Kedudukan Perdata Penghayat Kepercayaan Tradisional Melalui Penetapan Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2018
on
KEDUDUKAN PERDATA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TRADISIONAL MELALUI PENETAPAN PUTUSAN MK
NO. 97/PUU-XIV/2018
Ida Ayu Engellika Putri Maya Sadhwi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dayuengellika@gmail.com
I Nyoman Suyatna, Fakultas Hukum Universitas Udayana,e-mail: nyoman_doblar@yahoo.com
ABSTRAK
Kerugian secara perdata yang dialami oleh para penghayat kepercayaan tradisional menjadi acuan penting dimohonkan pengujian Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta dalam Pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Rumusan masalah pada jurnal ini ialah apa saja pokok permohonan pemohon yang relevan dengan pemenuhan hak keperdataan warga negara sebagaimana dimuat didalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2018 ?; serta Bagaimana pertimbangan Mahkamah Kostitusi terhadap pengajuan pokok permohonan tersebut? Dengan tujuan untuk menguraikan pokok-pokok permohonan yang memiliki kaitan dengan pemenuhan hak perdata seorang warga negara sebagaimana diuraikan secara numeratif dalam Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 oleh para pemohon; serta Mendeskripsikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyikapi pokok-pokok permohonan secara perdata yang telah inkracht pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2018. Penelitian ini disusun dalam bentuk penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan mengunakan pendekatan perundang-undangan dan fakta serta kasus. Pokok-Pokok Alasan Pemohon Pada Putusan Mahkamah Kostitusi No. 97/PUU-XIV/2018 dengan Hak Perdata seorang Warga Negara terdiri dari 3 hal yakni tidak diterbitkan Surat Kepemilikan Tanah; Akta Nikah dan Akta Kelahiran serta Kartu Keluarga yang tidak valid serta pembatasan hak kostitusional untuk mengakses lapangan pekerjaan sesuai dengan amanat kostitusi. Pertimbangan Mahkamah Kostitusi Terhadap Pokok-Pokok Alasan Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2018 adalah dengan mencabut ketentuan dan menentukan kekuatan hukum tidak mengikat pada rumusan ayat tersebut.
Kata Kunci: Hak Perdata, Penghayat Kepercayaan, Dokumen Kependudukan, Akta.
ABSTRACT
Civil damages suffered by traditional trust supporters are an important reference when examining Article 61 paragraph (1) and paragraph (2) and Article 64 paragraph (1) and paragraph (5) of the Population Administration Law. The formulation of the problem in this journal is what are the main petitioners 'petitions relevant to the fulfillment of citizens' civil rights as contained in Decision of the Constitutional Court No. 97 / PUU-XIV / 2018 ?; and How is the Constitutional Court's consideration of the filing of the petition? With the aim to elaborate on the main points of the petition which are related to the fulfillment of civil rights of a citizen as described numerically in MK Decision No. 97 / PUU-XIV / 2016. This research was arranged in the form of normative legal research with a legislative, fact and case approach. Principals of the Petitioners' Reason in the MK Decision No. 97 / PUU-XIV / 2018 with the Civil Rights of a Citizen consisting of 3 things namely not issued a Land Ownership Certificate; Invalid Marriage Certificate and Birth Certificate and Family Card and restrictions on constitutional rights to access employment in accordance with the constitutional mandate. MK Consideration of the Principal Reasons of the Petitioner in the MK Decision No. 97 / PUU-XIV / 2018 is to revoke the provisions and determine the non-binding legal force on the formulation of the paragraph.
Keywords: Civil Rights, Dwellers of Trust, Population Documents, Deed.
Persoalan keagamaan selalu menjadi sebuah pembahasan yang menarik oleh karena komposisi masyarakat Indonesia yang beranekaragam dan sangat majemuk. Cita hukum atau rechtside dari pembentukan Negara Indonesia sebagaimana dimuatkan dalam Batang Tubuh Pembukaan atau Preambule pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disingkat sebagai UUD 1945 yang tidak memihak pada satu kelompok masyarakat ataupun suatu golongan tertentu, melainkan dalam pembukaan konstitusi Indonesia tersebut menyatakan “mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia” sebagai tautan utamanya.1 Tidak terlepas dari itu, konstitusi Indonesia pada UUD 1945 telah menginstruksikan pengakuan hak dasar sebagai manusia Indonesia pada Pasal 28 huruf e ayat (1) bahwa kemerdekaan untuk beragama dan memeluk agamanya masing-masing merupakan hak setiap orang. Di dasarkan pada ketentuan “setiap orang” tersebut maka perlindungan yang diberikan oleh negara, tidak serta merta membatasi kewarganegaraan dan masih memiliki relevansi dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada aspek non derogable rights2 atau hak-hak yang bersifat absolut yang dalam pemenuhannya tidak boleh dikurangi sama sekali oleh berbagai pihak bahkan negara sekalipun.
Sejalan dengan pembahasan di atas, meskipun pada kenyataannya demokrasi di Indonesia dicita - citakan sarat akan sebuah persatuan, namun jauh dalam prakteknya masih saja terdapat celah diskriminasi dan unsur-unsur pembeda yang terdapat pada Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) serta Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menjadi dorongan serta motivasi utama diajukan serta diterimanya permohonan pemohon sebagaimana ditentukan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 97/PUU-XIV/2016 pada tanggal 1 Nopember 2017. Dukungan yang diberikan dalam Putusan tersebut merestorasikan hak dasar dari seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang merupakan penghayat kepercayaan tradisional. 3
Fenomena diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan tradisional di Indonesia sudah sering kali terjadi, terutama oleh berbagai aliran kepercayaan termasuk di diantaranya terjadi pada aliran Kepercayaan Tradisional Merapu di Kabupaten Sumba, Parmalin di Sumatra Utara, Ugamo Batak di Medan, Kepercayaan Sapto Dharmo di wilayah pulau Jawa. Hak dasar yang semestinya melekat dan tidak dapat dipisahkan dari pada seorang manusia yang merupakan warga negara Indonesia justru dipermasalahkan oleh karena adanya kewajiban administratif yang didalamnya mengakui hanya terdapat 6 agama di Indonesia. Persoalan ini menjadi
menarik sebab para penghayat kepercayaan sebagaimana diungkapkan dalam alasan pemohon pada Putusan MK Republik Indonesia No. 97/PUU-XIV/2016 tidak menerima sebuah pelayanan publik sebagaimana mestinya, sebagai contohnya dalam hal, pinjaman modal usaha, penerbitan Akta Nikah dan Akta Kelahiran, hingga beberapa bentuk dokumen berharga seperti akta kepemilikan tanah dll. Hal ini mengakibatkan marginalisasi atau dikesampingkannya hak-hak perdata yang seharusnya diterima seseorang melalui basis kebijakan publik. Kasus ini dikarenakan tidak terdapatnya identitas Agama sebagaimana halnya merupakan sebuah label yang tidak dapat dipisahkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Persoalan ini juga turut mampu menghadirkan sebuah tindak Pidana baru yakni penipuan oleh karena seorang masyarakat penghayat kepercayaan tradisional mau tidak mau akan dipaksa untuk melepas agamanya dan memilih salah satu agama yang secara administratif telah ditentukan oleh Pemerintah. Kosongnya kolom agama tersebut juga mengakibatkan seorang WNI tidak dapat menerima haknya untuk mendapatkan penghidupan dan juga pekerjaan yang layak bagi dirinya sendiri, keluarga dan kemanusiaan. Eksistensi dan keberadaan aliran kepercayaan tradisional di Indonesia sudah ada sejak dahulu bahkan sejak lama yang dimana hal tersebut menjadi bagian dari budaya hidup masyarakat yang sudah melekat erat dan sulit dipisahkan. Adat istiadat sebagaimana ditentukan pada Pasal 18 huruf b ayat (2) UUD 1945.4 Sebelumnya terdapat artikel “Implemantasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.97/PUU-XIV/2016 Pada Masyarakat Adat Karuhun Urang Di Cigugur” (Sukiro, 2020), sementara fokus penulis dalam artikel lebih kepada kedudukan penghayat kepercayaan setelah dikeluarkannya putusan MK No. 97/PUU-XIV/2018 dari sisi normatif. Mengacu pada pembahasan tersebut, maka menjadi sebuah pembahasan yang menarik apabila disusun sebuah naskah berjudul “Kedudukan Perdata Penghayat Kepercayaan Tradisional Melalui Penetapan Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2018”.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
-
1. Apa saja pokok permohonan pemohon yang relevan dengan pemenuhan hak keperdataan warga negara sebagaimana dimuat dalam Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2018 ?
-
2. Bagaimana pertimbangan Mahkamah Kostitusi terhadap pengajuan pokok permohonan tersebut?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
-
1. Untuk Menguraikan pokok-pokok permohonan yang memiliki kaitan dengan pemenuhanhak perdata seorang warga negara sebagaimana diuraikan secara numeratif dalam Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 oleh para pemohon.
-
2. Untuk Mendeskripsikan pertimbangan Mahkamah Kostitusi menyikapi pokok-pokok permohonan secara perdata yang telah inkracht pada Putusan MK No.97/PUU-XIV/2018.
Pemilihan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan Jurnal ini adalah Metode Penelitian Hukum Normatif (normative legal research). Penelitian hukum normatif pada pokoknya menjadikan produk-produk hukum sebagai bahan kajian utama yang nantinya didukung pula dengan data primer untuk dapat mengidentifikasi suatu persoalan hukum dan didasari pada norma serta ketentuan perudang-undangan yang berlaku dalam menjawab persoalan hukum yang terjadi, serta dengan menggunakan pendekatan fakta, pendekatan kasus serta pendekatan peraturan perundang-undangan.5 Penelitian ini bersifat monodisipliner dengan menjadikan ilmu hukum sebagai tautan utama penelitian. Penelitian ini menggunakan arah rekomendasi literatur yang telah dipublikasi yang dipolakan menjadi bahan hukum primer dan sekunder sebagai opsi kajian kepustakaan.6
-
III. Hasil dan Pembahasan
Berkedudukan sebagai seorang warga negara merupakan sebuah keuntungan jika meninjau dari aspek perlindungan hukum yang diberikan kepada negara. Kedudukan negara sebagai sebuah organisasi kepentingan yang memiliki full capacity of law memungkinkan dilakukannya perlindungan kepada warga negara yang merupakan tonggak berdirinya sebuah negara. Hal ini yang menjadikan warga negara sebagai bagian dari penduduk dipandang penting disamping mampu menjadi alternatif perkembangan lingkungan dalam sebuah negara. Berkenaan dengan proteksi negara terhadap warganya, aspek keperdataan yang membatasi gerak setiap individu dalam sebuah negara menjadi sebuah persoalan yang akan secara spesifik dibahas dalam korelasinya dengan Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2018.
Sebuah aspek yang tidak dapat dikesampingkan sebagai seorang warganegara ialah dalam mendapatkan pemenuhan atas hal-hal yang berhubungan dengan administrasi kependudukan. Produk dari administrasi kependudukan tersebut melahirkan Akta Nikah yang merupakan suplemen pendukung bagi penerbitan suatu Akta Kelahiran. Dalam statusnya sebagai penduduk sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 huruf a UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan atau disingkat UU Administrasi Kependudukan, dimana didalamnya membenarkan adanya hak seseorang warganegara untuk mendapatkan dokumen kependudukan. Demi mendapatkan dokumen kependudukan sebagaimana diugkapkan dalam hal.7 Terkait Pokok Permohonan, penghayat Kepercayaan Parmalin, Sumatera Utara mengalami kesulitan dalam mengakses dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga, Akta Nikah dan Akta Kelahiran.8 Hal ini disebabkan oleh ketentuan pada Pasal 61 ayat (1) jo ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo ayat 5 menginstruksikan bahwa bagi
penganut kepercayaan yang belum diakui, maka kolom agama dan juga kepercayaan pada Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga dikosongkan. Hal ini menyebabkan kosongnya data kependudukan berupa agama atau kepercayaan pada e-KTP yang disebabkan oleh dokumen tersebut merupakan dokumen penunjang yang mendukung dan dipersyaratkan dalam pembuatannya.9
Hal ini juga dapat mengakibatkan dikesampingkannya hak dari seorang warganegara untuk dapat seutuhnya memiliki tanah serta hak milik atas tanah. Dalam prosedur administrasi pencatatan kepemilikan tanah, telah ditentukan bahwa bukti kepemilikian tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria jo. Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah turut mensyaratkan data kependudukan sebagai pelengkap yang terpenting dan paling utama yang nantinya apabila ditemukan kekosongan pada label data kependudukan maka dapat beresiko terjadi penolakan penerbitan sertifikat tanah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengosongan salah satu kolom identitas pada KTP telah merugikan hak perdata warga negara untuk mendapatkan kepemilikan hak atas tanah.10
Persoalan berikutnya yakni berkenaan dengan potensi untuk mendapatkan dokumen kependudukan yang valid pasca perkawinan dilangsungkan. Sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1964 tentang Perkawinan unsur pencatatan yang dibahasakan dengan “dicatatkan pada pencatatan” merupakan syarat sahnya sebuah perkawinan.11 Masalahnya, ketiadaan pengakuan atas kepercayaan yang dianut oleh seorang masyarakat yang berdampak pada pengosongan label agama/kepercayaan dapat menjadi sebuah asumsi negatif dan berhujung pada penolakan pencatatan nikah oleh dinas terkait. Hal ini dialami bukan hanya pada kelompok penghayat kepercayaan Merapu, melainkan pada kepercayaan Parmalin di Sumatera Utara, Ugamo Batak di Medan, serta aliran kepercayaan sapto dharmo di Jawa. Jika meninjau dari alur pencatatan perkawinan, maka titik terang yang dapat dikemukakan ialah perkawinan harus dilaporkan pada pencatatan sipil sepuluh hari kerja sebelum dilangsungkan sesuai Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan; diberikan secara lisan oleh pihak yang berwenang sesuai Pasal 4 peraturan tersebut serta diakhiri dengan meneliti pemenuhan syarat pencatatan perkawinan sebagaimana ditentukan pada Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan. Pada pokoknya, dengan adanya akta perkawinan yang diterbitkan maka seseorang dapat memperoleh akta kelahiran bagi anak-anak sebagai buah perkawinan dan berujung pada Pembuatan Kartu Keluarga. Pada akhirnya seseorang yang tidak memiliki kepercayaan akan dikesampingkan hak dasarnya untuk memperoleh dokumen kependudukan.12
Fenomena ini kemudian mengakibatkan masalah turunan yang diungkapkan oleh salah satu penghayat kepercayaan Sapto Dharmo di Jawa bahwa anak-anaknya tidak diperkenankan untuk menuntut ilmu pada tingkatan Pendidikan Dasar hingga Pendidikan Tinggi. Disamping adanya konflik akibat perbedaan sudut pandang kepercayaan dengan masyarakat sekitar, kerugian kostitusional turut dialami oleh seorang anak sehingga peraturan pemerintah tersebut hanya akan menjadi sandungan bagi seorang warga negara. Lagipula, hal yang tidak kalah penting yakni nasionalisme tidak dapat diukur dengan kepemilikan agama sehingga perlu bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut. Hal ini secara garis besar merupakan bentuk kerugian perdata yang diungkapkan oleh para pemohon dalam Putusan Mahkamah Kostitusi No. 97/PUU-XIV/2018 yang diantaranya meliputi tidak diperkenankannya penerbitan akta tanah; tidak diperkenankan untuk memperoleh akta nikah dan akta kelahiran bagi anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut; serta pengesampingan hak seorang anak untuk dapat menuntut ilmu sebagaimana diwajibkan oleh negara itu sendiri.
-
3.2. Pertimbangan Mahkamah Kostitusi Terhadap Pokok-Pokok Alasan Pemohon dalam Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2018
Mahkamah Kostitusi menilai perkara dengan kerugian secara potensial berdasarkan penalaran yang wajar tersebut memberikan beberapa pokok pertimbangan untuk setiap permohonan tersebut. Tanggapan yang diberikan tidak memiliki disseting opinion yang berarti bahwa semua Hakim MK Republik Indonesia menyetujui dan mengabulkan permohonan para pemohon tersebut. Berkenaan dengan penerbitan Surat Kepemilikan Tanah yang berada pada penguasaan NRI sesuai tentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, MK berpandangan bahwa pembuatan Surat Kepemilikan Tanah hanya merupakan masalah turunan dari kosongnya label pada data kependudukan. Sejalan dengan itu, beberapa hal yang menjadi bahan perhatian Mahkamah Kostitusi yakni Kedudukan dari Masyarakat penghayat kepercayaan Merapu di Kabupaten Sumba yang oleh karena secara adat tidak diakui oleh Negara mengakibatkan sulit untuk dapat memperoleh Akta Kelahiran, demikian pula dengan hal yang lain yaitu dalam persoalan e-KTP yang sebagian penduduknya secara tidak langsung terpaksa berbohong dengan memilih kepercayaan sesuai yang diopsikan pada form pembuatan e-KTP.13 Hal ini dialami oleh Kepercayaan Parmalin, Sumatera Utara serta Ugamo Bangso di Medan yang didiskriminasi dengan tidak diperkenankan mendapatkan bagian pada sebuah lapangan kepercayaan. Pada halaman ke 133, Butir 3.6 Mahkamah menilai bahwa benar telah terjadi kerugian kostitusional serta diasumsikan berdampak pada hak keperdataan seorang manusia Indonesia dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan.
Tidak lepas dari persoalan tersebut, Mahkamah Kostitusi juga berpendapat bahwa perekaman kepercayaan bagi penghayat kepercayaan tradisional hanya bersifat agregat.14 Hal ini berarti bahwa database kependudukan tersebut hanya merupakan dokumentasi pendukung, bukan dokumen utama sehingga perlu dilaksanakan sebuah reformasi kependudukan dengan memberikan kesempatan meyakini kepercayaan
dengan lebih luas. Dalam pandangan tersebut, maka Mahkamah Kostitusi pada konklusi butir 3.8 terkait Pokok-Pokok Permohonan yang pada intinya menjelaskan bahwa agama tertera tidak berkekuatan hukum atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dalam pengamalannya tidak dimaknai termasuk juga di dalamnya kepercayaan. Pandangan Majelis Luhur Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa serta mengantisipasi kerugian lebih lanjut terkait nasionalisme Warga Negara maka Mahkamah membenarkan bahwa tidak ada kekuatan hukum yang mengikat bagi ketentuan tersebut. Kajian terhadap status hukum dari frasa Agama dan Kepercayaan sebagaimana ditentukan pada Pasal 28 huruf e ayat (2) UUD 1945, Mahkamah berpandangan bahwa dua hal ini merupakan sebuah aspek yang berbeda meskipun frasa Agama ditujukan untuk ihwal peribadatan.15
Dalam hal kerugian yang dialami untuk mendapatkan akses pencatatan kawin oleh dinas terkait, maka dengan dicabutnya ketentuan pada Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) UU Adminstrasi Negara berarti Mahkamah Kostitusi menyetujui difersitas kepercayaan dalam NRI. Akibatnya, penghayat kepercayaan tradisional dimungkinkan untuk mengakses Akta Nikah melalui Pencatatan Sipil, Akta Kelahiran, KTP, e-KTP, Kartu Keluarga serta beberapa dokumen administratif pertanahan yang memungkinkan masyarakat untuk dapat menggunakan hak kepemilikan tanah yang diberikan padanya melalui negara.
Secara garis besar bentuk kerugian perdata yang diungkapkan oleh para pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2018 yang diantaranya meliputi tidak diperkenankannya penerbitan akta tanah; tidak diperkenankan untuk memperoleh akta nikah dan akta kelahiran bagi anak yang dilahirkan dalam; serta pengesampingan hak seorang anak untuk dapat menuntut ilmu sebagaimana yang dijamin dan diwajibkan oleh negara itu sendiri. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas penerbitan Akta Tanah hanya merupakan sebuah masalah turunan yang terjadi dari kosongnya kolom yang memuat agama atau kepercayaan di dalam KTP elektronik, KTP maupun Kartu Keluarga sehingga dengan demikian maka Mahkamah mencabut keberlakuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Administrasi Negara yang berarti Mahkamah Kostitusi menyetujui adanya penerbitan dokumen kependudukan yang lebih akuntabel dan integratif dengan menjamin kemerdekaan untuk memeluk keyakinan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 huruf e ayat (3) UUD 1945.
Pemerintah perlu lebih kritis dalam memahami perbedaan yang menjadi identitas hukum nasional. Hal semacam ini tidak diharapkan kembali terjadi sehingga perlu bagi para pembentuk hukum untuk turut memperhatikan kemajemukan di Indonesia sebelum membentuk sebuah aturan. Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 terkait Perkara Pengujian UU No. 23 Tahun 2006 jo UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan perlu untuk disupervisi kembali agar dapat secara mutakhir diterapkan dalam tingkatan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Zainudin. "Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta, sinar grafika,2009).
Muslich Ansori dan Sri Iswati, “Peneitian Kualitatif”, (Surabaya, Airlangga University Press, 2019).
Riyadi, Eko. Hukum hak asasi manusia: perspektif internasional, regional, dan nasional. (Depok, Rajawali Pers, 2017).
Jurnal dan Karya Ilmiah
Aulia, Anissa, and I. Made Udiana. "Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sah Hak Atas Tanah Dengan Adanya Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2016).
Manubulu, Isakh Benyamin, and Komang Pradnya Sudibya. "Analisis Kontekstualitas Komunikasi Politik Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia Tahun 2019 Dari Perspektif Hukum Tata Negara." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum: (2018).
Ni Luh Gede Sumertini, Cok Istri Anom P, dan Kadek Sarna,“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pencatatan Kelahiran Dan Akibat Hukumnya Di Indonesia”, Kertha Negara : Jurnal Ilmu Hukum. (2018).
Mahardika, I. Gusti Nyoman, R. Ibrahim, and Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati. "Pelaksanaan Kebijakan Program Kartu Tanda Penduduk Elektronik Dalam Hal Perekaman Data Di Kabupaten Gianyar." Kertha Negara: Jurnal Ilmu Hukum. (2018).
Purnama, Yuzar. "Studi Kepercayaan Masyarakat Jatigede." Patanjala 6, no. 2 (2014).
Partyani, Putu Diah Maharni, I. Made Sarjana, and Suatra Putrawan. "Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 69/Puu-Xiii/2015 Jo. Pasal 29 Ayat (1) Uu Perkawinan Mengenai Pengesahan Akta Perjanjian Perkawinan Oleh Notaris Di Kota Denpasar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 1, (2018).
Usman, Rachmadi. "Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia." Jurnal Legislasi Indonesia 14, no. 3 (2017).
Saleh, Syamsudhuha. "Agama, Kepercayaan, Dan Kelestarian Lingkungan Studi Terhadap Gaya Hidup Orang Rimba Menjaga Lingkungan Di Taman Nasional Bukit Dua Belas (Tnbd)-Jambi." Jurnal Kawistara 4, no. 3 (2014).
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 3 Tahun 2020, hlm. 13-21 20
Sridana, Claudia Verena Maudy, and I. Ketut Suardita. "Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 8 (2018).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59
Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 terkait Perkara Pengujian UU No. 23 Tahun 2006 jo UU No. 24 Tahun 2013 tentang AdministrasiaKependudukan.
Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 3 Tahun 2020, hlm. 13-21
21
Discussion and feedback