POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-X/2012

Nama Penulis :

Bagus Hermanto Dewa Gde Rudy Komang Pradnyana Sudibya Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, Indonesia

ABSTRAK

Pasal 18 B Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi kebijakan makro politik hukum perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, telah diakomodir dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun demikian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, jaminan hak konstitusional tersebut telah dipertegas sebagai akibat inkonsistensi rumusan pasal-pasal pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut.

Adapun tujuan utama tulisan ini adalah menganalisis aspek politik hukum perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam Undang-undang tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Tulisan ini dibuat dalam penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan studi kasus dan pendekatan perundang-undangan.

Kata Kunci : Politik Hukum, Undang-undang Kehutanan, Putusan Mahkamah Konstitusi, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

ABSTRACT

Article 18 Paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 that the policy of macro-politics legal protection and respect for customary law community unit, have been accommodated in Law No. 41 of 1999 on Forestry, however, after the Constitutional Court Decision No. 35 / PUU-X / 2012, the

guarantee of constitutional rights has been confirmed as a result of inconsistent formulation of the provisions of the Law No. 41 of 1999.

The main purpose of this paper is to analyze the legal policy aspects of the legal protection and respect for the communitiy of indigenous people in the Law after the Constitutional Court decision. This paper is set as a normative legal research using a case study approach and statutory approach.

Key Words   : Legal Policy, Foresty Law, the Judgment of

Constitutional Court, the Community of Indigenous People.

BAB I. PENDAHULUAN

  • 1.1.    Latar Belakang

Bahwa Pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut sebagai UUD NRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa,”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang [cetak miring dari penulis]”1. Dalam hal ini, maka secara eksplisit konstitusi Indonesia memberikan jaminan secara konstitusional bagi pengakuan dan penghormatan kepada kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia, berikut dengan hak-hak tradisionalnya, yang dilimitatifkan, dengan pernyataan,”…. sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, …. [cetak miring dari penulis]”.

Kesatuan masyarakat hukum adat tersebut sebagaimana diuraikan Maria S.W. Sumardjono2, dapat dicirikan dengan beberapa kriteria yang dinilai cukup obyektif, yakni suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan perseorangan, memiliki batas-batas wilayah tertentu dan memiliki kewenangan tertentu3. Dalam hal ini, tidaklah semua

masyarakat adat (atau dalam konteks ini masyarakat tradisional)4 dapat disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat5, dan hanya masyarakat hukum adat yang memenuhi kriteria diatas yang dapat disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana kedudukannya dijamin untuk dilindungi dan dihormati secara konstitusional oleh UUD NRI Tahun 1945.

Adapun bilamana mengacu pada teori penjenjangan norma6 oleh Hans Kelsen yang kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiawsky7, jelaslah bahwa UUD NRI Tahun 1945, khususnya batang tubuh dari UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan grundgesetz (aturan dasar Negara), kemudian dijabarkan kedalam peraturan perundang-undangan dibawahnya yakni Undang-undang yang tergolong formelle gesetz (aturan formal). Dalam hal ini jelaslah bahwasanya Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebagai grundgesetz dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai peraturan

perundang-undangan khususnya undang-undang, dalam hal ini salah satunya ke dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian menjadi payung hukum di bidang kehutanan di Indonesia, yang merupakan perkembangan yang cukup progresif dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, namun terdapat beberapa judicial review8 yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi9, dalam hal ini dikaitkan dengan tidak terdapat jaminan secara nyata perihal eksistensi hak-hak dari kesatuan masyarakat hukum adat dalam konteks hak ulayat yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat hukum adat10 sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian menjadikan adanya progresivitas politik hukum atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan11, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 khususnya terkait perlindungan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat, sehingga penulis mengangkat tulisan ini.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini yakni sebagai berikut.

  • 1.2.1.    Bagaimanakah kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999?

  • 1.2.2.    Bagaimanakah politik hukum yang dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 pra dan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini yakni sebagai berikut :

  • 1.3.1.    Karya tulis ini dapat dijadikan salah satu rujukan bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya keilmuan hukum serta sebagai salah satu wadah untuk menuangkan gagasan terkait perkembangan politik hukum nasional saat ini hingga masa mendatang.

BAB II. PEMBAHASAN

  • 2.1.    Metode Penulisan Hukum

    2.1.1. Metode Penelitian Hukum yang Digunakan

Mukti Fadjar dan Yulianto Achmad membagi metode penelitian hukum menjadi metode penelitian hukum normatif (normative legal research) dan metode penelitian hukum empiris (empirical legal research).12 Berdasarkan klasifikasi tersebut, tulisan ini merupakan tulisan yang dikembangkan dengan metode penelitian hukum normatif (normative legal research) yakni penulisan hukum yang berbasis pada penelitian kepustakaan, dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.13

  • 12Mukti Fadjar and Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum : Normatif & Empiris, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 53-65.

  • 13Bambang Sunggono, 2013, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 43.

  • 2.1.2. Pendekatan Hukum yang Digunakan

Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual   approach),   serta

pendekatan kasus (case approach).14 Pertama, pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kedua, pendekatan konseptual digunakan dalam konteks memahami hak ulayat, kesatuan masyarakat hukum adat, dan politik hukum yang diacu dalam tulisan ini. Ketiga, pendekatan kasus yang digunakan pada tulisan ini terkait dengan telaah atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

  • 2.1.3. Bahan Hukum yang Digunakan

Adapun bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini terbagi menjadi dua (2) tipe bahan hukum, yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.15 Adapun bahan hukum primer terkait yakni Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Sedangkan, bahan hukum sekunder terkait yakni sumber kepustakaan terkait dengan politik hukum, hak ulayat, kesatuan masyarakat hukum adat, dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat.

  • 2.1.4. Teknik Analisis Bahan Hukum yang Digunakan

Adapun teknik analisis bahan hukum yang digunakan pada tulisan ini yakni dengan menggunakan sistem bola

salju (snowball system),16 dan dalam proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diolah.17

  • 2.2.    Pemahaman Politik Hukum dalam Dimensi Ilmu Hukum

Politik Hukum sebagai acuan dalam membentuk aturan hukum yang sesuai dengan cita hukum (rechtidee),18 yang erat kaitannya dengan konteks hukum sebagai suatu produk politik, yang dikristalisasikan dari proses-proses politik,19 yang erat kaitannya dengan pendekatan “hukum sebagai alat” dalam hal ini, hukum sebagai produk politik dalam tujuan utamanya yakni menjadi alat mencapai tujuan Negara,20 sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, bahwasanya secara praktis politik hukum merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah dalam menciptakan sistem hukum nasional untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan Negara.21

Adapun Moh. Mahfud MD.22, Menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang dibentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama.

Abdul Hakim Garuda Nusantara23 memberikan definisi perihal politik hukum sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan Negara tertentu yang dapat meliputi pertama, pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum yang telah ada. Kedua, pembangunan hukum yang berintikan pembaharuan atas hukum yang telah ada dan pembuatan hukum-hukum baru. Ketiga, penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan para anggotanya, dan keempat, peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi elit pengambil kebijakan.

Disisi lain, Bintan Regen Saragih24 juga memberikan definisi dari politik hukum sebagai kebijakan yang diambil oleh lembaga (pejabat) yang berwenang untuk mengubah, mengganti atau mempertahankan hukum yang ada, agar tata hukum dekat dengan realitas.

Adapun penulis memberi kesimpulan, bahwasanya politik hukum sebagai legal policy (kebijakan Negara) yang dalam konteks ini merupakan arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama, sebagai inti dari pembangunan hukum di Indonesia, yang diharapkan tata hukum tersebut menjadi dekat dengan realitas sosial.

  • 2.3.    Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat dalam Konteks Perlindungan dan Penghormatan Menurut

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sebagaimana telah ditegaskan pada Pasal 18 B Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 perihal kesatuan masyarakat hukum adat yang dalam tulisan ini menjadi pihak yang paling sentral dalam konteks dijamin hak-hak konstitusionalnya, yang akan lebih diuraikan dalam ulasan berikut.

  • 2.3.1. Konseptualisasi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat25

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat dimaknai sebagai suatu organisasi yang terdiri dari kumpulan orang yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama26 di suatu wilayah geografis (wilayah adat) yang dipimpin oleh suatu pemerintahan adat berdasarkan perangkat norma hukum adat yang memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat27, yang dalam hal ini, penulis juga menggarisbawahi bahwasanya dari definisi tersebut dapat ditarik unsur-unsur yang menjadi pokok dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut. Pertama, suatu kelompok manusia. Kedua, mempunyai kekayaan tersendiri yang terlepas dari kekayaan perseorangan. Ketiga, memiliki batas-batas wilayah tertentu dan keempat, memiliki kewenangan tertentu, yang dalam hal ini rujukannya pada Pasal 18 B Ayat (2)28 UUD NRI Tahun

1945, yang dipertegas oleh Gede Marhaendra Wija Atmaja, dalam lima unsur pokok (karakter) yakni pertama, masyarakat hukum adat, kedua, pemerintahan adat, ketiga, harta benda adat, keempat, hukum adat, serta kelima, wilayah adat29, yang dapat dimaknai bahwa kesatuan masyarakat hukum adat mendapat kedudukan hukum, jaminan dan perlindungan serta penghormatan melalui landasan konstitusional di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

  • 2.3.2. Hak Ulayat sebagai Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Konteks Perlindungan dan Penghormatannya Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Hak ulayat sebagai hak kesatuan masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang mana menurut Boedi Harsono30, bahwasanya hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dimaknai sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.31

Ditegaskan pula oleh Boedi Harsono32 bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memnuhi tiga unsur yakni masih adat suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat tertentu yang merupakan suatu masyarakat hukum adat, masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai lebensraum-nya, serta masih adanya penguasaan adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.

  • 2.4.    Politik Hukum Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan : Pra dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 terkait Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

Perihal politik hukum adat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat ditelaah dengan memahami memahami perihal kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 ini yang kemudian mencerminkan politik hukum atas undang-undang ini.

  • 2.4. 1.Sumber Menemukan dan Perihal Kebijakan Dasar dan Kebijakan Pemberlakuan Politik Hukum Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Adapun dalam memahami politik hukum33 sebagai legal policy (Kebijakan Negara), maka terdapat urgensi untuk

memahami sumber menemukan politik hukum yang dalam konteks ini dapat ditemukan dalam beberapa instrumen berikut, yakni pertama, peraturan perundang-undangan (dengan klasifikasi strata kebijakan34), kedua, konsiderans dan penjelasan umum, serta risalah resmi atau dokumen resmi penyusunan peraturan perundang-undangan terkait.

Politik hukum sebagai legal policy (kebijakan Negara) dapat dibagi ke dalam dua dimensi yakni35 pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum dalam dimensi ini disebut sebagai “kebijakan dasar” (basic policy). Kedua, politik hukum yang menjadi tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, disebut juga “kebijakan pemberlakuan” (enactment policy).

Dalam tulisan ini, maka sumber menemukan politik hukum mengacu pada tataran strata kebijakan messo36 yang ditemukan didalam Undang-undang, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mana kebijakan dasar dari pemberlakuan undang-undang ini

yakni mengacu pada otonomi daerah, sedangkan perihal kebijakan pemberlakuan dari undang-undang tersebut dapat ditemukan dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umum dari undang-undang tersebut yang berkaitan dengan jaminan hak-hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan hak ulayat di bidang kehutanan.

Adapun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menguji Pasal 1 Angka (6), Pasal 4 Ayat (3), Pasal 5 Ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya berkaitan dengan pasal-pasal tersebut dalam konteks perlindungan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya37.

Pertama, Pasal 1 angka (6) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebagaimana dirumuskan bahwa,”…. hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat [cetak miring dari penulis] ….“.

Kedua, Pasal 4 Ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut ditegaskan bahwa, ”…. Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang [cetak miring dari penulis] ….“.

Ketiga, Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut dirumuskan bahwa,”…. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: Hutan negara, dan Hutan hak [cetak miring dari penulis] ….“.

Keempat, Pasal 5 Ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut dirumuskan bahwa,“…. pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya [cetak miring dari penulis] ….“.

Kelima, pada penjelasan Pasal 5 Ayat (1) bahwa rumusannya sebagai berikut:

…. Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengetian hutan negara, tidak meniadakan hakhak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat ….

Dalam konteks ini, maka dapat dimaknai politik hukum yang dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tersebut telah memberikan

cerminan perlindungan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia sebagaimana telah dijamin secara konstitusional dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

BAB III. PENUTUP

  • 3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan berada dalam tataran strata kebijakan messo yang ditemukan didalam Undang-undang, yang mana kebijakan dasar dari pemberlakuan undang-undang ini yakni mengacu pada otonomi daerah, sedangkan perihal kebijakan pemberlakuan dari undang-undang tersebut dapat ditemukan dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umum dari undang-undang tersebut yang dalam konteks ini berkaitan dengan jaminan hak-hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan hak ulayat di bidang kehutanan.

Adapun upaya judicial review di Mahkamah Konstitusi perihal Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, telah memberikan progresivitas atas politik hukum Undang-undang tersebut khususnya terkait dengan perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-haknya yang tampak jelas dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mana memberikan gambaran progresivitas politik hukum Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut dalam kaitannya dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

  • 3.2.    Rekomendasi

Adapun rekomendasi yang dapat dirumuskan dari tulisan ini yakni sebagai berikut.

  • 3.2.1. Perlunya penyelarasan konsep pelaksanaan politik hukum perihal perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijamin secara konstitusional dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Literatur

Asshidiqie, Jimly, 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Bhuana Inti Populer, Jakarta.

_________, 2010, Komentar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Astawa, I Gde Pantja, Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Cetakan Pertama, Alumni, Bandung.

Fadjar, Mukti, dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum : Normatif & Empiris, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.

________, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20 , Alumni, Bandung.

Kusumah, Mulyana W., 1986, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Cetakan Pertama, Rajawali, Jakarta.

Kristianto, Erwin Dwi, 2014, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan paskaputusan-putusan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Perkumpulan untuk Pembaruan Masyarakat Hukum dan Ekologis (HuMA) & The Asia Foundation, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana

Prenada Media, Jakarta.

MD., Moh. Mahfud, 2012, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Kelima, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda, 1988, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta.

Santoso, Urip, 2013, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif, Cetakan Ketiga, Kencana Prenada Media, Jakarta.

Saragih, Bintan Regen, 2006, Politik Hukum, CV. Utomo, Bandung.

Setiady, Tolib, 2008, Intisari Hukum Adat di Indonesia, Cetakan Pertama, Alfabeta, Bandung.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W., 2009, Kebijakan Pertanahan, Antara

Regulasi dan Implementasi, Cetakan Keenam, Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2013, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Supriadi, 2011, Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Suryabrata, Sumandi, 1992, Metodologi Penelitian, Rajawali, Jakarta.

Suseno, Franz Magnis, 1994, Etika Politik : Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Syamsuddin, Azis, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Thoha, Miftah, 2010, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kelima, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya A.R.,   1988,

Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan : Perkembangan Teori dan Penerapan, LP3ES, Jakarta.

Makalah, Karya Tulis Ilmiah, dan Publikasi Sejenis (maupun Non-Publikasi)

Atmaja, Gede Marhaendra Wija, “Hak-hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”, Makalah, Pemasyarakatan Hak Asasi Manusia Kepada Bendesa Pakraman Kabupaten/Kota Se-Bali diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali, Denpasar, 21 dan 24 Oktober 2008.

Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 2012, Memahami Politik Hukum : Pengertian, Klasifikasi, dan Sumber Menemukannya, Makalah Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana.

Desiana, Ayu, 2014, “Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003”, Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 25, Nomor 1, Maret.

Juwana, Hikmahanto, “Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Perekonomian dan Investasi”, Makalah, Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Hukum dan HAM RI, 29-31 Mei 2006.

Yusa, I Gede, 2016, “Identification and Analysis of The Rights of Indigenous Peoples in the Study of Constitutional Law (A Study of Balinese Traditional Community”, Constitutional Review, Volume 2, Nomor 1, Mei.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3888).

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412).

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor …).

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Per/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor …).

18