HAK ATAS KEWARGANEGARAAN BAGI

KELUARGA MILITAN ISIS

Oleh

Nathania Agatha Lukman*

I Wayan Parsa**

Program Kekhususan Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Setelah jatuhnya ISIS, terdapat banyak keluarga militan ISIS yang berstatus stateless. Status stateless disebabkan pencabutan kewarganegaraan negara asal pada warga negaranya yang tergabung di dalam ISIS. Namun pencabutan kewarganegaraan ini juga diterapkan kepada keluarga militan ISIS dengan mayoritas perempuan dan anak-anak, sehingga menghambat pemenuhan hak-hak dasarnya. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana status kewarganegaraan keluarga militan ISIS yang denasionalisasi pemerintah negara asalnya berserta solusi bagi keluarga militan yang telah kehilangan kewarganegaraanya. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini, ialah jenis metode penelitian normatif. Berdasarkan hasil penelitian tulisan ini dapat disimpulkan bahwa tindakan denasionalisasi yang dilakukan negara asal berdasarkan Convention on the Reduction of Statelessness 1961 hanya berlaku kepada militan ISIS dan belum menjelaskan bagaimana status keluarga militan ISIS yang ikut dirampas kewarganegaraanya. Sampai dengan penelusuran terakhir yang dilakukan penulis, belum terdapat regulasi nasional negara asal atau internasional yang spesifik berkaitan dengan status kewarganegaraan keluarga militan ISIS.

Kata Kunci: Keluarga Militan ISIS, Hak Atas Kewarganegaraan, Stateless.

ABSTRACT

After ISIS losing control and power in Syria, it leave many stateless persons. They become stateless after deprived by their national government because joined ISIS. However, the deprivation of nationality was also applied to the families of ISIS fighters that include women and children that hampering the fulfillment of their basic rights. Therefore, it is necessary to know about the nationality of the families of ISIS fighters that denationalized the government of their country and with solutions for militant families who had lost their nationality. The method used in this research is normative law research. Based on the research of this paper, denationalization carried out by the country of origin that found on The Convention on the Reduction of Statelessness 1961 is only applies to ISIS fighters not to the families of ISIS fighters. There’s no explanation about nationality of the families of ISIS fighters that losing their nationality. Until the last research by author, there is no specific national or international regulation relating to the nationality of the families of ISIS fighters.

Keyword: Families of ISIS Fighters, Nationality, Stateless.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pada beberapa tahun terakhir ini hampir semua negara-negara di dunia memerangi ISIS, sesuai dengan United Nations Security Council Resolution 2249 yang dikeluarkan pada 20 November tahun 2015 mengenai resolusi pada setiap anggota PBB untuk meningkatkan upaya yang untuk melawan ISIS. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) merupakan sekelompok orang yang menganut ideologi Ikhwanul Muslimin, yaitu ideologi yang menekankan pemahaman pada tafsiran ajaran islam secara ekstrem yang mendukung terjadinya kekerasan

agama serta menganggap bahwa muslim atau agama lain yang tidak sepaham dengan penafsirannya sebagai kafir.1 Adapun keberadaan ideologi ini tidak hanya dianut oleh warga negara Irak dan Suriah, melainkan dianut berbagai warga negara di dunia yang menyebabkan banyak warga negara asing yang tergabung di dalam ISIS.

Sebelum ISIS kehilangan wilayah kekuasaanya di Suriah, ia telah melakukan berbagai extraordinary crime yang membuat keberadaannya mengancam perdamaian dunia. Segala kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan anggota ISIS yang tidak hanya berpusat pada Irak dan Suriah, melainkan di berbagai negara yang menyebabkan banyak negara-negara yang mencabut kewarganegaraan/ denasionalisasi warga negaranya yang tergabung ke dalam ISIS. Pencabutan kewarganegaraan ini tidak hanya dilakukan kepada militan ISIS, melainkan berlaku juga kepada keluarga militan ISIS yang meliputi perempuan dan anak yang belum dewasa. Hal ini menyebabkan menjadi apatride karena tidak memiliki kewarganegaraan/stateless, padahal mereka tidak bergabung dengan ISIS berdasarkan kehendaknya serta tidak ikutserta dalam kejahatan HAM berat yang dilakukan ISIS.

Pada Maret 2019, ketika ISIS mengalami keruntuhanyang disebabkan serangan Syrian Democratic Forces (SDF) dengan dukungan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Runtuhnya

ISIS meninggalkan 70.000 warga negara asing yang terdiri dari perempuan dan anak-anak di Kamp Al-Hol Suriah.2

Pada zaman modern telah terjadi banyak perkembangan perlindungan perempuan dan anak, tetapi perlindungan ini tidak dapat dirasakan perempuan dan anak keluarga militan ISIS. Hal inilah yang menyebabkan permasalahan ini relevan untuk diteliti agar dapat diketahui apakah terjadi pelanggaran hak atas kewarganegaraan, status kewarganegaraan, dan solusi permasalahan kewarganegaraan keluarga militan ISIS.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah pencabutan kewarganegaraan keluarga militan ISIS melanggar hak atas kewarganegaraan?

  • 2.    Bagaimana solusi mengenai keluarga militan ISIS yang berstatus stateless?

  • 1.3    Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui hak atas kewarganegaraan yang dimiliki keluarga militan ISIS dan mengetahui solusi untuk mengatasi permasalahan apatride yang timbul disebabkan runtuhnya ISIS.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Dalam menulis jurnal ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis pendekatan, yaitu the statute approach, the case approach, dan analytical approach. Jenis bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1 . Hak atas Kewarganegaraan Perempuan dan Anak

Keluarga Militan ISIS

Hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak yang melekat pada manusia yang berguna sebagai jaminan seseorang untuk melakukan klaim atas penghidupan yang layak.3 Sehingga HAM terus mengalami perkembangan yang ditandai dengan telah diaturnya berbagai hak yang dirasakan wajib untuk diterima oleh seseorang. Salah satu wujud perkembangan HAM, yaitu timbulnya kesadaran akan pentingnya hak atas kewarganegaraan.

Menurut Daryono, kewarganegaraan merupakan kesatuan yang mencakup hak dan kewajiban warga negara, karena ia menganggap kewarganegaraan sebagai keanggotaan seseorang dalam politik suatu negara. Namun sacara lebih luas kewarganegaraan dapat diartikan sebagai berikut, yaitu:

Pertama, kewarganegaraaan merupakan status hukum pada suatu negara sehingga negara memberikan jaminan hak kepada warga negaranya dan sebagai timbal balik warga negara dituntut untuk melakukan kewajiban kepada negaranya. Kedua, kewarganegaraan merupakan hak sehingga kewagaranegaraan dipahami sebagai hak atau kesempatan untuk turut serta pada lingkup social politik suatu negara. Ketiga, kewarganegaraan sebagai suatu aktifitas politik yang mencerminkan keikutsertaan setiap orang dalam suatu komunitas politik (negara). Keempat, kewarganegaraan merupakan kesadaran untuk mengungkapkan identitas dan pendapat sebagai individu.4

Atas status kewarganegaraan, individu dapat memperoleh haknya sebagai warga negara, seperti hak untuk memperoleh perlindungan hukum. Hak atas kewarganegaraan telah diatur dalam berbagai pengaturan internasional, yaitu Article 15 Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Article 24 Section 3 the International Covenant on Civil and Political Right.

PBB menyatakan terdapat 62.000 orang pengungsi di Kamp Al-hoi, Suriah dengan 90% daripada pengungsi yang datang ialah perempuan dan anak.5 Oleh karena banyaknya pengungsi, tempat pengungsian telah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal dan mengalami kekurangan berbagai kebutuhan pokok, sepertitenaga medis; makanan; obat-obatan; dan tempat bernaung. Selain itu terdapat fakta bahwa pengungsi terdiri dari warga negara asing yang berasal dari sekitar 54 negara di dunia.6 Mayoritas dari pengungsi yang ditampung dalam Kamp Al-Hol merupakan keluarga militan ISIS.

Keluarga militan ISIS tidak memiliki kepastian mengenai pemenuhan hak dasar dan kelangsungan kehidupannya, disebabkan mereka diabaikan oleh keluarga atau suami yang merupakan militan dan oleh pemerintah negara asalnya. Pemerintah sebagian besar negara mengambil tindakan yang sama apabila mengetahui warga negaranya tergabung dalam ISIS, yaitu pencabutan kewarganegaraan atasnya karena segala tindakan yang dilakukan warga negara akan membawa konsekuensi kepada negaranya. Tindakan ini akan menimbulkan akibat hilangnya

status kewarganegaraan seseorang jika orang tersebut tidak berkewarganegaraan ganda. Stateless tidak hanya diartikan secara de jure atau sebagai kehilangan kewarganegaraan secara hukum, tetapi juga secara de facto. Stateless de facto ditujukan kepada orang yang memiliki kewarganegaraan, tetapi tidak mendapat perlindungan negara kebangsaannya yang pada umumnya tinggal di luar wilayah negara itu atau orang yang kewarganegaraannya tidak efektif.7

Pencabutan kewarganegaraan oleh negara asal dilakukan dengan tujuan untuk melindungi perdamaian suatu bangsa dari gerakan radikalisme ISIS yang dikenal melakukan extraordinary crime. Kejahatan luar biasa atau extraordinary crime merupakan suatu pelanggaran HAM yang dilakukan tanpa rasa perikemanusiaan dan hati nurani, serta mengabaikan harkat dan martabat sebagai manusia. Pelanggaran HAM berat diatur dalam Rome Statute Article 5 yang meliputi: The crime of genocide; (ii) Crimes against humanity; (iii) War crimes; (iv) The crime of aggression. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelanggaran HAM berat terjadi apabila hak-hak yang dilanggar merupakan hak non-derogable.8 Berikut kejahatan luar biasa yang dilakukan ISIS seperti pengeboman gereja di Filipina, genosida terhadap kaum yazidi Irak dan Suriah, kejahatan perang di Suriah, perbudakan seksual perempuan kaum yazidi, dan sebagainya. Oleh karena itu, dengan alasan keamanan nasional negara-negara mendenasionalisasi warga negara yang tergabung di dalam ISIS.

Sebagai usaha untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah stateless dibentuklah pengaturan mengenai statelessness oleh UNCHR, yaitu Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954 dan Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Di dalam konvensi ini terdapat ketentuan bagi negara-negara yang telah sepakat untuk tidak melakukan pencabutan memiliki kewarganegaraan atau stateless, yaitu pada Article 8 (1) Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Adapun yang dimaksud stateless dalam kedua konvensi ini ialah de jure stateless dan tidak berlaku pada de facto stateless.9 Denasionalisasi yang menyebabkan warga negara menjadi stateless harus dihindari karena secara tidak langsung status kewarganegaraan seseorang memberikan dampak yang besar kepada kehidupannya. Keadaan sebagai seseorang tanpa kewarganegaran akan sulit untuk menerima perlindungan negara dan hak dasar seperti edukasi, pelayanan kesehatan, pekerjaan sesuai ketentuan hukum, kepemilikan properti, hak di bidang politik, dan kebebasan bergerak.10

Seiring perkembangan zaman, aplikasi dari Convention on the Reduction of Statelessness 1961 dianggap telah tidak sesuai kebutuhan masyarakat internasional, maka diadakan suatu pertemuan di Tunisia pada tahun 2013.11 Salah satu permasalahan yang diangkat adalah pengecualian untuk mencabut kewarganegaraan seseorang yang merugikan

kepentingan vital negaranya. Sehingga dari interpretasi Article 8(3)(a)(ii) “has conducted himself in a manner seriously prejudicial to the vital interests of the State”, mengakibatkan seseorang yang melakukan tindakan yang merugikan kepentingan vital negaranya seperti, tindakan pengkhianatan terhadap negara, spionase, dan tindakan lainnya tergantung dari interpretasi hukum nasional dapat dikecualikan dari pengaturan ini atau dapat didenasionalisasi.12 Maka, aksi terorisme atau tindakan lain yang dianggap mengancam perdamaian dan keamanan suatu bangsa dapat termasuk didalamnya sesuai interpretasi hukum nasional.13 Apabila seseorang yang telah melakukan kejahatan berat saat tergabung di dalam ISIS juga dapat digolongkan sebagai tindakan ketidaksetiaan terhadap negaranya yang diatur dalam Article 8(3)(b) “…given definite evidence of his determination to repudiate his allegiance to the Contracting State”, dimana warga negara melakukan aksi terorisme di negaranya sendiri. Namun belum dijelaskan bagaimana bentuk dari “definite evidence to repudiate his allegiance” pada Article 8(3)(b).14 Maka hasil pertemuan ini UNHCR menghasilkan suatu kesimpulan bahwa negara-negara yang meratifikasi Convention on the Reduction of Statelessness 1961 dapat mencabut kewarganegaraan warga negaranya dengan pengecualian yang disebutkan di atas. Namun akan lebih baik apabila negara hanya menghilangkan status kewarnegaraan

seorang bipartride, sehingga orang tersebut dapat menjadi warga negara di negara lain.

Pengaturan ini diterapkan pada sebagian besar negara-negara di dunia dalam hukum nasionalnya walaupun tidak secara nyata meratifikasi pengaturan internasional terkait. SecretaryGeneral of the United Nations (UNSG) menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang hendak mendenasionalisasi warga negaranya, yaitu: (1) Saat suatu negaramemutuskan untuk mendenasionalisasi seseorang, maka keputusan itu harus telah memiliki pengaturan dalam hukum nasional; (2) untuk mewujudkan tujuan yang sesuai dengan hukum internasional dan hukum HAM internasional; (3) menerapkan pinsip non-diskriminasi; (4) dan prinsip proporsionalitas; (5) memberikan solusi untuk memperbaiki akibat yang timbul dari keputusan denasionalisasi.15 Pada kenyataanya tidak semua negara telah memenuhi syarat-syarat diatas, tetapi melakukan denasionalisasi yang menimbulkan terus bertambahnya angka apatride di dunia.

Berdasarkan penjelasan diatas, menurut penulis belum terdapat pengaturan yang jelas mengenai pencabutan kewarganegaraan seseorang yang tergabung di dalam organisasi terorisme seperti ISIS, pencabutan sementara hanya dilakukan berdasarkan kewarganegaraan interpretasi dari Convention on the Reduction of Statelessness 1961.

Involuntary loss of citizenship oleh militan ISIS yang menyebabkan ia menjadi apatride bukanlah suatu tindakan yang melanggar hak atas kewarganegaraan. Hilangnya kewarganegaraanya merupakan konsekuensi seseorang yang

melakukan pelanggaran HAM berat bersama ISIS.Namun menurut penulis, pencabutan kewarganegaraan tidak seharusnya diterapkan kepada keluarga militan karena mereka tidak secara langsung “melakukan” kejahatan luar biasa seperti yang dilakukan militan ISIS. Keluarga militan yang dimaksud ialah perempuan dan anak, baik yang lahir di negara asalnya ataupun anak yang lahir ketika telah bergabung kedalam ISIS, dimana mereka berhak atas kebebasan fundamental seperti hak atas suatu kewarganegaraan.

Keluarga militan mengalami keadaan yang tidak sehat baik secara fisik ataupun mental, serta mereka sering menyatakan penyesalan danberkeinginan kembali ke negara asalnya. Dari keadaan ini nampak bahwa banyak pengungsi yang dahulu tergabung kedalam ISIS tidak berdasarkan kehendak bebasnya, melainkan dibawah paksaan dan ancaman. Bahkan dalam beberapa kasus perempuan dan anak dimanfaatkan dalam perang, yaitu sebagai bom bunuh diri; tameng peperangandan diberikan pelatihan militer untuk dijadikan senjata perang.

Maka sulit untuk keluarga militan ISIS untuk melakukan naturalisasi kepada suatu negara, karena dianggap suatu saat akan melakukan kejahatan yang membahayakan negara. Oleh sebab itu, perlu dilakukan peninjauan kembali mengenai pencabutan kewarganegaraan dan penanggulangan menangani banyaknya keluarga militan ISIS yang apatride.

  • 2.2.2    Solusi Mengenai Pencabutan Status Kewarganegaraan Keluarga Militan ISIS

Berdasarkan ketentuan UNSG, adapun salah satu syarat melakukan denasionalisasi ialah memberikan solusi atas akibat yang ditimbulkan dari pencabutan kewarganegaraan. Berikut

merupakan beberapa solusi yang dapat disimpulkan penulis berdasarkan kebijakan yang diambil negara-negara, yaitu:

  • A.    Naturalisasi militan dan keluarga militan yang apatride menjadi warga negara pada negara asalnya.

Sesuai Article 32 Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954, pemerintah negara memberikan fasilitas kepada keluarga militan ISIS untuk memiliki kewarganegaraan dengan memenuhi syarat kependudukan yang ditentukan, serta mempercepat proses naturalisasi dan mengurangi biaya dari proses tersebut. Sebelum pengembalian keluarga militan ISIS ke dalam kehidupan masyarakat terlebih dahulu melalui proses verifikasi apakah warga negera termasuk sebagai militan ISIS atau tidak; deradikalisasi yaitu tindakan preventif untuk stratregi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan membahayakan dengan cara pendekatan tanpa kekerasan; dan rehabilitasi terkait pemulihan psikologis.

Sistem serupa telah diterap di Indonesia, dimana pada tahun 2017 Indonesia menerima kembali 17 WNI yang dideportasi dari perbatasan Suriah-Irak bergabung dengan ISIS di Suriah. Mereka saat ini dilaporkan masih berada dalam pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta otoritas keamanan lainnya.16 Selain Indonesia, negara Australia menyatakan melalui Perdana Menteri Australia Scott Morrison bahwa akan mengizinkan anak-anak yatim dari anggota asing ISIS yang kini berada di

kamp pengungsian di Suriah untuk kembali ke Australia.17 Dalam kasus ini, pemerintah negara dapat menetapkan kebijakan tersendiri dalam menerima kembali warga negaranya, namun di sisi lain uga masih banyak negara-negara yang tidak menerima kembali karena keluarga militan ISIS dianggap berbahaya bagi keamanan negaranya.

  • B.    Meratifikasi pengaturan untuk mencegah dan mengurangi stateless person.

Peraturan yang dimaksud ialah peraturan nasional dan internasional. Dalam lingkup internasional terdapat beberapa pengaturan terkait statelessness, yaitu Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954 dan Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Selain itu, disarankan kepada negara untuk mengadopsi pengaturan kewarganegaraaan yang bertujuan untuk mengurangi apatride dan mencegah pencabutan kewarganegaraan secara sewenang-wenang, serta pengaturan yang memuat bagaimana memperoleh, penolakan, dan kehilangan kewarganegaraan.18

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Pecabutan kewarganegaraan yang dilakukan negara asal melanggar hak atas kewarganegaraan keluarga militan ISIS. Hal ini disebabkan hak atas kewarganegaraan telah diatur dalam berbagai pengaturan internasional yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan, namun keluarga militan ISIS tidak memiliki keadaan yang jelas mengenai kewarganegaraannya. Hal ini disebabkan pemerintah negara yang mengetahui warga negaranya tergabung dalam ISIS langsung mengambil tindakan pencabutan kewarganegaraan atas militan berserta keluarga militan. Militan ISIS telah melakukan extraordinary crime selama berada dalam organisasi ISIS, maka sesuai dengan Article 8(3)(a)(ii) dan 8(3)(b) Convention on the Reduction of Statelessness 1961 mereka dapat didenasionalisasi negara asalnya sehingga menadi stateless. Namun tidak dengan keluarga militan ISIS, sehingga denasionalisasi melanggar hak keluarga militan ISIS atas suatu kewarganegaraan dan perlu ditinjau kembali agar tidak menimbulkan penambahan jumlah apatride atau stateless.

  • 2.    Adapun beberapa solusi berdasarkan kebijakan yang telah diambil beberapa negara di dunia, yaitu: Pertama, Naturalisasi militan dan keluarga militan yang apatride menjadi warga negara pada negara asalnya. Hal ini telah diterapkan dibeberapa negara seperti Indonesia dan Australia sesuai kebijakan pemerintah masing-masing. Kedua, Meratifikasi pengaturan untuk mencegah dan mengurangi stateless person.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Carol A. Batchelor, 1998, “International Journal of Refugee Law”, Volume 10, Issue 1-2, Oxford University Press.

Ifdal Kashim, 2002 “Prinsip-prinsip Van Boven, Mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat”, Elsam, Jakarta.

Kim Rubenstein dan Daniel Adler, 2000, International Citizenship: The Future of Nationality in a Globalized World, tanpa penerbit.

Marianus Kleden, 2008, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal, Lamamera, Yogyakarta.

Paul Weis, 1979, “Nationality and Statelessness in International Law”, Edisi Kedua, tanpa penerbit, Netherlands.

Jurnal

Christina van Kuijck, 2015, “Terrorism, Foreign Fighters and Deprivation of Nationality”, Journal of Tilsburg University.

Laura Van Waas, 2008, “Nationality Matters Statelessness under International Law”, Vol. 29, Article in Journal of Refugee Studies.

Thesis

James H. Martin, 2016, “TERRORISM-RELATED LOSS OF CITIZENSHIP-A POLICY REVIEW”, Thesis Naval Postgraduate School Monterey, California.

Jason Tucker, 2014, “Questioning de facto Statelessness by Looking at de facto Citizenship”, Tilburg Law Review.

Internet

Agni Vidya Perdana, "Australia Berpeluang Izinkan Anak-anak Anggota    Asing    ISIS    untuk    Kembali",    URL:

https://internasional.kompas.com/read/2019/04/05/1047

3571/australia-berpeluang-izinkan-anak-anak-anggota-asing-isis-untuk-kembali?page=all, diakses 30 Mei 2019

Anonim, “Kamp Kelebihan Penghuni, Perempuan Militan ISIS Bikin                                     Gaduh”,URL:

https://dunia.tempo.co/read/1183424/kamp-kelebihan-penghuni-perempuan-militan-isis-bikin-gaduh diakses 22 April 2019

Anonim, “ISIS Kalah, Ribuan Keluarga Militan Asing Terdampar di Suriah”,URL:https://www.cnnindonesia.com/internasional/ 20190326131442-120 380765/isis-kalah-ribuan-keluarga-militan-asing-terdampar-di-suriah diakses 22 April 2019

Australian National Security, 2015, “Islamic State”, URL: https://www.nationalsecurity.gov.au/Listedterroristorganisa tions/Pages/IslamicState.aspx diakses tanggal 15 April 2019

Hugh Massey, 2010, “UNHCR and De Facto Statelessness”, UNCHR  Legal and Protection Policy Research series,

Switzerland, URL: https://www.unhcr.org/4bc2ddeb9.pdf, diakses 12 Juni 2019

Quentin Sommerville, “ISIS: Perempuan dan anak-anak yang tak diinginkan                siapapun”                URL:

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-47918442  diakses

15 April 2019 diakses 15 April 2019.

Dokumen Internasional

Universal Declaration of Human Rights

The International Covenant on Civil and Political Right

Convention relating to the Status of Stateless Persons tahun 1954

Convention on the Reduction of Statelessness tahun 1961

United Nations Security Council Resolution 224

Resolution Adopted by the General Assembly “Office of the United Nations High Commissioner for Refugees”, A/50/632.

Expert Meeting: Interpreting the 1961 Statelessness Convention and Avoiding Statelessness resulting from Loss and Deprivation of Nationality convened by the Office of the United Nations High 16

Commissioner for Refugees, Tunis, Tunisia, 31 October-1 November 2013.

Legal and Protection Policy Research series UNHCR and De Facto Statelessness

17