Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 di Kota Denpasar
on
PELAKSANAAN PEMANFAATAN RUANG
TERBUKA HIJAU BERDASARKAN PERATURAN
DAERAH NOMOR 27 TAHUN 2011 DI KOTA
DENPASAR
Nyoman Gede Edi Nugraha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Ketut Sudiarta, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e mail: [email protected]
ABSTRAK
Karya tulis ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai pesatnya perkembangan pembangunan di kota Denpasar, yang dapat berdampak pada kelestarian lingkungan, sehingga selain kebijakan pemerintah daerah untuk senantiasa melakukan pembangunan infrastruktur di segala aspek, diperlukan adanya suatu hal yang dapat menyeimbangkan antara pembangunan infrastruktur dengan lingkungan, salah satunya dengan adanya Ruang Terbuka Hijau. Tujuan karya ilmiah ini untuk mengetahui pelaksanaan pemanfaatan RTH di Kota Denpasar yang didasarkan pada PERDA Kota Denpasar No. 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar tahun 2011-2031. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penulisan yang bersifat yuridis-empiris yaitu penelitian yang berfokus meneliti suatu fenomena atau keadaan dari objek penelitian secara detail dengan menghimpun penyataan yang terjadi serta memadukan konsep library research dan field research. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan RTH di Kota Denpasar berfungsi sebagai paru-paru kota, permukiman tradisional dan permukiman baru, membentuk kenyamanan suhu dan kelembaban kota. Dibutuhkan kerjasama pemerintah dan masyarakat untuk menjalankan Perda No. 27 Tahun 2011 di Kota Denpasar dan melestarikan keberadaan serta keaslian fungsi dari pada RTH itu sendiri untuk menciptakan suatu keseimbangan yang optimal dalam pembangunan berkelanjutan suatu kota.
Kata kunci: Ruang Terbuka Hijau, Kota Denpasar, Lingkungan
ABSTRACT
This article is motivated by a problem regarding the rapid development of development in urban areas, in this case Denpasar City, which can have an impact on environmental sustainability, so in addition to the local government’s policy to always carry out infrastructure development in all aspects, it is necessary to have something that can balance between infrastructure development, one of which is the existence of Green Open Space. The purpose of this research to determine the implementation of the use of green open space in Denpasar City which is based on the Regional Regulation of the City of Denpasar No. 27 of 2011 concerning the Denpasar City Spatial Planning 2011-2031. The writing method used in this research is juridical-empirical writing, which is research that focuses on examining a phenomenon or condition of the object of research in detail by collecting statements that occur and combining the concept of library research and field research. RTH in Denpasar City functions as the lungs of the city,
traditional settlements and new settlements, forming a comfortable temperature and humidity in the city. It takes government and community cooperation to implement Perda No. 27 of 2011 in Denpasar City and preserving the existence and authenticity of the function of the green open space itself to create an optimal balance in the sustainable development of a city.
Keywords: Responsibility, Regional Government, Community.
Keberadaan dari suatu kota itu dijadikan sebagai sentral pertumbuhan baik dari aspek kegiatan ekonomi, sosial-budaya, politik, hukum, dan sebagainya sehingga kedudukan kota itu sangat penting dalam sistem nasional. Perbedaan antara kota dengan tingkat di bawahnya dapat terlihat dari penataan dan pemanfaatan ruangnya, sehingga untuk menunjang pertumbuhan di kota, maka diperlukan adanya penanganan / perhatian khusus, seperti pengadaan fasum (fasilitas umum), ruang terbuka publik, dan sebagainya, sehingga pembangunan perkotaan akan terus-menerus dilakukan. Dengan adanya pembangunan tersebut, nantinya pasti akan berdampak pada berbagai aspek, salah satunya dapat merugikan lingkungan.1
Dalam pembangunan kota dikenal adanya suatu ruang terbuka, yang mana ruang terbuka ini adalah ruang yang dipergunakan sebagai salah satu sarana untuk melaksanakan berbagai aktivitas/kegiatan/pertemuan yang dilakukan masyarakat umum dalam konteks di atas suatu lahan terbuka.2 Secara fisik Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan.3 Ruang terbuka ini memiliki persamaan makna/arti/pengertian dengan Ruang Terbuka Hijau (selanjutnya disingkat dengan RTH) dan ruang publik. Salah satu hal penting yang
perlu dikembangkan di suatu kota yaitu RTH, sehingga pengaturan atau kebijakan mengenai keberadaan RTH dianggap penting untuk kepentingan umum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan RTH di perkotaan wajib direalisasikan oleh pemerintah setempat. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi di beberapa kota besar di Indonesia yang mengesampingkan keberadaan RTH ini yang mana diubah menjadi suatu hal yang lebih mempunyai nilai ekonomis dan memberikan keuntungan secara finansial, yakni diubah menjadi pemukiman penduduk baru maupun konversi lahan.4 Oleh karena itu, dengan minimnya atau ketiadaan RTH di perkotaan menunjukkan bahwa pemangku kebijakan (dalam hal ini adalah pemerintah setempat) melakukan inkonsisten untuk dalam penerapan tata ruang kota.
Apabila RTH terpenuhi, maka akan berdampak langsung pada keberadaan suatu ruang publik yang cukup pula. Adapun pengertian RTH yaitu area memanjang atau jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah ataupun sengaja ditanam, sebagaimana ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut UU Penataan Ruang).5 Dengan adanya RTH akan membuat daerah perkotaan menjadi lebih nyaman dan sehat karena pembangunan kota yang tidak mengesampingkan aspek lingkungan.
Di kota Denpasar juga terdapat pengaturan mengenai RTH, sebagaimana termuat dalam Perda Kota Denpasar No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031, yang mana diperlukannya suatu penataan ruang di Kota Denpasar bertujuan untuk menjadikan ruang Kota Denpasar menjadi lebih produktif, aman, nyaman, dan berkelanjutan sebagai pusat kegiatan nasional dalam system perkotaan berbasis pariwisata dan ekonomi kreatif yang berjati diri
budaya Bali.6 Melihat pada daerah Kota Denpasar masih banyak berdiri bangunan pada kawasan Ruang Terbuka Hijau. Salah satunya bangunan yang berdiri diatas tanah Ruang Terbuka Hijau terdapat di sepanjang jalan Hangtuah Denpasar. Hal tersebut mengakibatkan Kota Denpasar kekurangan kawasan RTH.
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih orisinil karena belum terdapat penelitian yang secara khusus membahas mengenai Tata Kelola Pemerintah Kota Denpasar terkait pengelolaan ruang terbuka hijau yang diatur di dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011tentang Ruang Terbuka Hijau. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 penelitian terdahulu sebagai pembanding untuk menunjukan bahwa penelitian ini orisinal, yaitu penelitian dari Nopita Suparjo dari Universitas Hasanuddin Makasar tahun 2016 dengan judul “Aspek Hukum Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar”. Penelitian kedua yaitu penelitian dari Aditya Bima Laksana Putra dari Universitas Negeri Semarang tahun 2013 dengan judul : “ Implementasi Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Terhadap Kriteria Vegetasi Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Pemukiman, Dan Fasilitas Umum di Wilayah Kecamatan Perdurungan Kota Semarang”.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan diatas, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut:
-
1. Mengapa diperlukan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Denpasar?
-
2. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi pelaksanaan RTH di Kota Denpasar?
Secara umum, karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pemanfaatan RTH di Kota Denpasar yang didasarkan pada Perda Kota Denpasar No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031.
Pengertian dari metode penelitian (metopen) yaitu cara atau upaya untuk berpikir dan berbuat, yang direncanakan sedemikian rupa secara baik dan sistematis dalam melakukan suatu penelitian untuk mencapai tujuan tertentu.7 Metode penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian yuridis-empiris yakni penelitian yang mendasarkan pada situasi/keadaan dari objek penelitian secara teliti/detail. Oleh karena itu,dapat dikatakan bahwa penelitian hukum ini memadukan antara konsep library research (dilihat dari penggunaan dokumen-dokumen sebagai bahan penelitian) dengan field research (dilihat dari kecenderungan penggunaan data-data primer).8 Penelitian ini merupakan penelitian Empiris yang menggunakan 2 sumber bahan hukum, sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
-
1. Bahan Hukum Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber data di lapangan atau dari lokasi penelitian, dalam hal ini Dinas Tata Ruang Kota Denpasar, serta Satuan petugas yang terkait.
-
2. Bahan Hukum Sekunder mencakup dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang dapat berwujud laporan dan lain-lainnya. Bahan hukumnya dibedakan menjadi bahan hukum primer yang terdiri dari Undang- undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor: 27 Tahun 2011 Tentang Ruang Terbuka Hijau. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat menjelaskan mengenai bahan hukum primer yaitu: hasil penelitian atau pendapat sarjana hukum tata ruang, hukum lingkungan, karya tulis, literatur, dan artikel yang terkait dengan permasalahan yang ada.
Dalam penelitian ini tehnik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dimana diterapkan pada penelitian yang sifatnya deskriptif. Dalam hal ini data yang dikumpulkan adalah data naturalistic yang terdiri atas kata- kata ( narasi ), data sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi.
-
III. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Denpasar
Pengertian dari pelaksanaan yaitu kegiatan terencana dan sistematis untuk mencapai tujuan yang diinginkan.9 Pelaksanaan ini merupakan segala upaya untuk merealisasikan rencana-rencana yang telah disusun sebelumnya, dikaitkan dengan sarana yang diperlukan dalam pemenuhan tujuan yang ingin dicapai, mengenai bagaimana cara mencapainya, serta upaya pengambilan keputusan yang strategis. Dengan kata lain, pelaksanaan adalah pengejawantahan dan penerapan,10 dan pengejawantahan (implementasi) termasuk ke dalam makna luas dari kegiatan yang
saling menyesuaikan antara tujuan dengan upaya guna tercapainya tujuan dalam hal birokrasi yang efektif dan efisien.
Dalam hukum positif di Indonesia, pengaturan mengenai Ruang Terbuka Hijau secara umum terdapat pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Permen PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Permendagri No. 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, dan PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.11 Sedangkan pengaturan Ruang Terbuka Hijau khusus untuk Kota Denpasar terdapat pada Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005-2025, Perda Kota Denpasar No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031, Peraturan Walikota Denpasar No. 13 Tahun 2014 tentang Peraturan Zonasi Kecamatan Denpasar Barat, dan SK Walikota Denpasar No. 188.45/303/HK/2010 tentang Pemberian Kompensasi Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Bagi Wajib Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Yang Tanahnya Ditetapkan Sebagai Ruang Terbuka HijauKota (RTHK) Dengan Koefisien Daerah Terbangun (KDB) 0% (Nol Perseratus) dan Daerah Civic Centre Serta Sebagai Tanah Produktif Yang DipergunakanUntuk Pertanian diKota Denpasar.12
Sebagaimana hasil penelitian oleh Penulis yang dilakukan pada Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar (selanjutnya disebut DTRP Denpasar), total pelanggaran pembangunan pada RTH dari tahun 2012-2015 adalah sebanyak 291 pelanggaran. Untuk mengkaji faktor penghambat yang muncul dalam implementasi kebijakan digunakan teori dari Soerjono Soekanto yaitu bahwa implementasi sebuah kebijakan dapat dipengaruhi adanya beberapa hal, yakni aspek yuridis, aparatur
penegak hukum, sarpras (sarana dan prasarana), serta kebudayaan, yang mana apabila dijabarkan yaitu:
Dilihat dari aspek yuridis dalam Perda sudah tertera secara jelas mengenai sanksi/hukuman, yakni berupa sanksi administrasi dan pemidanaan, namun belum ada implementasi secara nyata yang sudah dilakukan oleh pemerintah baik dalam hal pemberian sanksi maupun pembongkaran.13 Dilihat dari faktor penegakan hukum dapat dikatakan kinerja kerja dari penegak hukum itu sendiri masih dapat dikatakan belum maksimal karena pelanggaran pembangunan RTH masih saja terjadi dari tahun ketahunnya dan tidak kunjung berkurang. Dilihat dari faktor sarana atau fasilitas pelindung DTRP Denpasar belum memiliki PPNS serta tempat persidangan yang menyebabkan pelaksanaan pemeriksaan tidak dapat berjalan secara sempurna sebagaimana semestinya sebagaimana dalam prosedur yang telah ditentukan.
Selain hal di atas, mekanisme pemberian teguran yang dilakukan juga memakan waktu terlalu lama. Dilihat dari faktor masyarakat masih rendahnya partisipasi dan kesadaran hukumnya terkait RTH, sehingga keterlibatan masyarakat tersebut sangat diperlukan mengenai segala hal tentang tata ruang, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendaliannya.14 Dilihat dari faktor kebudayaan tertib, taat, dan teratur masyarakat masih dapat dinyatakan minim karena meskipun mengetahui adanya perda yang mengatur namun para pelanggar tersebut tidak menggubris dan mengindahkan perda RTRW Kota Denpasar dan hanya akan menerima penuntutan dari pemerintah apabila penegakan hukumnya dilakukan secara merata tanpa terkecuali. Kondisi-kondisi inilah yang memicu maraknya alih fungsi lahan kawasan hijau menjadi kawasan bangunan atau perumahan.
Perda Kota Denpasar mengenai RTH di atas bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dalam pesatnya pembangunan infrastruktur kota. Sebagaimana pada Pasal 37 ayat (1) huruf e Perda tersebut, RTH diklasifikasikan
dalam jenis kawasan lindung.15 RTH di Kota Denpasar ini direncanakan melakukan pengembangan seluas ±4.700ha, atau apabila dikonversi dalam prosentase yaitu sebesar 36% dariluas Kota Denpasar, yang mana terdiri dari RTH publik dan privat. Pengembangan RTH publik akan dilakukan seluas ±2.400 ha, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 42 ayat (4) perda tersebut. sedangkan pengembangan dari RTH privat seluas ± 2.220 ha atau 16% sebagaimana ketentuan dalam Pasal 42 ayat (5) perda tersebut.
Pola pemanfaatan ruang merupakan kegunaan dari ruang dalam suatu area yang terdiri dari kegunaan yang berfungsi lindung dan budidaya. Berikut adalah pola pemanfaatan ruang sebagai dasar Pemerintah Kota Denpasar menetapkan RTH yakni:16
-
a. Permukiman, pola permukiman di Kota Denpasar yaitu penggabungan konsep antara pemukiman tradisional dengan modern;
-
b. Fasilitas Umum, Sebaran fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan merupakan kebutuhan untuk melayani warga Kota Denpasar dan penduduk pendatang atau penduduk di luar Kota; dan
-
c. Persawahan, Kota Denpasar saat ini memiliki lahan sawah seluas ±2.814 ha atau 22% dari total luas wilayahnya.
Saat ini, Kota Denpasar dapat dikatakan sebagai Kota Urbanisasi, yang mana dalam tiap periode terdapat peningkatan jumlah penduduk kotanya. Peningkatan yang pesat tersebut dikarenakan adanya jumlah pendatang yang secara terus menerus ke Kota Denpasar yang masing-masing mempunyai kepentingan berbeda-beda, bahkan ada yang menetap tinggal maupun menetap untuk sementara waktu saja. Dengan demikian, perkembangan penduduk yang pesat tersebut sangat jelas
mempunyai pengaruh pada peningkatan kebutuhan akan hunian, tidak terkecuali yang terjadi di Kota Denpasar. Bagi pemkot Denpasar, urbanisasi yang semakin hari semakin meningkat tersebut dikategorikan ke dalam permasalahan yang serius dan perlu perhatian khusus karena berdampak pada ruang publik dalam sistem tata kota yang menjadi sempit dan terbatas. Berdasarkan hal tersebut, maka Walikota Denpasar yaitu Ida Bagus Dharmawijaya Mantra senantiasa terus melakukan inovasi-inovasi untuk mendapatkan alternatif yang nantinya dapat dijadikan sebagai ruang publik, dalam hal ini salah satunya tertuju pada Lapangan Lumintang yang berada di wilayah Kota Denpasar bagian utara.
Berdasarkan teori efektivitas hukum, terdapat 5 (lima) aspek dalam menentukan keefektifan dalam hal penegakan hukum termasuk Perda RT RW No. 27 Tahun 2011, yaitu:17
-
a. Aspek yuridis/hukum (undang-undang)
Terdapat ketidaksesuaian antara ketentuan yang ada di dalam suatu peraturan perundang-undangan itu sendiri mengenai aspek tertentu, yang mana dapat dikatakan ketidaksesuaian antara hukum yang tertulisdengan yang tidak tertulis, dalam hal ini adalah hukum kebiasaan.
-
b. Aspek Penegak Hukum
Para penegak hukum yang notabene sebagai pembentuk dan/atau pihak yang melaksanakan hukum itu sendiri terdapat kekaburan atau menjadi bias dalam praktek pelaksanaannya, sehingga berdampak pada distorsi di dalam sistem hukum tersebut.
-
c. Aspek sarana pendukung untuk menegakkan hukum
Sarana atau fasilitas pendukung ini juga berperan penting, yang mana apabila fasilitas tidakmemadai, makapenegakan hukum juga menjadi tidakberjalan dengan semestinya.
-
d. Faktor masyarakat
Aspek masyarakat di sini yaitu tempat lingkungan hukum itu berlaku, sehingga kesadaran hukum oleh masyarakat sangat diperlukan.
-
e. Faktor kebudayaan
Antara hukum dengan kebudayaan dapat dikorelasikan menjadi satu sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan semestinya.
Dengan meningkatnya pertumbuhan pembangunan di Kota Denpasar, maka menjadikan isu mengenai RTH ini akan semakin tersusun dengan sistematis dan terencana, baik mulai dari perencanaan, pemanfaatan, sampai dengan pengendalian RTH, yang dilakukan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sehingga tatakelola kota berbasis lingkungan dapat berjalan dengan seimbang dalam mengikuti pembangunan di Kota Denpasar. Disamping itu, ditujukan pula bagi upaya mengoptimalkan pemanfaatan ruang untuk meningkatkan dayaguna dan hasil guna pelayanan sarana dan prasarana perkotaan sesuai dengan jenjang fungsinya masing-masing.
Hal-hal yang menunjang dari RTH, pada akhirnya untuk menjalankan Perda tersebut, karena di dalam peraturan tersebut RTH mempunyai banyak manfaat. RTH dapat dijadikan sebagai “paru-paru” di tengah-tengah pesatnya perkembangan pembangunan kota.18 Dengan semakin banyaknya tumbuhan/tanaman, maka kualitas udara akan berdampak positif juga, dan tentu saja akan jauh lebih baik untuk mengimbangi polusi kota. Pihak pemerintah melalui instansi yang ditunjuk lebih tegas dan jelas memberikan informasi terkait dengan RTH baik mengenai dukungan peraturan pemerintah, tujuan keberadaan RTH dan fungsinya baik jangka pendek, maupun jangka panjang. Informasi sebaiknya disampaikan dengan cara tepat sesuai
dengan kondisi budaya masyarakat, jelas, tegas, dan berkelanjutan, melalui pendidikan disekolah-sekolah atau kampus, pertemuan-pertemuan adat (banjar, desa/kelurahan), seminar atau mengundang masyarakat yang lokasi tanah miliknya berada pada lokasi RTH.19
Pengelolaan RTH diKota Denpasar yang semakin dinamis, selain adanya faktor pendukung dari pengelolaan ruang terbuka hijau terdapat pula faktor penghambat atau kendala utama yang sering didapatkan dalam proses pengelolaan ruang terbuka hijau, antara lain:
-
a. Kurangnya kesadaran dari masyarakat sebagai pengguna dan penikmat fasilitas RTH yang ingin diciptakan oleh pemerintah;
-
b. Pembebasan lahan yang masih dimiliki masyarakat, yaitu merupakan lahan pribadi dari masyarakat setempat yang masih belum bisa dilepas oleh masyarakat setempat. Dalam artian, pemerintah belum memberikan dana untuk membeli tanah yang menjadi hak pribadi setiap masyarakat yang berada pada lahan ruang terbuka hijau; dan
-
c. Kurangnya atau belum maksimalnya sosialisasi yang dilakukan mengenai penataan ruang khususnya RTH kepada masyarakat.
Faktor yang tidak kalah penting adalah faktor aparatur penegak hukum itu sendiri yang lazim juga disebut law enforcer (enforcement agencies). Hal yang sangat penting juga mendapat perhatian serius dari aparatur penegak hukum adalah tidak bersikap diskriminatif dalam penegakan hukum (law enforcement). Karena hukum seringkali hanya efektif terhadap pelaku-pelaku pelanggaran hukum masyarakat kelas menengah dan bawah. Inilah yang pernah dikuatirkan Honore de Balzac sebagaimana dikutip Pillipe Sandsbahwa hukum di dunia sudah berubah menjadi seperti sarang laba-laba, “Les lois sont des toiles d’araigness a tavers lesquelles passent les
goresses mooches et ou restent les petites” (hukum, sepertisarang laba-laba, menangkap serangga-serangga kecil dan membiarkan besar - besar lolos).20
Dalam pemanfaatan kawasaan RTH di Kota Denpasar saat ini salah satunya lemahnya pengawasan yang dapat dikaitkan dengan Teori Soerjono Soekanto yaitu faktor penegakan hukum. Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Penataan Ruang Pekerjaan Umum di kota Denpasar bapak Gede Cipta Sudewa, ST., MT tanggal 19 April 2018 faktor penghambat RTH di Kota Denpasar yaitu seperti yang Beliau sampaikan, “Kendala yang sering dilihat yaitu pengeksekusian ruang terbuka hijau privat, dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat atas ruang terbuka hijau privat tersebut. Harapan kami, sebenarnya pemerintah sebagai pemberi pelayanan seharusnya melakukan perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau sebaik – baiknya. Dan masyarakat sebagai yang menerima layanan seharusnya lebih memahami akan penting ruang terbuka hijau kedepannya sebagai penangkal bencana alam pengelolaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau sebaik-baiknya”.
-
IV. PENUTUP
Ketersedian RTH di Kota Denpasar diperlukan selain berfungsi sebagai paru-paru kota, permukiman tradisional dan permukiman baru yang menyatu dengan aktivitas perkotaan. Ketersediaan RTH juga merupakan salah satu kebutuhan pokok suatu kota karena menjadi salah satu kriteria yang dipertimbangkan dalam membentuk kenyamanan suhu dan kelembaban. Dibutuhkan kerjasama pemerintah dan masyarakat untuk menjalankan Perda No. 27 Tahun 2011 di Kota Denpasar dan melestarikan keberadaan serta keaslian fungsi dari RTH untuk menciptakan suatu keseimbangan yang optimal dalam pembangunan berkelanjutan suatu kota, tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran pembangunan pada kawasan-
kawasan lindung ini. Terdapat beberapa hal yang berpengaruh pada RTH di Kota Denpasar, sebagai berikut: Faktor Pendukung, yaitu Perda No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar, yang mendukung sebagai landasan hukum penunjang UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Faktor Penghambat, yaitu: 1. Tidak tersedianya fasilitas dan sarana yang memadai seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan tempat persidangan agar berjalan sesuai dengan SOP; 2. Kurangnya kesadaran masyarakat atas ruang terbuka hijau privat; 3. Sosialisasi oleh Pemerintah Daerah mengenai penataan ruang, khususnya RTH kepada masyarakat Kota Denpasar kurang maksimal.
Untuk Pemda, dalam hal ini yaitu Dinas Perumahan dan Pemukiman serta Dinas Pekerjaan Umum dan penataan ruang yang melaksanakan program RTH agar lebih mengefektifkan setiap programnya, serta giat melancarkan sosialisasi-sosialisasi ke segala aspek masyarakat mengenai hal-hal yang berkenaan dengan RTH sehingga paradigma masyarakat terhadap RTH berdampak positif.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar
Buku Literatur
Ali, Faried, & Andi Syamsu Alam. “Studi Kebijakan Pemerintahan.” Bandung: PT Refika Aditama, 2012.
Arba. “Hukum Tata Ruang dan Tata Guna Tanah (Prinsip-Prinsip Hukum Perencanaan Penataan Ruang dan Penataan Tanah).” Jakarta: Sinar Grafika. 2017.
H, Ishaq.” Metode Penelitian Hukum.” Jakarta: Alfabeta, 2017.
Irwansyah. “Aspek Hukum Audit Lingkungan.” Jakarta: Yapma, 2013.
Joga, Nirwono dan Iman Ismaun. “RTH 30% Resolusi Kota Hijau.” Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2011.
Purnomohadi, Ning. “Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota.” Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian PU bab XXI hal 320. 2010.
Jurnal
Arianti, Iin. "Ruang Terbuka Hijau." Jurnal Iprekas Periode Januari, no. 1 (2013) : 2
Astriani, Nadia. "Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Di Kota Bandung." Veritas et Justitia 1, no. 2 (2015).
Cio, Marcel. " Pelaksanaan Pengaturan Penataan Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta." Jurnal Hima Han 1, no. 3 (2014).
Depri Liber, Sonata. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum.” Fiat Justicia Jurnal Ilmu Hukum 8, no. 1 (2014): 15 – 35.
Dewi, Ni Kadek Tisna Aristya, I. Putu Gede Seputra, and Luh Putu Suryani. " Perencanaan Tata Ruang Terbuka Hijau Sesuai Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011." Jurnal Interpretasi Hukum 1, no. 1 (2020): 154-160.
Fadhilah, Fadhilah, and Retno Susanti. "Komparasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Privat pada Perumahan Terencana dan Tidak Terencana di Kawasan Cepat Berkembang (Studi Kasus: Sekitar Kawasan Pendidikan Undip Tembalang)." Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota) 1, no. 1 (2012): 1-10.
Farisi, Salman Al, Subhan Ramdlani, and Tito Haripradianto. "Pengoptimalan Fungsi Ruang Terbuka Hijau Pada Komplek Hutan Kota Velodrom Sawojajar." Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur 5, no. 2 (2017).
Karna, Ni Putu Feggy Cintya, I. Ketut Sukadana, and I. Nyoman Sutama. "Pengaturan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011." Jurnal Interpretasi Hukum 1, no. 1 (2020): 44-48.
Paramesti, N. P. D. "Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah dalam Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Administrasi Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta." Jurnal Politikologi 3, no. 1 (2016): 1-10.
Putra, Iguh Purdani. "Pelaksanaan Pengaturan Ruang Terbuka Hijau Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Metro." Jurnal Hima Han 1, no. 3 (2014).
Riana, I. Nengah. "Kajian Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau di Kota Denpasar." SPACE 1, no. 1 (2014).
Suciyani, Wida Oktavia. "Analisis Potensi Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kampus di Politeknik Negeri Bandung" Jurnal Planologi 15, no. 1 (2018): 1733.
Wibowo, Sulistyo. "Implementasi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan pasal 29 Undang–Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang di kota Surakarta" (2009).
Wiraguna, I. Gusti Agung Adi, Ngakan Putu Sueca, and I. Made Adhika. "Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Sebagai Upaya Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) Di Kota Denpasar" Space 6, no. 1 (2019).
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 11 Tahun 2020, hlm. 1-16
16
Discussion and feedback