PELAKSANAAN PASAL 8 AYAT 1 HURUF I UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA DENPASAR
on
PELAKSANAAN PASAL 8 AYAT 1 HURUF I UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA DENPASAR
Oleh:
Eric Reinaldo*
I Wayan Wiryawan***
Program Kekhususan Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Kehidupan masyarakat yang semakin konsumtif di era globalisasi mengakibatkan berkurangnya kesadaran masyarakat terhadap produk makanan yang dikonsumsinya. Produk-produk pangan industri rumah tangga tersebut terutama makanan dalam kemasan yang tidak disertai pelabelan, tentunya produk tersebut cukup berbahaya apabila dikonsumsi oleh masyarakat selaku konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 8 ayat (1) huruf i pelaku usaha dilarang memproduksi barang dan/atau memperdagangkan barang dan /atau jasa yang tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat. Sehingga rumusan masalah yang dapat dibahas dalam penelitian ini Bagaimana pelaksanaan larangan pelaku usaha tidak memasang label terhadap produk pangan industri rumah tangga di kota Denpasar berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Apakah faktor yang menjadi kendala sulitnya konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas produk pangan industri rumah tangga tidak memasang label di kota Denpasar. Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah jenis penelitian hukum empiris. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan perundang-undangan, Pendekatan fakta Pendekatan analisis konsep hukum. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pelaksanaan larangan pelaku usaha tidak memasang label tidak sesuai dengan peraturan yang ada upaya yang lakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah dengan memberikan sosialisai dan sidak dilapangan. Dan faktor-faktor yang menjadi kendala adalah faktor sumber daya manusia, minimnya dana dan kurangnya waktu untuk sidak.
Kata kunci: Pelaku Usaha, Konsumen, Kue, BPOM.
ABSTRACT
The increasingly consumptive life of people in the era of globalization has resulted in reduced public awareness of the food products they consume. The household industrial food products, especially packaged foods that are not accompanied by labeling, of course, these products are quite dangerous if consumed by the community as consumers. In Law Number 8 of 1999 Concerning Consumer Protection article 8 paragraph (1) letter i business actors are prohibited from producing goods and / or trading goods and / or services that do not put labels or make goods explanations that contain the name of goods, size, weight / net or net content, composition, rules of use, date of manufacture, side effects, name and address of business actor, as well as other information for use which according to the provisions must be posted / made. So that the formulation of the problem that can be discussed in this study is how the implementation of the prohibition of business people from not putting labels on household food products in the city of Denpasar based on Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection and What are the factors that constrain the difficulty of consumers getting legal protection for products household food industry does not put a label in the city of Denpasar. The research method used in this thesis research is a type of empirical legal research. The type of approach used in this study is the Legislative Approach, Fact Approach Approach to the analysis of legal concepts. The results obtained from this study are the implementation of a ban on business actors not putting a label that is not in accordance with the existing regulations. The efforts made by the Food and Drug Supervisory Agency are to provide socialization and field inspection. And the factors that become obstacles are human resource factors, lack of funds and lack of time to inspect.
Keywords: Business Actors, Consumers, Cakes, Drug and Food Regulatory Agencies.
Kehidupan masyarakat pada era perkembangan zaman makin konsumtif di era globalisasi mengakibatkan berkurangnya kesadaran masyarakat terhadap produk makanan yang dikonsumsinya.1 Hal ini dikarenakan posisi konsumen lebih rendah ketimbang pelaku usaha atau yang disebut dengan produsen, sehingga dalam hal ini dibutuhkanlah wadah yang mampu merumuskan aturan-aturan sebagai pelindung konsumen.
Pada tahun 1999 Negara Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang dengan Nomor 8 tentang Perlindungan terhadap Konsumen, selanjutnya ditulis dengan UU Perlindungan Konsumen. Dimana dijelaskan bahwa terhadap lemahnya posisi konsumen yang telah menjadi faktor utama dengan rendahnya tingkat kesadaran konsumen terhadap haknya dalam melakukan aktifitas jual beli, karena peran konsumen sendiri adalah sebagai obyek aktifitas bisnis dari pelaku usaha dalam mempromosikan produk serta menetapkan perjanjian sepihak yang dapat membuat konsumen rugi.
“Berjalannya aktifitas bisnis diperlukannya keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dan produsen, namun hal tersebut sifatnya kabur, karena UU Perlindungan Konsumen tidak jelas menerangkan terhadap barang apa sajakah yang akan mendapat pertanggungjawabkan secara hukum, dan barang apa sajakah yang bisa dikaitkan dalam hubungan konsumen dan
produsen dalam hal hubungannya dalam perlindungan hukum.2 Demi mendorong terciptanya perjalannya bisnis usaha yang sehat, maka UU Perlindungan Konsumen hadir untuk melindungi konsumen dari sifat pelaku usaha yang mematikan, maka UU ini juga dapat menciptakan bisnis yang tangguh, agar pelaku usaha menyediakan barang dan jasa yang mempunyai kualitas baik.3
Sekarang ini, di kota Denpasar telah banyak menghasilkan pelaku usaha dalam usaha pangan yang telah masuk dalam kategori sekala tinggi, sedang maupun kecil. Masuknya usaha rumah tangga ke dalam sekala tersebut akan menghasilkan produk pangan industri rumah tangga. Berdasarkan pada Pasal 91 ayat 2 di dalam perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh Negara Republik Indonesia pada tahun 2012 tentang Pangan, selanjutnya akan ditulis UU Pangan, adalah cara untuk memproduksi pangan dengan menggunakan peralatan pengolahan manual yang sifatnya semi otomatis dan bertempat usaha di tempat tinggal.
Dalam hasil kegiatan industri pangan rumah tangga, banyak produk makanan yang dijual tanpa berisikan label pada kemasan produk makanan tersebut, padahal label pada produk makanan dapat menjelaskan komposisi, berat dan bersihnya makanan, aturan pakai, tanggal pembuatan dan tanggal kadaluwarsa makanan tersebut. Hal ini sangatlah penting untuk diperhatikan oleh pelaku usaha pangan industri rumah tangga, sehingga tidak akan menyebabkan kerugian terhadap konsumen sebagai pemakai barang dan jasa. Produk makanan yang dimaksud dan akan
dilakukan penelitiannya adalah produk makanan ringan yakni kue yang dijual di toko maupun di dalam pasar tradisional.
Dalam hal peredaran berbagai variasi merek yang di pasaran, yang membuat pemakai barang dan jasa yakni konsumen tidak mengetahui banyaknya informasi yang relavan mengenai produk makanan yang telah beredar dengan memakai merek maupu tidak, sehingga akibatnya bagi semua orang pun belum banyak yang mengetahui terhadap bentuk – bentuk produk makanan yang berubah, sehingga berdasarkan pernyataan Troelstrup sebagaimana dikutip dalam buku berjudul Hukum Perlindungan Konsumen oleh Erman Rajagukguk adalah saat ini pemakai barang dan jasa yakni konsumen saat ini butuh informasi yang sangat relavan.4
Rumusan Masalah
“Sebagaimana latar belakang tersebut, dirumuskan masalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah pelaksanaan larangan pelaku usaha tidak memasang label terhadap produk pangan industri rumah tangga di kota Denpasar berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
-
2. Apakah faktor yang menjadi kendala sulitnya konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas produk pangan industri rumah tangga tidak memasang label di kota Denpasar?
“Tujuan dari penulisan jurnal ilmah ini tidak lain untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan larangan pelaku usaha tidak memasang label terhadap produk pangan industri rumah tangga di kota Denpasar berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan faktor yang menjadi kendala sulitnya konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas produk pangan industri rumah tangga tidak memasang label di kota Denpasar.
“Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis empiris, yaitu pendekatan yang mengacu kepada implementasi atau penerapan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam masyarakat.5 “Dalam hal ini penulis mempelajari permasalahan dan menggunakan bahan hukum berupa buku maupun peraturan perundang-undangan untuk mengkaji permasalahan tersebut.” 2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Pelaksanaan larangan pelaku usaha tidak memasang label terhadap produk pangan industri rumah tangga di kota Denpasar berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Kewajiban pelaku usaha yang telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen secara tidak langsung merupakan bentuk perlindungan hukum kepada konsumen, yang dalam hal ini hak -hak konsumen telah diatur dalam ketentuan Pasal 4.
Hasil wawancara yang sudah dilakukan kepada Bapak Adi yang menjadi konsumen atas membeli sebuah barang dan jasa
pangan industri rumah tangga bahwa dirinya mengaku tidak mengetahui bahwa sebuah hak yang telah dimiliki olehnya diambil alih oleh si pelaku usaha atau secara tidak langsung sudah dirugikan oleh pelaku usaha dimana hak atas sebuah informasi mengenai kualitas barang dan jasa dengan jelas, yang dimana dalam hak ini pelaku usaha tidak mencantumkan label dalam barang dagangannya yaitu kue.
Dilapangan masih banyak seorang yang berperan sebagai pelaku usaha produk pangan dengan cara industri dalam rumah tangga tidak menjplplankan kewajibannya yang dimana secara tidak langsung konsumen tidak mendapatkan tidak mendapatkan hak-haknya, dimana pelaku usaha terhadap suatu produk pangan dengan industri rumah tangga ini tanpa memberikan informasi yang jelas serta belum menyertakan label pada barang dagangannya, hal tersebut sudah terlihat jelas merugikan konsumen karena belum memperoleh suatu info yang jelas terhadap kondisi, mutu barang dan tanggal barang dan jasa tersebut. Apabila hal tersebut sampai menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka kepada konsumen akan susah melakukan gugatan kepada pelaku usaha atas kerugian yang dideritanya.
Maka berhubung dengan apa yang telah dijelaskan di atas, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 8 ayat (1) yang melarang pelaku usaha memproduksi barang dan jasa yang :
-
a. belum memenuhi syarat dan standar dalam ketentuan aturan undang – undang;
-
b. di dalam barang tersebut berat bersih dan isi bersih berikut jumlah hitungan dinyatakan tidak sesuai dengan label yang melekat pada barang tersebut;
-
c. dalam hitungan, ukuran dan takaran berikut timbangannya tidak sesuai dengan yang sebenarnya;
-
d. kondisi, jaminan dan istimewanya barang tersebut tidak sesuai dengan label yang ada pada barang dan jasa tersebut;
-
e. mutu, tingkatan, komposisi, pengolahan, gaya, modenya tidak sesuai dengan apa yang telah diperlihatkan pada label barang dan jasa tersebut;
-
f. apa yang diperdagangkan tidak sesuai dengan janji yang ada pada label, etiket dan keterangan pada barang dan jasa tersebut;
-
g. tanggal kadaluarsa dan pemanfaat yang paling baik atas barang dan jasa tersebut tidak dicantumkan;
-
h. memproduksi barang dan jasa tidak secara halal, sebagaimana yang telah dinyatakan “halal” pada label’
-
i. tidak adanya informasi yang jelas untuk petunjuk pemakaian barang dalam bahasa Indonesia berdasarkan aturan perundang – undangan yang berlaku.
Larangan bagi pelaku usaha juga dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha menjual sesuatu barang yang sudah rusak, bekas, cacat serta tercemar dengan tidak memberikan info yang jelas terhadap barang yang dimaksud, ada beberapa cara agar mengetahui kondisi barang yang telah mengalami cacat adalah sebagai berikut:6
-
1. Salah pada saat diproduksi
-
2. Adanya cacat pada desain
-
3. Memberikan informasi yang tidak jelas sehingga tidak memadai
Dalam hal ini pelaku usaha terbukti melakukan pelanggaran dikarenakan pelaku usaha tidak mencamtumkan label pada barang yang diperdagangkan yaitu kue, hal ini dilanggara berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen. Kejadian ini sangat menimbulkan kerugian pada konsumen, dimana kerugian tersebut berupa kehilangan hak atas informasi. Artinya apabila pelaku usaha mencamtukan label atau merek pada kue yang diperdagangkannya maka konsumen dapat membedakan dengan kue lainnya. Pemasangan label pada produk bertujuan memberikan informasi yang jelas mengenai tanggal kadaluarsa, serta cara penggunaan produk tersebut.
-
2.2.2 Faktor yang menjadi Kendala Sulitnya Konsumen Mendapatkan Perlindungan Hukum atas Produk Pangan Industri rumah tangga tidak memasang label di kota Denpasar?
UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang sengketa konsumen. Namun yang pasti namanya sengketa adalah sesuatu permasalahan yang telah diajukan ke depan pengadilan. Dalam hal ini sengketa yang dimaksud adalah terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha.7 Berdasarkan hal tersebut, adanya sengketa konsumen atas dasar UU Perlindungan Konsumen bisa diselesaikan oleh dua cara melalui pengadilan serta diluar pengadilan atau yang disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Hukum yang berlaku di Indonesia mengenai perlindungan konsumen pada UU Perlindungan Konsumen nyatanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini telah dijelaskan pada Pasal 1 UU Perlindungan Konsumen yang dimana menyatakan
segala upaya yang dapat menjamin untuk adanya kepastian hukum yang dapat diberikan untuk perlindungan konsumen yang berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen.8 Apabila telah terjadi suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka konsumen menjalankan haknya agar mendapatkan pertanggungjawaban dari pelaku usaha.9
“Berdasarkan hasil wawancara tanggal 20 Mei 2019 dengan Bapak Adi selaku konsumen produk pangan industri rumah tangga menyatakan bahwa masih kurangnya advokasi dari yang berwenang yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dikarenakan masih kurangnya info yang beredar mengenai UU Perlindungan Konsumen, ditambah lagi dengan adanya pelanggaran oleh pelaku usaha kue, harusnya BPOM lebih ketat melakukan aktifitas pengamanan dan menyebarkan informasi dengan tujuan untuk meningakatkan kesadaran hak dan kewajiban dalam hal konsumen menggunakan dan memakai barang dan jasa.
Adanya persaingan yang ketat dalam persaingan pasar dengan penjualan berbagai macam-macam produk, maka dituntut keseriusan BPOM dalam memantau pelaku usaha dalam berjualan dan tidak semata-mata mengejar keuntungan dan mengabaikan dalam pemberian informasi atau pemberian label pada produk barang.10
Badan Pengawas Obat dan Makanan diharapkan agar melaksanakan penyuluhan yang dapat dilakukan melalui media masa yang menasehati konsumen agar berhati-hati dalam
membeli produk barang khususnya disini kue, agar tidak adanya kerugian yang timbul bagi konsumen.
Berdasarkan uraian diatas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
-
1. Kasus Terhadap larangan pelaku usaha yang tidak memasang label pada produk pangan IRT di Kota Denpasar sebagaimana dalam UU Perlindungan Konsumen yang belum dilaksanakan sesuai dengan Pasal 4, Pasal 7 dan Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen berikut usaha atau upaya dari BPOM dengan cara memberi sosialisasi serta melaksanakan sidak lapangan. Data yang didapat adalah di Kota Denpasar masih banyak pelaku usaha produk pangan IRT yang melanggar ketentuan aturan tersebut.
-
2. Bahwa faktor-faktor yang menjadi kendala sulitnya konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas produk pangan industri rumah tangga tidak memasang label. Dan faktor sarana atau fasilitas dan faktor-faktor yang menghambat Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah faktor sumber daya manusia, minimnya dana dan kurangnya waktu untuk sidak atau turun kelapangan langsung dalam hal menyidik pelaku usaha produk pangan industri rumah tangga karena terbatas jangka waktu dalam melaksanakan penyidakan tersebut. Dan juga kesadaran konsumen sendiri akan yang menjadi haknya.
“Berdasarkan uraian kesimpulan diatas, maka diberikan saran sebagai berikut:
-
1. BPOM yang bertugas di Kota Denpasar agar bekerja sama dengan instansi lebih banyak yang terkait dalam memberikan sosialisasi, khususnya kepada pelaku usaha pangan IRT dan konsumen dalam hal memproduksi dan mengkonsumsi barang dan jasa, agar dapat dilindungi apabila terjadi pelanggaran, dan memberikan informasi terkait sudah diundangkannya UU Perlindungan Konsumen yang dapat melindungi hak-hak konsumen dalam hal terjadi pelanggaran oleh pelaku usaha.
-
2. Sebaiknya konsumen ikut melakukan pengawasan terhadap peredaran makanan di pasaran, sehingga konsumen dapat mengetahui hak atas informasi, kualitas dan kuantitas barang yang akan dibeli, pengawasan terhadap pelaku usaha supaya konsumen dalam membeli kue dapat terlidungi dari para pelaku usaha yang masih menjual produk pangan IRT yang tidak memasang label.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, H. Zainuddin, 2016, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta.
Ibrahim, Johannes, dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama,
Bandung.
Miru, Ahmad, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rajagukguk, Emran, et. al., 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta.
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
Grasindo, Jakarta.
Shofie, Yusuf, 2000, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut (UUPK) Teori Dan Praktek Penegakan Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Susanto, Happy, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan,
Visimedia, Jakarta.
Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, 2001, Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Jurnal:
I Made Cahyadi, 2018, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Makanan Yang Telah Kadaluarsa Di Pasar Kereneng Denpasar.”, Kertha Semaya, Vol. 06, no. 03, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali.
I Made Dwija Di Putra, 2018, “Tanggung Jawab Penyedia Aplikasi Jual Beli Online Terhadap Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Kertha Semaya.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
13
Discussion and feedback