PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PIHAK KETIGA DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PIHAK KETIGA DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015*
Oleh:
Yohanes Setiadi** Ida Bagus Putra Atmadja*** I Wayan Novy Purwanto****
Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menghasilkan tafsiran baru terhadap Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Singkatnya, isi amar putusan tersebut telah memberikan kebolehan kepada suami-istri yang terikat perkawinan untuk mengadakan perjanjian kawin. Dengan berlakunya tafsiran baru tersebut tanpa adanya aturan-aturan lain yang melengkapi menyebabkan kekaburan norma yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan. Perihal tersebut menjadi rumusan masalah penelitian ini, yakni mengenai keabsahan dari perjanjian perkawinan pasca putusan, dan tentang perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga pada perjanjian perkawinan. Penelitian ini dilakukan secara normatif, dengan menggunakan pendekatan konsep hukum dan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 adalah sah karena dan selama tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar, dan tentang perlindungan hukum kepentingan pihak ketiga lebih berisifat represif sebab identitas pihak ketiga dan kepentingannya dalam perjanjian perkawinan baru terlihat setelah terjadinya permasalahan antara para pihaknya.
Kata kunci: perlindungan hukum., pihak ketiga., perjanjian perkawinan.
ABSTRACT
Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 forms new interpretations to Article 29 of Constitution Number 1 Year 1974 of Marriage. In short, the new interpretations now allow already married couples to make prenuptial agreement. With the new interpretations apply immediately without any other complementing rules that follow causing obscurities in norms related to prenuptial agreement. That is the main topic in this paper, which discuss problems such as the legality of prenuptial agreement post the court decision, and the legal protection towards third party’s interest in prenuptial agreement. This paper is written using normative method, done with constitutional approach and concept of law approach. The materials used are primary law materials and the secondary materials. This research conclude that any prenuptial agreements made post Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 are legal because and as long as there are no conflicts with any related regulations, and regarding legal protection towards the interests of third party is more leaning towards represive because the third party's indentity and interests in prenuptial agreement only show after the event of conflict between related parties.
Keywords: legal protection., third party., prenuptial agreement.
Perbuatan perkawinan merupakan perbuatan hukum dengan pengaturannya tertuang dalam UU Perkawinan. Perkawinan pada Pasal 1 disebutkan, “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dapat dikatakan alasan utama pasangan melakukan perkawinan guna membangun keluarga, sehingga diperlukan adanya kerja sama antar suami istri dalam segala aspek kehidupan mereka bersama dalam keluarga.
Perbuatan perkawinan menciptakan persoalan mengenai harta kekayaan perkawinan, seperti harta benda yang oleh masing-masing pihak dalam pasangan dimasukkan ke dalam perkawinan, dan persatuan harta kekayaan bersama. Perihal harta benda, ada perbedaan antar pengaturan satu dengan yang lainnya dalam hukum perkawinan Indonesia, yakni pada UU Perkawinan dan KUHPerdata. Pasal 35 UU Perkawinan menyebutkan:
-
(1) “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.”
-
(2) “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Pengaturan tentang kekayaan dalam perkawinan ada di BAB VI pada KUHPerdata. Pengaturan tentang kekayaan yang dimiliki oleh pihak suami dan pihak istri dalam perkawinan disebutkan pada Pasal 119:
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Pasal-pasal berikutnya juga menegaskan bahwa harta benda yang didapatkan pada masa perkawinan, pendapatan, sampai utang, akan digabungkan bersama setelah dilangsungkannya perkawinan. Harta warisan dan hibah pun termasuk ke dalam penggabungan tersebut, namun apabila disebutkan lain oleh pewaris, dapat dikecualikan. Pasal 85 KHI juga menyebutkan,
“Adanya harta benda bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.” UU Perkawinan mengatur lebih lanjut mengenai harta bersama yang disebutkan dalam KHI. Pemisahan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri diatur lebih lanjut dalam BAB VII KHI dengan pembuatan perjanjian perkawinan.
Terlihat dari ketiga aturan hukum mengenai perkawinan di Indonesia tersebut, ada persamaan kebijakan untuk memberikan ketentuan lain dalam mengatur harta kekayaan milik para pihak dalam pasangan, yakni melalui perjanjian perkawinan. Para pihak dalam melakukan perbuatan perkawinan diberikan kebebasan apabila hendak melangsungkan perkawinan dengan dituangkan dalam perjanjian kawin. Soetojo memberikan definisi perjanjian perkawinan adalah, “Perjanjian yang dibuat oleh dua orang, yakni calon suami dan istri dari perkawinan, sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.” 1 Subekti juga memberikan definisinya yakni, “Perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas dan pola yang diterapkan oleh undang-undang.”2
Latar belakang keluarnya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikarenakan permohonan uji oleh seorang WNI pelaku perbuatan perkawinan campuran. Pemohon merasa pengaturan yang ada pada UUPA dan UU Perkawinan memaksa pelaku perkawinan campuran tidak dapat mempunyai status Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan untuk rumah sebab bertentangan
dengan rumusan dalam perundang-undangan mengenai bagaimana aturan harta bersama dan perjanjian perkawinan.3
Permohonan uji ini berakhir dengan dikabulkannya sebagian permohonan pemohon oleh MK. Dalam amar putusannya, MK memberi tafsiran baru secara konstitusional atas Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) dari UU Perkawinan. Tafsiran baru dari Putusan MK itu singkatnya memberikan kebolehan baru atas perjanjian perkawinan supaya dapat dibuat dan dicabut baik pada masa perbuatan perkawinan telah dilangsungkan. walaupun tidak semua dari permohonan uji materinya dikabulkan, hasil dari putusan tersebut telah sesuai dengan harapan pemohon.
Dilatarbelakangi oleh permasalahan itu, ditarik suatu rumusan masalah penelitian yang mana bisa diungkapkan dengan pertanyaan-pertanyaan:
-
1. Bagaimanakah keabsahan daripada suatu perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca lahirnya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015?
-
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015?
Tujuan daripada penelitian ini untuk mengkaji dan memahami lebih lanjut mengenai keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca
putusan MK 69/PUU-XIII/2015, dan mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan pasca Putusan MK 69/PUU-XIII/2015.
Penelitian ini tergolong ke dalam jenis penelitian hukum normatif, yang berarti penelitian yang meletakkan hukum sebagai sebuah struktur sistem norma Soerjono Soekanto memberikan pendapat, “penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.”4
Pendekatan dalam penelitian oleh Pasek Diantha disebutkan bahwa pendekatan dalam penelitian hukum normatif terdiri dari, pendekatan perundang-undangan atau statute approach, pendekatan konseptual atau conceptual approach, pendekatan sejarah hukum atau historical approach, pendekatan kasus atau case approach, dan pendekatan perbandingan atau comparative approach. Penelitian ini memakai dua metode, yakni metode pendekatan perundang-undangan, dan berikutnya adalah pendekatan konseptual.
-
2.2. Hasil Dan Analisis
2.2.1. Keabsahan Daripada Suatu Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015
Pengaturan yang menyangkut perjanjian perkawinan ada pada Bab V UU Perkawinan dengan hanya terdiri oleh satu pasal, yakni Pasal 29. Pasal tersebut diikuti oleh empat ayat, yang mana menyebutkan:
-
(1) “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
-
(2) “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan.”
-
(3) “Perjanjian tersebut berlangsung semenjak perkawinan dilangsungkan.”
-
(4) “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bilamana dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.”
Atas dasar Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, maka pengaturan yang ada pada Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU
Perkawinan dimaknai:
-
(1) “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
-
(3) “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
-
(4) “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.”
Sebelum adanya Putusan MK tersebut, isi daripada Pasal 29 ayat (1) mengatur mengenai kapan pembuatan perjanjian seharusnya dilakukan yang mana lebih lanjut dijelaskan dengan, “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis....” Dan mengenai keberlakuannya disebut dalam ayat (3), “perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.” Namun dengan tafsiran baru pada ayat (1) dan (3), bisa dikatakan sekarang perjanjian kawin untuk dapat dibuat dan diberlakukan kapan saja oleh pasangan. Lalu pada ayat (4) mengatur kemampuan untuk suatu perjanjian perkawinan dilakukan pengubahan atau pencabutan.
Perjanjian perkawinan yang oleh para pihak telah dibuat dan dihsahkan di hadapan pejabat notaris adalah sah, sesuai dengan Pasal 147 KUHPerdata, juga Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Namun jika perjanjian perkawinan hanya sampai pada pengesahan notaris saja dan tidak didaftarkan kepada instansi penyelenggara, seperti Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), isinya tidak mampu untuk dipaksakan kepada pihak ketiga. Namun perjanjian perkawinan itu tetap sah adanya, dan berdasarkan asas pacta sunt servanda, subjek hukum yang menjadi pihak dalam pembuatan perjanjian itu tetap terikat oleh ketentuan perjanjian.
Tanpa didaftarkannya sebuah perjanjian menyebabkan nihilnya asas publisitas dari perjanjian itu sehingga pihak ketiga tidak dapat terikat ke dalam perjanjian perkawinan.
Walaupun pada dasarnya akta otentik memiliki kekuatan lebih yang oleh R. Subekti disebutkan sebagai, “kekuatan pembuktian formal, materiil, dan pembuktian kepada pihak ketiga.” 5 Anggapan ketidaktahuan pihak ketiga mengenai eksistensi perjanjian kawin hanya dapat diterima apabila pihak ketiga memang benar tidak mengetahui eksistensi perjanjian kawin dari pihak suami-istri, dan belum didaftarkannya perjanjian itu. Apabila pihak ketiga menyadari bahwa perjanjian perkawinan yang disebut benar adanya dan juga sudah didaftarkan, pihak ketiga tidak boleh lagi beranggapan tidak ada perjanjian perkawinan dan bahwa terjadi persatuan harta perkawinan antar suami-istri.6 Lain halnya apabila pihak ketiga menyadari adanya perjanjian kawin, namun oleh pihak suami-istri belum didaftarkan. Dalam hal demikian kembali mengacu bahwa perjanjian itu tidak memiliki daya ikat atas pihak ketiga.
Kewenangan yang dimliki oleh MK disebut dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK) salah satunya, “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang mana putusannya bersifat final.” Maksud dari bersifat final, “yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.” Sifat berikutnya dari Putusan MK yaitu sifatnya yang mengikat, artinya bahwa
Putusan MK tidak secara khusus mengikat para pihak yang mengajukan permohonan saja, melainkan juga kepada seluruh masyarakat Indonesia,. Kedua sifat tersebut menjadi alasan Putusan MK dapat langsung diberlakukan tanpa harus menunggu adanya aturan-aturan lain yang melengkapinya.
-
2.2.2. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga dalam Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015
Perlindungan hukum diartikan Philipus M. Hadjon sebagai,
“... perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.”7
Jenis perlindungan hukum terbagi menjadi dua. Pertama adalah perlindungan hukum preventif, yang oleh Muchsin diartikan sebagai, “perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah bertujuan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.” 8 Yang kedua merupakan perlindungan hukum represif, yang didefinisikan Philipus M. Hadjon sebagai, “bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.”9
Pembuatan perjanjian perkawinan pra Putusan MK hanya dimungkinkan sebelum atau pada waktu dilakukannya perbuatan
perkawinan, dan berdasarkan persetujuan bersama perjanjian tersebut dapat diubah kemudian hari namun tidak dapat dicabut. Berbeda jauh dengan pengaturan pasca Putusan MK, yang mana membolehkan perjanjian perkawinan untuk dibuat dan diberlakukan kapan saja sesuai waktu yang ditentukan oleh pihak-pihak pembuat perjanjian itu. Tafsiran baru ini juga memberi kebolehan untuk mengubah juga mencabut suatu perjanjian perkawinan. Berbeda dengan sebelumnya yang hanya memperbolehkan dilakukannya pengubahan, namun tidak pencabutan.
Dari beberapa hal tersebut, terlihat jelas bahwa efektifitas perlindungan hukum dalam pengaturan perjanjian perkawinan terhadap kepentingan pihak ketiga berkurang. Karena dengan pengaturan pasca Putusan MK, memberikan celah terjadinya masalah apabila pasangan suami-istri yang mempunyai hubungan hukum dengan pihak ketiga, kemudian hari melakukan pembuatan, pengubahan, atau pencabutan perjanjian perkawinan.
Pada dasarnya, perlindungan hukum yang diberikan dalam pengaturan perjanjian perkawinan terhadap kepentingan pihak ketiga memang lebih bersifat represif. Namun dengan adanya perbandingan antar pra dengan pasca Putusan MK, terlihat bahwa pengaturan perjanjian perkawinan terdahulu mempunyai sifat perlindungan hukum preventif. Dengan tidak dimungkinkannya pembuatan perjanjian perkawinan oleh pasangan setelah dilangsungkannya perkawinan, waktu keberlakuan perjanjian perkawinan yang pasti, dan tidak dibolehkannya pencabutan atas suatu perjanjian perkawinan, memberikan celah yang lebih kecil untuk terjadinya permasalahan oleh karena kealpaan atau bahkan itikad buruk dari pasangan suami-istri.
Notaris adalah jabatan yang pada tafsiran baru Putusan MK ditambahkan pada ayat (1). Notaris memang telah memiliki peran dalam perjanjian perkawinan baik sebelum Putusan MK, dengan dasar Pasal 147 KUHPerdata. Namun pasca Putusan MK, ditegaskan kembali bahwa dalam hal perjanjian perkawinan pejabat notaris mempunyai peranan penting. Hal ini menyebabkan kalangan pejabat notaris memberikan perhatian lebih kepada akibat hukum daripada Putusan MK, terutama dalam kasus pasangan yang hendak membuat perjanjian perkawinan saat masih terikat perkawinan.
Tertuang dalam ayat (1) pada Pasal 16 huruf a UUJN bahwa, "notaris wajib menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.” Selain itu, notaris pada saat menjalankan tugasnya bersamaan harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. Notaris perlu melakukan langkah perlindungan hukum preventif dalam membuat akta, guna melindungi dirinya sendiri dan juga para pihak dalam akta. 10 Habib Adjie memberikan pendapatnya tentang bagaimana notaris sebaiknya bertindak dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK, dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut. Selain untuk melindungi diri notaris untuk terlibat dari sengketa yang lahir di kemudian hari, pendapat ini juga berguna supaya kepentingan pihak ketiga terlindungi. Hal-hal yang dimaksud perlu untuk diperhatikan seperti:
-
1. “Meminta daftar inventarisasi harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan yang akan dicatumkan dalam akta;”
-
2. “Ada pernyataan harta-harta tersebut tidak pernah ditransaksikan dengan cara dan bentuk apapun, untuk dan kepada siapapun.”11
-
III. PENUTUP
-
1. Pengaturan yang ada baik dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan tentang perjanjian perkawinan menyatakan bahwa pembuatan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan sebelum dan pada waktu perbuatan perkawinan dilakukan. Pasca adanya Putusan MK 69/PUU-XIII/2015, memberikan tafsiran baru menyebabkan perjanjian perkawinan juga dapat dibuat setelah berlangsungnya perkawinan, yang mana adalah sah selama tidak melanggar pengaturan dalam UU Perkawinan dan KUHPerdata.
-
2. Perlindungan kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan pasca Putusan MK 69/PUU-XIII/2015 lebih bersifat represif, karena identitas dan kepetingan daripada pihak ketiga tidak terlihat apabila tidak ada hubungan hukum antar dirinya dengan baik salah satu atau pasangan suami-istri. Kepentingan pihak ketiga yang terganggu juga baru terlihat ketika ada permasalahan yang terjadi antara para pihak, sehingga perlindungan hukum yang bersifat represif lebih efektif daripada perlindungan hukum preventif dalam penyelesaian kasus.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En FamilieRect), Airlangga University Press, Surabaya .
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi I, Cet.I, Prenada Media Group, Jakarta.
Iqbal Hasan M., 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Subekti, R, 1985, Hukum Pembuktian, Pradnya Pramita, Jakarta.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya.
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Jurnal Ilmiah
Claudia Verena Maudy Sridana, 2018, “Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan”, Kertha Semaya Volume 6 Nomor 8, Universitas Udayana, Denpasar.
Ida Bagus Paramanigrat Manuaba, 2018, “Prinsip Kehati-hatian Notaris dalam Membuat Akta Autentik”, Acta Comitas (2018) 1, Universitas Udayana, Denpasar.
Makalah
Habib Adjie, 2016, Memahami Kedudukan Hukum: Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, makalah pada seminar Ikatan Notaris Indonesia, Hotel Grasia Semarang, 19 Desember 2016.
Internet
Agus Sahbani, 2016, MK ‘Perlonggar’ Makna Perjanjian Perkawinan, hukumonline.com,https://www.hukumonline.com/berita/b aca/lt5811d246a9498/mk-perlonggar-makna-perjanjian-perkawinan, diakses 7 Juli 2019.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, Tahun 2008, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
15
Discussion and feedback