TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN DARI HAK PENGEJARAN SEKETIKA (HOT PURSUIT) DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

Oleh:

Ni Komang Cempaka Dewi*

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Hak pengejaran seketika merupakan hak suatu negara untuk melakukan tindakan pengejaran seketika kepada kapal asing yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan negara pantai tersebut. Banyak negara yang melakukan pengejaran seketika sebagai salah satu bentuk penegakan hukum di laut termasuk Indonesia. Didasari oleh sejumlah peraturan nasional, terdapat banyak pihak yang berwenang untuk melakukan pengejaran seketika di wilayah perairan Indonesia. Rumusan masalah dari jurnal ini yaitu bagaimana tinjauan yuridis mengenai kewenangan dari hak pengejaran seketika terhadap kapal asing di wilayah perairan Indonesia.

Penulisan jurnal ini menggunakan metodelogi penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang berkaitan terhadap isu hukum yang sedang diteliti.

Pemerintah Indonesia berwenang melakukan pengejaran seketika terhadap kapal asing di wilayah perairan Indonesia berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Menteri No. 17/PERMEN-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan; Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Kelautan; Peraturan Presiden No. 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut: Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. P-53/BC/2010 tentang Tatalaksana Pengawasan; Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Peraturan Menteri Pertahanan No. 4 Tahun 2017 tentang Pengerahan Tentara Nasional Indonesia; Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia; dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Daerah

Kata Kunci: Hak Pengejaran Seketika, Kewenangan, Perairan Indonesia, UNCLOS 1982

Abstract

The right of hot pursuit is the right of every coastal state to carry out the hot pursuit of foreign ships in violation of the laws of the coastal state. Many countries are conducting hot pursuit as law enforcement in the sea including Indonesia. According to domestic law there are many parties authorized to conduct the hot pursuit in Indonesioan Waters. The problem of this research is how the judicial review of the authority of hot pursuit to foreign ships in the territorial waters of Indonesia.

This research uses normative research methodology with statutes approach. It’s conducted by reviewing laws and regulations relating to legal issues which is being investigated.

The Government of Indonesia is authorized to conduct hot pursuit of foreign ships in Indonesian Waters based on several regulations: Ministerial Regulation no. 17 / PERMEN-KP / 2014 concerning Implementation of Duties of Fisheries Supervisor; Law no. 45 Year 2009 on Fisheries; Law no. 32 of 2004 on Marine Affairs; Presidential Regulation no. 178 Year 2014 on Marine Security Regulation of the Director General of Customs and Excise No. P-53 / BC / 2010 concerning Management of Supervision; Law no. 17 of 2008 concerning Shipping; Minister of Defense Regulation no. 4 of 2017 on the Mobilization of the Indonesian National Army; Law no. 34 of 2004 on the Indonesian National Army; Regulation of the Chief of Police of the Republic of Indonesia No. 22 of 2010 concerning Organizational Structure and Working Procedures at Regional Police

Keywords: Right of Hot Pursuit, Authority, Indonesian Waters, UNCLOS 1982

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Hak pengejaran seketika merupakan hak suatu negara untuk melakukan tindakan pengejaran seketika kepada kapal asing yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan negara pantai tersebut. Hak ini secara menyeluruh dijabarkan dalam Pasal 111 Konvensi Hukum Laut 1982 atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Implementasi dari ketentuan pengejaran seketika (hot pursuit) tersebut sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia dalam bentuk Undang-Undang

No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Banyak negara yang melakukan pengejaran seketika sebagai salah satu bentuk penegakan hukum di laut termasuk juga Indonesia. Para pihak yang berwenang untuk melakukan pengejaran seketika bukan hanya Tentara Nasional Indonesia (TNI) saja, tetapi juga lintas sektoral yakni Kepolisian, Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Pertahanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Keamanan Laut. Lembaga-lembaga tersebut hendaknya berkoordinasi dengan baik dalam memberantas kejahatan di laut dan mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan. Maka dari itu, penting untuk meningkatkan upaya koordinasi dan sosialisasi agar masing-masing pihak dapat menyadari peran dan fungsinya untuk menciptakan efektivitas. Berkaitan dengan hal tersebut penulis tertarik mengangkat judul TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN DARI HAK PENGEJARAN SEKETIKA (HOT PURSUIT) DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Bagaimana tinjauan yuridis mengenai kewenangan dari hak pengejaran seketika terhadap kapal asing di wilayah perairan Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan

Adapun tujuan penulis untuk mengetahui pembagian kewenangan dari tindakan pengejaran seketika (hot pursuit) di wilayah perairan Indonesia

II Isi Makalah

2.1    Metodologi Penelitian

Penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.1 Secara lebih lanjut Soerjono Soekanto menerangkan bahwa “Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya”.2

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana metode ini melihat hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.3 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Pengertian Hak Pengejaran Seketika

Hak pengejaran seketika terdapat dalam Pasal 111 UNCLOS 1982 yang dalam konvensi disebut Right of Hot Pursuit. Sebelum diatur dalam UNCLOS 1982, pengejaran seketika merupakan kebiasaan yang telah dilakukan oleh negara pantai untuk mengejar dan menghentikan kapal yang diduga melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh negara pantai tersebut. 4 Pengejaran ini berlaku secara internasional dan setiap negara pantai dapat mengimplementasikannya.5

Pengejaran seketika adalah hak tiap negara pantai untuk melaksanakan tindakan pengejaran seketika terhadap kapal asing yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan negara pantai dimulai dari Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan, Laut Territorial atau Jalur Tambahan, dan juga berlaku terhadap pelanggaran-pelanggaran di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen dari negara pantai sampai ke laut teritorial negara kapal asing atau negara ketiga.6

  • 2.2.2    Pengaturan Mengenai Pengejaran Seketika Dalam UNCLOS 1982

Pengejaran seketika merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional, dalam bukunya Nicholas M. Paulantzaz yang berjudul The Right of Hot Pursuit in International Law mengatakan bahwa hak pengejaran seketika tersebut muncul sebagai hasil dari kebiasaan dipergantian abad selanjutnya “The Right of Hot Pursuit arose as a result of a custom, subsequent to turn of the century”.7 Sebelum diatur dalam UNCLOS 1982, pengejaran seketika sudah ada dalam perjanjian-perjanjian lain. Pengejaran seketika (hot pursuit) diatur pada pasal 11 Konvensi Den Haag 1930, namun Konvensi Den Haag 1930 tidak mencapai

kesepakatan, dengan demikian maka hasil kerja konvensi tidak sampai mencapai bentuk yang mempunyai kekuatan hukum selanjutnya hak pengejaran seketika diatur dalam pasal 23 Konvensi mengenai Laut Lepas (Convention on the High Seas) yang mulai berlaku pada tahun 1962.

Kemudian hak pengejaran seketika ini dijabarkan dalam Pasal 111 UNCLOS 1982, pengejaran seketika dilakukan apabila kapal atau pesawat udara yang berwenang telah memiliki alasan yang cukup untuk melakukan tindakan pengejaran seketika terhadap pelanggaran yang terjadi di wilayah Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan, Laut Teritorial dan Zona Tambahan dilakukan tanpa terputus dan harus berhenti apabila kapal yang melanggar peraturan perundang-undangan masuk ke dalam wilayah teritorial negaranya sendiri ataupun negara ketiga.

Diatur juga mengenai ganti kerugian atas dilakukannya pengejaran seketika yang tidak dibenarkan. Kapal yang berwenang melakukan pengejaran seketika yaitu kapal khusus perang, pesawat udara militer, kapal dan pesawat udara yang telah dipasang tanda khusus sebagai kapal/pesawat udara Dinas Pemerintah.

  • 2.2.3    Pengaturan Kewenangan Pengejaran Seketika Terhadap Kapal Asing di Wilayah Perairan Indonesia

Bertalian pada kapal asing yang berada di dalam wilayah suatu negara, diakuinya wilayah laut menjadi bagian dari negara pantai yang berdaulat membawa akibat bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi dari kapal asing yang berada di dalam wilayah laut. 8 Maka dari itu ketika kapal asing dalam perjalanannya melintasi laut teritorial, negara pantai hanya bisa

melaksanakan yurisdiksi pidana nya untuk menangkap atau menyelidiki masalah yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan diatas kapal dalam situasi tertentu.9 Menurut Wayan Parthiana, apabila yurisdiksi dikaitkan dengan negara maka berarti kekuasaan atau kewenangan dari negara untuk menetapkan dan memaksakan hukum yang telah dibuat oleh negara tersebut.10

Ratifikasi Indonesia terhadap UNCLOS 1982 melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 menjadikan ketentuan yang mengatur tentang pengejaran seketika di dalam UNCLOS 1982 mengikat secara hukum bagi Indonesia. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selanjutnya disebut UUDNRI 1945 mengatur bahwa Presiden mempunyai kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan udara. Pernyataan tersebut tercantum dalam Pasal 10 UUDNRI 1945, hal ini membuktikan bahwa presiden mempunyai wewenang untuk mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam melakukan tindakan pengejaran seketika.

Pasal 30 ayat (3) dan (4) mengatur mengenai Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara yang dilakukan oleh TNI yaitu terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Dalam tugasnya Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dan setiap menteri membidangi urusannya masing-masing sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan (2) dalam hal melakukan tindakan pengejaran seketika, Presiden dibantu oleh Menteri Pertahanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Keuangan. Selanjutnya akan di uraikan peraturan-peraturan yang terkait mengenai kewenangan pengejaran seketika dalam hukum nasional Indonesia.

  • 1    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Kelautan

Dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 tentang Kelautan selanjutnya disebut UU Kelautan, ditentukan bahwa Pemerintah Indonesia wajib atas pemberantasan segala bentuk kejahatan internasional dan mempunyai wewenang untuk melakukan pengejaran seketika. Terdapat juga Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) yang berdasarkan Pasal 63 UU Kelautan berwenang untuk melakukan tindakan pengejaran seketika sampai pada menyerahkan kapal ke instansi yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum selanjutnya, serta mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Wewenang BAKAMLA yang tercantum dalam Pasal 63 diatas hanya mencakup wilayah perairan serta yurisdiksi Indonesia.11

  • 2    Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) tercantum dalam Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pada Pasal 7 tersebut TNI mempunyai beberapa tugas wajib yaitu

menegakkan dan mempertahankan kedaulatan serta keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945 serta melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman serta gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Adapun instansi berwenang melaksanakan tindakan pengejaran seketika dilakukan oleh TNI Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sesuai yang tercantum dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU TNI.

  • 3    Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Pengejaran seketika dilakukan oleh Pengawas Perikanan yang diatur dalam Pasal 66c huruf (i) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yaitu Pengawas Perikanan berwenang untuk menghentikan, sampai menangkap kapal dan orang yang diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia Pengawas Perikanan berwenang menyerahkan kapal dan orang yang melanggar ketentuan peraturan ke pelabuhan tempat perkara tersebut bisa diproses lebih lanjut oleh penyidik.

4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Kewenangan TNI untuk melakukan pengejaran seketika selain diatur dalam UU TNI, diatur juga dalam Pasal 340 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang selanjutnya disebut UU Pelayaran untuk mengatur kewenangan penegakan hukum bagi TNI pada perairan ZEE. Selain kewenangan dari TNI, Penjaga Laut dan Pantai juga dapat melakukan pengejaran seketika, menghentikan maupun memeriksa kapal laut dan melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 278 UU Pelayaran.

5 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan

Pejabat Bea dan Cukai dalam melakukan pengejaran seketika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan, berada di bawah pengawasan Dirjen Bea dan Cukai. Dalam Pasal 18 ayat (2) mengatur bahwa Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan tindakan tersebut diatas harus melapor kepada Dirjen atau Pejabat yang ditunjuknya, selambat-lambatnya satu hari terhitung sejak penindakan tersebut dikeluarkan. Dari ketentuan dalam PP No. 21 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai dapat melaksanakan pengejaran seketika tanpa terhenti atas orang atau Pengangkut serta sarana pengangkut yang diduga melanggar ketentuan peraturan undang-undang di bidang cukai

6 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut

Peraturan Presiden No. 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut yang selanjutnya disebut Perpres BAKAMLA diatur tentang kewenangan BAKAMLA sesuai dalam Pasal 4 yaitu melaksanakan tindakan pengejaran seketika, menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk melaksanakan suatu proses hukum lebih lanjut, dan mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.

  • 7.    Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan

Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan selanjutnya disebut Permen KKP menyatakan bahwa Pengawas Perikanan bertugas mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan dalam melaksanakan tugasnya, Pengawas Perikanan melaksanakan Patroli Pengawasan.

Patroli pengawasan dilaksanakan untuk mencegah terjadinya kegiatan perikanan yang melanggar hukum, serta kegiatan yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.12 Jika dalam patroli pengawasan terdapat kapal perikanan yang berusaha melarikan diri, melawan, atau membahayakan keselamatan kapal dan awak pengawas perikanan, pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus, sesuai yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (5).

  • 8.    Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengerahan Tentara Nasional Indonesia Dalam Pengamanan Perbatasan

Dalam rangka Pengamanan sebagaimana dimaksud, Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri ini menentukan bahwa TNI dapat melakukan penegakan hukum sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional. Penegakan hukum sebagaimana ditentukan pada ketentuan ini tentu dapat ditafsirkan sebagai hak untuk melakukan pengejaran seketika. Dikerahkannya TNI dalam Pengamanan Wilayah Perbatasan negara dalam Pasal 12 bertujuan untuk tetap tegaknya kedaulatan negara, dan menjaga keutuhan

wilayah negara dari segala bentuk ancaman.

  • 9.    Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pengejaran seketika dapat dilaksanakan oleh Direktorat Polisi Air Baharkam Polri selanjutnya disebut Ditpolair berdasarkan ketentuan peraturan ini yang menyebutkan bahwa ditpolair menyelenggarakan fungsi sebagai pelaksanaan patroli, dan pengawalan penegakan hukum di wilayah perairan. Dalam Pasal 207 mengatur tentang Sub Direktorat Penegakkan Hukum (Subditgakkum) yang berwenang untuk menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana dan pelanggaran hukum di daerah hukum Polda.

  • 10.    Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-53/BC/2010 tentang Tatalaksana Pengawasan

Dalam Pasal 41 Peraturan Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-53/BC/2010 tentang Tatalaksana Pengawasan selanjutnya disebut Peraturan Dirjen Bea dan Cukai, Menghentikan sarana pengangkut yang diduga melanggar dilakukan oleh Satuan Tugas Patroli dengan perintah Komandan Patroli. Terhadap sarana pengangkut yang tidak mengindahkan isyarat atau tanda dari Satuan Tugas Patroli tersebut baru dilakukannya tindakan pengejaran seketika. Pasal 41 ayat (3) mengatakan dalam hak pengejaran yang dimaksud dalam ayat (2), pengejaran seketika tersebut dilakukan secara terus menerus tanpa henti sampai keluar wilayah kerja.

Dari peraturan-peraturan yang penulis uraikan di atas, terdapat pasal-pasal yang tidak mengatakan tindakan pengejaran

seketika secara langsung namun Penulis menafsirkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang disebuktan dalam peraturan diatas dapat dikatakan sebagai tindakan untuk melakukan pengejaran seketika (Hot Pursuit).

  • III    Kesimpulan

Dari peraturan-peraturan nasional yang telah diuraikan dapat ditarik kesimpulan:

Kewenangan tindakan pengejaran seketika untuk pelanggaran di bidang perikanan laut dilakukan oleh Pengawas Perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/PERMEN-KP/2014 dan UU No. 45 Tahun 2009; Pelanggaran di wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi Indonesia dilakukan oleh BAKAMLA berdasarkan Pasal 63 UU Kelautan & Perpres 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut; Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan bea dan cukai dilakukan oleh Satuan Tugas Patroli Bea dan Cukai berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal No. P-53/BC/2010; pengejaran seketika pada wilayah perbatasan, wilayah laut yurisdiksi nasional, perairan ZEE dilaksanakan oleh TNI AL berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008, Peraturan Menteri Pertahanan No. 4 Tahun 2017 dan UU No. 34 Tahun 2004; Kewenangan tindakan pengejaran seketika di bidang pelayaran di perairan laut dan pantai dilaksanakan oleh Penjaga Laut dan Pantai berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 dan kewenangan POLRI melalui Polairud untuk melakukan pengejaran seketika hanya dapat dilakukan di wilayah perairan dan Binmas pantai di daerah hukum polda berdasarkan PERKAP No. 22 Th. 2010.

  • IV    Daftar Pustaka

    Buku

I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung

Malcolm N. Shaw QC, 2008, Hukum Internasional (edisi keenam), terjemahan Derta Sri Widowatie, Imam Baehaqi, M.Khozim, Penerbit Nusa Media, Bandung

Mochtar Kusumaatmaja, 1986, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung

Nicholas M. Paulantzaaz, 2002, The Right of Hot Pursuit in International Law, Martinus Nijhoff Publisher, The Hague

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke VI, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga UI Press, Jakarta

Jurnal dan Artikel

Ayub Torry Satriyo Kusumo, Jurnal Dinamika Hukum: Optimalisasi pengelolaan dan pemberdayaan pulau-pulau terluar dalam rangka mempertahankan keutuhan negara kesatuan        republic        Indonesia,        2010,

URL:http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JD H/article/download/102/52

Rani Rachelliana, Nanik Trihastuti, Lazarus Tri Setyawanta R., Diponegoro Law Journal Vol.5 2016, URL: http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Peraturan Perundang-undangan & Instrumen Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Kelautan

Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan

Peraturan Presiden No. 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/PERMEN-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan

Peraturan Menteri Pertahanan No. 4 Tahun 2017 tentang Pengerahan Tentara Nasional Indonesia Dalam Pengamanan Perbatasan

Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Daerah

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. P-53/BC/2010 tentang Tatalaksana Pengawasan

United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana

Alamat email: [email protected]

15