INDEPENDENSI PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Ratih Wedhasari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Wayan Parsa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilaksanakan adalah untuk mengkaji dan mendeskripsikan politik hukum pembentukan Pengadilan Pajak di Indonesia serta menelaah dan menganalisis sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia terhadap pengadilan pajak. Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil studi menunjukkan bahwa politik hukum pembentukan Pengadilan Pajak menjadi hal penting serta kebutuhan filosofis akan upaya ditegakkannya konsep Negara Hukum yang menginginkan adanya penegakkan hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Penegakkan hukum dalam konteks ini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang berkaitan dengan penegakkan hak dan kewajiban Negara dan rakyat guna terciptanya kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum bagi para pihak. Kemudian, ketentuan yang termaktub dalam UU Pengadilan Pajak mengenai pembinaan organisasi dan pembinaan teknis dari Mahkamah Agung juga adiministrasi dan keuangan oleh Kementerian Keuangan tidak menggambarkan independensi dan kemerdekaan lembaga peradilan sebagaimana yang diamanatkan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman. Akibatnya, dengan menempatkan Pengadilan Pajak dalam “dua atap” kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif justru dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakmandirian penyelesaian sengketa pajak oleh hakim pengadilan pajak.

Kata Kunci: Independensi, Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan Pajak

ABSTRACT

The purposed of this journal aims to study and describe the legal politics of establishing a Tax Court in Indonesia and to examine and analyze the independence in the taf of judicialy power in Indonesia system. The writing method used in this jurnal is normative juridicial research method. The results of the study showed that the legal politics of establishing a Tax Court is an urgency and philosophical need for efforts to uphold the concept of a rule of law that wants law enforcement to be carried out by a judicial institution. Enforcement of law in this context is law of taxation at the field relating to the enforcement of the right and obligations of the Stated and the people in order to create legal objectives namely legal certainty, justice and benefits for justice seekers. Then, the provisions contained in the Tax Court Law regarding technical and the Judicial Authority Law. So that the Tax Court is placed in the "two roofs" of executive power and judicial power guidance as mandated by Article 24 Paragraph (1) of the 1945 Constitution, it is feared that it can lead to the independence of Tax Court judges in resolving tax disputes.

Key Words: Independence, Judicial Power, Tax Court

  • I.     Pendahuluan

    1.1.   Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum merupakan norma yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang memiliki makna berdasarkan norma-norma hukum dengan berlandaskan unsur-unsur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai entitas Negara hukum, sangatlah dibutuhkan peran lembaga

peradilan yang dituntut untuk mewujudkan supremasi hukum dengan menempatkan hukum berdasarkan prinsip “rule of law”.1 Sependapat dengan Sjachran Basah : “Peradilan merupakan salah satu unsur penting dari Negara hukum yang menunjuk pada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum”.2 Mewujudkan penegakan hukum menjadi tugas Pengadilan pajak sebagai bagian lembaga peradilan

Pasal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (yang selanjutnya disebut dengan UU Pengadilan Pajak) mengejawantahkan bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”. Rumusan itu mencerminkan peradilan pajak yang mempunyai kewenangan untuk merampungkan sengketa. Diketahui Pengertian sengketa pajak pada ketentuan Pasal 1 Angka 5 UU Pengadilan Pajak, yaitu: “Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”. Selain untuk menyelesaikan permasalahan perpajakan, Pengadilan Pajak memiliki kewenangan lain seperti diawasinya kuasa hukum pihak yang memiliki masalah dalam hal memberikan bantuan hukum. Memeriksa dan memutus perkara perpajakan perlu di ketahui bahwa itu merupakan kompetensi pengadilan pajak pada lingkup peradilan umum.

Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut dengan UU Kekuasaan Kehakiman) selanjutnya dinyatakan “badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara”. Kemudian dalam Pasal 9a Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan UU PTUN) menerangkan bahwa: “di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang”. Sementara itu, menurut penjelasan UU PTUN disebutkan: “yang dimaksud dengan khusus adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya Pengadilan Pajak”. Selanjutnya, dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) menegaskan “putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus dilingkup peradilan tata usaha Negara”. Lahirnya ketentuan itu dikarenakan objek sengketa pajak merupakan keputusan bea cukai dan/atau aparat pajak.

Namun apabila melihat kewenangan pembinaan atas Pengadilan Pajak maka dapat ditemukan adanya suatu kejanggalan karena berada pada dua lingkup

pembinaan atau pembinaan “dua atap” sebagaimana yang termaktub di Pasal 5 UU Pengadilan Pajak yaitu:

  • (1)    Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak serta pengawasan umum terhadap hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.

  • (2)    Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Dilihat bahwa Kementrian Keuangan dibawah Departemen Keuangan (yang kini disebut dengan Kementerian Keuangan) memiliki keterlibatan dalam pembinaan Pengadilan Pajak, padahal Direktur Jenderal Pajak dapat menjadi salah satu pihak yang bersengketa.3 Oleh karena itu, kemandirian Pengadilan Perpajakan seringkali diperdebatkan akibat kedudukannya menjadi lembaga peradilan yang menjalankan fungsi dan kewenangan lembaga yudikatif namun berada di bawah kekuasaan lembaga eksekutif pula.

Mengutip pernyataan Adrian Sutedi bahwa “Substansi pengadilan sendiri adalah pada kata ’adil’. Adil dalam pengertian bahwa yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama untuk menguji dan pempertahankan diri atas subjek maupun objek yang disengketakan.”4 Ketika lembaga-lembaga Negara di luar kekuasaan yudikatif mendominasi struktur organisasi maupun teknis terhadap institusi peradilan, maka dikhawatirkan putusan yang dihasilkan dalam penyelesaian suatu sengketa di peradilan cenderung akan memperlihatkan dominasi Negara yang justru yang berlawanan dengan tujuan hukum yakni kemanfaatan, keadilan, serta kepastian hukum. Berada dibawah “dua atap” kedudukan pengadilan pajak yakni kekuasaan eksekutif serta kekuasaan yudikatif tentu dapat mengakibatkan kekuasaan kehakiman yang tidak mandiri dan independen dalam memutus perkara sehingga akan membuka lebar peluang penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh penguasa. Penelitian terdahulu dapat ditemukan pada penelitian yang berjudul “Penyatuan Pembinaan Pengadilan Pajak” oleh Budi Ispriyarso yang termuat dalam Administrative Law and Governance Journal Volume 2 Issue 4 Bulan November 2019 dan “Keberadaan dan Peran Pengadilan Pajak dalam Memberikan Keadilan Substantif Kepada Wajib Pajak” oleh Tri Hidayat Wahyudi yang termuat dalam Jurnal Selisik Volume 6 Nomor 1 Bulan Juni 2020. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut memiliki perbedaan terutama dari rumusan masalah yang diangkat, yaitu terkait politik hukum pembentukan Pengadilan Pajak dan independensi Pengadilan Pajak. Berdasarkan hal tersebut kemudian penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Independensi Pengadilan Pajak Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka terdapat beberapa permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimana politik hukum pembentukan Pengadilan Pajak di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana independensi Pengadilan Pajak dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Penulisan jurnal ini bertujuan mengkaji dan mendeskripsikan politik hukum pembentukan pengadilan pajak di Indonesia serta menelaah serta menganalisis independensi pengadilan pajak dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melaksanakan penelitian studi kepustakaan,5 serta mempergunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Penelitian ini mempergunakan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum hukum sekunder6 untuk menganalisis politik hukum pembentukan pengadilan pajak di Indonesia dan bagaimana kemandirian pengadilan pajak terhadap sistem kehakiman di Indonesia.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Politik Hukum Pembentukan Pengadilan Pajak di Indonesia

Politik hukum (legal policy) mencerminkan kemana sifat hukum akan dibangun, serta ditegakan dengan memuat proses pelaksanaan dan pembuatan hukum. Selain itu politik hukum dapat diartikan sebagai keinginan negara terhadap hukum yang artinya kemana arah tujuan hukum tersebut dan apa tujuan hukum itu diciptakan. Kemudian dalam arti kebijakan negara, politik hukum adalah usaha pemerintah dalam meningkatkan segara aspek kemakmuran kehidupan warganya.7

Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) merupakan awal mula perjalanan politik hukum pengadilan pajak yang lahir dari ketentuan “Staatsblad No. 29 Tahun 1927 (sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1959)”. Kemudian dibentuk sebuah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) di tahun 1997 yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga yang independen sebagai tempat terwujudnya peradilan dengan proses sederhana, selain itu cepat serta biaya murah.8 Dikategorikan lembaga yang bersifat semu karena BPSP berada diluar jalur sistem peradilan di Indonesia Hal tersebut membuat keberadaan BPSP dirasa tidak optimal dan efektif untuk menyelesaikan sengketa perpajakan, karena BPSP bertindak layaknya “hakim” antara wajib pajak dan pemerintah yang memutus sengketa antar keduanya. Maka sangat sulit bagi BPSP untuk mewujudkan keadilan dengan bersifat independen bagi para wajib pajak yaitu masyarakat Indonesia.9

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tahun 2002 mengesahkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 yang membentuk Pengadilan Pajak sebagai jawaban atas permasalahan yang ditimbulkan BPSP di Indonesia. Mengutip pernyataan Galang Asmara terdapat 2 (dua) hal yang melandasi pentingnya Pengadilan Pajak, adalah: “(a). Keberadaan Pengadilan Pajak bertujuan untuk menegakkan konsep negara hukum yang menghendaki adanya penegakkan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk Negara; (b). Pengadilan Pajak

berfungsi sebagai salah satu lembaga perlindungan hukum terutama berfungsi di dalam memberikan perlindungan terhadap Wajib Pajak dan penanggung pajak dari tindakan Pemerintah di dalam memungut pajak terhadap rakyat.”10

Sementara itu, dalam konsideran UU Pengadilan Pajak ditegaskan bahwa dibentuknya undang-undang tersebut berlandaskan alasan-alasan, yaitu:

  • a.    Alasan filosofis; bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat;

  • b.    bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan;

  • c.    Alasan yuridis; bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana;

  • d.    bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung;

  • e.    Alasan sosiologis; bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak;

Melalui penjelasan di atas, politik hukum pembentukan Pengadilan Pajak merupakan sebuah kebutuhan dan urgensi untuk menegakkan supremasi hukum yaitu, lembaga peradilan yang mandiri dan independen dalam menyelesaikan sengketa perpajakan. Sesuainya sistem kekuasaan kehakiman dengan pengadilan pajak diharapkan mampu mewujudkan kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum sebagai tujuan hukum di Indonesia.

  • 3.2.    Independensi Pengadilan Pajak Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Pengadilan administrasi dibidang perpajakan yang bersifat khusus ialah, sifat dari pengadilan pajak di Indonesia. Dikarenakan hukum pajak adalah bagian dari ruang lingkup hukum publik.11 Mengutip pernyataan Bachasan Mustafa yang berpendapat bahwa “suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi”.12

Pengadilan Pajak diposisikan dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan sifat permasalahan serta kepribadian dari pihak yang berperkara. Ditinjau dari sudut pandang subyek sengketa yakni para pihak yang berperkara, Pengadilan Pajak serta Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kemiripan yaitu bertemunya unsur rakyat sebagai perorangan dan pemerintah bagian pihak yang keputusan atau ketetapannya disengketakan. Keduanya dapat dilihat memiliki kesamaan yakni mempermasalahkan terkait keputusan atau ketetapan konkrit (beshikking) yang khusus diarahkan melalui lembaga pemerintah kepada pribadi secara perorangan, sehingga keputusan atau kebijakan itu dianggap tidak memberikan keuntungan kepada rakyat sebagai individu atau perorangan.13

Pasal 2 UU Pengadilan Pajak dinyatakan: “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Makna ketetapan tersebut membenarkan fungsi dan wewenang badan peradilan yaitu Pengadilan Pajak adalah untuk mencapai keadilan dan penegakan hukum yang sesuai dengan amanat dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945. Pengadilan Pajak memiliki tugas dan fungsi meliputi 3 (tiga) hal, yaitu;14

  • 1.    Menyelesaikan banding atas sengketa pajak;

  • 2.    Menyelesaikan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-udangan pajak yang berlaku;

  • 3.    Melaksanakan pengawasan terhadap kuasa hukum.

Menurut Peraturan perundang-undangan di Indonesia dinyatakan bahwa “Sengketa pajak yang dapat diputus oleh Pengadilan Pajak adalah semua jenis sengketa dimana terdapat pajak yang dipungut oleh pemerintah baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, selain itu, wajib pajak juga memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum gugatan, namun dalam hal ini penanggung pajak tidak dapat melakukan upaya hukum gugatan tersebut”.15 Kewenangan yang dimiliki pengadilan pajak juga untuk mengamati bantuan hukum yang diberikan oleh kuasa hukum dalam sengketa perpajakan, disamping kewenangannya untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa.

Konsep negara hukum yang menginginkan lembaga peradilan untuk menegakkan hukum, menjadikan keberadaan pengadilan pajak menjadi sangat penting dalam ranah kekuasaan kehakiman. Hal yang dimaksud dalam konteks ini adalah penegakkan hukum di bidang hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam hal perpajakan guna mewujudkan kemanfaatan, kepastian dan keadilan dalam proses peradilan di pengadilan pajak. 16

“Kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak

memihak serta dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan”17 hal ini dinyatakan menurut pandangan Moh Mahfud MD. Senada dengan pernyataan Suseno yang menyatakan bahwa “salah satu syarat penting bagi tegak dan kokohnya negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama karena pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa”.18 Oleh karena itu, Pengadilan Pajak sebagi badan peradilan diharuskan mandiri, independen kemudian terbebas dari pengaruh tekanan kekuasaan kehakiman lainnya.

Kebebasan dari adanya pengaruh kekuasaan lain tampaknya tidak diterapkan pada Pengadilan Pajak yang justru menunjukkan adanya dualisme pembinaan “dua atap” yang dinyatakan pada Pasal 5 UU Pengadilan Pajak, yaitu: “(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak serta pengawasan umum terhadap hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.” Masalah ini menjadikan adanya penggabungan dua kekuasaan yaitu, yudikatif dan kekuasaan eksekutif dalam institusi pengadilan pajak. Hal tersebut tentu berlawanan dengan ketentuan Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman yang mengejawantahkan untuk pembentukan “peradilan satu atap” di Indonesia. Seyogyanya tidak ada independensi dan kemerdekaan bagi Pengadilan Pajak apabila kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif sama-sama memiliki dominasi yang kuat dalam satu badan. Akan dikhawatirkan bilamana nantinya akan menyebabkan suatu tirani yang mengakar dan cenderung untuk disalah gunakan apabila kekuasaan itu berada dalam satu “tangan”.

Kemudian, berkaitan dengan pelibatan kekausaan eksekutif dalam hal ini ialah Kementerian Keuangan dalam mekanisme pengangkatan hakim Pengadilan Pajak sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pengadilan Pajak justru tidak sejalan dengan UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 8 Ayat (1) menegaskan bahwa “Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung”. Di samping itu, Pasal 8 Ayat (2) menegaskan bahwa “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung”. Namun apabila melihat ketentuan yang termaktub dalam UU Kekuasaan Kehakiman: “bahwa sejatinya pengangkatan, pemberhentian, dan mutasi hakim merupakan kewenangan kekuasaan kehakiman yang tentunya bukan merupakan kewenangan kekuasaan eksekutif”. Namun dengan adanya keikut sertaan kekuasaan eksekutif (Kementrian Keuangan) dalam pengangkatan hakim di ranah Pengadilan Pajak, menyebabkan terdapat pertentangan terhadap UU Kekuasaan Kehakiman.19 Kedua pertentangan antar peraturan perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari adanya dualisme pembinaan pada institusi Pengadilan pajak. Kementrian keuangan yang telah menyelanggarakan pembinaan organisasi keuangan dan administrasi pada institusi Pengadilan Pajak dikhawatirkan dapat mempengaruhi integritas dan independensi pemutusan perkara pengadilan oleh hakim.

Pasal 39 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan: “Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan Pasal 39 Ayat (2) menegaskan bahwa “Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan”. Rumusan ini terbilang mencerminkan bahwa Mahkamah Agung terhadap semua pengadilan dibawahnya, bertindak sebagai lembaga dengan kewenangan tertinggi dalam terselenggaranya peradilan dalam hal penyelenggaraan tugas keuangan dan administrasi. Pengadilan Pajak merupakan “pengadilan khusus di bidang pajak yang berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah Mahkamah Agung sehingga sudah semestinya pengawasan dan pembinaan atas pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Dalam hal ini, Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pengadilan pajak tidak sehaluan dengan apa maksud yang ada di Pasal 39 Ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.

Berbeda dengan tatanan di Peradilan Tata Usaha Negara yang menerapkan mekanisme “satu atap” dimana dalam perekrutan hakim dan panitera tidak melibatkan menteri karena perekrutan secara menyeluruh dilaksanakan oleh MA. Mengingat kekuasaan serta kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif setelah ditetapkannya sistem “satu atap” di Indonesia adalah menjadi suatu pusat pengemban kekuasaan kehakiman yang mengelola, membina dan mengawasi keempat lembaga di bawahnya.20

Prinsip independensi yang tidak selaras dengan penyelenggaraan Pengadilan Pajak dengan pembinaan oleh Kementrian Keuangan dan Mahkamah Agung, menghendaki adanya pemisahan kekuasaan secara institusional maupun secara fungsional. Mengutip pernyataan Rusli Muhamad bahwa “Independensi lembaga peradilan harus menyeluruh dan tidak terbatas pada salah satu bagian dari lembaga peradilan, tetapi harus tersebar kepada seluruh bagian komponen-komponen yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Independensi tidak sekedar pada tingkatan teknisnya saja atau proses peradilannya melainkan juga menyeluruh pada dataran organisasi, administrasi, keuangan dan personilnya”.21 Sehubungan dengan itu, mengutip pendapat Prof. Adi Sulistiyono bahwa “Independensi peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi, dimana hal itu hanya dapat dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis keterkaitannya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik.”22

Dengan demikian, dilakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 5 UU Pengadilan Pajak terkait sistem pembinaan pengadilan pajak yang memberikan kewenangan

secara menyeluruh baik kewenangan kepada Mahkamah Agung secara teknis dan juga pembinaan keuangan, organisasi dan administrasi. Terbentuknya aturan tersebut menyatukan dapat melenyapkan kontroversi yuridis yang ada dengan cara menyatukan pembinaan “pengadilan pajak dibawah satu atap Mahkamah Agung.” Kemudian, pembinaan administrasi yang dibina oleh Kementrian Keuangan terhadap Pengadilan Pajak sebagai lembaga eksekutif justru dapat menghilangkan kekhawatiran sikap hakim untuk mencapai kemandirian hakim sehingga dari Kementerian Keuangan terhadap peralihan kewenangan administrasi, keuangan dan pembinaan organisasi kepada Mahkamah Agung merupakan salah satu langkah yang tepat demi mewujudkan keadilan bagi para pihak di Pengadilan Pajak, dimana hal tersebut mencerminkan adanya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.

  • IV.    Kesimpulan

Politik hukum pembentukan Pengadilan Pajak adalah sebuah kebutuhan filosofis dan urgensi untuk menegakkan supremasi hukum yang menginginkan agar lembaga peradilan dalam melakukan upaya penegakan hukum secara mandiri dan independen dalam menyelesaikan sengketa perpajakan. Hal tersebut diharapkan mampu mewujudkan tujuan hukum yakni kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi para pihak melalui dibentuknya Pengadilan Pajak di Indonesia. Rumusan yang tertuang dalam UU Pengadilan Pajak mengenai pembinaan teknis yang dilakukan Mahkamah Agung dan pembinaan oleh Kementrian Keuangan dalam hal pembinaan keuangan, administrasi dan organisasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman, tidak mencerminkan kemerdekaan maupun independensi suatu lembaga peradilan. Berkaitan dengan hal itu, diletakkannya Pengadilan Pajak dalam “dua atap” kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif justru dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakmandirian hakim Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa perpajakan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta. Prenada Media Group, 2011) Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat

(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009)

Sulistiyono, Adi. Sistem Peradilan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik. (Depok, Prenadamedia Group, 2018)

Sutedi, Adrian. Hukum Pajak Cetakan Pertama (Jakarta, Sinar Grafika, 2013)

Jurnal

Afdol dan Setjoatmadja, Sylvia. “Kedudukan, Eksistensi dan Independensi Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”. Jurnal Hukum Bisnis Vol. 1, No. 1 (2015)

Arvie J, Hikmah, Fadhilatul dan Aditya, Anugrah. “Perpajakan Optimal dalam Perspektif Hukum Pajak Berfalsafah Pancasila”. Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 8 No. 3 (2019)

Bravestha, Rio dan Hadi, Syofyan. “Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”. Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum, (2017)

Enggarani, Nuria Siswi. “Independensi Peradilan dan Negara Hukum”. Jurnal Law and Justice, Vol. 3, No. 2 (2018)

Ispriyarso, Budi. “Penyatuan Pembinaan Pengadilan Pajak”. Administrative Law and Governance Journal, Vol. 2 Issue 4 (2019)

Juli, Wan dan Sariono, Joko Nur. “Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Perpajakan di Pengadilan Pajak”. Jurnal Perspektif, Vol. 11, No. 3 (2014)

Konradus, Danggur. “Politik Hukum Berdasarkan Konstitusi”. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 45, No. 3 (2016)

Mattalatta, Andi. “Politik Hukum Perundang-Undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6, No. 4 (2009)

Rumadan, Ismail. Eksistensi Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol I, No. 1, (2012)

Sitorus, Binsar. “Independensi Hakim Dalam Sistem Peradilan Pajak di Indonesia”.

Jurnal Yuridika, Vol. 28, No. 1 (2013)

Subadi dan Toersina, Tiara Oliviarizky. “Perkembangan Konsep atau Pemikiran Teoritik Tentang Diskresi Berbasis Percepatan Investasi di Daerah”. Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 30, No. 1 (2018)

Suhardi, Iwan. “Penyatuan Hukum Pajak Formal Dalam Sistem Hukum Pajak Nasional”. Jurnal Yuridika, Vol. 31, No. 1 (2016)

Suherman, Andi. “Implementasi Independensi Hakim Dalam Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman”. SIGn Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1 (2019)

Triningsih, Anna. “Politik Hukum Pendidikan Nasional: Analisis Politik Hukum dalam Masa Reformasi”. Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 2 (2017)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang

No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 3 Tahun 2021, hlm.154-163

163