 mendefinisikan Omnibus Law sebagai sebuah metode yang digunakan dimana terdiri dari berbagai macam aturan yang berhubungan dengan beberapa objek yang berbeda untuk satu tujuan yang sama.

Kemudian, pada tanggal 5 Oktober 2020 Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang dimana hal tersebut menjadi perbincangan yang hangat dibeberapa kalangan, termasuk para penggiat lingkungan dengan masifnya perdebetan yang terjadi, bukan tanpa alasan, melainkan terdapat banyak aturan ataupun klausa pasal baru yang menjadi kontroversi dikalangan para penggiat lingkungan, salah satunya pembahasan mengenai strict liability akan korporasi yang melakukan tindakan pelanggaran terhadap lingkungan hidup. strict liability atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai asas pertanggungjawaban mutlak digunakan ketika suatu korporasi

melakukan pelanggaran atas alasan pembangunan terhadap lingkungan yang berdampak pada kehidupan tanpa keharusan dalam membuktikan adanya kesalahan.4

Pembangunan merupakan hal yang pasti dan wajar terjadi bagi kelangsungan hidup manusia, namun pada saat yang bersamaan pembangunan tersebut juga dapat menimbulkan suatu dampak yang mengarah ke negatif dengan erat kaitannya berdampak terhadap lingkungan hidup. Pembangunan yang dilakukan dapat memicu hilangnya kesehatan dan turunnya kualitas hidup dengan berdasar pada hal-hal yang merugikan banyak individu, seperti, pencemaran lingkungan, rusaknya ekosistem dan tempat tinggal akibat banjir serta erosi, dan permasalahan sosial yang berdampingan dengan masyarakat, di Indonesia hal tersebut biasa terjadi atas dasar kepentingan pengusaha yang mendirikan suatu korporasi di suatu wilayah tanpa mempertimbangkan aspek-aspek mengenai lingkungan.

Ditambah, Indonesia pada tahun 2015 menyumbang emisi karbon terbanyak keenam di dunia5 dimana hutan menjadi penyumbang utama dan terbesar akan emisi karbon yang di lepaskan sebagai akibat dari adanya degradasi dan deforestasi.6 Indonesia mempunyai sejarah panjang mengenai deforestasi hutan menjadi lahan pembaharuan lain, dimana pada periode 1970-an mencapai 300.000 hektar/tahun, kemudian periode 1990-an meningkat menjadi 1.000.000 hektar/tahun,7 dan pada periode 2001-2010 bertambah menjadi 1.500.000 hektar/tahun dengan arti cepat hilangnya eksistensi hutan di Indonesia sepadan dengan tiga kali luas lapangan sepak bola permenit.8 Dari sejarah tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa deforestasi di Indonesia terjadi dengan skala besar sehingga eksistensinya tidak dapat dibendung, penyebab terbesar adanya degradasi dan deforestasi hutan yang terjadi di Indonesia adalah pembangunan aktifitas perkebunan dengan yang paling banyak berada pada sektor usaha perkebunan kelapa sawit,9 perluasan areal ditenggarai karena Indonesia mendapat predikat sebagai salah satu eksportir terbesar kelapa sawit di dunia sehingga akan hal tersebutlah yang mendasari makin masifnya deforestasi yang terjadi.

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis mengacu pada aturan pada Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai asas strict liability yang dimana tidak ditemukan lagi atau telah dihapus keberadaannya melalui omnibus law sehingga praktik-praktik

pelanggaran lingkungan oleh korporasi dimasa yang akan datang diperkirakan akan terus semakin bertambah, salah satunya, deforestasi secara masif atau dalam skala besar akan mengganti fungsi guna lahan dari hutan untuk kestabilan ekosistem menjadi perusahan-perusahaan raksasa yang tidak memperdulikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) karena tidak adanya asas penjerat seperti strict liability yang terkandung dalam omnibus law.

Serta, penggunaan prinsip internasional mengenai pembangunan sumberdaya hutan secara keseluruhan bagi semua elemen ekosistem yang berkelanjutan dimana tercantum dalam United Nations Conventions on Biological Diversity yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994. Oleh karena itu, Indonesia harus tunduk terhadap segala aturan yang telah di tetapkan oleh kovensi tersebut dimana penjagaan dan pemeliharaan lingkungan hidup sangat di junjung tinggi, dalam konteks hutan sebagai penyeimbang ekosistem lingkungan hidup. UU tersebut juga berhubungan dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Walaupun Indonesia mempunya kewenangan atas hak daulatnya terhadap negara, namun dalam pelaksanaannya Indonesia harus tetap taat dan menghormati segala aturan yang berlaku dalam hukum internasional.10

Sebelumnya telah dilakukan penulisan karya ilmiah serupa dengan judul “Omnibus Law dan Izin Lingkungan dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan” yang diterbitkan oleh Jurnal Rechtsvinding ditulis oleh AL Sentot Sudarwanto dengan pembahasan hubungan izin lingkungan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan beserta konsep dari pembangunan berkelanjutan, namun, dalam penulisan karya ilmiah ini penulis membahas dari sudut pandang berbeda dengan tetap mengacu pada undang-undang yang sama, yaitu UU Cipta Kerja, dengan membahas mengenai asas strict liability dan hubungan dengan masif deforestasi di Indonesia sehingga permasalahan tersebut menarik untuk dibedah lebih dalam karena keaktualan pembahasan.

Maka dari itu, pemberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau biasa dikenal dengan sebutan Omnibus Law terhadap eksistensi penjagaan dan pemeliharaan lingkungan hidup sangat dipertanyakan karena asas strict liability yang terkandung di UU No. 32 Tahun 2019 telah dihapus sehingga kedepannya tindakan sewenang-wenang sebuah korporasi dalam melakukan tindak pelanggaran terhadap lingkungan hidup akan sering terjadi, salah satunya penggantian lahan dengan cara masif deforestasi demi kepentingan dan manfaat beberapa pihak yang dirasa di untungkan.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan pada latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah perbandingan pengaturan strict liability pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dengan Omnibus Law?

  • 2.    Bagaimanakah asas strict liability dapat berpengaruh terhadap masif deforestasi di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Dalam sebuah penulisan artikel ilmiah yang berbasis pada penelitian, harus memuat tujuan dari diadakannya penelitian berdasarkan judul yang telah di tetapkan, mengenai tujuan-tujuan yang akan di capai dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah:

  • 1.    Untuk membandingkan pengaturan strict liability yang tersemat dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 dan aturan dalam Omnibus Law yang telah dihapus.

  • 2.    Untuk memahami dan mengetahui bagaimana kegiatan masif deforestasi di Indonesia dapat berpengaruh terhadap asas strict liability.

  • II.    Metode Penulisan

Penulisan ini merupakan suatu bentuk dari karya penulisan yang bersifat ilmiah dan sudah seharusnya agar dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan hasil eksplorasi ilmiah. Oleh sebab itu, penulisan karya tulis ini sekiranya perlu dilangsungkan suatu penelitian dalam menemukan kegunaannya terhadap ilmu hukum dengan diperlukannya metodologi yang bertujuan untuk diadakannya pendekatan atau penelusuran ilmiah yang tepat. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

  • 2.1.    Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum dengan menelaah segala undang-undang dan aturan yang terkait dengan permasalahan hukum yang sedang di tangani.11 Penulisan ini menggunakan konsep hukum atau asas hukum sebagai objek penelitian12 dengan tujuan untuk menemukan aturan atau doktrin-doktrin hukum dalam menjawab permasalahan hukum yang sedang dihadapi sehingga terciptalah argumentasi, konsep baru, dan teori sebagai hasil dari pemecahan masalah.

  • 2.2.    Jenis Pendekatan Penelitian

Jenis Pendekatan Penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan analisis (analytical approach). Dengan mengaplikasikan pendekatan peraturan perundangan-undangan sekaligus pendekatan perbandingan, penulis akan membandingan antara dua undang-undang yang baru saja berlaku dan undang-undang yang telah digantikan sehingga kemudian dapat diperoleh fakta-fakta yang dapat memperkuat argumentasi dalam penulisan karya ilmiah ini. Selanjutnya, penggunaan pendekatan analisis yang berguna untuk menganalisa sebuah asas dalam ilmu hukum dengan keterkaitannya dengan isu yang sedang dihadapi sehingga dapat diketahui

hubungan antara asas dan isu saling terkait satu sama lain dan menyebabkan akibat dalam penjabaran fakta-fakta yang ada.

Maka dari itu, dapat dipahami bahwa suatu asas pada peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan dapat berpengaruh kepada suatu permasalahan hukum sehingga dapat menciptakan suatu kejelasan dari permasalahn hukum yang sedang di hadapi.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Perbandingan Pengaturan Asas Strict Liability dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dengan Omnibus Law

Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja atau yang biasa dikenal sebagai Omnibus Law telah banyak meresahkan sebagian masyarakat Indonesia, karena ditenggarai terdapat banyak pasal yang dihapus dan diganti substansinya menjadi kearah yang lebih banyak menguntungkan beberapa pihak saja, salah satunya adalah dampak terhadap lingkungan hidup, yang menjadi perbincangan para penggiat lingkungan akan menambah daftar panjang pelanggaran dan pencemaran yang dilakukan oleh sebagian pihak, yaitu korporasi dalam melakukan tindakan usahanya. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa tidak selamanya yang menguntungkan secara ekonomi, juga menguntungkan dalam sektor lain. undang-undang terdahulu yang sangat di sorot pengubahannya oleh omnibus law adalah undang-undang No. 32 Tahun 2009, dimana pada Pasal 88 yang berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Kemudian, Omnibus Law mengubahnya dengan menggantikan beberapa kata diakhir pasal, menjadi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”

Terdapat perubahan yang banyak mengejutkan banyak pihak, yaitu pengurangan frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dan diganti dengan “dari usaha dan/atau kegiatannya”. Perubahan frasa di pasal tersebut menimbulkan pro dan kontra dimana menggiring perbuatan suatu korporasi menjadi lebih mudah dan tidak terikat akan niatnya dalam melindungi lingkungan hidup, walaupun sebagian pihak beranggapan bahwa penghapusan frasa tersebut memudahkan investasi ataupun memajukan ekonomi wilayah tempat suatu korporasi tersebut didirikan, namun, atas hal tersebut, Pemerintah Indonesia dirasa telah mencederai niatnya dalam melindungi dan memelihara lingkungan, karena frasa dalam UU No. 32 tersebut merupakan penerapan dari asas strict liability atau pertanggungjawaban mutlak dalam hal yang terkait dengan lingkungan hidup. Sebelum berlanjut, alangkah baiknya, mengenal terlebih dahulu secara mendalam mengenai apa yang disebut sebagai asas strict liability.

Asas strict liability atau tanggung jawab mutlak merupakan prinsip pertanggungjawaban dimana suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap suatu permasalahan lingkungan tanpa perlu

membuktikan kesalahan koporasi tersebut.13 Asas ini telah ada dan berkembang sejak dahulu, ialah berasal dari sebuah kasus di negara Inggris, dengan nama kasus Rylands v. Fletcher pada tahun 1868.14 Kemudian, asas strict liability diadopsi pada berbagai peraturan perundang-undangan nasional banyak negara dan berbagai konvensi internasional. Di Indonesia sendiri asas ini mempunyai perjalan yang cukup panjang dengan dimulainya peratifikasian atas Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC) tahun 1969 oleh Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978, namun peratifikasian tersebut dicabut pada tahun 1998. Namun sebelumnya, pada tahun 1982 dimasukan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian berakhir di Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Asas strict liability berdiri atas dasar pertanggung jawaban terhadap perbuatan perusakan dan pencemaran lingkungan.

Asas ini di Indonesia bermula didasarkan pada pemikiran mengenai pencemaran yang melanda korban sebagai penggugat dalam membuktikan segala jenis ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHAP)15 terutama dalam unsur kesalahan dan hubungannya dengan unsur kausal yang mengandung asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan mengacu pada masa beban pembuktian yang menurut Pasal 1865 KUHAP atau Pasal 163 HIR/Pasal 283 R.Bg merupakan kewajiban dan tanggung jawab penggugat.16 Ketentuan asas strict liability merupakan lex specialis dalam hal gugatan mengenai perbuatan melanggar hukum yang diatur pada pasal KUHAP yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, asas ini keberadannya di Indonesia belum sampai ke tahap pada pertanggungjawaban pidana, hanya sebatas kewajiban suatu korporasi untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi secara perdata. Terdapat beberapa kasus di Indonesia yang telah di putus mengenai asas strict liability, yaitu Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg dan Putusan PN Jakarta Selatan No.456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel, dimana dalam kedua putusan tersebut dimenangkan penggugat sebagai akibat dari perusakan dan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh tergugat. Sementara itu, pada tahun 2017, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melakukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 32 Tahun 2009 termasuk di dalamnya pembahasan mengenai aturan Pasal 88.17 Namun, kemudian permohonan tersebut dicabut.

Alasan penggunaan aspek kesalahan yang tidak perlu dibuktikan, pertama, jaminan dalam mematuhi aturan-aturan penting yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan masyarakat, kedua, bukti kesalahan yang harus di dapatkan sangat sulit untuk didapatkan dalam kaitannya pelanggaran terhadap peraturan yang menyangkut akan kesejahteraan dan kelangsungan hidup dari masyarakat, ketiga, tingkat kebahayaan pada lingkungan sosial yang mencuat dari perbuatan-perbuatan tersebut cukup tinggi.18

Maka dari itu, penghapusan konsep asas strict liability dalam omnibus law tidak dapat dibenarkan dan dianggap melemahkan penegakan hukum terhadap suatu korporasi yang membahayakan lingkungan sehingga atas dasar penghapusan frasa tersebut dapat mencederai komitmen pemerintah Indonesia dalam menjaga dan memelihara kestabilan lingkungan hidup dengan membahayakan dan sekaligus merugikan masyarakat, terlebih Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 dianggap sebagai pasal sakti karena dapat menahan dorongan kemungkin suatu korporasi dalam tindakannya mencemari dan merusak lingkungan, serta ampuh dalam menjerat korporasi-korporasi nakal untuk bertanggung jawab atas segala tindakannya dalam menjalankan aktifitas usahanya, terutama besar kaitannya dengan sebab alih fungsi guna lahan yang dapat mengakibatkan deforestasi secara masif di Indonesia.

  • 3.2.    Pengaruh Asas Strict Liability Terhadap Masif Deforestasi di Indonesia

Beberapa dekade kebelakang Indonesia sebagai negara berkembang terus berbenah diri dalam melakukan pembangunan bagi keberlangsungan hidup masyarakatnya, namun pembangunan yang dilakukan acap kali sering tidak memperhatikan kestabilan dan keutuhan lingkungan. Berbagai masalah pun timbul dari adanya alih guna lahan sebagai imbas dari pembangunan secara masif terutama di daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam melimpah. Hutan sebagai penyangga kehidupan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dan menjadi sumber keberlangsungan hidup setiap makhluk yang ada diatasnya, termasuk manusia sehingga dengan hilangnya hutan secara masif tiap tahunnya menyebabkan rantai sistem kehidupan tersebut tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Indonesia menempati urutan ketiga dalam kekayaan hutan hujan tropis setelah Brazil dan Zaire dengan memiliki sebanyak 10% sisa sumber daya dari hutan hujan tropis di dunia.19 Dapat diartikan bahwa Indonesia mempunyai peranan penting bagi kestabilan lingkungan dan iklim, tidak hanya di Indonesia saja, melainkan berpengaruh besar terhadap kehidupan keberlanjutan masyarakat dunia sehingga dengan adanya pengalih fungsian hutan menjadi perkebunan kawasan industri dapat menyebabkan Indonesia berada pada ujung tombak kerusakan lingkungan. Hal tersebut dilakukan dengan cara deforestasi secara berkala setiap tahunnya dengan kurang memperhatikan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan dengan seksama sehingga isu deforestasi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade kebelakang hingga saat ini menjadi pembahasan yang cukup menarik untuk di telisik lebih mendalam.

Deforestasi menurut Food and Agriculture Organization of the United Nations, merupakan konversi kawasan hutan menjadi penggunaan lahan non-hutan dan degradasi yang menurunkan kualitas hutan seperti lahan perkebunan, penggunaan area perkotaan, dan kawasan industri.20 Sementara, definisi menurut Peraturan Mentri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan adalah “perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.” Dengan kedua definisi tersebut, deforestasi berisi makna yang kaitannya sangat erat dengan segala situasi kehilangan hutan serta hal-hal yang menunjangnya dengan diakibatkan oleh aktifitas manusia, baik di luar maupun di dalam kawasan hutan.

Sumbangsih Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang peratifikasian United Nations Conventions on Biological Diversity berperan penting bagi Indonesia sebagai proses berlanjutnya evaluasi dan pemeliharaan keseimbangan ekosistem dan kehidupan biosfer sehingga kenakearagaman hayati perlu dijamin keberadaan serta keberlanjutannya untuk kehidupan, oleh sebab itu kegiatan tententu yang dilakukan oleh manusia dapat memicu keterganggunya keserasian sistem kehidupan dimana pada kedepannya akan membahayakan keberlangsungan kehidupan hidup manusia juga, salah satu kegiatan tersebut adalah kegiatan deforestasi yang dilakukan sebagai imbas perkembangan pembangunan.

Deforestasi yang masif terjadi di Indonesia paling banyak dilakukan oleh suatu korporasi yang mengganti alih guna lahan dari hutan menjadi perkebunan kawasan industri, salah satunya adalah kelapa sawit yang dapat menyebabkan gas emisi rumah kaca, pencemaran tanah kian buruk, mengancam kenaeka-ragaman hayati, serta membahayakan kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar dan di dalam hutan.21 Dengan penerapan asas strict liability tindakan deforestasi yang masif dapat ditekan karena suatu korporasi akan membendung niatnya dan jauh lebih berhati-hati terhadap apapun yang akan dilakukannya terlebih dalam permasalahan lingkungan.

Tidak perlu adanya pembuktian unsur kesalahan pada asas strict liability mendasari alasan bahwa tindakan yang dilakukan kebanyakan menyangkut hak atas perlindungan kepentingan umum masyarakat, oleh karena itu, fakta yang dapat bersifat menyengsarakan masyarakat yang terdampak sesuai dengan adagium res ipsa loquitor yaitu fakta yang telah berbicara sendiri sehingga atas unsur kesalahan dalam hal ini tidak mesti adanya pembuktian.22 Dengan adanya deforestasi yang menyebabkan timbulnya permasalahan lingkungan dengan akibat masyarakat dan keaneka-ragaman hayati yang terancam dirugikan sudah menunjukan bahwa asas strict liability sangat berpengaruh terhadap penjeratan suatu korporasi yang tidak mengindahkan pemeliharaan dan penjagaan lingkungan. Maka dari itu, penghapusan frasa strict liability dalam Omnibus Law akan memperburuk situasi keadaan lingkungan di Indonesia kedepannya. Pengalih fungsian lahan dengan cara deforestasi di perkirakan akan terus bertambah setiap tahun seiring dengan makin

banyaknya korporasi-korporasi baru yang membuka usahanya di beberapa daerah strategis. Perkiraan ini, diperkuat dengan dasar omnibus law yang dirasa tidak akan “membuat repot” karena tidak adanya asas yang begitu kuat dalam menjerat para korporasi tersebut. Walaupun, tetap diatur mengenai pemberian sanski bagi para pencemar lingkungan menurut ominibus law, tetapi hal tersebut memberatkan para korban yang terdampak untuk mengajukan gugatannya karena frasa baru yang berbunyi “dari usaha dan/atau kegiatannya” akan banyak menimbulkan tafsir yang berbeda-beda bagi tiap indiviu, kalangan dan golongan, terlebih yang memang mempunyai kepentingan-kepentingan khusus dalam isu tersebut.

  • IV.    Kesimpulan

Undang-Undang Cipta Kerja atau yang biasa dikenal sebagai Omnibus Law telah resmi berlaku di Indonesia ditandai dengan disahkannya undang-undang tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan di tanda tangani oleh Presiden Joko Widodo, sehingga apapun yang ada dalam undang-undang tersebut bersifat mengikat dan tanpa bisa diganggu gugat, namun dibalik pengesahan undang-undang besar tersebut, masih banyak menyimpan permasalahan yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan, salah satunya adalah penghapusan frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” pada Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 diganti dengan “dari usaha dan/atau kegiatannya”. Perubahan frasa di pasal tersebut telah mencederai niat Pemerintah Indonesia dalam melindungi dan memelihara lingkungan, karena frasa dalam UU No. 32 tersebut merupakan penerapan dari asas strict liability dalam hal yang terkait dengan lingkungan hidup, serta dapat mempermudah kesewenang-wenangan suatu korporasi dalam merusak lingkungan lebih jauh. Kemudian, perubahan frasa tersebut dapat berpengaruh juga terhadap masif deforestasi di Indonesia karena dengan tidak adanya dasar hukum penjerat, dalam hal ini asas strict liability, suatu korporasi akan melakukan alih guna fungsi lahan hutan secara masif yang kemudian digantikan dengan perkebunan kawasan industri yang mengorbankan masyarakat terdampak dan keaneka-ragaman hayati demi kepentingan beberapa golongan. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa, Penghapusan asas strict liability dalam omnibus law telah berpengaruh terhadap masif deforestasi di Indonesia erat kaitannya dengan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Dengan terdapatnya penghapusan frasa dari asas strict liability dalam Omnibus Law yang dapat berpengaruh terhadap masifnya deforestasi di Indonesia, penulis menjabarkan saran agar warga negara, komunitas, atau organisasi pecinta lingkungan sebaiknya melaksanakan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi mengenai aturan strict liability yang telah di hapus dalam UU Cipta Kerja untuk mengetahui apakah frasa tersebut lebih baik untuk dihilangkan sesuai dengan Omibus Law yang telah di sahkan agar korporasi-korporasi yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan tetap bisa dijerat dengan prinsip yang kuat, terlebih pada deforestasi yang kemungkin akan terjadi semakin masif di kemudian hari, hal tersebut dilakukan, agar kegiatan dari suatu korporasi yang akan membuka lahan hutan sebagai kawasan industri tetap memperhatikan perlindugannya terhadap lingkungan dengan tidak melakukan deforestasi secara masif atau besar-besaran. Entah 10 hingga 50 tahun kedepan kita semua tidak tahu apapun yang akan terjadi dengan bumi kita ini, masih bisa ditinggali seperti saat ini dengan layak atau kah tidak, dengan melakukan pencegahan-pencegahan oleh suatu pemerintahan di suatu negara diharapkan di kemudian hari bumi kita semua tetap layak di tinggali oleh manusia karena keseimbangan lingkungan dan kehidupan yang telah terjaga dengan stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Garner, Bryan A, “Black’s Law Dictionary”, 9th Edition, (United States of America, West Publishing, 2009)

Harris, Paul G, “Routledge Handbook of Global Environmental Politics” (Routledge, 2015)

Hatrik, Hamzah, (1996), “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability” (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996)

Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum” (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008)

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat” (Jakarta, Rajawali Press, 1990)

Jurnal

Ade Risha Riswanti, “Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Dalam Penegakan Hukum Perdata Lingkungan di Indonesia”, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol.01, No.03 (2013)

Anindita, Sri Laksmi, “Perkembangan Ganti Rugi Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum Acara Perdata Vol. 3 No. 2 (2017)

Barri, Mufti Fathul dan Setiawan, Agung Ady, “Deforestasi Tanpa Henti: Potret Deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara”, Forest Watch Indonesia, (2018)

Fadhli, Riza, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Kebakaran Hutan dan Lahan”, Jurnal Renaissance Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Vol. 3 No. 2 (2018)

Imamulhadi, “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan”, Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25 No. 3 (2013)

Kurniawan Ridho dan Intan, Siti Nurul, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability”, Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2 (2014)

Nitha, Christina, “Tanggung Jawab Negara Indonesia Terhadap Deforestasi Hutan Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati”, Journal Universitas Brawijaya (2014)

Sundarlin, William D. dan Resosudarmo, Ida Ayu Pradnja, “Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Keracunan dan Penyelesaiannya”, Occasional Paper No.9(1), Center for International Forestry Research, (1997)

Tejaswi, Giri, “Manual on Deforestation, Degradation, and Fragmentation Using Remote Sensing and GIS”, MAR-SFM Working Paper 5 (2007)

Virgy, Muhammad Arief dan Yusa Djyuyandi, “Strategi Jaringan Advokasi Transnasional Greenpeace Indonesia Terkait Isu Deforestasi Hutan Indonesia oleh Wilmar Internasional”, Journal of Politic Issues, Vol.1, Issue.2 (2020)

Internet

Ahmad Faiz Ibnu Sani, “Isi Lengkap Pidato Presiden Jokowi Dodo Setelah Dilantik”, nasional.tempo, URL: https://nasional.tempo.co/read/1262065/isi-lengkap-pidato-pertama-presiden-jokowi-setelah-dilantik/full&view=ok, (2019)

Dunne, Daisy, “Profil Carbon Brief: Indonesia”, Carbonbrief, URL: https://www.carbonbrief.org/profil-carbon-brief-indonesia, (2019)

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, ”Asosiasi Pengusaha Hutan dan Kelapa Sawit Uji UU Kehutanan”,        (2017), URL:

https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=13791&menu=2

Septyan, Ananda Rizky, Deforestasi: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan Pencegahan, Forest Act (2019), URL: https://foresteract.com/deforestasi/

Yasin, Muhammad, Mengenal Metode “Omnibus Law”, Hukumonline, URL: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f7ad4c048f87/mengenal-metode-omnibus-law , (2020)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang peratifikasian United Nations Conventions on Biological Diversity

Lain-lain

Harjasoemantri, Koesnadi, “Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak)”, Paper Presented Lokakarya Legal Standing and Class Action, Hotel Kartika Chandra (1998)

Watkins, Kevin, “Human Development Report 2007/2008: fighting climate change human solidarity in a divided world” (United Nations Development Program (UNDP), (2007)

Jurnal Kertha Negara Vol 8 No 12 Tahun 2020, hlm. 1-12

12