AKIBAT HUKUM AMBANG BATAS PEROLEHAN SUARA PARPOL (PARLIAMENTARY THRESHOLD) DALAM PEMILU SERENTAK 2019
on
E-ISSN: Nomor 2303-0585.
AKIBAT HUKUM AMBANG BATAS PEROLEHAN SUARA PARPOL (PARLIAMENTARY THRESHOLD) DALAM PEMILU SERENTAK 2019
I Made Aditya Kusumanata, Fakultas Hukum Udayana, e-mail: [email protected]
Ni Luh Gede Astariyani, Fakultas Hukum Udayana, e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Pada pemilu serentak 2019, diatur mengenai parliamentary threshold, atau ambang batas parlemen yakni sebesar 4% dari keseluruhan suara sah di tingkat nasional. Partai politik memiliki syarat mutlak minimal suara 4% untuk bisa menduduki kursi di parlemen, sehingga mengakibatkan pemilihan umum serentak di tahun 2019 banyak calon anggota legislatif tidak bisa mendapatkan kursi parlemen walaupun suara di daerah besar namun partai pengusung tidak memenuhi parliamentary threshold. Maka parliamentary threshold perlu dikaji lebih mendalam agar tidak menimbukan disproporsionalitas dalam pemilu. Tujuan penelitian ini agar pemilu di Indonesia, berjalan sesuai kedaulatan rakyat dan berprinsip demokrasi, mengkhusus lagi memahami fungsi parliamentary threshold sebagai kebijakan terbuka serta akibat yang ditimbulkan dalam pemilu. Metode dalam punulisan jurnal hukum ini memakai penelitian hukum normatif (Normative Legal Research). Adapun hasil dalam penelitian ini kebijakan parliamentary threshold masuk ke dalam kebijakan hukum terbuka (open legal policy), tertuang dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PPU-XVI/2018 dan besaran angka parliamentary threshold perlu dikaji lebih lanjut supaya tidak banyak suara sah yang terbuang maka syarat pendaftaran partai politiklah yang perlu diperketat agar pemilu dapat berjalan dengan efisien dan profesional.
Kata Kunci : Parliamentary Threshold, 0pen Legal Policy
ABSTRACT
In the 2019 simultaneous general elections, a parliamentary threshold was regulated, or a threshold that was set at 4% of all valid votes at the national level. It is an absolute condition in which political parties should have a minimum vote requirement of 4% to be able to get a seat in the parliament, resulting in the 2019 general elections, many legislative candidates were unable either to get political seats or to get votes in the major region. However, their supporting parties did not fulfill the parliamentary thresholds. Thus, the parliamentary threshold needs to be studied more profoundly to prevent disproportionality in general elections. The purpose of this study is to ensure that the elections in Indonesia can be held accordingly to the sovereignty of the people and having the principles of democracy, particularly to comprehend the function of the parliamentary threshold as an open legal policy and also what consequences that will be resulted in the general elections. The method used in the writing of this legal journal is a normative legal research. Thus, the result of this study is that the parliamentary threshold policy belongs to the open legal policy as declared in the Indonesia’s Constitutional Court issued decision Number 20 / PPU-XVI / 2018 and the number of the parliamentary threshold needs to be further reviewed to minimalize the legitimate vote that will be wasted. Followed by the requirements for political parties registration that also need to be stricter so that the general elections can be held efficiently and professionally.
Key Words : Parliamentary Threshold, Open Legal Policy
Suara rakyat suara tuhan merupakan sebuah pepatah, dikenal dengan Bahasa Latin Vox Populis, Vox Dei, memiliki arti rakyatlah pemegang suara tertinggi pada jalannnya demokrasi, terlebih lagi di Indonesia telah tercantum di dalam konstitusi, kedaulatan berada di tangan rakyat, maka sudah menjadi hal mutlak bahwa rakyatlah yang dianggap memiliki kekuasaan yang paling tinggi, dalam jalannya sebuah negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.1 Sebagai bentuk demokrasi berjalan di sebuah negara, dengan jumlah rakyat yang banyak maka proses demokrasi dilaksanakan dengan sistem perwakilan dimana diwakilkan oleh rakyat itu sendiri, yang bertindak atas nama rakyat yang akan menentukan corak serta cara pemerintahan, serta tujuan yang ingin dicapai melalui tahapan pemilu.2 Maka partai politik sangat penting sebagai bentuk kekuatan sosial, melalui organisasi partai politik sebagai wadah untuk menghimpun aspirasi dan menyerap aspirasi dari masyarakat, yang kemudian direalisasikan pada pemilu.
Dalam sejarah pemilu Indonesia, pemilu tahun 2019 merupakan pemilu pertama yang diadakan secara serentak, menggabungkan pemilihan presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota), merupakan sejarah baru dalam pemilu Indonesia, tercantum dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak. Kebijakan ini diharapkan untuk meminimalisir biaya dalam proses pemilu, mengefisiensikan waktu pelaksanaan pemilu, serta ketika terjadi konflik dalam proses berjalannya maka dapat ditangani secara sekaligus.3 Pemilu serentak juga mengharapkan tingkat dari partisipasi masyarakat dituangkan dengan asprasi dalam pemilihan umum. Kebijakan ini juga membantu partai politik untuk meningkatkan kualitas partai, kehadiran peran politik untuk lebih demokratis.4 Namun pada prosesnya juga perlu diperhatikan agar pelaksanaanya dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Partai politik harus memiliki cita-cita sesuai tujuan negara agar dapat mewakili aspirasi dari masyarakat. Pada muaranya untuk menyerderhanakan sistem kepartaian secara alami.
Maka dari itu jumlah partai menetukan kualitas demokrasi serta mempengaruhi sistem di dalam pemerintahan, menghubungkan kelembagaan yang
berfungsi untuk menampung partisipasi politik.5 Maka diperlukannya metode di dalam pemilihan sebagai wakil rakyat tersebut. Pemilu adalah sebagai rangkian atau kumpulan bentuk metode di dalam pemilihan wakil rakyat tersebut.6 Kedaulatan rakyat di implementasikan, melalui wakil-wakil rakyat, yang mencalonkan diri di pemilihan umum menggunakan kendaraan partai politik, dalam prosesnya bersaing secara demokratis, kemudian yang terpilih akan duduk di parlemen.7
Indonesia menerapkan sistem multi partai dengan menyerderhanakannya, karena apabila Indonesia menerapkan sistem multi partai tanpa adanya batasan seperti sebelum tahun 2009 maka biasanya menimbulkan stabilitas politik yang tidak stabil karena beragamnya partai politik dengan beragam kepentingannya. Maka diterapkanlah ambang batas perwakilan yang dinilai ideal di dalam proses pemilihan umum. Maka harus ada jumlah minimal dari total suara untuk partai masuk di dalam parlemen. Pada penerapannya dapat menggunakan legal threshold atau yang tercantum di dalam undang-undang ataupun secara de facto yaitu sistematis di dalam penerapannya.
Pemilu serentak 2019 di Indonesia menerapkan parliamentary threshold, dengan besaran 4% tercantum dalam Pasal 414 Undang-Udang Nomor 7 tahun 2007 tentang Pemilihan Umum, terus mengalami peningkatan mulai dari pemilu di tahun 2009, dengan harapan bisa menyederhanakan sistem multi partai tanpa merubah esensinya. Agar pemerintahan dapat berjalan dengan efisien, namun selain sisi positif ibarat belati bermata dua, di dalam sisi negatifnya mengakibatkan suara yang tidak dapat diwakili, karena apabila wakilnya secara perseorangan memenuhi suara di daerah tersebut, namun dikarenakan ambang batas parlemen partai politik tidak memenuhi syarat, maka tidak bisa duduk di kursi parlemen, di beberapa kasus ketika penerapan ambang batas parlemen ini banyak terjadi, dan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas demokrasi.8 Maka dari itu perlu memang disusun dengan sebaik mungkin terkait ambang batas parlemen, agar dapat mengurangi jumlah partai tapi tidak menimbulkan banyak suara tidak terwakili agar dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Kebijakan ambang batas parlemen di Indonesia yang telah diterapkan pada pemilu serentak tahun 2019 menggunakan ambang batas parlemen 4%, dan mengakibatkan 7 partai tidak bisa menduduki kursi parlemen dari 16 partai yang berkontestasi, dan masih menimbulkan permasalahan yakni suara tinggi yang diperoleh di daerah untuk menjadi anggota DPR RI, tidak serta merta langsung bisa dipastikan sebagai DPR RI yang terpilih karena ambang batas partai politik tidak menembus syarat yang telah ditentukan, maka dari itu, permasalahan ini dapat dikaji
lebih mendalam sebagai dampak dari pemilu serentak 2019, apakah memang telah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, atau justru menimbulkan konflik norma.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1. Apakah pengunaan perolehan suara partai politik parliamentary threshold termasuk open legal policy kebijakan hukum terbuka dalam pembentuk undang-undang?
-
2. Bagaimana akibat hukum parliamentary threshold dalam pemilu serentak 2019 untuk memenuhi aspirasi rakyat dan menyederhanakan jumlah partai politik?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Di dalam seluruh penelitian yang dibuat oleh manusia sudah sepatutnya memiliki tujuan yang jelas dan baik, penulisan jurnal hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut :
-
1. Memahami fungsi penggunaan parliamentary threshold pada pemilu di Negara Indonesia, dari suara yang diperoleh partai politik telah masuk ke dalam kebijakan hukum terbuka (open legal plocy) dalam pembentukan peraturan perundang-undang yang ada di Indonesia.
-
2. Mengetahui serta memahami akibat regulasi parliamentary threshold dalam pemilu serentak khususnya untuk pemilihan anggota legislatif 2019, sudah dapat mewakili asprisasi rakyat atau belum serta efektifitasnya di dalam penyederhanaan partai politik.
Metode penelitian digunakan untuk menghasilkan penulisan jurnal yang sistematis, terstruktur, dan konsisten dalam menggunakan metodologi dalam penelitian. Jadi menganalisis komponen-komponen hukum yang akan dipergunakan dalam penelitian berperan untuk mengungkap kebenaran dari penelitian tersebut.9 Hal ini dapat menjadi pertanggungjawaban dari penelitian yang telah dilakukan, berikut pembagian metode penelitian yang digunakan :
-
2.1. Jenis Penelitian
Adapun dalam penelitian hukum ini jenis penelitian yang dipergunakan dalam jurnal hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif atau dikenal dengan Normative Legal Research yaitu penelitian permasalahan hukum yang menempatkan hukum kepada disiplin perspektif norma hukum, atau sebagai suatu sistem norma10. Penelitian ini menitikberatkan pada pengkajian permasalahan menggunakan bahan hukum yang ada serta berkaitan dengan permasalahan tersebut. Maka dari itu bahan kepustakaanlah yang menjadi objek di dalam penelitian hukum.11 Sehingga dapat
meneliti lebih mendalam menggunakan aturan perundang-undangan, yang masuk ke dalam sumber hukum, pada topik penulisan penelitian akibat hukum yang ditimbukan dari penggunaan ambang batas parlemen.
-
2.2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum, penulisan jurnal ini menggunkan dua jenis pendekatan untuk membantu menghasilkan apa yang menjadi harapan dalm penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
The Statute Approch yaitu pendekatan mengunakan peraturan perundang-undangan, jadi mencari peraturan perundang-undang yang sesuai dengan topik penelitian dijadikan bahan hukum atau pustaka yang dikaji dengan permaslahan yang diteliti.
Analitical Conseptual yaitu pendekatan menggunakan konsep hukum. Pendekatan ini menggunakan pandangan hukum atau doktrin-doktrin, yang sesuai dengan topik penelitian sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Dari hal tersebut kemudian menciptakan argumentasi hukum untuk membantu menyelesaikan permasalahan dalam peneitian.
-
2.3 Analisis
Penulisan jurnal hukum sudah sepatutnya menggunakan teknik analisis sebagai berikut, Teknik deskripsi dimana menguraikan kondisi permasalahan dengan hukum maupun non hukum. Teknik evaluasi dimana diartikan untuk mengkategorikan baik, tepat, sah stuju atau sebaliknya dari hasil analisis hukum. Teknik argumentasi merupakan teknik yang tidak bisa lepas dengan teknik evaluasi karena ketika hasil evaluasi selanjutnya mengungkapkan hasil argumentasi yang berdasarkan penalaran hukum.
-
III. Hasil Dan Pembahasan
-
a. Penggunaan ambang batas perolehan suara partai politik parliamentary threshold) termasuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy)
Politik hukum merupakan sebuah hasil dari kebijakan yang dikeluarkan pemilik kekuasaan, dan kemudian menjadi kebijakan hukum untuk dilaksanakan. Sudarto sebagaimana dikutip Radita Ajie, mengungkapkan bahwasannya dalam politik hukum merupakan kebijakan yang diputuskan oleh lembaga-lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan-peraturan guna mewujudkan tujuan dari negara tersebut.12 Tujuan negara tersebut berjalan beriringan dengan hasil dari politik hukum, sehingga di dalam perjalannya akan mengalami perubahan-perubahan menyesuaikan kondisi yang ada dikenal dengan istilah ius constitutum maka sudah sepatutnya berjalan dinamais menyesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat namun tetap pada koridor atau batasannya. Maka dari itu aturan yang akan, masih, dan telah diterapkan di Indonesia digunakan sebagai pedoman untuk menentukan
perkembangan hukum di Indonesia.13 Hukum adalah buah hasil dari penjaminan ketentraman dalam bermasyarakat maka sudah sepatutnya menjamin adanya kepastian hukum serta keadilan hukum.
Prinsip open legal policy haruslah memuat dasar-dasar yang jelas sebelum terbentuk menjadi undang-undang. Dasar-dasar ini disesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat untuk bisa dijadikan pedoman, ketika hukum ini telah diberlakukakan, dasar-dasar tersebutlah menjadi pertimbangan kenapa aturan ini terbentuk. Maka dari itu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan agar bersifat fleksibilitas, yang pada artinya dibuat dengan atas dasar pertimbangan keadaan yang berlaku di masyarakat. Namun apabila dengan fleksibilitas tinggi di suatu keadaan masyarakat tertentu maka ini dapat menyebabkan tidak bisa berlaku di keadaan masyarakat yang kondisinya berbanding terbalik, jadi kebijakan ini juga tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya. Peraturan dikategorikan kebijakan hukum terbuka jika peraturan diatasnya tidak mengatur untuk peraturan dibawahnya, sebagai contoh Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur batasan-batasan secara terperinci pada batang tubuhnya terkait peraturan tersebut, maka dengan begitu dapat dikategorikan kebijakan hukum terbuka dan begitu juga sebaliknya, dikatakan tertutup apabila peraturan diatasnya telah mengatur.14
Kebijakan hukum terbuka open legal policy dapat dibagai menjadi 3 bagian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetanto Soepiadhy dikutip oleh Wahyu Jati Pradnyana, bahwasannya kebijakan hukum terbuka terdiri dari open legal policy bersifat makro, open legal policy bersifat messo serta legal polcy bersifat mikro. 15 Open legal policy makro adalah kebijikan hukum terbuka dengan kedudukan tertinggi atau dasar dari norma tersebut contohnya Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Open legal policy messo merupakan peraturan perundang-undangan yang letaknya di 2017 tengah setelah atauran dasar sebagai contoh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dan yang terakhir open legal policy mikro adalah aturan dengan tingkatan lebih rendah sebagai contoh perda. Hal ini menjadi hukum nasional sesuai hierarki peraturan perundang-undangan open legal policy.
Open legal policy dianut oleh negara-negara berfungi untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pembuat peraturan perundang-undangan untuk mengurangi adanya ketegangan antara lembaga-lembaga yang ada sehingga Mahkamah Konstitusi tidak mengalami serangan politik, sebenarnya ini mengakibatkan bergesernya fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen dalam proses peradilan maka judicialization of politics mengalami pergeseran menjadi politization of judicial yang berbahaya untuk keberlangsungan
jalannya Mahkamah Konstitusi.16 Mahkamah konstitusi menggunakan open legal policy dalam penyeselaian permasalahan hukum, pertama kali digunakan oleh Mahkamah Konstitusi, pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PPU-III/2005 namun istilah open legal policy tidak secara langsung disebutkan, istilah open legal policy secara langsung disebutkan pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 16/PPU-V/2007.17 Kebijakan hukum terbuka merupakan konsep yang masih dinilai baru di dalam perkembangan hukum Indonesia. Maka dari itu Mahkamah Konstitusi dalam menerapkan open legal policy harus berada dalam posisi independen tanpa adanya campur tangan politik, ataupun lembaga-lembaga lain di dalam proses peradilannya, sebagai negara hukum, hukumlah menjadi panglima tertinggi dalam pedoman berkehidupan bermasyarakat, maka hukum sudah sepatutnya ditegakkan seadil-adilnya dan mengacu pada prinsip demokrasi, agar menjamin terciptanya hal tersebut maka diperlukannya Mahkamah Konstitusi yang adil dan independen.
Berdasarkan penjabaran tersebut maka parliamentary threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum termasuk kedalam kebijakan hukum terbuka, masuk pada bagian open legal policy messo didasarkan pada aturan dalam konstitusi khususnya Pasal 1 ayat 3, Pasal 22 E ayat 2 dan Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari belum diatur lebih lanjut mengenai parliamentary threshold di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ini dapat diartikan bahwasannya Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah memberikan wewenang ke aturan turunan untuk lebih lanjut mengaturnya seperti contoh paliamentery trhreshold tersebut. Parliamentary Threshold juga telah dinyatakan dalam konstitusional negara kita melalui Mahkamah Konstitusi tertuang pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PPU-XVI/2018 dan bersifat nabis in idem maka permasalahan yang sama tidak dapat diadili kembali.
-
3.2 Akibat Hukum Parliamentary threshold Dalam Demokrasi Di Untuk Memenuhi Aspirasi Rakyat Dan Menyederhanakan Jumlah Partai Politik Dalam berkonstestasi pemilu di Indonesia setiap orang menggunakan partai politik sebagai salah satu kendaraan dalam pemilu , selain itu dengan jalur independen. Pada pemilihan umum mencalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota, begitu juga mencalonkan diri menjadi pemimpin lembaga eksekutif yakni mulai dari tingkat kabupaten sampai pemimpin Negara Republik Indonesia, jadi kualitas partai politik yang ada di Indonesia sudah sepatutnya benar-benar terbentuk dengan baik sesuai cita-cita Negara Indonesia. Sistem multi partai merupakan buah dari keinginan masyarakat akan kebebasannya dalam berpolitik, dengan berlakunya sistem presidensial di Indonesia menimbulkan untuk terjadinya multi partai di Indonesia.
Indonesia menyelengarakan pemilu sebanyak dua belas kali, pada era Soekarno tahun 1955, enam kali pada era Soeharto yakni tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1977, enam kali era reformasi tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019. 18Namun sampai saat ini Indonesia masih proses penyesuaian untuk format pemilu yang ideal. Pada pemilu 1999, pemilihan umum setelah lengsernya Soeharto era reformasi mengalami permasalahan yang sangat kompleks, ditandai dengan berjamurnya partai politik. Akibat dari perubahan sistem multi partai sederhana menjadi sistem multi partai yang sangat ekstrim.19 Pada tahun tersebut berdiri 181 partai politik, pada saat proses pendaftaran hanya 141 partai yang mendaftar dan hanya 48 partai yang bisa mengikuti konstestasi politik tertinggi di Indonesia ini. Namun 21 partai yang mendapatkan kursi di parlemen tapi tidak ada satu partaipun yang mendapatkan suara 50%+1, ini mengakibatkan di dalam pemerintahan tidak dapat berjalan dengan stabil, sehingga pada pengambilan kebijakan selalu dilakukan negosisasi, kensensus serta koalisi partai politik di dalam DPR RI menjadi solusi dan merupakan cara positif ketika tidak ada suara tertingi.
Sistem Parliamentary Treshold Kebijakan dalam pemilu sebelum tahun 2019 diterapkan pada pemilu 2009 dengan besaran 2,5% dan pemilu 2014 dengan besaran 3,5%, secara empiris telah membuat suara partai politik yang tidak mampu mencapai angka Parliamentary Treshold akan hilang.20 Dari pemilu 2009 sampai tahun 2014 tidak efektif untuk mengurangi parpol yang duduk di parlemen.21 Di dalam penyelengaraan negara pada setiap kebijakan sangat disayangkan apabila tejadinya deadlock akibat dari tidak kuatnya basis di dalam parlemen, dan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam tubuh lembaga tersebut, ini terjadi dari masa ke masa, dengan beragam dan jumlah banyak partai politik di parlemen tidak dibarengi pada proses kelembagaan partai dengan baik, masyarakat masih menilai partai tidak dekat dengan masyarakat dan malah menimbulkan oligarki dalam tubuh partai politik.22 Namun di perjalanannya juga koalisi partai politik tidak serta merta menghasilkan harapan yang baik, ketika berlangsung acap kali juga menimbulkan konflik karena perbedaan pandangan dalam pengambilan kebijakan, ini terjadi merupakan buah dari hubungan transaksional dan pragmatisme sehingga mengganggu kestabilan dalam pemerintahan serta efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan menimbulkan kekecewaan di masyarakat.
Pemilu serentak yang telah berlangsung 17 April 2019 ini merupakan pemilu yang cukup berat dan rumit, karena memang dalam sejarah pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota
diselenggarakan dalam satu hari, 813.366 TPS yang ada di seluruh wiliyah Negara Indonesia hingga ke luar negeri untuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia, dengan jumlah pemilih sebanyak 129 Juta, pemilu kali bisa dikatan sebagai the biggest and most complicated elections in the world. Adapun alasan diberlakukannya penggabungan pemilu legislatif yakni seluruh jenjang daerah hingga pusat dan eksekutif yakni pemilihan pemimpin negara pada hari yang sama adalah sebagai berikut:
-
a. Penggunaan anggaran menjadi efisien, dalam pemilu serentak yang dilaksanakan secara serentak maka anggaran yang dikeluarkan menjadi lebih efisien. APBN dan APBD yang dapat dihemat sebanyak sepersepuluh persen, atau sekitar Rp. 150.000.000.000.
-
b. Ketika pemilu diadakan secara serentak maka partai politik bisa lebih siap untuk mengikuti kompetisi demokrasi tertinggi di Indonesia ini. Kesempatan untuk partai politik juga dalam meraup suara di seluruh Indonesia secara serentak. Maka dengan begitu koalisi yang dibangun tidak bersifat transaksional melainkan strategis dan jangka panjang. Serta biaya yang dikeluarkan partai politik jadi bisa lebih kecil karena pileg dan pilpres yang diadakan berbarengan.
-
c. Meningkatkan suara pemilih sebagai hak warga negara, karena dengan berbarengannya pileg dan pilpres masyarakat lebih cerdas dalam memilih untuk mengetahui kualitas baik dari presiden dan wakil presiden maupun lembaga legislatif.
Munculnya parliamentary threshold merupakan sebuah harapan penyederhanaan partai politik tanpa melukai proses demokrasi itu sendiri, dalam arti ini dilakukan secara alami tanpa menghambat atau memaksa. Ambang batas parlemen pertama diberlakukan dalam pemilihan umum di tahun 2009 untuk terciptanya pemerintahan yang stabil. Pada pemilu 2009 tersebut menggunakan parliamentary threshold 2,5% untuk menentukan kursi di parlemen, parliamentary threshold ini tidak berlaku pada pemilihan DPRD Provinsi dan pemilihan DPRD kabupaten/kota, ini diamanatkan dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, kemudian di pemilu berikutnya yaitu pada tahun 2014, peraturan mengenai parliamentary threshold meningkan sebesar 1% yaitu menjadi 3,5% dari keseluruhan suara sah nasional, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. Dalam peraturan tersebut juga pada awalnya mengalami perubahan dimana sebelumnya hanya diberlakukan pada DPR RI saja namun pada aturan baru ini diterapkan juga kepada pemilihan DPRD Provinsi ataupun kabupaten/kota, tapi peraturan ini digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh 22 Partai Politik. Sehingga menghasilkan parliamentary threshold hanya diterapkan pada pemilihan DPR RI saja, ini tercantum dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 52/PPU-X/2012. Perubahan pada Pasal 208 tentang pemberlakuan Parliamantary threshold diubah karena menurut Achmad Fadilil Sumadi, dari substansi ketentuan ini tidak mengakomodir keberagaman, ketentuan ini juga dapat menghilangkan aspirasi di daerah, karena memungkinkan suara 3,5% tidak dapat diraih oleh partai politik di tingkatan daerah, mengakibatkan sulitnya menduduki kursi di daerah, karena pada setiap daerah memiliki kultur yang berbeda.
Parliamentary threshold meningkat pada pemilihan umum serentak 2019 menjadi sebesar 4%, tercantum dalam pasaal 414 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum. Ini membuktikan keseriusan lembaga legislatif dalam menyederhanakan partai politik sebagai standarisasi menjamin berjalannnya pemerintahan dengan efesien. Di Indonesia partai politik yang terdata secara resmi di Kementrian Hukum dan HAM sebanyak 73 partai politik. Dalam pemilu serentak kali ini terdapat 27 partai politik yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Dari jumlah tersebut yang lolos administrasi dan telah diverifikasi untuk berkontestasi dalam pemilihan umum di Indonesia yakni sebanyak 16 partai politik nasional adapun partai yang lolos yakni :
-
1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
-
2. Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA).
-
3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P).
-
4. Partai Golongan Karya (GOLKAR).
-
5. Partai Nasional Demokrat (NASDEM).
-
6. Partai Gerakan Indonesia Perubahan (GARUDA).
-
7. Partai Berkarya (BERKARYA).
-
8. Partai Keadilan Sejahtra (PKS).
-
9. Partai Persatuan Indonesia (PERINDO).
-
10. Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
-
11. Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
-
12. Partai Amanat Nasional (PAN).
-
13. Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA).
-
14. Partai Demokrat (DEMOKRAT).
-
15. Partai Bulan Bintang (PBB).
-
16. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP I).23
Pada pemilihan umum serentak di tahun 2019 yang terlaksana pada 17 April, partai politik yang berhasil memenuhi parliamentary threshold adalah sebanyak 9 partai dari 16 partai yang bersaing, berikut merupakan jumlah suara yang diperoleh dan persentase suaranya :
PARTAI PESERTA PEMILU 2019 |
PEROLEHAN SUARA NASIONAL |
PERSENTASE |
PDI P |
27.439.893 |
19,91% |
PARTAI GERINDRA |
17.397.561 |
12,51% |
PARTAI GOLKAR |
16.745.243 |
12,15% |
PKB |
13.394.460 |
9,72% |
PARTAI NASDEM |
12.144.963 |
8, 81% |
PKS |
11.294.388 |
8,19% |
PARTAI DEMOKRAT |
10.531.349 |
7,64% |
PAN |
9.285.623 |
6,74% |
PPP |
6.218.188 |
4,51% |
PARTAI PERINDO |
3.662.135 |
2,68% |
PARTAI BERKARYA |
2.902.262 |
2,11% |
PSI |
2.598.449 |
1,89% |
PARTAI HANURA |
2.156.807 |
1,56% |
PBB |
1.093.160 |
0,79% |
PARTAI GARUDA |
720.497 |
0,52% |
PKP I |
378.528 |
0,27% |
Sumber : KPU RI. Versi: 29 Jan 2020 01:00:03 Progress: 804.583 dari 813.336
TPS (98.92382%) 24
Pada pemilihan legislatif tingkat Nasional yaitu DPR RI, sesuai data di atas maka hanya 9 partailah yang mendapatkan kursi di parlemen, walaupun secara perseorangan ada calon yang memiliki suara tinggi di suatu daerah namun suara partai secara nasional tidak mencukupi maka calon tersebut tetap gugur, ini merupakan salah satu akibat dari parliamentary threshold, adapun banyaknya kursi yang diperoleh oleh masing masing-masing partai yang lolos25:
PARPOL LOLOS PARLEMEN PEROLEHAN KURSI | |
PDI P P |
128 |
PARTAI GOLKAR |
85 |
PARTAI GERINDRA |
78 |
PAN |
59 |
PKB |
58 |
PARTAI DEMOKRAT |
54 |
PKS |
50 |
PAN |
44 |
PPP |
19 |
Sumber : Kompas.com
Jadi terdapat 13.511.838 suara sah yang terbuang akibat dari parliementary threshold.
Dalam hal ini akibat dari adanya parliamentary threshold dengan rekayasa elektoral mengakibatkan banyak suara sah yang terbuang. Dengan ketentuan ini mengakibatkan banyak partai politik yang telah mempunyai jaringan luas, dikenal secara nasional dan kader-kader terbaik, apalagi telah lama terbentuk dalam kategori partai besar akan terus mendapatkan suara besar dan akan sulit bagi partai-partai baru untuk mendapatkan kursi perlemen meskipun memiliki basis suara besar di beberapa daerah. Ketika banyak suara terbuang maka hasil pemilu tidak proporsional ini seharusnya tidak terjadi di pemilu. Penerapan parliamentary threshold juga memerlukan landasan yang lebih komprehensip agar tidak sekedar untuk penyederhanaan jumlah partai politik yang bermuara pada terbuangnya jumlah suara sah.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penerapan parliementary threshold dalam pemilu serentak 2019 menimbulkan akibat hukum diantaranya :
-
a. Parliamentary threshold yang diberlakukan di pemilihan legislatif nasional, bertentangan dengan hak-hak politik, serta kedaulatan rakyat, dimana seharusnya hak dari setiap aspirai rakyat terjamin di dalamnya untuk memberikan hak berpolitik seluas-luasnya.
-
b. Parliamentary threshold yang diberlakukan untuk pemilihan DPR RI menghilangkan aspirasi yang diberikan pada masing-masing daerah, ketika calon suara tertinggi di daerah tersebut tidak lolos dikarenakan partai pengusungnya tidak memenuhi ambang batas parlemen, sehingga menyebabkan anggota DPR RI yang terpilih tidak menjadi representasi dari daerah tersebut.
-
c. Parliamentary threshold yang diberlakukan pada pemilihan legislatif DPR RI tidak mengakomodasi semangat keberagaman dan persatuan karena pada hakikatnya setiap daerah memiliki kekhasan dalam aspirasi politik.
-
d. Parliamentary threshold yang diberlakukan dalam pemilihan DPR RI merupakan regulasi yang wajar dalam sistem hukum yang berlaku sebagai kebijakan positif untuk menyederhanakan partai politik, namun perlu diperhatikan besarannya sehingga tidak terjadi disproposionalitas dalam pemilu.
Parliamentary threshold yang digunakan dalam pemilu serentak 2019 khususnya pemilihan legislatif di nasional masuk dalam kategori open legal policy messo yakni kebijakan hukum terbuka menengah. Sumber aturan dalam konstitusi khususnya Pasal 1 Ayat 3, Pasal 22 E Ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, belum mengatur mengenai parliamentary threshold di dalam Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Parliamentary Threshold juga telah dinyatakan dalam konstitusional negara kita melalui Mahkamah Konstitusi tertuang pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PPU-XVI/2018 maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan kewenangan kepada pembentukan undang-undang dibawahnya untuk mengatur terkait paliamentery trhreshold tersebut. Parliementary threshold dalam pemilu serentak 2019 dalam pemilihan legislatif nasional menimbulkan beberapa akibat hukum diantaranya a).Parliamentary threshold bertentangan dengan hak-hak politik, serta kedaulatan rakyat, dimana seharusnya hak dari setiap aspirasi rakyat terjamin di dalamnya untuk memberikan hak berpolitik seluas-luasnya. b). Parliamentary threshold yang diberlakukan untuk pemilihan DPR RI menghilangkan aspirasi yang diberikan pada masing-masing daerah, ketika calon suara tertinggi di daerah tersebut tidak lolos dikarenakan partai pengusungnya tidak memenuhi ambang batas parlemen, sehingga menyebabkan anggota DPR RI yang terpilih tidak menjadi representasi dari daerah tersebut. c).Parliamentary threshold yang diberlakukan pada pemilihan legislatif DPR RI tidak mengakomodasi semangat keberagaman dan persatuan karena pada hakikatnya setiap daerah memiliki kekhasan dalam aspirasi politik. d). Parliamentary threshold yang diberlakukan dalam pemilihan DPR RI merupakan regulasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
upaya menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen namun perlu diperhatikan besarannya sehingga tidak terjadi disproposionalitas dalam pemilu.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lembaga terkait harus selalu berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum, adil, demokratis serta bersifat fleksibilitas dengan dasar pertimbangan keadaan yang berlaku di masyarakat agar pada penerapannya dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat. Pada penerapan parliamentary threshold merupakan kebijakan hukum yang wajar dalam penyederhanaan partai politik dan diakui konstitusi, namun harus menjunjung kedaulatan rakyat, prinsip demokrasi dan aspirasi rakyat agar tercapainya tujuan pemilu itu sendiri, efektifitas parliamentary threshold perlu dikaji lebih mendalam dimana agar tidak terjadi lagi disproposionalitas dalam pemilu, maka perlunya syarat yang ketat untuk partai politik sebelum bisa borkonstestasi di pemilu bukan dengan memperbesar parliamentary threshold, maka partai politik yang ada lebih mementingkan aspirasi rakyat, bukan hanya meraih suara semata.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Junaidi Veri, Agustyati Khoirunnisa, dan Hastomo, Ibnu Setyo. Politik Hukum Sistem Pemilu : Potret Keterbukaan dan Partisipasi Publik Dalam Penyusunan Udang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Yayasan Perludem, 2013).
Kusnardi dan Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PSHTN–FHUI, 1983).
Lijphart Arend dan Gafar Affan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta : Pustaka Plajar, 2000).
Soekanto, Soerjono dan Mamudi Sri. Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011).
Jurnal :
Ajie, Radita. “Batasan Pilihan Kebijakan Pembentuk Undang – Undang ( Open Legal Policy) Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Legislasi Indonesia 13, No.1 (2016).
Astariyani, Ni Luh Gede. “Paradigma Keilmuan Dalam Menyoal Eksistensi Peraturan Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan: Tafsir Putusan Mahkamah Agung.” Jurnal Legislasi Indonesia 16, No. 4 (2019).
Fauzan, Muhammad Addi dan Rohman, Fandi Nur. “Urgensi Rekontruksi Mahkamah Konstitusi Dalam Memberikan Pertimbangan Hukum Terbuka (Open Legal Policy).” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta 35, No.2 (2019).
Fitriana, Mia Kusuma. “Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Sebagai Sarana Mengujudkan Tujuan Negara.” Jurnal Legislasi Indonesi 12, No. 2 (2015).
Indrawan Jerry dan Prakoso Aji. “Penyederhanaan Partai Politik melalui Parliamentary Threshold: Pelanggaran sistematis terhadap Kedaulatan Rakyat.” Jurnal Penelitian Politik 16, No. 2 (2019).
Manan, Firman, 2017. “Relasi Eksekutif-Legislatif Dalam Presidensialisme Multi partai Di Indonesia.” Jurnal Wacana Politik 2, No 2 (2017).
Pradnyana, Wahyu Jati. “Analisa Hukum Ambang Batas Pencalonan Presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum.” Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum UNUD 06, No.4 (2018).
Putra Fuad & Siragih Anwar. “Ilusi Demokrasi Subtansial di Indonesia: Sebuah Kritik Terhadap Implementasi Parliamentary Threshold”, Politeia: Jurnal Ilmu Politik 10, No.2 (2018).
Satrio, Abdurrachman. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialzation Of Politics.” Jurnal Konstitusi 12, No. 1 (2015).
Sihombing, Eka N.A.M. “Pemberlakuan “Perliamentary Threshold” dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Konstitusi LK SPs Universitas Sumatra Utara 1, No.1 (2009).
Sutisna, Agus. “Politik Penyerderhanaan Sistem Kepartaian Pasca Reformasi 1998.” Sosial Science Education Jurnal 2, No 2 (2015).
Solihah Ratnia. “Peluang dan Tantangan Pemilu Serentak 2019 Dalam Perspektif Politik.” Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 3, No. 1 (2018).
Wibowo, Mardiana. “Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka Dalam Pengujian Undang-Undang.” Jurnal Konstitusi 12, No.2 (2015).
Website/Internet:
Komisi Pemilihan Umum, “Partai Politik Peserta Pemilu 2019”. Diakses Pada Tanggal 19 Mei 2020. URL: https://infopemilu.kpu.go.id/pileg2019/verpol/skparpol
Komisi Pemilihan Umum, “Hasil Hitung Suara Legislatif DPR RI 2019 Tingkat Nasional”, Diakses Pada Tanggal 26 Mei 2020. URL: https://pemilu2019.kpu.go.id/#/dprri/hitung-suara/
Kompas.com, ”Hasil Lengkap Perolehan Kursi DPR 2019-2024”, Diakses pada tanggal 26 Mei 2019. URL:
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/31/11152361/hasil-lengkap-perolehan-kursi-dpr-2019-2024
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomer 51, Tambahan Lembar negara Nomor 4836).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomer 117, Tambahan Lembar negara Nomor 5316).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomer 182, Tambahan Lembar negara Nomor 6109).
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019
Putusan Pengadilan:
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PPU-III/2005.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 16/PPU-V/2007.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 52/PPU-X/2012.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PPU-XI/2013.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PPU XVI/2018.
15
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 10 Tahun 2020, hlm. 1-15
Discussion and feedback