MENGHINDARI TANGGUNG JAWAB DENGAN MENCANTUMKAN KLAUSULA EKSONERASI

DALAM PERJANJIAN BAKU: LEGALKAH?

I Komang Supastika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian pada artikel ini bertujuan guna mengetahui alasan mengapa klausula eksonerasi dimungkinkan untuk dicantumkan dalam sebuah perjanjian baku dan guna menganalisis legalitas pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku menurut UUPK. Artikel ini menerapkan metode penilitian hukum normatif serta pendekatan Peraturan Perundang-Undangan dan pendekatan perbandingan. Adapun cara menganalisis dan mengulas yang dipakai dalam artikel ini adalah teknik deskriptif. Berdasarkan hasil penilitan dapat diketahui bahwa asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata merupakan alasan fundamental bagi pelaku usaha untuk dapat membubuhkan klausula eksonerasi di sebuah perjanjian baku, karena menurut asas tersebut para pihak mempunyai keleluasaan untuk menentukan klausul-klausul untuk disepakati pada suatu perjanjian, hal tersebut diperkuat oleh ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 1493 KUHPerdata. Pencantuman klausula eksonerasi di sebuah perjanjian baku oleh pelaku usaha juga dimungkinkan karena tidak terlaksananya kontrol oleh pemerintah sebagaimana termuat pada Pasal 8 PP No. 58 Tahun 2001. Namun berdasarkan ketentuan pada Pasal 18 dan Pasal 62 Ayat (1) UUPK diketahui bahwa pencantuman klausula eksonerasi pada sebuah perjanjian baku tidak memiliki legalitas, dimana hal tersebut sejalan dengan pembatasan yang diberikan oleh Pasal 1494 KUHPerdata.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Perjanjian Baku, Klausula Eksonerasi

ABSTRACT

The research in this article aims to find out the reasons why exoneration clauses are possible to be included in a standard agreement and to analyze the legality of including exoneration clauses in standard agreements according to the Consumer Protection Act. This article applies normative legal research methods as well as the Legislation approach and comparative approach. The way to analyze and review used in this article is a descriptive technique. Based on the results of the study, it can be seen that the principle of freedom of contract as stipulated in Articles 1320 and 1338 of the Civil Code is a fundamental reason for business actors to be able to affix exoneration clauses in a standard agreement, because according to this principle the parties have the flexibility to determine clauses to be agreed upon in an agreement, this is strengthened by the provisions as contained in Article 1493 of the Civil Code. The inclusion of exoneration clauses in a standard agreement by business actors is also possible due to the non-implementation of control by the government as contained in Article 8 of Government Regulation Number 58 of 2001. However, based on the provisions of Article 18 and Article 62 Paragraph (1) of the Consumer Protection Law, it is known that the inclusion of an exoneration clause in a standard agreement has no legality, which is in line with the restrictions provided by Article 1494 of the Civil Code.

Key Words: Consumer Protection, Standard Agreement, Exoneration Clause

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Sebagaimana hakekat manusia yakni sebagai makhluk sosial, maka manusia tidak mungkin untuk hidup sendiri, terlebih dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Antara satu manusia dan manusia lainnya saling membutuhkan dalam kaitan untuk mencukupi kebutuhan hidup tersebut, salah satu proses dalam usaha pemenuhan kebutuhan tersebut adalah dengan melakukan aktifitas ekonomi berupa transaksi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transaksi merupakan sebuah kesepakatan untuk mengadakan jual beli dalam perdagangan antara dua pihak. Adapun pihak-pihak yang turut serta pada aktifitas transaksi tersebut adalah pelaku usaha dan konsumen.

Suatu kesepakatan tentu akan melahirkan hubungan hukum yang berdampak pada munculnya hak dan kewajiban bagi setiap kubu yang terlibat. Oleh sebab itu, untuk memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya maka perlu dituangkan dalam sebuah perjanjian yang kemudian dapat dijadikan sebagai bukti untuk melakukan gugatan/tuntutan apabila kemudian salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya dalam proses transaksi tersebut. Secara umum pengaturan mengenai perjanjian terdapat pada Buku III KUHPerdata. Dalam hukum perikatan juga dikenal bentuk-bentuk perjanjian yang terdiri dari perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Antara bentuk perjanjian tertulis dan bentuk perjanjian lisan memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda pada sistem pembuktian hukum acara perdata. Alat bukti berupa surat/tertulis mempunyai kekuatan pembuktian yang paling utama dibandingkan dengan jenis alat bukti lainnya, sehingga saat ini para pihak yang mengadakan segala jenis perjanjian umumnya memilih untuk menuangkannya dalam bentuk perjanjian tertulis.1

Seiring dengan perkembangan masa serta dinamisasi kehidupan manusia, untuk menciptakan efisiensi dalam kegiatan transaksi, dewasa ini dikenal adanya jenis perjanjian baku, yakni perjanjian yang klausulanya telah diseragamkan dan dibuat secara massal, perjanjian baku dibuat sebelah pihak oleh salah satu pihak dengan bentuk tertulis berupa formulir dan pihak yang lainnya hanya dimintakan persetujuannya terhadap muatan dari perjanjian tersebut. Apabila ia menyetujui perjanjian tersebut, maka berarti ia menyetujui seluruh isi ataupun klausul-klausul yang termuat dalam perjanjian. Begitupun sebaliknya, apabila ia menolak perjanjian baku yang diberikan kepadanya, maka berarti ia menolak seluruh isi ataupun klausul-klausul yang dicantumkan dalam perjanjian tanpa adanya kesempatan untuk menegosiasikan isi dari perjanjian tersebut (take it or leave it).2

Sebagaimana sifat perjanjian baku yang dalam prosedur pembuatannya dilakukan dengan sepihak, tentu lebih banyak melindungi kepentingan dari kubu yang membuatnya, umumnya adalah pihak penjual/pelaku usaha.3 Hal tersebut tentu akan menimbulkan ketimpangan kedudukan pada pelaku usaha dan konsumen, dimana pelaku usaha selaku kubu yang dominan dengan leluasa dapat menentukan klausula yang akan dicantumkan pada perjanjian, sedangkan konsumen secara mutlak tidak dapat menentukan isi atau klausula pada perjanjian, tidak jarang situasi seperti itu dapat merugikan konsumen.

Keududukan konsumen sebagai pihak yang lemah juga sering kali dimanfaatkan oleh pelaku usaha dengan menyisipkan klausula eksonerasi pada sebuah perjanjian baku, yaitu klausula yang meluputkan atau memindahkan kewajiban pelaku usaha kepada konsumen.4 Hal tersebut dilatarbelakangi oleh asas ekonomi yang diterapkan oleh pelaku usaha, yakni guna mendapatkan laba sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran serendah-rendahnya, pelaku usaha berusaha untuk menghindari tanggung jawab karena akan menimbulkan pengeluaran yang lebih banyak dari yang seharusnya. Selain itu, pencantuman klausula eksonerasi oleh pelaku usaha merupakan implementasi dari asas kebebasan berkontrak yang dikenal oleh hukum perjanjian di Indonesia.5

Pemerintah perlu memberikan proteksi yuridis terhadap hak-hak konsumen karena kedudukan konsumen sangatlah lemah dalam hal pencantuman klausula eksonerasi oleh pelaku usaha. Payung hukum dalam hal upaya perlindungan konsumen di Indonesia telah diatur pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen atau yang kemudian dikenal sebagai UUPK. Namun demikian, pencantuman klausula eksonerasi dengan tujuan menghindar dari tanggung jawab masih kerap dilakukan oleh pelaku usaha. Di sisi lain konsumen juga belum memiliki pengetahuan yang cukup akan tindakan pencantuman klausula eksonerasi tersebut, sehingga pada saat dihadapkan pada perjanjian baku oleh pelaku usaha, konsumen cenderung tidak acuh terhadap isi ataupun klausula yang dicantumkan di dalam perjanjian dan menyetujui perjanjian tersebut tanpa memeriksanya terlebih dahulu, sehingga akhirnya konsumen tanpa sadar telah terikat pada isi dari perjanjian tersebut. Hal itu tentu akan merugikan konsumen di kemudian hari apabila terjadi sesuatu yang seyogyanya menjadi kewajiban pelaku usaha namun konsumen tidak dapat melakukan tuntutan terhadapnya karena telah terikat dengan klausula eksonerasi dan secara langsung telah kehilangan hak-haknya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka selanjutnya akan dibahas mengenai dasar dan legalitas dari pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku pada bab pembahasan.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan permasalahan yang ditemukan sendiri dan berdasarkan buah pikir pribadi, namun dalam penulisan artikel ini akan menggunakan dua penilitian terdahulu sebagai bahan acuan dan perbandingan, yaitu penelitian mengenai topik klausula eksonerasi. Adapun penelitian yang digunakan adalah artikel yang berjudul “Perlindungan Hukum Kepada Konsumen Pengguna Jasa Laundry Terkait Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Nota Pembayaran” yang ditulis oleh Ida Ayu Oka Risma Dwiyanthi dan I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati yang diterbitkan pada Jurnal Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 4, Juni 2019 dengan fokus pembahasan mengenai kesahihan klausula eksonerasi pada suatu perjanjian laundry serta dampak hukum mengenai pembubuhan klausula eksonerasi pada nota laundry terhadap konsumen.6 Selanjutnya adapun artikel kedua yang digunakan adalah artikel yang berjudul “Klausula Eksonerasi Sebagai Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Asuransi” yang ditulis oleh Wiwin Wintarsih Windiantina yang diterbitkan pada Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Vol. 11 No. 1, Maret 2020 dengan fokus pembahasan mengenai kesahan penggunaan klausula eksonerasi sebagai

perjanjian baku ditinjau melalui syarat sahnya suatu perjanjian asuransi serta implikasi penggunaan klausula eksonerasi sebagai perjanjian baku dilihat dari UUPK.7

Adapun pembeda antara penelitian ini dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya di atas adalah pada kedua artikel di atas cenderung membahas dengan rinci mengenai penerapan klausula eksonerasi pada nota pembayaran laundry beserta dampak hukumnya dan penerapan klausula eksonerasi pada perjanjian asuransi beserta dampak hukumnya, sedangkan dalam artikel ini akan membahas secara umum perihal alasan klausula eksonerasi dimungkinkan untuk dicantumkan pada sebuah perjanjian baku serta legalitas pembubuhan klausula eksonerasi pada perjanjian baku menurut UUPK.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, telah dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Mengapa klausula eksonerasi dimungkinkan untuk dicantumkan dalam sebuah perjanjian baku?

  • 2.    Bagaimanakah legalitas pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku menurut UUPK?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ini bertujuan untuk:

  • 1.    Guna mengetahui alasan mengapa klausula eksonerasi dimungkinkan untuk dicantumkan dalam sebuah perjanjian baku.

  • 2.    Guna menganalisis legalitas pencantuman klausula eksonerasi pada perjanjian baku menurut UUPK.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang diterapkan pada penilitian ini ialah metode penelitian hukum normatif, yakni didasarkan pada peraturan tertulis disebut juga “law in books” maupun pada norma yang berlaku di masyarakat.8 Penelitian ini dapat disebut sebagai penelitian kajian pustaka karena sumber data yang dipergunakan merupakan data sekunder seperti bahan hukum primer berupa undang-undang, bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal dan pendapat para ahli hukum, serta bahan hukum tersier berupa kamus. Adapun model pendekatan yang dipakai pada penelitian ini ialah pendekatan Peraturan Perundang-Undangan dan pendekatan perbandingan. Cara yang dipakai untuk menganalisis serta mengulas dalam artikel ini adalah teknik deskriptif dengan tujuan agar mendapatkan simpulan yang runut dan sesuai dengan fakta yang ditemukan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Alasan klausula eksonerasi dimungkinkan untuk dicantumkan dalam sebuah perjanjian baku

Setiap manusia di dalam kesehariannya akan membuat, megadakan, dan melaksanakan perjanjian karena sebagian besar sektor pada kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari perjanjian. Pada dasarnya perjanjian merupakan tindakan atau perbuatan serta peristiwa mengikatkan diri kepada orang lain untuk membentuk suatu

hubungan hukum. Dalam sejarahnya, suatu perjanjian pada mulanya dibuat dengan cara lisan, yaitu mengacu pada asas konsensualitas dimana suatu perjanjian timbul sedari teraihnya kata mufakat antara kubu yang membuat perjanjian. Kemudian pada perkembangannya suatu perjanjian mulai dibuat dalam bentuk tertulis, dimana dalam proses pembuatannya tersebut, para pihak melakukan proses perundingan dan negosiasi mengenai hal-hal yang akan mereka tuangkan dalam perjanjian tersebut terlebih dahulu hingga mencapai suatu kesepakatan yang selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk suatu perjanjian tertulis.9

Perkembangan hukum perjanjian yang mengehendaki perjanjian tidak memerlukan proses dan waktu yang lama, efektif, sederhana, dan praktis khususnya bagi para pelaku usaha melahirkan suatu jenis perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian baku.10 Perjanjian baku merupakan kesepakatan tertulis yang berisikan klausul-klausul yang dibakukan dan sudah ditetapkan secara sebelah pihak oleh pelaku usaha, dimana konsumen hanya mempunyai dua opsi, yakni menyetujui ataupun menolaknya. Konsumen tidak memiliki kesempatan guna ikut andil dalam penyusunan dan penentuan isi atau klausul dari perjanjian tersebut, konsumen juga tidak dapat menegosiasikan isi dari perjanjian baku.

Pada suatu perjanjian baku, dapat dicantumkan klausula eksonerasi yang merupakan klausula tambahan sebagai unsur esensial.11 Klausula eksonerasi ialah klausula yang memuat keadaan mewatasi atau meniadakan seluruh tanggung jawab pelaku usaha yang seyogyanya ditanggung oleh pelaku usaha.12 Pencantuman klausula eksonerasi ini umumnya dikarenakan adanya ketimpangan kedudukan pada pelaku usaha dan konsumen, dimana pelaku usaha mempunyai kedudukan yang relatif lebih dominan, sehingga ia leluasa menentukan isi atau klausula yang dicantumkan dalam perjanjian baku. Di lain sisi, konsumen terpaksa menerima atau menandatangani sebuah perjanjian baku semata-mata terodorong oleh kebutuhannya.

Dalam membuat, mengadakan ataupun melaksanakan suatu perjanjian, baik perjanjian lisan maupun tertulis, penting untuk diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai perjanjian. Di Indonesia, pengaturan terkait dengan perjanjian/kontrak termuat dalam Buku III KUHPerdata, salah satunya adalah mengenai prasyarat sahihnya perjanjian, yaitu pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan “supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  • 1)    Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;

  • 2)    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  • 3)    Suatu pokok persoalan tertentu;

  • 4)    Suatu sebab yang tidak terlarang.”

Pada rumusan Angka 4 Pasal 1320 KUHPerdata di atas terkandung satu prinsip/asas yang dikenal pada hukum perikatan, yakni asas kebebasan berkontrak.13 Ridwan Khairandy berpendapat bahwa prinsip kebebasan berkontrak memiliki dua

makna, yaitu positif dan negatif.14 Prinsip kebebasan berkontrak dalam arti positif bermakna bahwa setiap kubu mempunyai keleluasaan dalam mengadakan suatu perjanjian yang memiliki kekuatan hukum dan menggambarkan kehendak yang merdeka dari setiap kubu, menurut makna positif tersebut maka perumusan suatu perjanjian dan penentuan klausula perjanjian adalah buah dari kehendak yang merdeka dari setiap kubu.15 Sedangkan prinsip kebebasan berkontrak dalam arti negatif bermakna bahwa setiap kubu luput dari satu keharusan selama tidak diatur dalam klausula pada kesepakatan yang memiliki kekuatan hukum tersebut.16

Asas kebebasan berkontrak juga termaktub di ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak merupakan fondasi bagi pelaku usaha dan konsumen guna mengadakan serta menyusun suatu perjanjian dengan mecantumkan atau menambahkan klausula yang melahirkan hak dan kewajiban yang seluas-luasnya, selama prestasi yang terkandung dalam klausula tersebut bukan merupakan hal yang dilarang. Adapun ketentuan mengenai suatu hal yang terlarang untuk dicantumkan pada sebuah perjanjian termuat di Pasal 1337 KUHPerdata yang menerangkan “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.” Aturan itu mendeskripsikan secara umum bahwa pada hakekatnya segala perjanjian boleh diadakan dan dilaksanakan oleh semua orang, dimana semata-mata perjanjian yang mengandung hak dan kewajiban yang berlawanan dengan peraturan perundang-undangan, tata susila, serta ketertiban umum saja yang dilarang.17

Asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan keleluasaan terhadap setiap orang guna menentukan secara merdeka hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian sebagai berikut:

  • a.    Leluasa memutuskan untuk melakukan suatu perjanjian atau tidak;

  • b.    Leluasa memutuskan bersama siapa mengadakan suatu perjanjian;

  • c.    Leluasa menetapkan klausula yang akan dicantumkan dalam perjanjian;

  • d.    Leluasa menentukan bentuk perjanjian; dan

  • e.    Leluasa untuk melakukan hal-hal lainnya sepanjang tidak berlawanan dengan ketentuan yang termuat pada undang-undang, tata susila, serta ketertiban umum.18

Asas kebebasan berkontrak sesuai dengan yang diatur di Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata juga berlaku dalam pembuatan perjanjian baku, sehingga dapat diketahui bahwa asas kebebasan berkontrak ini merupakan alasan fundamental bagi pelaku usaha untuk dapat membubuhkan klausula eksonerasi di sebuah perjanjian baku, karena menurut asas tersebut para pihak mempunyai keleluasaan untuk menentukan klausul-klausul untuk disepakati pada suatu perjanjian. Hal tersebut diperkuat oleh aturan yang termuat di Pasal 1493 KUHPerdata yang mengatur bahwa “Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini; bahkan mereka itu

diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung apapun.”

Pencantuman klausula eksonerasi di sebuah perjanjian baku oleh pelaku usaha juga dimungkinkan karena tidak terlaksananya kontrol oleh pemerintah sebagaimana termuat pada Pasal 8 PP No. 58 Tahun 2001 yang menyatakan “Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.” Sesuai dengan aturan tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah sejatinya memiliki peran untuk mengawasi pencantuman suatu klausul dalam suatu perjanjian, sehingga pencantuman klausula eksonerasi dapat dihindarkan.

  • 3.2.    Legalitas pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku menurut UUPK

Sebagai suatu negara hukum, Indonesia senantiasa wajib memposisikan hukum sebagai dasar dalam segenap lini aktivitas di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, artinya segala sesuatu harus memiliki legalitas. Istilah legalitas berasal dari kata legal yang memiliki makna sebagai suatu hal yang sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Menurut KBBI, legalitas adalah mengenai keadaan yang sah atau keabsahan. Salah satu peraturan yang berlaku positif di Indonesia adalah UUPK, yakni payung hukum dalam upaya perlindungan terhadap konsumen di Indonesia, adapun cakupan pengaturan pada UUPK utamanya adalah mengenai perlindungan kepada konsumen dalam hal konsumsi produk barang maupun jasa pelaku usaha oleh konsumen.19 UUPK turut memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam hal dicantumkannya klausula eksonerasi di sebuah perjanjian baku oleh pelaku usaha. Klausula eksonerasi menurut David Yates didefinisikan sebagai setiap bagian atau klausula dalam perjanjian yang mewatasi, membebankan dan memanipulasi kompensasi atau kewajiban yang muncul akibat penyimpangan terhadap suatu perjanjian.20

Istilah klausula eksonerasi dalam UUPK sebenarnya tidak ditemukan, namun dalam UUPK dapat ditemukan terminologi “klausula baku” yang definisnya termuat di Pasal 1 Angka 10 UUPK yang menyebutkan “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Pokok rumusan pasal tersebut utamanya adalah menekankan mengenai tata cara penetapan dari klausula baku, yang mana dilakukan dengan cara sebelah pihak oleh pelaku usaha.

Namun kemudian di Pasal 18 Ayat (1) UUPK dinyatakan “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

  • a.    menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

  • b.    menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

  • c.    menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

  • d.    menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

  • e.    mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

  • f.    memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

  • g.    menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

  • h.    menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.”

Apabila ditelaah dari ketentuan itu, bisa dilihat makna klausula eksonerasi terkandung pada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf a UUPK. Dimana pencantuman klausula baku yang berisikan klausula eksonerasi atau klausul yang menyatakan pelimpahan tanggung jawab pelaku usaha dalam sebuah perjanjian adalah dilarang, terlebih dalam sebuah perjanjian baku yang tidak mengakomodir adanya negosiasi terhadap klausula eksonerasi tersebut oleh konsumen. Selanjutnya ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h sejatinya merupakan contoh dari macam-macam bentuk pengalihan responsibilitas oleh pelaku usaha, seperti pelaku usaha berhak tidak menerima pengembalian barang maupun jasa yang telah dibeli oleh konsumen atau uang yang sudah dibayarkan oleh konsumen.21 Kemudian pada Pasal 18 Ayat (3) UUPK disebutkan bahwa “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat konsekuensi terhadap suatu perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi, yaitu dinyatakan batal dengan sendirinya menurut hukum.

UUPK turut memberikan regulasi perihal ketentuan pidana terhadap pelanggaran ketentuan pada Pasal 18 UUPK, yaitu pada Pasal 62 Ayat (1) UUPK yang menyatakan “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” Aturan tersebut merupakan wujud proteksi yuridis yang dipersembahkan oleh UUPK terhadap konsumen dalam hal pembubuhan klausula eksonerasi oleh pelaku usaha.

Berlandaskan pembahasan di atas, tersingkap bahwa pencantuman klausula eksonerasi pada sebuah perjanjian baku tidak memiliki legalitas menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPK karena pencantuman klausula eksonerasi tersebut telah secara terang dilarang. Hal tersebut sejalan dengan pembatasan yang diberikan oleh KUHPerdata, yakni pada Pasal 1494 yang manyatakan “Meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apa pun, ia tetap bertanggung jawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal.”

  • 4. Kesimpulan

Alasan fundamental bagi pelaku usaha untuk dapat membubuhkan klausula eksonerasi di sebuah perjanjian baku adalah adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata karena menurut asas tersebut para pihak mempunyai keleluasaan untuk menentukan klausul-klausul untuk disepakati pada suatu perjanjian, hal tersebut diperkuat oleh ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 1493 KUHPerdata. Pencantuman klausula eksonerasi di sebuah perjanjian baku oleh pelaku usaha juga dimungkinkan karena tidak terlaksananya kontrol oleh pemerintah sebagaimana termuat pada Pasal 8 PP No. 58 Tahun 2001. Namun berdasarkan ketentuan pada Pasal 18 dan Pasal 62 Ayat (1) UUPK dapat tersingkap bahwa pencantuman klausula eksonerasi pada sebuah perjanjian baku tidak memiliki legalitas karena pencantuman klausula eksonerasi tersebut telah secara terang dilarang, dimana hal tersebut sejalan dengan pembatasan yang diberikan oleh Pasal 1494 KUHPerdata.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Armia, Muhammad Siddiq. Penentuan Metode dan Pendekatan Penelitian Hukum (Aceh: Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia, 2022).

Jurnal

Agus, Dede. "Perlindungan Konsumen Atas Penggunaan Perjanjian Baku Dalam Undang-Undang  Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen." Nurani Hukum 1, No. 1 (2018): 71-82.

Dwiyanthi, Ida Ayu Oka Risma dan I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati. “Perlindungan Hukum Kepada Konsumen Pengguna Jasa Laundry Terkait Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Nota Pembayaran.” Jurnal Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 4 (2019): 1-12.

Hutagalung, Krismat, Hasnati Hasnati, dan Indra Afrita. "Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Yang Merugikan Konsumen." Mizan: Jurnal Ilmu Hukum 10, No. 2 (2021): 207-231.

Kobis, Fernando. "Kekuatan Pembuktian Surat Menurut Hukum Acara Perdata." Lex Crimen 6, No. 5 (2017): 105-113.

Manumpil, Jein Stevany. "Klausula Eksonerasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia." Lex Privatum 4, No. 3 (2016): 35-41.

Muaziz, Muhamad Hasan, dan Achmad Busro. "Pengaturan Klausula Baku Dalam Hukum Perjanjian Untuk Mencapai Keadilan Kerkontrak." Law Reform 11, No. 1 (2015): 74-84.

Potabuga, Dyas Dwi Pratama. “Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku.” Lex Privatum 1, No. 2 (2013): 32-43.

Rohaya, Nizla. "Pelarangan Penggunaan Klausula Baku Yang Mengandung Klausula Eksonerasi Dalam Perlindungan Konsumen." JHR (Jurnal Hukum Replik) 6, No. 1 (2018): 23-42.

Rusli, Tami. "Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Dasar Perkembangan Perjanjian di Indonesia." Pranata Hukum 10, No. 1 (2015): 24-36.

Sekarini, Marsha Angela Putri, dan I Nyoman Darmadha. "Eksistensi Asas Kebebasan Berkontrak Berkaitan Dengan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku." Kertha Semaya 2, No. 3 (2014): 1-12.

Suwandono, Agus. "Implikasi Pemberlakuan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Dikaitkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen." Jurnal Persepektif 21, No. 1 (2016): 1-10.

Suwikromo, Suryono. "Pemberlakuan Asas Kebebasan Berkontrak Menurut Hukum Perdata Terhadap Pelaksanaannya Dalam Praktek." Lex Privatum 3, No. 4 (2015): 1-7.

Widiantina, Wiwin Wintarsih. “Klausula Eksonerasi Sebagai Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Asuransi.” Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 11, No. 1 (2020): 71-84.

Zakiyah. "Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen." Al-Adl: Jurnal Hukum 9, No. 3 (2018): 435-451.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Nomor 103 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4126.

Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 10 Tahun 2023 hlm 1154-1163

1163