PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA TERHADAP PENEMBAKAN DI KAWASAN TUMPANG TINDIH LAUT CINA SELATAN BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

(STUDI KASUS: PENEMBAKAN SEORANG NELAYAN BERKEBANGSAAN TIONGKOK OLEH MILITER FILIPINA DI KEPULAUAN SPRATLY)

Oleh:

Rina Kusuma Dewi

Putu Tuni Cakabawa Landra

Made Maharta Yasa

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Laut Cina Selatan merupakan kawasan tumpang tindih yang diklaim oleh sejumlah negara, termasuk Tiongkok dan Filipina. Pada Bulan Mei 2013 terjadi penembakan di salah satu gugusan Laut Cina Selatan yaitu di Kepulauan Spratly ketika militer Filipina menembak nelayan berkebangsaan Tiongkok hingga tewas. Tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai pengaturan tanggung jawab negara di kawasan tumpang tindih dan menganalisis pertanggungjawaban negara terhadap insiden penembakan ini. Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, dan pendekatan kasus. Tulisan ini menyimpulkan bahwa dalam upaya menyelesaikan sengketa mengenai tumpang tindih wilayah, setiap negara harus memperhatikan cara-cara penyelesaian sengketa berdasarkan hukum internasional, yaitu secara damai melalui jalur politik atau diplomatik dan jalur hukum maupun menggunakan cara kekerasan baik non perang maupun perang dengan syarat yang telah ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB. Tulisan ini juga menyimpulkan bahwa kasus ini menimbulkan tanggung jawab negara khususnya Filipina, sehingga Republik Rakyat Tiongkok dapat mengajukan kasus ini ke International Court of Justice (ICJ) dan International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) atau dengan merujuk pada ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongfull Acts.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Negara, Insiden Penembakan, Laut China Selatan

ABSTRACT

South China Sea is an overlap area where is claimed by some countries, including Peoples’ Republic of China and the Philippines. In May 2013 there was a shooting incident in one clusters of the South China Sea, namely Spratly Islands when Philippines military shot a Chinese fisherman until dead. This paper aims to discuss the regulation of state responsibility in the overlap area and to analyze the state responsibility for the incident in concern. This paper is a normative legal research using statute approach, the fact approach and the case approach. This paper concludes

that in an attempt to resolve a dispute regarding in the overlap area, each country must consider means of resolve any disputes under international law, namely peacefully means through political or diplomatic and legal means or the use of force both non war or war in accordance with the conditions determined by the United Nations Security Council. This paper also concludes that this case entails the responsibility of countries especially to the Philippines, meaning that the Peoples’ Republic of China may submit the case in concern before the International Court of Justice (ICJ) and the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) or by referring at the ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongfull Acts .

Keywords : State Responsibility, Shooting Incident, South China Sea

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Laut Cina Selatan memiliki empat kelompok gugusan kepulauan dan karang-karang yaitu, Paracel, Spratly, Pratas, dan Maccalesfield.1 Penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tiap negara sejauh 200 mil laut sesuai dengan Pasal 57 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyebabkan terbukanya peluang setiap negara untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan ini. Fakta mengenai tumpang tindihnya wilayah laut ternyata menyebabkan masyarakat yang melaut tidak jarang harus berhadapan dengan pengaman laut negara lain karena mereka dianggap telah memasuki wilayah laut negara lain.

Kasus yang paling menghebohkan adalah hilangnya nyawa seorang nelayan berkebangsaan Tiongkok yang diduga tertembak senjata militer laut Filipina yang terjadi di kawasan sekitar kepulauan Spartly.2 ZEE di kawasan ini masih tumpang tindih karena terdapat klaim dari beberapa negara yaitu Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.3

  • 1.2    Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang telah dirumuskan di atas, tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menganalisis pengaturan mengenai pertanggungjawaban negara di

kawasan tumpang tindih dan menganalisis pertanggungjawaban negara terhadap penembakan seorang nelayan berkebangsaan Tiongkok oleh Militer Filipina di Kepulauan Spratly.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian hukum normatif yang mencakup pada penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.4 Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yang dalam hal ini menganalisis instrumen hukum internasional yang relevan, pendekatan fakta (the Fact Approach) dan pendekatan kasus (the Case Approach).

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Pertanggungjawaban Negara di Kawasan Tumpang Tindih

Tumpang tindih mengenai batas wilayah sangat mempengaruhi yurisdiksi negara. Pasal 15, Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 mengatur mengenai delimitasi wilayah laut yang pada dasarnya menekankan pada penyelesaian melalui perjanjian yang dibuat oleh para pihak atau dapat juga dengan menentukan garis tengah dari wilayah yang disengketakan guna mendapatkan solusi yang adil.

Apabila tidak juga didapatkan penyelesaian yang adil maka para pihak harus memperhatikan tata cara penyelesaian sengketa secara damai dalam hukum internasional yang tercantum dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Jenis penyelesaian sengketa yang pertama melalui Jalur Politik atau Diplomatik, yang dapat dilakukan dengan cara negosiasi, jasa baik (good offices), mediasi, pencari fakta (inquiry), konsiliasi. Adapun jenis kedua adalah jalur hukum yang terdiri dari arbitase dan pengadilan internasional.5 Ada kalanya para pihak menggunakan kekerasan, Non Perang, yang terdiri dari retorsi, reprisal, blokade damai, embargo atau menggunakan cara Perang sesuai dengan Pasal 42 Piagam PBB.6

  • 2.2.2    Pertanggungjawaban Negara terhadap Penembakan Seorang Nelayan Berkebangsaan Tiongkok oleh Militer Filipina di Kepulauan Spratly

Penembakan yang dilakukan oleh militer Filipina terhadap nelayan Tiongkok menimbulkan tanggung jawab negara. Untuk menentukan negara yang bertanggung jawab diperlukan terlebih dahulu penentuan yurisdiksi negara yang berlaku dalam tragedi itu. Tiongkok menyatakan bahwa kapal nelayan mereka masih beroperasi pada ZEE mereka, sedangkan Filipina mengklaim bahwa nelayan Tiongkok tersebut telah memasuki wilayah kedaulatan mereka.7 Kedua negara mengklaim Laut Cina Selatan khususnya Kepulauan Spratly sebagai wilayah mereka. Berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi kedua negara memiliki alasan yang kuat untuk mengklaim kepulauan Spratly. Hal ini menimbulkan tumpang tindih kedaulatan antar kedua negara.

Penyelesaian kasus penembakan ini dapat dilakukan melalui International Court of Justice (ICJ) dengan melihat ketentuan Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional yang memberikan wewenang kepada ICJ untuk menerima semua perkara yang diajukan kepadanya. International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) juga memberikan kesempatan para pihak yang bersengketa untuk mengajukan perkara merujuk pada kewenangan ITLOS untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan penafsiran UNCLOS 1982 berdasarkan Pasal 21 dan 22 Lampiran VI UNCLOS 1982.

Penyelesaian kasus ini juga dapat menggunakan Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongfull Acts sebagai pertimbangan karena draft ini menjelaskan dengan detail mengenai tanggung jawab negara meskipun draft ini belum memiliki kekuatan hukum yang kuat. Penembakan yang dilakukan oleh Filipina dapat dikategorikan sebagai internationally Wrongfull acts berdasarkan ketentuan Pasal 2 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongfull Acts. Tindakan militer yang menembak seseorang hingga tewas dapat diatribusikan kepada negara, karena militer merupakan organisasi negara berdasarkan Pasal 4 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongfull Acts. Hal ini menyebabkan terpenuhinya unsur internationally wrongfull acts dan membuat Filipina wajib bertanggung jawab. Force majeur yang disampaikan oleh Filipina tidak dapat digunakan karena tidak terdapat keadaan yang begitu memaksa pada saat kejadian

sesuai Pasal 23 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongfull Acts.

  • III.    KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Dalam upaya menyelesaikan sengketa mengenai tumpang tindih wilayah, setiap negara harus memperhatikan cara-cara penyelesaian sengketa berdasarkan hukum internasional, yaitu secara damai, yang dapat ditempuh melalui jalur politik atau diplomatik dan jalur hukum. Para pihak juga dapat menggunakan cara kekerasan baik non perang maupun perang dengan syarat yang telah ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB.

  • 2.    Kasus penembakan seorang nelayan berkebangsaan Tiongkok oleh militer Filipina yang terjadi di kawasan tumpang tindih menimbulkan tanggung jawab negara khususnya Filipina. Republik Rakyat Tiongkok dapat mengajukan kasus ini ke International Court of Justice (ICJ) dan International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) atau dengan melihat ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongfull Acts.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku :

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mohd. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta.

J.G Starke, 2014, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.

  • 2.    Instrumen Hukum Internasional :

United Nations Convention of the Law of the Sea

ILC Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongfull Acts.

Statute of the International Court of Justice

Charter of the United Nations

5