MATERI MUATAN DISKRIMINATIF FATWA LEMBAGA ADAT MELAYU DALAM PELAKSANAAN PILKADA DI KABUPATEN ROKAN HULU
on
MATERI MUATAN DISKRIMINATIF FATWA LEMBAGA ADAT MELAYU DALAM PELAKSANAAN PILKADA DI KABUPATEN ROKAN HULU
Oleh
Seira Tamara Herlambang∗
Putu Gede Arya Sumerthayasa∗∗
Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Lembaga Adat Melayu di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) mengeluarkan sebuah fatwa pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa bakal calon kepala daerah di Kabupaten Rohul harus berasal dari putra asli daerah atau orang yang lahir dari keturunan asli Rohul. Fatwa tersebut masih tetap berlaku hingga pilkada Kabupaten Rohul yang diselenggarakan tahun 2015 lalu. Bahkan hingga saat ini fatwa tersebut juga belum dicabut sehingga besar kemungkinan akan tetap dipakai sebagai acuan dalam pilkada Kabupaten Rohul yang akan dilaksanakan tahun 2021 mendatang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan analisa konsep hukum. Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah fatwa tersebut bersifat diskriminatif dan untuk mengetahui apakah fatwa tersebut relevan untuk dijadikan acuan dalam penetapan calon kepala daerah di Kabupaten Rohul Kata kunci: Diskriminasi, Pilkada, Rokan Hulu.
Abstract
Malay Customary Institution in Rokan Hulu District (Rohul) issued a fatwa in 2011 stating that the prospective head of the region must come from a native son or one of purebred Rohul. The fatwa remains valid until Rohul district election held in 2015. Even until now the fatwa has also not been revoked, so it is likely to remain used as a reference in Pilkada Rohul District which will be held in 2021. This research use normative research method by using the statute approach and also analitycal and legal conceptual approach. This research aims to determine whether the fatwa is discriminatory and to know whether the fatwa is relevant to be used
∗ Seira Tamara Herlambang adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi dengan penulis: [email protected].
∗∗ Putu Gede Arya Sumerthayasa adalah dosen Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi dengan penulis: [email protected].
as a reference in the determination of candidates for regional heads in Rohul District.
Keywords: Discrimination, District Elections, Rokan Hulu.
Pemilihan kepala daerah merupakan pesta demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk memilih kepala daerahnya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sejak tahun 2015 hingga 2018 mendatang, Indonesia melaksanakan pilkada serentak yang terbagi menjadi beberapa gelombang. Gelombang pertama pilkada serentak dilaksanakan di bulan Desember Tahun 2015 untuk memilih kepala daerah yang akan purna tugas di tahun 2015 dan enam bulan pertama di tahun 2016. Pilkada serentak selanjutnya dilaksanakan bulan Februari 2017 untuk memilih kepala daerah yang akan purna tugas pada enam bulan terakhir di tahun 2016 dan seluruh kepala daerah yang akan purna tugas di tahun 2017. Gelombang ketiga dilaksanakan di bulan Juni 2018 untuk memilih kepala daerah yang akan purna tugas di tahun 2018 dan tahun 2019, sedangkan pilkada serentak secara nasional akan dilaksanakan tahun 2027.1
Terdapat sejumlah persyaratan yang telah ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi peserta dalam pilkada, baik itu calon kepala daerah ataupun calon wakil kepala daerah. Syarat-syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah telah diakomodir dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Selanjutnya disebut sebagai UU No. 10 Tahun 2006). Pasal 7 undang-undang tersebut telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah seperti bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila, berpendidikan paling rendah SLTA atau sederajat dan lain sebagainya.
Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), di Provinsi Riau merupakan salah satu kabupaten yang menyelenggarakan pilkada serentak gelombang pertama pada akhir 2015 lalu. Menjelang pilkada di Kabupaten Rohul di tahun 2015 kemarin, Lembaga Adat Melayu Rohul (LAMR) mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa bakal calon Bupati Rohul harus merupakan seorang putra asli daerah. Putra asli daerah yang dimaksud dalam fatwa tersebut adalah orang yang memiliki orang tua asli dari Kabupaten Rohul.2 Fatwa tersebut belum dicabut hingga pilkada Kabupaten Rohul diselenggarakan pada akhir tahun 2015 lalu sehingga masih tetap dipergunakan. Bahkan hingga saat ini fatwa dari LAMR tersebut pun masih berlaku dan besar kemungkinan akan tetap dijadikan acuan dalam Pilkada Kabupaten Rohul di tahun 2021 mendatang.
Lembaga Adat Melayu Rohul (LAMR) berdasarkan Pasal 1 angka 4 Perda Kabupaten Rokan Hulu No. 2 Tahun 2013 Tentang Lembaga Adat Melayu Rokan Hulu dinyatakan sebagai organisasi kemasyarakatan yang dengan latar belakang sejarah dan asal-usulnya menegakkan hukum adat dan mendorong anggota-anggotanya untuk melakukan kegiatan pelestarian adat budaya di Kabupaten Rokan Hulu. Namun dalam perda tersebut tidak
disebutkan mengenai peraturan yang dapat dibentuk oleh LAMR. Fatwa LAMR yang menyatakan adanya keharusan bahwa bakal calon Bupati Rohul harus merupakan putra asli daerah memiliki indikasi adanya materi muatan diskriminatif karena mengutamakan golongan tertentu yaitu orang asli Kabupten Rohul dan melarang orang yang bukan keturunan asli Rohul untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Kabupaten Rohul.
-
1.2 Tujuan
-
1.2.1 Untuk mengidentifikasi apakah fatwa yang dikeluarkan Lembaga Adat Melayu Rohul bersifat diskriminatif.
-
1.2.2 Untuk mengetahui apakah fatwa yang dikeluarkan Lembaga Adat Melayu Rohul tersebut masih relevan untuk dijadikan acuan dalam penetapan bakal calon Bupati Kabupaten Rohul.
-
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang dikonsepkan sebagai sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaedah yang dijadikan pedoman bagi manusia dalam berperilaku yang pantas.3 Penelitian hukum normatif digunakan karena adanya konflik norma antara Fatwa LAMR dan ketentuan lain yang lebih tinggi dalam hukum positif.
-
2.1.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, serta pendekatan analisa konsep hukum. Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) adalah pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi namun tidak hanya melihat bentuk peraturan perundang-undangannya saja melainkan juga mengkaji materi yang termuat di dalamnya, alasan lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang, dan ratio legis dari ketentuan undang-undang.4 Sedangkan pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual approach) digunakan untuk menelaah konsep-konsep hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum primer, maupun sumber lain yang berkaitan dengan isu yang sedang dibahas.
-
2.1.2 Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang berasal dari doktrin para sarjana, buku-buku hukum, jurnal hukum serta Fatwa LAMR yang dalam hal ini juga diposisikan sebagai bahan hukum sekunder.
-
2.1.4 Teknik pengumpulan bahan hukum.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik sistem kartu (Card System) yang menggunakan kartu kutipan untuk mencatat atau mengutip sumber yang digunakan.
-
2.1.5 Teknik analisis bahan hukum.
Seluruh bahan hukum yang sudah dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya dianalisa dengan teknik deskripsi yaitu suatu teknik yang menguraikan suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum secara apa adanya.
Adat Melayu Rohul (LAMR)
Perkembangan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan negara hukum, karena salah satu indikator yang harus dimiliki untuk dapat disebut sebagai negara adalah adanya penegakkan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, negara hukum yang tidak mengakui, menghormati dan melaksanakan sendi-sendi hak asasi manusia tidak dapat disebut sebagai negara hukum.5 Hal ini menyebabkan jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam perkembangan selanjutnya diharuskan untuk diatur secara tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis suatu negara demokrasi.6
Indonesia sendiri sebagai sebuah negara hukum mengakui dan menghormati adanya hak asasi yang dimiliki setiap warga negaranya sebagai seorang manusia yang tercermin melalui konstitusi dan juga UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Hak asasi manusia ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan bukan sebagai wujud kebaikan dari negara, melainkan ada berdasarkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sehingga dengan demikian, faktor-faktor seperti ras, jenis kelamin, agama ataupun bahasa tidak dapat menghilangkan eksistensi hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia.7
Agar dapat mengidentifikasi apakah Fatwa LAMR tersebut bersifat diskriminatif, maka perlu diuraikan terlebih dahulu penjelasan mengenai hak asasi manusia dan diskriminasi itu sendiri. Pengertian Hak Asasi Manusia tercantum pada Pasal 1 angka 1 UU HAM yang pada intinya menyatakan bahwa HAM itu merupakan seperangkat hak yang melekat pada diri manusia sebagai pemberian Tuhan yang Maha Esa yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi oleh setiap orang, peerintah, hukum serta negara.
Sedangkan pengertian diskriminasi dalam UU HAM dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 yaitu sebagai setiap pembatasan atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, etnik, ras, kelompok, dan lain sebagainya mengakibatkan adanya pengurangan HAM dan kebebasan dasar individu atau kelompok dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan aspek kehidupan lainnya.
Dalam mengidentifikasi sifat diskriminatif pada Fatwa yang dikeluarkan LAMR tersebut tentunya ada sejumlah unsur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU HAM yang harus terpenuhi. Bila ditelaah, Fatwa LAMR yang mengharuskan bakal calon Bupati Rohul berasal dari putra asli daerah memiliki makna bahwa orang-orang yang berasal dari etnis asli Rohul mendapat pembeda berupa keistimewaan dan pengutamaan untuk menjadi calon kepala daerah dibanding orang yang tidak berasal dari etnis asli Rohul. Hal ini telah memenuhi unsur pembedaan manusia atas dasar suku dan etnis kelompok.
Selain itu, pencalonan seseorang dalam pilkada tentunya bermuara pada tujuan untuk dapat menjadi bagian dari pemerintahan daerah dan untuk dapat memimpin daerahnya. Namun dengan adanya fatwa yang dikeluarkan oleh LAMR,
masyarakat Rohul yang bukan putra asli daerah kehilangan haknya untuk dapat mencalonkan diri sebagai Bupati Rohul dan untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Padahal hak tersebut telah diakui sebagai hak asasi manusia yang tercantum pada Pasal 28D ayat (3) Konstitusi yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 43 ayat (1) UU HAM juga mengatur hal serupa yang berkenaan dengan adanya hak bagi setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga Fatwa LAMR telah memenuhi unsur adanya pengurangan dan penggunaan HAM orang lain dalam bidang politik sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 UU HAM.
Selain UU HAM, tolak ukur mengenai diskriminasi dalam materi muatan fatwa yang dikeluarkan oleh LAMR tersebut juga dapat dilihat dari International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Rasial. Pasal 1 angka 1 UU No. 29 Tahun 1999 mendefinisikan diskriminasi rasial dengan uraian yang tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU HAM.
Berdasarkan pengertian diskriminasi rasial yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 1999 juga telah tercermin bahwa ada materi muatan diskriminasi rasial dalam fatwa yang dikeluarkan oleh LAMR. Hal ini dikarenakan dalam Fatwa LAMR terdapat pengutamaan keturunan atau suku bangsa tertentu (keturunan asli Rohul) yang berdampak pada pelaksanaan hak asasi masyarakat Rohul yang bukan keturunan asli dalam bidang politik (pencalonan sebagai kepala daerah).
Lebih lanjut mengenai diskriminasi ras, hal ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, tetapi juga berhubungan dengan kepentingan politis yang ada sangkut pautnya dengan dominasi untuk membenarkan diskriminasi, opresi bahkan pemusnahan terhadap ras lain.8 Hal tersebut senada dengan apa yang diuraikan oleh Adam Gay Griffin dalam karyanya yang berjudul Black Popular Culture yang mengungkapkan bahwa budaya dan sejarah sesungguhnya dibentuk oleh kelompok dominan dalam suatu masyarakat.9
Berdasarkan apa yang diungkapkan Adam Gay Griffin tersebut maka Fatwa LAMR mengandung indikasi adanya tindakan diskriminasi terhadap ras lain. Sehingga dengan demikian berdasarkan UU HAM, UU No. 29 Tahun 1999, serta pendapat ahli, maka fatwa yang dikeluarkan LAMR memang bersifat diskriminatif dan mengandung materi muatan diskriminasi rasial.
-
2.3 Relevansi Penggunaan Fatwa Lembaga Adat Melayu Rohul (LAMR) sebagai Acuan dalam Pencalonan Bupati Kabupaten Rohul
Sebagaimana dibahas sebelumnya, ketentuan mengenai bakal calon Bupati Rohul yang harus berasal dari putra asli daerah ditetapkan oleh LAMR dalam bentuk fatwa. Bila dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, fatwa yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga adat tidak termasuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam Pasal 8 ayat (1) yang mengatur tentang jenis peraturan perundang-
undangan lainnya, juga tidak disebutkan bahwa fatwa lembaga adat sebagai peraturan yang diakui keberadaannya sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, berkaitan dengan pencalonan kepala daerah dalam pilkada, Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 secara spesifik telah mengatur dan memberikan hak yang sama bagi setiap warga negara untuk dapat menjadi calon kepala daerah. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 juga telah menjabarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi calon kepala daerah, dan dalam pasal tersebut tidak diatur bahwa calon kepala daerah harus merupakan putra asli daerah atau harus berasal dari keturunan, suku, atau etnis tertentu. Pasal 7 dalam UU No. 10 Tahun 2016 lah yang seharusnya menjadi pedoman dalam menyeleksi dan menetapkan bakal calon kepala daerah. Hal tersebut dikarenakan UU No 10 Tahun 2016 memiliki posisi yang jelas dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan tentunya memiliki kekuatan hukum mengikat yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan pilkada.
Pedoman lain yang dapat dijadikan acuan dalam pembahasan mengenai relevansi Fatwa LAMR untuk tetap dapat digunakan Selain UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 10 Tahun 2016, adalah Putusan MK No. 128/PUU-XIII/2015. Putusan tersebut mengabulkan permohonan yang diajukan oleh 5 orang ketua APDESI atau Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia di tingkat kecamatan yang keseluruhannya berada di kabupaten Lampung Tengah. Salah satu pasal yang diuji materi dalam permohonan judicial review tersebut adalah Pasal 33 huruf g dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang menyatakan bahwa salah satu syarat bagi calon kepala desa adalah terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling
kurang satu tahun sebelum pendaftaran. Beberapa pertimbangan hukum dalam Putusan MK tersebut yang dapat dijadikan acuan dalam tulisan ini adalah bahwa pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon untuk mendapatkan persamaan kedudukan di dalam hukum, hak untuk memajukan diri dan berjuang secara kolektif untuk membangun bangsa dan negara. Bilamana MK dalam putusan tersebut telah menyatakan bahwa calon kepala desa tidak harus berdomisili di desa nya karena dapat menghilangkan hak seseorang untuk berpatisipasi dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, maka sepatutnya kita pun memandang bahwa adanya syarat dalam Fatwa LAMR yang mengharuskan calon Bupati Rohul sebagai putra asli daerah juga telah membatasi dan bahkan melanggar hak calon bupati lainnya yang bukan putra asli daerah untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan daerah dan ikut membangun daerahnya.
Disamping alasan-alasan formil di atas, Fatwa LAMR tersebut juga tidak relevan untuk dilaksanakan dalam konteks masyarakat yang beragam. Fatwa tersebut tidak mencerminkan semangat kebhinekaan yang seyogyanya dijunjung tinggi oleh setiap lembaga yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Fatwa LAMR tersebut menyiratkan bahwa perbedaan suku bangsa atau keturunan merupakan suatu masalah besar sehingga orang yang bukan putra asli daerah atau bukan keturunan asli Rohul tidak diperbolehkan menjadi bakal calon bupati. Padahal negara kita memliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Semboyan tersebut seharusnya dapat dimaknai agar masyarakat tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada dalam bentuk apapun. Karena terlepas dari adanya begitu banyak perbedaan di tengah
maasyarakat, sikap yang paling tepat untuk menanggapi keberagaman dalam suatu daerah bukanlah dengan menentang kenyataan yang plural melainkan dnegan mengakui segala keberagaman yang ada dan diwujudkan dalam sikap toleransi dan saling menghormati.10
Bila kita melihat secara lebih dalam, syarat yang juga tidak kalah penting yang harus dimiliki oleh setiap bakal calon Bupati atau kepala daerah lainnya (selain daripada syarat yang telah ditentukan oleh UU No. 10 Tahun 2016) adalah memiliki etos kerja, integritas, semangat serta kemampuan untuk membangun dan memajukan daerah yang akan dipimpinnya. Hal-hal tersebut sangat mungkin dimiliki oleh orang-orang yang bukan keturunan asli daerah setempat. Sehingga tidak perlu diberikan batasan kepada masyarakat yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, selanjutnya masyarakat lah yang akan memilih pemimpin sesuai kehendak mereka. Setidaknya tidak ada pembatasan yang dilakukan oleh lembaga tertentu terhadap warga negara yang ingin berpartisipasi. Dengan demikian proses demokrasi dalam pemilihan kepala daerah tetap bisa berjalan dengan baik.
Oleh karena alasan-alasan formil dan materiil tersebut, maka Fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat Melayu Rohul tidak relevan untuk diberlakukan dan dijadikan sebagai acuan dalam pemilihan Bupati Kabupaten Rohul mendatang.
-
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat Melayu Rohul (LAMR) pada tahun 2011 telah memenuhi unsur diskriminasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU
No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan memenuhi unsur diskrimasi rasial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 29 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Fatwa yang dikeluarkan oleh LAMR memberikan perlakuan berbeda, mengutamakan dan mengistimewakan orang-orang yang berasal dari keturunan, suku dan etnis tertentu (etnis asli Rohul) yang berdampak pada pengurangan hak asasi orang lain untuk turut serta dalam pemerintahan.
-
2. Fatwa LAMR tidak relevan untuk tetap dipergunakan dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pilkada Kabupaten Rohul karena fatwa tersebut tidak berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, dan tidak diakui keberadaannya berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Isi dari Fatwa LAMR tersebut juga tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2006 yang telah mengatur secara spesifik mengenai syarat-syarat untuk dapat menjadi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Putusan MK No. 128/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa syarat calon kepala desa harus
berdomisili di desanya minimal selama 1 tahun telah
melanggar hak konstitusional warga setempat yang ingin mencalonkan diri, dan dengan logika yang sama maka isi dari Fatwa LAMR yang mengharuskan calon Bupati Rohul sebagai putra asli daerah juga telah melanggar hak calon lain yang bukan putra asli daerah untuk ikut berpartsipasi dalam pemerintah dan membangun daerahnya. Fatwa LAMR ini juga tidak sesuai dengan semangat kebhinekaan yang
seharusnya dipupuk dalam kehidupan bermasyarakat yang penuh keberagaman.
-
1. Pemerintah harus dapat memantau dan menindaklanjuti adanya peraturan-perturan di daerah yang bertentangan dengan ketentuan dalam UUD NRI 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu pemerintah juga harus menyiapkan langkah-langkah penghapusan
diskriminasi ras sampai kepada setiap stakeholder yang paling rendah sekalipun.
-
2. Lembaga pelaksana pilkada harus tetap berpedoman pada ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku sesuai dengan hierarki dan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai peraturan mana yang dipergunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Amrudin dan H.Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Cashmore, Ellis, 2009, America’s Paradox, Sage Publishing,
London.
G. Heider, Karl, 2004, Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film, Pearson Education,Boston.
Halim, Abd., 2014, Politik Lokal:Pola, Aktor & Alur Dramatikalnya, LP2B, Yogyakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2010, Penelitian Hukum, Cet. VIII, Kencana Predana Media Group, Jakarta.
S. Matompo, Osgar, 2014, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Keadaan Darurat”, Jurnal Media
Hukum, Vol. 21, No. 21, Juni 2014, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palu.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234).
UU No. 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852).
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898).
Perda Kabupaten Rokan Hulu No. 2 Tahun 2013 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau Rokan Hulu (Lembaran Daerah Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2013 Nomor 2)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015
Fatwa Lembaga Adat Melayu Rohul
Anonim, 2015, Pilkada Serentak Digelar Dalam Tiga Gelombang, Ini Aturan Mainnya, diakses dari:
http://news.detik.com/berita/2833349/pilkada-serentak-digelar-dalam-tiga-gelombang-ini-aturan-mainnya
Mawardi Surbakti, 2015, Fatwa LAMR Rohul, Balon Bupati Harus Asli Putra Daerah, diakses dari
http://rohultoday.co/news/fatwa-lamr-rohul-balon--bupati-harus-asli-putra-daerah.html.
15
Discussion and feedback