URGENSI PERUBAHAN NOMENKLATUR PAJAK HOTEL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009*

Oleh

I Made Ary Candra Wirawan** Ni Luh Gede Astariyani***

Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pajak Hotel masuk kategori pajak daerah, yang dikelola oleh kabupaten/kota yang pengelolanya dilaksanakan dinas peIayanan pajak yang langsung dalam pengawasan pemerintah daerah. Permasalahan yang diangkat dalam jurnal ilmiah ini bahwa peristilahan pajak hotel sudah tidak relevan digunakanan, perkembangan jasa penginapan / peristirahatan yang meningkat pesat menjadi dasar bahwa harus dilakukan perubahan nomenklatur pajak hotel agar cakupannya lebih luas mengikuti perkembangan zaman. Dalam jurnal ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang meneliti hukum dengan perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Penulis menarik kesimpulan bahwa peristilahan pajak hotel harus dilakukan perubahan nomenklatur menjadi pajak akomodasi. Melalui perubahan ini cakupan dari pajak tersebut lebih luas serta tidak terjadi lagi multitafsir dan ketidakselarasan. Dengan cakupan tersebut kedepannya perubahan nomenklatur pajak hotel menjadi pajak akomodasi yang lebih tepat untuk peningkatkan pendapatan daerah dari bidang pajak.

Kata Kunci: PAJAK, NOMENKLATUR, PAJAK AKOMODASI

ABSTRACT

Hotel Tax is categorized as a regional tax, which is managed by a regency / city whose management is carried out by the tax service office which is directly under the supervision of the local government The problem raised in this scientific journal is that hotel tax terminology is now irrelevant to use, the development of lodging/resting services which is rapidly increasing becomes the basis that changes in hotel tax nomenclature must be made so that its wider scope follows the times. In this journal, the author uses a normative legal research method that examines law with an internal perspective with the object of research being the legal norm with a statutory and conceptual approach. The author draws the conclusion that hotel tax terminology must change the nomenclature to an accommodation tax, with this change the scope of the tax is broader and there are no more interpretations and inconsistencies with the current conditions with statutory regulations. With this broader scope going forward, naming more appropriate accommodation taxes will benefit local governments to increase local revenues from the tax sector.

Keywords: Tax, Nomenclature, Accomodation Tax

  • I.   PENDAHULUAN

    1.1.    LATAR BELAKANG

Pajak di Indonesia terbagi menjadi dua menurut lembaga pemungutnya. Pertama, pajak pusat merupakan pajak yang dikelola langsung pemerintah pusat. Sementara kedua, Pajak Daerah merupakan kontribusi kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan peraturan dengan tidak bisa langsung mendapat imbalan dan digunakan untuk kebutuhan daerah. 1

Pajak yang dipungut atau dikelola provinsi dan kabupaten/kota termasuk kategori pajak daerah, Pajak Hotel masuk dalam ketegori tersebut.2 Dalam pasal 1 angka 20 UU No. 28 Tahun 2009, mengantur bahwa Pajak Hotel sebagai pajak atas pelayanan

yang disediakan hotel. Sementara dalam pasal 1 angka 21 menjelaskan bahwa hotel merupakan fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipunggut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Perkembangan sektor pariwisata seperti perhotelan sangatlah pesat, berkembangnya jenis-jenis tempat penginapan / peristirahatan semakin beragam jenisnya. Penggunaan penyebutan Pajak Hotel dewasa ini sudah tidak cocok lagi untuk digunakan dalam hal menentukan cakupan dari pajak dan objek pajak yang akan dikenakan karena perkembangan macam-macam jasa penginapan / peristarahatan. Masih ada jenis tempat penginapan yang tidak termasuk dalam ruang lingkup pajak hotel antara lain seperti villa, resort, guesthouse, hostel dan kos-kosan mewah. Perubahan penyebutan nama (nomenklatur) terhadap pajak hotel harus dilakukan, agar ruang lingkupnya luas serta pengenaan pajaknya bisa terealisasi dengan baik. Di Indonesia khususnya jika hal ini dibiarkan akan menghambat industri pariwisata dan perhotelan, serta menyebabkan tidak maksimalnya salah satu fungsi dari pemerintah daerah (dinas pelayanan pajak) untuk memunggut pajak sesuai dengan fungsi dan wewenangnya dan juga bisa mengurangi pendapatan daerah yang didapat dari pajak daerah itu sendiri.

Dari uraian diatas, penulis dapat melihat adanya penggunaan nama pajak hotel sudah tidak cocok lagi digunakan di era sekarang, oleh karna itu harus ada penggantian penyebutan nama (nomenklatur) terhadap penggunaan nama tersebut agar cakupan objek dan ruang lingkupnya lebih luas dan jelas.

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dibuat judul “Urgensi Perubahan Nomenklatur Pajak Hotel Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya, sebagai berikut :

  • 1.    Apa yang menjadi ruang lingkup pajak hotel berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ?

  • 2.    Apa urgensi perubahan nomenklatur pajak hotel pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup dari pajak hotel saat ini serta untuk mengetahui alasan serta kepentingan perubahan nomenklatur pajak hotel menjadi pajak akomodasi.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penelitian

Dalam karya tulis ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, membahas hukum dilihat dari segi perspektif internal dengan objeknya ialah norma hukum. Penelitian hukum normatif berfungsi memberi argumentasi yuridis, serta dalam membahas permasalahannya digunakan pendekatan perrundang - undangan dan pendekatan konseptual.3

  • 2.2    Hasil Dan Analisis

    2.2.1    Ruang Lingkup Pajak Hotel Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

Negara sejatinya mempunyai tugas untuk mensejahtrakan rakyatnya. Negara harus terdepan dan bergerak aktif dalam kehidupan masyarakat, dan dibidang perekonomian agar terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Agar mencapai dan menciptakan tujuan tersebut dibutuhkan biaya-biaya yang besar, oleh karena itu demi berhasilnya upaya itu negara memunggut biaya dari pajak.4 Umumnya pajak merupakan iuran rakyat, pajak dipunggut oleh penguasa berdasarkan peraturan yang tertulis untuk mencapai kesejahteraan umum.

Pajak juga mempunyai dua fungsi, berikut fungsi pajak secara umum :

  • 1.    Fungsi Budgetair

Dimana pajak merupakan sumber dana pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan Negara.

  • 2.    Fungsi Mengatur (regullerend)

Dimana pajak digunakan dalam hal mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang social dan ekonomi.5

Dasar pengenaan Pajak secara konstitusional terdapat pada Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “pajak dan punggutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Peraturan mengenai Pajak wajib

berdasarkan keadilan serta kemampuan rakyat menjadi dasar pemerataan, dan menjamin kepastian hukum.6

Subjek pajak ialah siapa yang dikenakan pajak, serta objek pajak ialah penghasilan, yaitu tambahan kemampuan ekonomis yang didapatkan langsung wajib pajak, digunakan sebagai konsumsi serta untuk menambah kekayaan dari Wajib Pajak.7

Disebutkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, subjek dari pajak hotel itu sendiri ialah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel tersebut sementara wajib pajaknya merupakan orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Terkait pemungutannya, Dinas Pelayanan Pajak merupakan lembaga yang mempunyai wewenang untuk memungut pajak di daerah dibawah pengawasan langsung dari Pemerintah Daerah. Sumber pendapatan setiap daerah salah satunya adalah pajak yang langsung dikelola daerah. Salah satu pajak yang langsung dikelola daerah adalah pajak hotel. Ketentuan Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menjelaskan pada intinya pajak hotel merupakan pajak atas pelayanan yang disediakan hotel dengan pembayaran, termasuk pula seperti jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel.8 Sesuai dengan penjelasan pasal 1 angka 21 ruang lingkup hotel disini hanya seperti motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, rumah penginapan, kos-kos yang lebih dari 10 kamar. Namun demikian dijelaskan juga pada pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adanya

pengecualian untuk yang tidak masuk ruang lingkup objek dari pajak hotel, sebagai berikut :

  • 1.    Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

  • 2.    Jasa sewa apartemen, kondominum, dan sejenisnya.

  • 3.    Jasa tempat tinggal dipusat pendidikan atau kegiatan keagamaan.

  • 4.    Jasa tempat tinggal rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, pantai asuhan, dan pantai sosial lainnya.

  • 5.    Jasa biro perjaIanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.

Pemungutan Pajak Hotel langsung dari jumlah pembayaran yang dibayar untuk hotel. Sementara itu untuk tarif dari pajaknya tertinggi sebesar 10 %. Dilihat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pengenaan pajak hotel ini dikenakan pada pelayanan hotel dan jasa penunjang. Selain penjelasan penulis diatas ruang lingkup jasa penginapan / peristirahatan lainnya tidak diatur terkait objek, subjek, dan pengenaan pajaknya. Hal seperti ini menjadikan tidak selaras lagi sebuah peraturan dengan keadaan sekarang, bahwa memang dulu jenis yang kita tahu hanya hotel saja, dewasa ini perkembangannya semakin pesat dan beragam jenisnya.

  • 2.2.2    Urgensi Perubahan Nomenklatur Pajak Hotel Dalam

    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Saat ini perkembangan industri jasa penginapan / peristirahatan di Indonesia semakin meningkat. Ada beberapa peraturan yang menghambat peningkatan industri jasa penginapan / peristirahatan yang secara tidak langsung juga menghambat peningkatan industri pariwisata di negeri ini. Hotel

merupakan satu jenis akomodasi yang kita kenal. Setiap daerah di Indonesia khusunya daerah pariwisata memiliki jenis hotel yang beragam guna menunjang perindustrian pariwisata didaerah tersebut. Pajak Hotel merupakan kategori pajak daerah, artinya hasil punggutan pajak ini dipergunakan untuk memibayai keperluan daerahnya. Dalam penyelenggaraan urusan ini dinamakan asas desentraliisasi.9

Susuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retibusi Daerah, terkait Pajak Hotel disebutkan di Pasal 1 angka 20 dan 21, sementara penjelasan Pajak Hotel disebutkan didalam Bagian Ketujuh Pasal 32-36. Disebutkan pula ada beberapa jenis tempat penyedia jasa penginapan / peristirahatan yang masuk dalam ruang lingkup hotel, seperti motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, rumah penginapan dan sejenisnya, kos-kosan yang lebih dari 10 kamar. Apabila dikaitkan dengan kemajuan atau perkembangan industri jasa penginapan / peristirahatan saat ini sudah barang tentu masih ada beberapa jenis tempat yang tidak tertulis atau tidak masuk dalam ruang lingkup hotel. Hal inilah yang akan menimbulkan multitafsir didalam istilah Pajak Hotel dan ruang lingkup hotel tersebut. Adanya ketidakserasian yang akan menimbulkan kekaburan norma dalam hal pengenaan pajak terkait ruang lingkup dari pajak hotel itu sendiri. Penamaan istilah Pajak Hotel dewasa ini memang sudah tidak cocok lagi digunakan, banyaknya permasalahan terkait penamaan istilah itu, banyak menghambat pelaku-pelaku industri terkait, oleh karna itu upaya perubahan nomenklatur istilah Pajak Hotel harus dilaksanakan guna berjalan lancar perindustrian jasa penginapan /

peristirahatan sebagai jasa penunjang indsutri pariwisata disuatu daerah dan pengenaan pajaknya selarasan dengan perkembangan zaman modern saat ini. Apabila dari setiap aspek sudah tersusun dengan terstruktur, baik dari peraturan yang mengatur terkait pengenaan pajak, pemunggutan pajak, objek pajak yang jelas, wajib pajak, ruang lingkup pajak diperjelas dan diperluas tidak akan lagi menimbulkan multitafsir dan ketidakselarasan antara kondisi saat ini dengan peraturan perundang-undangan terkait.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa dalam peraturan diatas terdapat kekaburan norma serta multitafsir antara jenis pajak yang dimaksud dengan objeknya, serta ruang lingkupnya yang kurang luas ditinjau dari keadaan dewasa ini penamaan istilah dari pajaknya juga menibulkan multitafsir, sehingga untuk itu penulis melakukan interpretasi hukum. Interpretasi gramatikal dan interpretasi sosiologis, merupakan interprestasi yang digunakan dalam jurnal ini. Dalam metode interpretasi gramatikal digunakan untuk mengetahui arti yang mutlak atau yang sebenarnya dari setiap kata serta susunan perkata dalam suatu norma hukum. Setelah memakai metode dalam hal menganalisa peraturan perundang-undangan, penulis menemukan kekaburan dalam kata “penyedia jasa penginapan/peristirahatan” dan “termasuk jasa lainnya yang dipunggut bayaran” dikaitkan dengan Pajak Hotel. Apakah penyedia jasa penginapan/peristirahatan saat ini khususnya di setiap daerah di Indonesia hanya hotel saja, apakah yang termasuk dalam klasifikasi hotel sebagai penyedia jasa penginapan/peristirahatan hanya tertera pada bunyi butir pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Sekarang perkembangan tempat penginapan/peristirahatan di Indonesia diluar cakupan pasal tersebut sudah semakin meningkat, seperti halnya villa, resort, beach house, guest house,

kos-kosan mewah. Dengan banyaknya jenis tempat penginapan/peristirahatan saat ini sudah tentu harus diikuti oleh peraturan yang mengaturnya, dimana dengan adanya jenis-jenis tempat penginapan /peristirahatan yang beragam, harus ada suatu istilah penamaan pajak yang tepat serta mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan jasa tempat penginapan/peristirahatan. Terlihat adanya batasan cakupan yang dimaksud dengan hotel itu membuat cakupannya hanya seputaran itu saja, oleh karna itu harus diperjelas lagi dan harus lebih diperluas lagi cakupannya agar tidak timbulnya kekaburan norma dan multitafsir. Penamaan pajak hotel itu sendiri sudah tidak cocok karena cakupannya belum terlalu luas dan tidak sejalan dengan perkembangan jasa penginapan / peristirahatan di Indonesia, oleh karna hal itu harus adanya upaya perubahan penyebutan sebagai nomenklatur pajak hotel menjadi pajak akomodasi, serta memperluas dan memperjelas cakupannya. Disini yang dimaksud dengan Akomodasi adalah sarana unutk menyediakan jasa pelayanan tempat penginapan/peristirahatan yang dapat dilengkapi pelayanan makan dan minum serta jasa lainnya. Ditambahkannya perkataan “termasuk jasa lainnya yang dipunggut bayaran” setelah perkataan “peyedia jasa penginapan / peristirahat” membuat multitafsir yang rumit lagi, dimana dengan adanya perkataan itu menimbulkan pemikiran bahwa tidak adanya batas cakupan dari apa yang termasuk didalam klasifikasi hotel itu sendiri, perkataan itu dapat diartikan bahwa semua jasa penginapan / peristirahatan yang dipunggut bayaran termasuk didalam cakupan hotel, tetapi mengapa hanya beberapa jasa penginapan / peristirahatan yang tertera dan masuk dalam cakupan pajak hotel, oleh karna itu agar tidak berkembangnya multitafsir yang semakin rumit, cakupan dari hotel itu sendiri

harus lebih jelas, harus diperluas, serta tidak membingungkan. Di sisi lain, dengan menggunakan metode interprestasi sosiologis yang artinya melakukan penafsiran dengan melihat keadaan yang nyata sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman itu sendiri. Melihat situasi dan keadaan saat ini, perkembangan zaman semakin maju dan canggih, perkembangan di berbagai sektor industri ikut semakin meningkat. Dapat dikaji bahwa peristilahan “Pajak Hotel” sudah tidak cocok lagi dipakai karena perkembangan jasa penginapan / peristirahatan itu. Jasa penginapan / peristirahatan sudah berkembang diluar cakupan “Pajak Hotel”, peristilahan yang cocok digunakan sesuai dengan kondisi saat ini ialah “Pajak Akomodasi” dengan dipakainya peristilahan Pajak Akomodasi, terlihat jelas bahwa cakupan didalamnya lebih luas, baik mengenai jenis pajaknya, objek pajaknya, dan juga cakupan dari jasa penginapan / peristirahatan lebih menyeluruh.

  • III.  PENUTUP

    • 3.1  Kesimpulan

  • 1.    Ruang lingkup Pajak Hotel sejatinya masih memiliki cakupan yang tidak luas, sementara yang masuk kedalam cakupan hotel hanya beberapa jenis jasa penginapan / peristirahatan, yang dewasa ini perkembangan jasa penginapan / peristirahatan sudah semakin meningkat dan bermacam-macam jenisnya diluar yang sudah dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Selain jenis tempat penginapan / peristirahatan yang sudah diatur didalam undang-undang tersebut belum diatur kembali terkait objek, subjek, serta pengenaan pajaknya. Artinya jenis jasa penginapan / peristirahatan lainnya belum masuk didalam ruang lingkup Pajak Hotel.

  • 2.    Mengenai peristilahan “Pajak Hotel” terlihat jelas tertera pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sudah kurang relevan lagi digunakan, adanya kekaburan norma serta multitafsir terhadap peristilahan ini. Pengantian peristilahan (nomenklatur) “Pajak Hotel” menjadi “Pajak Akomodasi” sebaiknya dilakukan. Pajak Akomodasi memiliki cakupan lebih luas, ruang lingkup lebih luas, objek, subjek, serta pengenaan pajaknya tepat. Seiring dengan perkembangan industri dibidang jasa penginapan / peristirahatan jenis-jenisnya akan semakin bermacam-macam. Dengan peristilahan “Pajak Akomodasi” hal-hal terkait pajaknya bisa mempunyai cakupan yang lebih luas dan jelas.

  • 3.2    Saran

Pemerintah Indonesia layaknya dapat melakukan penggantian peristilahan (nomenklatur) “Pajak Hotel” menjadi “Pajak Akomodasi” pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, kedepannya agar ruang lingkup cakupan dari pajak tersebut lebih luas dan sesuai dengan perkembangan saat ini. Dimana dengan adanya penggantian nama “Pajak Hotel” menjadi “Pajak Akomodasi” membuat pengenaan pajaknya akan lebih tepat, lebih luas ruang lingkupnya serta menguntungkan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerahnya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bohari H, 2016, Pengantar Hukum Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Diantha, I Made Pasek, 2017, Metodologi Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Pernada Media Grup, Jakarta.

Ilyas, Wirawan Bermawi dan Richard Burton, 2013, Hukum Pajak:  Teori, Analisis, dan Perkembangannya, Salemba

Empat, Jakarta.

Mardiasmo, MBA, AK. 2008, Perpajakan Edisi Revisi, Andi Offset, Yogyakarta.

Sutedi, Adrian, 2011, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta.

Sunarno, Siswanto, 2014, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

JURNAL ILMIAH

Memah, Edward W,2013,"Efektivitas Dan Kontribusi Penerimaan Pajak Hotel Dan Restoran Terhadap PAD Kota Manado." Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).

13