WEWENANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN FUNGSI KONTROL ADENIN UDARA PADA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA*

Oleh:

Desak Ayu Kristyana Dewi**

I Wayan Bela Siki Layang***

Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Perhatian tentang lingkungan di Indonesia dalam bidang eksekutif secara tidak langsung diberikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tulisan ini mengangkat dua persoalan hukum, Pertama, apakah ruang lingkup pelaksanaan pengawasan dan pengendalian baku mutu udara ambien hanya diletakan pada Dinas Lingkungan Hidup? Kedua, Bagaimana kewenangan dari Dinas Lingkungan Hidup dalam melaksanakan peraturan terkait baku mutu udara ambien di Indonesia?. Tujuan penulisan yakni agar konsisten dengan permasalahan yang diangkat, jadi tujuan pertama disesuaikan dengan rumusan masalah kesatu, tujuan kedua disesuaikan dengan rumusan masalah kedua. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analisis dan konseptual. Setelah dilakukan analisis, maka dapat disimpulkan, pertama ruang lingkup pelaksanaan kewewenangan tegas secara fungsional dari Dinas Lingkungan Hidup di Indonesia masih cenderung   tidak   konsisten    perumusannya    sehingga

mengakibatkan adanya ketidakjelasan pada pelaksanaan fungsi tersebut; dan kedua, kewenangan untuk menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup tidak terletak kepada Kementerian lingkungan hidup pada obyek konkrit.

Kata Kunci : Baku Mutu Udara Ambien, Lingkungan Hidup, Pengawasan.

Abstract

Attention on the environment in Indonesia in the indirect sector was given to the Ministry of Environment and Forestry. This paper discusses two legal issues, First, is it necessary to approve and supervise quality standards only placed in the Office of the Environment? Second, how is the authority of the Office of the Environment in the implementation of qualifications related to ambient Indonesia? The objectives are adjusted to the formulation of the problem raised, so the first objective is adjusted to the formulation of the first problem, the second objective is adjusted to the formulation of the second problem. The method used is a normative research method with agreement and analysis and conceptual. After an analysis has been made, it can be concluded that, first of all, the approval space is carried out with the approval of the functional from the Office of the Environment in Indonesia, which still does not require its formulation, thereby increasing uncertainty in the implementation of the function; and second, the task to regulate and preserve the functions of the Environment is not provided to the Ministry of Environment on concrete objects.

Keywords: Ambient Air Quality Standards, Environment, Supervision.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Kualitas udara yang baik menjanjikan peningkatan dan kestabilan kesehatan bagi masyarakat dalam sebuah lingkup wilayah. Pentingnya kualitas udara yang baik bagi seorang manusia ini ternyata telah disadari oleh pemerintah sehingga dengan berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan negara ditautkan pada pemberdayaan masyarakat atas stabilitas ekosistem. Akan tetapi, meskipun perumusan aturan dalam penyelenggaraan negara tersebut diperuntukan untuk membenahi sistem yang ada, penting untuk memahami pula bahwa keadatan, budaya, kearifan lokal maupun folklor yang hidup dalam sebuah daerah adalah sebuah sumber pendukung atau supporting resources bagi seorang kesuksesan kebijakan tersebut. Dalam jurnal yang disusun oleh Hardiansyah dkk yang menjadikan

kasiat makanan sebagai variabel penelitian menjelaskan bahwa sejatinya Tambelo, Siput dan Kerang tidak memiliki kasiat yang berarti namun oleh karena statusnya yang merupakan sebuah intagible atau sebuah produk berwujud yang memiliki hak istimewa secara keadatan.1

Pembahasan ini kemudian menarik untuk dibahas oleh karena sistem hukum adat yang berkembang di masyarakat merupakan salah satu kontribusi penunjang dalam kesuksesan sebuah program. Soerjono Soekanto menjelaskan dalam sistem pengendalian sosial, hasrat untuk hidup teratur merupakaan sebuah dorongan manusiawi oleh karena folkways (kebiasaan) yang bersumber dari cara (usage).2 Kedudukan dari kebiasaan yang ada di masyarakat menjadi sebuah tautan yang tidak dapat dikesampingkan sehingga patutnya pemerintah menyusun sebuah kebijakan yang berbasis keadatan untuk dapat menjamin kesuksesan penyelenggaraan kebijakannya. Apabila membahas secara khusus pada Provinsi Bali yang dibentuk sejak tahun 1958, Pemerintah Provinsi Bali membenarkan adanya penyelenggaraan kebijakan berbasis nilai-nilai moral ini yang menjadikan pembentukan semua kebijakan di Provinsi Bali selalu didahului dengan asas Tri Hitta Karana sebagai pengejawantahan keseimbangan Pharayangan, Pamongan dan Palemahan.

Dalam mengendalikan polusi udara yang terjadi di wilayahnya dengan mengantisipasi adanya kerusakan lingkungan berjangka panjang maka pemerintah mencetuskan kebijakan berupa baku mutu adenin udara dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran Udara. Undang-undang ini membenarkan adanya status mutu udara ambien serta dibenarkan juga adanya Peraturan Menteri tentang baku mutu emisi gas kendaraan bermotor dalam segelintir aturan sesuai dengan kategori yang ditetapkan oleh undang-undang. Sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan amanah para pendiri bangsa Indonesia. Pembangunan berbasis Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah dasar ideologi penyelenggaraan kebijakan yang dicermati oleh Soerjono Soekanto sebagai monumen formal perilaku adat.3

Pembangunan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia adalah sebuah upaya untuk mewujudkan kestabilan pembangunan berbasis sifat alamiah dari negara yakni untuk mengatur.4Pengendalian terhadap pencemaran udara yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah upaya untuk mencapai wawasan lingkungan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam konteks ini, siapakah yang berwenang dalam menyelesaikan persoalan pengendalian pencemaran udara di Indonesia?. Meskipun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan berkenaan dengan lingkungan berada di tangan Kementerian Lingkungan Hidup akan tetapi dalam konteks ini, Dinas Lingkungan Hidup memiliki kewenangan secara terbatas sehingga penyusunan jurnal ini diperuntukan untuk membahas kejelasan kewenangan dinas lingkungan hidup dari struktur dan

tata kerjanya dalam menyelesaikan persoalan berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah ruang lingkup pelaksanaan pengawasan dan pengendalian baku mutu udara ambien hanya diletakan pada Dinas Lingkungan Hidup?

  • 2.    Bagaimana kewenangan dari Dinas Lingkungan Hidup dalam melaksanakan peraturan terkait baku mutu udara ambien di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk menjelaskan sejauh mana cangkupan ruang lingkup pelaksanaan pengawasan dan pengendalian baku mutu udara ambien hanya diletakan pada Dinas Lingkungan Hidup.

  • 2.    Untuk mengidentifikasi batasan kewenangan dari Dinas Lingkungan Hidup dalam melaksanakan peraturan terkait baku mutu udara ambien di Indonesia.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penulisan

Jenis penelitian penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan hukum sebagai objek utama. Penelitian ini menggunakan bahan kewenangan Dinas Lingkungan Hidup sebagai obyek pengamatan dengan tetap menjaga jarak antara peneliti dan obyek yang diteliti.5 Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder

pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analisis dan konseptualdan tersier yang ditautkan pada informasi.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Ruang Lingkup Pelaksanaan Pengawasan Baku Mutu Ambien Udara

Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Kestabilan udara dalam sebuah lingkungan merupakan sebuah fenomena yang marak dikesampingkan pelaksanaanya oleh karena lemahnya penegakan hukum. Secara regulatif, pemerintah telah merancangkan berbagai aturan yang dapat menjaga kestabilan udara di sebuah wilayah. Hal ini sejalan dengan cita hukum atau rechtide nasional Indonesia yang menghendaki adanya recht orde atau yang lazimnya disebut sebagai tertib hukum di Indonesia.6 Kesatuan daerah yang menentukan kesejahteraan yang tidak hanya diperuntukan untuk wilayah tertentu melainkan secara merata.7 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyelenggaraan berbagai sistem yang mengupayakan adanya pembenahan secara berkelanjutan merupakan sebuah pilar dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara.

Merumuskan kebijakan yang mampu menstabilkan kadar oksigen (O2) di masyarkat merupakan sebuah misi berjangka

panjang di Indonesia. Dalam menjamin penyelenggaraan kebijakan ini, maka berdasarkan prinsip pelimpahan kewenangan yang bersifat delegatif, setiap organisasi pemerintahan maupun non pemerintahan dituntut untuk berpartisipasi secara aktif dalam menyelesaikan dan memelihara baku mutu udara ambien. Status baku mutu udara ambien tersebut dijelaskan secara tafsir dalam Penjelasan Umum Pasal 20 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai indikator kestabilan udara dengan parameternya berupa zat, emisi buangan dan produk lain yang membuat udara tidak dapat memberikan fungsi sebagaimana mestinya. Baku mutu udara ambien kemudian digunakan sebagai alternatif penegakan hukum yang mengukur pencemaran lingkungan di sebuah wilayah. Erat kaitan antara udara ambien dan pencemaran namun jika melihat dari sifatnya, udara ambien merupakan bagian teknis dari pencemaran udara.

Berkenaan dengan itu, birokrasi sebagai sebuah bentuk jalinan koordinasi yang berintegritas antara setiap instansi dalam melindungi dan melestarikan lingkungan menjadi titik temu yang masih belum jelas pengaturannya. Persoalannya adalah, ruang lingkup pengawasan baku mutu udara ambien di Indonesia diberikan secara terpisah pada beberapa lembaga yang mengakibatkan adanya potensi lemah terapan kebijakan tersebut. Apabila ditelaah secara dalam Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan kewenangan Dinas Lingkungan Hidup pada Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) memberikan delegasi kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota di Bidang Lingkungan Hidup untuk menyelesaikan persoalan terkait. Pada Pasal 71 ayat (3) hanya

secara limitatif memberikan kewenangan berupa pemeriksaan hingga pengecekan instalasi kendaraan bermotor jika diperlukan.

Ridwan HR mengaitkan lekatnya kewenangan tersebut dengan kesesuainnya pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik pada pokoknya yakni principle of motivation.8Bahwasannya pemerintah dipandang telah benar jika menetapkan kebijakan tersebut sehingga secara mutlak dapat menjamin penyelenggaraan kebijakan yang ada. Akan tetapi, persoalannya adalah tidak hanya dilimpahkan kewenangan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dikepalai oleh Siti Nurbaya Bakar untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, melainkan fungsi tersebut didelegasikan kepada Kementerian Perhubungan, Pertanian, Perindustrian, Kesehatan, Agrarian dan Tata Ruang, Pariwisata dan beberapa Kementerian lainnya. Lantas, apakah pendelegasian secara massal tugas tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan efektif fungsional lembaga negara?

Apabila menyoroti dari segi kepastian hukum yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maka secara tidak langsung menampilkan bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut tidak menjamin akan sebuah kepastian hukum secara fungsional. Hal ini dikarenakan setiap sektor dimungkinkan partisipasinya dalam sebuah persoalan sehingga penyelenggaraan negara tidaklah fokus dalam melaksanakan tugasnya. Intervensi dari Kementerian yang berkepentingan akan menjadi persoalan yang tidak dapat dibatasi secara yuridis sejauh aturan tersebut masih dipertahankan. Dengan kata lain, pihak selain Kementerian Lingkungan Hidup dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kebijakan yang diambil tersebut.

  • 2.2.2    Kewenangan Dinas Lingkungan Hidup dalam Menjaga Baku Mutu Udara Amien di Indonesia

Meninjau dari fungsinya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan kewenangan secara abstrak bagi para komponen pelaksana tugas pemerintah. Tujuannya adalah untuk melindungi, memenuhi, melestarikan, memanfaatkan, mendayagunakan, dan membatasi aktifitas di bidang lingkungan hidup sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meskipun peraturan tersebut telah dijelaskan secara mutatis terkait scope dari pelaksanaan aturan tersebut oleh para stakeholder, peraturan tersebut tidak menjelaskan secara mutlak kewenangan penyelesaian sengketa di bidang lingkungan hidup. Hal ini jelas bahwa Pasal 4 yang menghendaki adanya pengendalian, pemanfaatan, perencanaan, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum yang diidentifikasi secara lebih rinci pada Pasal 5 hingga Pasal 18 tidak sama sekali menjelaskan kewenangan tetap dari kementerian, melainkan hanya memaktubkan unsur dalam peraturan tersebut.Keberadaan dari peraturan ini dipandang bermasalah oleh karena bersifat abstrak dalam pengaturannya yang seharusnya secara delegatif memberikan kewenangan kepada salah satu pihak untuk menjalankan titah yang disepakati.

Meskipun dalam pengaturannya undang-undang a quo mengidentifikasi peran Gubernur dalam proses perencanaaan, namun penting untuk diperhatikan bahwa konsep perbuatan hukum dari pemerintah tidak hanya sebatas pada seorang Gubernur. Urtecht menjelaskan bahwa rechthendeling atau yang dikenal dengan perbuatan hukum harus menunjukan golongan

perbuatan hukum termasuk peruntukannya.9 Demikian Utrecht ingin menjelaskan bahwa subyek dari pelaksanaan sebuah aturan dalam konteks delegatif kewenangan harus jelas.10 Lain halnya ketika aturan tersebut secara jelas mendelegasikan kewenangan kepada subyek hukum tertentu untuk dapat melaksanakan sebuah prestasi.

Apabila meninjau dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata kerja Kementerian Lingkungan Hidup menjelaskan secara terperinci tentang perencanaan jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Pada perubahan tersebut dapat dianalisis bahwa ruang lingkup pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 undang-undang a quo. Pertanyaannya adalah sejauh mana kompetensi atau kewenangan dari menteri lingkungan hidup dapat melakukan sebuah perbuatan hukum demi kepentingan umum atau bestur zork?? Menteri lingkungan hidup telah memberikan batasan kepada organisasi dibawahnya untuk mengadakan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk membenahi dinamika pemanfaatan potensi alam termasuk didalamnya adalah mengontrol sejauh mana pengawasan terhadap aktifitas yang menurunkan baku mutu udara ambien.

Dalam jurnalnya Sekar menjelaskan politik hukum dibentuknya Undang-Undang Lingkungan Hidup yakni ditujukan untuk membenahi sistem yang ada melalui pemberian perhatian

secara ekstra.11Demikianlah dibentuknya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.15/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan. Pada Pasal 6 peraturan tersebut dijelaskan bahwa wewenang dari Balai Lingkungan Hidup yang bergerak di setiap Provinsi di Indonesia adalah untuk mengamankan, mengawasi dan menyidik. Jika demikian, maka Balai Lingkungan Hidup yang bergerak di Indonesia jika mengacu Pada Pasal 7 ayat (1) memiliki potensi untuk mencegah adanya pencemaran udara yang dilakukan oleh kendaraan bermotor. Kaitannya dengan kekaburan pengaturan adalah terletak pada status pengawasan tersebut yang dilakukan juga oleh Dinas Perhubungan di Indonesia. Hal ini jelas bahwasannya Kementerian Perhubungan yang memiliki cabangnya di seluruh Indonesia memiliki fungsi untuk mengawasi aktifitas di bidang perhubungan termasuk pengujian kir atau kaeur (dalam Bahasa Belanda) yang diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor.

Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia haruslah dipahami sebagai satu-satunya bagian eksekutif yang dapat menyelesaikan persoalan khusus pada bidangnya yakni lingkungan dan penegakan hukumnya di Indonesia. Kementerian tersebutlah yang dilekatkan kewenangan untuk menjaga keseimbangan antara Pharayangan yang merupakan keterkaitan hubungan atau hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan; Pamongan yang mengindikasikan adanya dorongan untuk

menjaga kestabilan udara yang merupakan bagian dari keseimbangan antara manusia dengan Lingkungan; sedangkan Palemahan yang mengharapkan adanya sifat seimbang antara manusia dengan sesamanya.

Sebagai Dinas yang didelegasikan kewenangan secara khusus untuk menjaga dan melindungi lingkungan, penting bagi Dinas lingkungan hidup untuk dilekatkan pada kewenangan yang mampu dan pada kenyataannya memiliki kompetensi untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungn yang terjadi. Disamping itu, pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada kementerian lingkungan hidup pun harus mutlak sehingga memang benar kenyataannya pada bidang lingkungan pihak tersebutlah yang mampu untuk dominan menyelesaikan persoalan tersebut. Kewenangan yang seharusnya yakni pengujian KIR dengan Baku Mutu Udara Ambien selayaknya berkompetensi pada Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia dan bukan pada Kementerian Perhubungan dan Kementerian-Kementerian lain di Indonesia.

  • III.    Penutup

    3.1    Kesimpulan

Uraian diatas bermuara pada kesimpulan bahwa:

  • 1.    Ruang lingkup pelaksanaan pengawasan dan pengendalian baku mutu udara ambien hanya diletakan pada Dinas Lingkungan Hidup. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) memberikan delegasi kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota di Bidang Lingkungan Hidup untuk menyelesaikan persoalan terkait. Dengan kata lain Menteri, Gubernur,

Bupati/Walikota    memiliki    kewenangan    untuk

mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Lingkungan Hidup dalam menyelesaikan masalah terkait.

  • 2.    Kewenangan dari Dinas Lingkungan Hidup dalam menentukan baku mutu udara ambien tidak diatur secara khusus. Namun dalam pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan             Hidup             Nomor

P.15/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan dijelaskan bahwa wewenang dari Balai Lingkungan Hidup yang bergerak di setiap Provinsi di Indonesia adalah untuk mengamankan, mengawasi dan menyidik. Jika demikian, maka Balai Lingkungan Hidup yang bergerak di Indonesia jika mengacu pada Pasal 7 ayat (1) memiliki potensi untuk mencegah adanya pencemaran udara yang dilakukan oleh kendaraan bermotor. Dengan kata lain, Dinas Lingkungan Hidup memiliki kewenangan untuk mencegah adanya pencemaran udara yang dilakukan oleh kendaraan bermotor. Salah satunya dengan menentukan baku mutu ambien udara tersebut namun tidak ada aturan khusus yang mengatur hal ini.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Kewenangan Dinas lingkungan hidup di Indonesia masih sangat terbatas sehingga Pemerintah harus berbenah diri dan memastikan kejelasan ruang lingkup tindakan hukum pada berbagai aturan terkait.

  • 2.    Penting bagi pemerintah untuk mengidentifikasi fungsi dari kementerian Lingkugnan Hidup secara jelas agar

dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian lainnya dalam melaksanakan wewenangnya di Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Bungin, Burhan. 2011. “Penelitian kualitatif”. Kencana Press.

Surabaya.

Kaelan. 2008. “Pendidikan Pancasila, Mewujudkan Nilai Pancasia, Rasa Kebangsaan dan Cinta Tanah Air Sesuai Dengan SK. Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006”. Paradigma. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1981. “Hukum adat di Indonesia”. Rajawali Pers. Jakarta.

Ridwan, HR. 2010. “Hukum Administrasi Negara”. Rajawali Press. Yogyakarta.

Utrecht, E. 1957.  “Pengantar  Hukum Administrasi Negara

Indonesia”. Padjajaran Press. Makasar.

Jurnal

Pinilih, Sekar Anggun Gading. 2015. “Pelaksanaan Tugas dan

Kewenangan Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang Dalam Penegakan Hukum Di Bidang Lingkungan”. Jurnal Notarius. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Volume 08. Nomor 2.

Sudiarta, I Ketut. et.al. 2017. “Pengaturan Keanekaragaman Hayati Bawah Laut Berkaitan Dengan Lingkungan Berkelanjutan”. Jurnal Kerta Negara. Fakultas Hukum Universitas Udayana. Volume 5. Nomor 1.

Hardiansyah. et.al. 2006. “Persepsi Masyarakat tentang Manfaat Budaya dan Kesehatan Mengkonsumsi Tambelo, Siput dan Kerang di Mimika, Papua”. Jurnal Gizi dan Pangan. Fakultas Ekologi Manusia Insitut Pertanian Bogor. Volume 1. Nomor 1.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004

tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Negara.

Peraturan     Menteri     Lingkungan     Hidup     Nomor

P.15/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan.

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor.

16