PERBANDINGAN HUKUM ABORSI DI INDONESIA, JEPANG DAN REPUBLIK RAKYAT CINA

Jeffrey Benediet Simanjuntak, Fakultas Hukum Universitas Udayana email: jeffreybenedietsimanjuntak3@gmail.com

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dharma_laksana@unud.ac.id

ABSTRAK

Aborsi adalah tindakan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan sengaja sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Perilaku ini bertentangan dengan hukum di Indonesia, dan tercantum dalam Pasal 346 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kehidupan. Terlepas dari kenyataan bahwa aborsi adalah ilegal, sebagian besar aborsi masih dilakukan pada perempuan karena berbagai alasan karena undang-undang dan peraturan saat ini kurang toleran terhadap situasi di mana perempuan dipaksa untuk melakukan aborsi. Aborsi sering dapat dibagi menjadi dua kategori: aborsi yang tidak disengaja dan aborsi yang disengaja. Aborsi yang terjadi secara tidak sengaja dan tanpa adanya tindakan yang disengaja dikenal sebagai aborsi yang tidak disengaja. Sebaliknya, aborsi yang disengaja adalah aborsi yang terjadi karena suatu pilihan. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik studi literatur untuk mengupas lebih dalam permasalahan yang dihadapi. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap negara memiliki hukum aborsi yang berbeda.

Kata Kunci: Aborsi, Hukum, Undang-Undang Hukum Pidana

ABSTRACT

Abortion is an act to intentionally end a pregnancy before the fetus can live outside the womb. this behavior is against the law in Indonesia, and is listed in Article 346 of the Criminal Code concerning Crimes Against Life. Despite the fact that abortion is illegal, most abortions are still performed on women for various reasons as current laws and regulations are less tolerant of situations where women are forced to have abortions. Abortions can often be divided into two categories: harmless abortions and harmless abortions. Abortions that occur accidentally and without any countermeasures are known as harmless abortions. Anti, winning abortion is an abortion that occurs by choice. In this study, researchers will use literature study techniques to explore more deeply the problems they face. The research results show that each country has different abortion laws.

Keywords: Abortion, Law, Criminal Law

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Dalam dunia hukum internasional, pembahasan tentang perempuan dan anak selalu mengemuka. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perempuan selalu diremehkan karena stigma. Harus digaris bawahi bahwa perempuan dan anak-anak sama-sama melambangkan penikmatan hak asasi manusia yang sah. Sampai saat ini, hak asasi manusia telah melalui masa yang luar biasa yang secara signifikan mendukung perempuan melalui kesetaraan gender dan larangan diskriminasi di idang politik, sosial budaya, dan ekonomi, yang dikendalikan dalam bentuk kesepakatan yaitu Konvensi. penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Undang-undang ini tidak diragukan lagi mengakui dukungan yang telah diterima perempuan di seluruh dunia.

Kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion dan bahasa Latin abortus. secara etimologis berarti, gugur kandungan atau keguguran. Aborsi dalam bahasa arab disebut ijhadh yang berarti menjatuhkan, membuang, melempar atau menyingkirkan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aborsi adalah: 1). Terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sebelum hasil bulan keempat dari kehamilan); keguguran atau keluron. 2). Keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal (untuk makhluk hidup). 3). Guguran (janin).1

Adanya peraturan yang tegas mengenai hal ini, baik perempuan maupun anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya angka kematian wanita (ibu) setiap tahunnya akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Dari persoalan ini, terbentuklah spesifikasi hak-hak perempuan dan anak, yang kemudian membawa kita pada kenyataan pahit kematian ibu (AKI) atau gabungan indikator kematian ibu. MG adalah salah satu hambatan utama kesetaraan gender di dunia modern. MM juga dikaitkan dengan berbagai aspek sensitif seperti budaya, agama, dan politik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan kematian ibu sebagai kematian seorang wanita selama kehamilan atau 42 hari setelah penghentian kehamilan, terlepas dari tanggal dan tempat kehamilan tersebut, dari semua konsekuensi yang terkait dengan kehamilan atau diperburuk oleh keadaan yang ada, adapun akibatnya dari suatu kecelakaan atau kebetulan.2 Setiap hari, sedikitnya 830 wanita meninggal akibat komplikasi kehamilan.

Masalah kebidanan selama kehamilan, perdarahan, sepsis, hipertensi, kelahiran tertunda atau tertunda, dan aborsi yang tidak aman semuanya berkontribusi terhadap kematian ibu secara global. Aborsi merupakan salah satu penyebab MM, meskipun belum ada laporan aborsi. Ada banyak aborsi ilegal di seluruh dunia yang tidak didokumentasikan secara memadai dari sudut pandang medis. Aborsi adalah khas karena tidak semua negara melihatnya sebagai solusi untuk masalah ini. Kepentingan yang berbeda dari masing-masing negara adalah apa yang menyebabkan klaim ini. Misalnya, Jepang memaksa perempuan untuk melakukan aborsi (kecuali dalam situasi

medis), Republik Rakyat China (RRC) mengontrol asal warganya, dan Indonesia melarang aborsi.

Negara Jepang aborsi dikategorikan menjadi dua jenis menurut hukum; satu adalah aborsi ilegal dan yang lainnya adalah aborsi legal. Hukum pidana Jepang saat ini pada prinsipnya melarang perbuatan aborsi dan kehidupan janin dilindungi. Namun, aborsi dapat dipraktikkan di bawah Undang-Undang Perlindungan Eugenik yang ditetapkan pada tahun 1948 (saat ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Ibu), dan dapat dipraktikkan di Jepang. Aborsi yang pada mulanya merupakan bentuk perbuatan yang dilarang dalam sistem hukum kedua negara, baik Indonesia maupun Jepang. Aborsi hanya boleh dilakukan atas dasar indikasi kesehatan ibu dan janin serta kehamilan akibat perkosaan. Berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam sistem Hukum Kesehatan Indonesia yang memberikan batasan usia kehamilan untuk melakukan aborsi adalah 6 (enam) minggu kehamilan, sistem hukum Jepang mengizinkan perbuatan aborsi untuk dilakukan hingga 22 (dua puluh dua) minggu usia kehamilan. Pemerintah Jepang melalui Surat Edaran Wakil Menteri Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Nomor 122 Tahun 1996 menyatakan bahwa batasan waktu untuk melakukan aborsi adalah pada masa kehamilan berusia 22 minggu yang dihitung dari hari pertama haid terakhir. Indonesia melalui ketentuan Pasal 76 huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa batas waktu untuk melakukan aborsi adalah sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.3

Adapun fenomena persoalan mengenai pelaksanaan tindak pidana aborsi oleh anak di bawah umur dapat kita temukan pada Putusan Nomor 5/Pid.SusAnak/2018/PN-Mbn. Jika kita melihat dalam putusan tersebut, terdakwa WA (insial) dinyatakan secara sah telah terbukti bersalah karena melalukan tidak pidana aborsi atau menggugurkan kandungannya. Oleh karena itu terdakwa dijatuhkan pidana pelatihan kerja yang dilakukan selama tiga bulan, dan juga pidana penjara yang dilakukan selama enam bulan lamanya. Putusan yang dijatuhkan tersebut dianggap telah sesuai dengan ketentuan pasal 77 A ayat (1) jo. Pasal 45A Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perubahan kedua Undang- Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Menurut Hakim penjatuhan hukuman tersebut sangat diperlukan, karena dengan penjatuhan sanksi tersebut diharapkan mampu membantu dalam mengubah sifat, dan juga dapat memberi efek jera kepada anak sebagai pelaku, agar di kemudian hari ia tidak akan mengulang perbuatannya. Dalam kasus seperti ini, sanksi yang dijatuhkan kepada terpidana tentu saja harus sesuai dengan hukum yang belaku.4

Selanjutnya adanya pelaksanaan tindak pidana aborsi dalam kasus malpraktek pada putusan Pengadilan Negeri Nganjuk No.288/Pid.sus/2018/PN NJK, memberikan gambaran hubungan dokter bertindak tidak sesuai dengan aturan dan etika moral yang berlaku. Moralitas tinggi yang harus selalu siap untuk memberikan pertolongan kepada

orang yang membutuhkannya di manfaat dengan melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Yang dimana DSB (30 Tahun) melakukan Aborsi dengan Dr. WB dengan sengaja menggunakan metode kuret yang meski tanpa adanya kesepakatan, hal ini dapat mengancam nyawa DSB. Ditambah dengan perbuatan terdakwa dilakukan pada waktu Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Prakteknya telah habis.5

Dalam kasus ini menurut Ina K. Warriner kejadian kehamilan yang tidak diinginkan, yang merupakan cerminan dari program keluarga berencana yang gagal menyediakan alat kontrasepsi bagi wanita yang berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, adalah pendorong utama aborsi. Diperlukan strategi atau cara penggunaan alat kontrasepsi yang tepat dan konsisten, berdasarkan laju pertumbuhan usia reproduksi pria dan wanita yang ingin membatasi tingkat kesuburannya dan memiliki sedikit keturunan. Namun, masalah termasuk akses terbatas ke informasi tentang cara menggunakan alat kontrasepsi yang benar, penggunaan yang tidak konsisten, dan kegagalan alat kontrasepsi ini sulit untuk diperbaiki dan dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan.

Keintiman yang dipaksakan atau tidak disengaja dan kurangnya representasi suara perempuan dalam diskusi tentang masalah seksual atau reproduksi adalah penyebab tambahan dari kehamilan yang tidak diinginkan. Wanita yang melakukan aborsi, terutama yang berisiko, telah dipengaruhi secara signifikan oleh ekspektasi sosial, ekonomi, undang-undang yang membatasi, dan faktor lainnya. Karena implikasi keuangan dari kehamilan yang tidak diinginkan, kemiskinan adalah salah satu alasan utama mengapa seorang wanita memilih untuk melakukan aborsi. Harus ada perbedaan antara aborsi yang aman dan tidak aman. Rasa sakit yang menyiksa (52%) dan pendarahan (44%) adalah efek samping utama dari aborsi yang sering digambarkan oleh wanita. Demam, cedera ringan, dan konsekuensi ringan lainnya mencapai 14% kasus.6

Terjadinya aborsi bukan hanya masalah medis tetapi juga telah menjadi salah satu masalah sosial yang nyata di masyarakat. Masalah yang menyangkut kehidupan seksualitas terutama dikalangan remaja, serta belum mendapatkannya perhatian lebih yang menyangkut masalah kehidupan seksualitas para remaja saat ini atau pemahaman mengenai bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan aborsi serta hukuman bagi yang melakukan tindakan aborsi tersebut. Masyarakat pun masih ada yang beranggapan bahwa masalah seksualitas atau pemahaman mengenai aborsi terlalu sensitif untuk dibicarakan dikalangan individu dengan individu maupun di tingkat masyarakat pada umumnya.

Aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan seorang wanita bahkan dapat berakibat fatal berupa kematian. Tidak benar mengatakan bahwa seseorang yang melakukan aborsi tidak merasakan apa-apa dan dapat langsung pulang. Ini adalah informasi yang salah dan sangat menyesatkan bagi setiap wanita, apalagi yang bingung karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terlanjur terjadi, sehingga tidak berpikir dua kali untuk langsung melakukan aborsi tanpa memikirkan resikonya.

Dalam melakukan penulisan artikel ini, ditemukan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki tema serupa tetapi membahas aspek yang berbeda. Adapun penelitian tersebut, diantaranya; “Analisis Perbandingan Hukum Aborsi Menurut Hukum Islam Dengan Hukum Pidana Indonesia” dengan penulis Munarif, dimana penelitian ini membahas mengenai Status hukum aborsi dari sudut pandang hukum Islam adalah pembunuhan terhadap hak hidup manusia, yang tidak diragukan lagi merupakan dosa besar. Penelitian ini membandingkan dan mengkontraskan aborsi menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia. Selanjutnya, penelitian kedua dengan judul “Kajian Perbandingan Tentang Ketetapan Hukum Aborsi Di Indonesia Dan Chili“ yang ditulis oleh Rahmi Ayunda dimana penelitian ini membahas bagaimana ketetapan hukum Negara Indonesia terkait orang-orang yang melakukan tindakan aborsi dan menjual obat aborsi di lingkungan masyarakat secara illegal?; dan bagaimana aborsi di Negara Chili serta ketetapan hukum terkait orang yang melakukan aborsi?7

Namun demikian, karena masih banyak aborsi di Indonesia dan Malaysia, efektivitas pencegahan dan pelaksanaannya belum dirasakan secara maksimal. Hasil kesehatan kedua negara dipengaruhi secara negatif oleh tingkat aborsi yang tinggi, yang juga berdampak pada kesejahteraan fisik dan mental baik bagi pelaku, korban maupun yang membantu tindak aborsi.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang akan disajikan diantaranya:

  • 1.    Bagaimana Hukum Aborsi di Indonesia, Jepang dan hukum aborsi di Republik Rakyat Cina?

  • 2.    Bagaimana perbandingan hukum aborsi di Indonesia, Jepang dan Republik Rakyat Cina?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan artikel ini ialah untuk menganalisis bagaimana hukum aborsi yang terdapat di beberapa negara khususnya Indonesia, Jepang dan Republik Rakyat Cina. Hal tersebut dikarenakan setiap negara memiliki hukum aborsi tersendiri sesuai dengan aturan yang berlaku.

  • 2.    Metode Penelitian

Pendekatan yang dilakukan selama penelitian adalah metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Metodologi penelitian hukum normatif digunakan oleh peneliti untuk menulis karya ini. Tidak selalu kasus penelitian hukum normatif memerlukan studi tentang standar hukum. Penelitian hukum biasanya dianggap sebagai satu-satunya jenis penelitian yang dilakukan pada norma-norma yuridis, yang membatasinya pada norma-norma yang ditemukan dalam hukum. Penelitian tentang hukum normatif juga lebih luas. Johnny Ibrahim mengklaim bahwa

penelitian hukum normatif adalah metode ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan penalaran normatif.

Peraturan perundang-undangan dan aturan hanyalah salah satu aspek dari sisi normatif ini. Ilmu hukum adalah ilmu normatif, bukan hanya ilmu hukum positivis, seperti yang dicatat oleh Peter Mahmud. Menurut John Austin dan Hans Kelsen, norma tidak semata-mata dilihat sebagai hukum positif, yaitu peraturan yang dibuat oleh politisi yang berkuasa atau oleh penguasa yang tirani. Atas dasar keyakinan tersebut, penelitian hukum bertujuan untuk menemukan realitas koherensi, yaitu apakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum, apakah norma hukum yang memuat kewajiban dan sanksi sesuai dengan prinsip hukum, dan apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau asas hukum. Oleh karena itu, dalam artikel HUKUM PIDANA: Perbandingan Hukum Aborsi di Indonesia, Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok ini, metode ini digunakan untuk memperoleh data dan fakta yang relevan dengan permasalahan di atas.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Hukum Aborsi di Indonesia, Jepang dan Hukum Aborsi di Republik Rakyat Cina

  • 1.    Hukum Aborsi di Indonesia

Di Indonesia, setidaknya ada dua juta aborsi yang dilakukan setiap tahun, dengan 43 aborsi dilakukan untuk setiap 100 kelahiran hidup, atau 30% kehamilan. Mayoritas (92%) wanita yang melakukan aborsi berusia di atas 20 tahun, dan daerah pedesaan (60%) melakukan aborsi lebih banyak daripada daerah metropolitan (30 persen). Menurut orang-orang yang melakukan aborsi, sepertiga kota dan sepertiga desa lainnya melaporkan bahwa aborsi dilakukan selama kehamilan pertama. Sebagian besar tampaknya masih lajang berdasarkan komentar itu. 4,6% pasien sulit aborsi yang dirujuk ke RSUD Yogyakarta adalah lajang, dan status perkawinannya hanya diperbolehkan oleh agama (nikah siri).8

Kematian ibu masih menjadi masalah utama di Indonesia. Namun, perkiraan paling akurat untuk Indonesia adalah bahwa setidaknya 20.650 wanita muda dan dewasa meninggal setiap tahun akibat komplikasi yang berkaitan dengan kehamilan, dan bahwa 413.000–619.500 wanita mengalami kecacatan akibat komplikasi selama kehamilan atau persalinan setiap tahun. Angka kematian ibu sangat kontroversial dan didasarkan pada berbagai sumber.

Komponen agama memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap bagaimana hukum agama berkembang. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan pasal 1 ayat (3).9 Indonesia memiliki hukum yang menghormati setiap anggota dari beragam agama, budaya, dan penduduk geografisnya. Terlepas dari kenyataan bahwa hukum itu kuat, harus diingat bahwa agama memainkan peran besar di Indonesia. Artinya, landasan teologis menginformasikan setiap pertimbangan yang digunakan untuk membuat peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal itu tidak dapat dilakukan jika tidak berpegang pada prinsip-prinsip agama. Dengan adanya Pancasila,

ideologi Indonesia yang terdiri dari lima prinsip, peraturan perundang-undangan dan kebijakan di negara itu tidak diragukan lagi diatur oleh agama, yaitu :

  • 1.    Ketuhanan Yang Maha Esa.

  • 2.    Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

  • 3.    Persatuan Indonesia.

  • 4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanakan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.

  • 5.    Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Semua peraturan yang akan berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia bersumber pada Pancasila, yang menjadi “Ground Norm” negara. Selain itu, hal ini sesuai dengan salah satu asas hukum dasar, yaitu lex superior derogate lege inferiori, yang menyatakan bahwa undang-undang dengan hierarki yang lebih tinggi didahulukan dari undang-undang yang hierarkinya lebih rendah dan bahwa undang-undang yang hierarkinya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang hierarkinya lebih tinggi, khususnya aturan dasar nasional atau dalam hal ini Pancasila, karena aborsi tidak didukung oleh agama manapun yang diakui di Indonesia. Memahami pembenaran di balik undang-undang anti-aborsi nasional Indonesia menjadi lebih sederhana dengan penjelasannya. Aturan berikut berlaku :10

  •    Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

  •    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek Van Straftrecht

  •    Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  •    Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan/Perawatan Medis

  •    Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

  •    Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960 tentang Sumpah Dokter

  • 2.    Hukum Aborsi di Jepang

Tingkat kelahiran yang rendah secara historis mengecewakan pemerintah Jepang, yang mengadakan pertemuan antardepartemen untuk mencari solusi. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, tingkat aborsi di Jepang berada pada tingkat yang baik. Di Jepang, seorang dokter dapat, dengan persetujuan ibu hamil dan pasangannya, dengan sengaja melakukan aborsi pada pasien melalui organisasi medis publik yang terhubung dengan asosiasi wilayah administratif tertentu, dengan ketentuan bahwa kedua hal berikut berlaku :

  • 1.    Dimana kelanjutan kehamilan atau persalinan dapat merusak kesehatan dari calon ibu baik secara fisik atau ekonomi.

  • 2.    Dimana seorang perempuan hamil karena hasil dari pemerkosaan atau berada dalam keadaan dia tidak dapat menolak.

Di Jepang, aborsi melanggar hukum. Dua undang-undang, Undang-undang Perlindungan Tubuh Ibu tahun 1996 dan Undang-Undang Perlindungan Eugenik tahun

1948, keduanya mengizinkan dan melindungi aborsi, dan keduanya mencakup klausul berikut: Untuk menyelamatkan nyawa dan/atau kesehatan fisik wanita dan Untuk alasan moneter atau sosial, pemerkosaan atau inses mengakibatkan kehamilan. Dengan peringatan bahwa jika kesehatan mental ibu atau kelainan bentuk janin digunakan sebagai pembenaran untuk aborsi, itu menjadi tidak sah. Hanya selama 24 minggu pertama (6 bulan) kehamilan, di bawah arahan dokter yang ditunjuk oleh asosiasi medis setempat, dan dengan persetujuan pasien aborsi legal harus dilakukan. Mereka juga harus dilakukan di fasilitas medis yang sesuai. Wali dari wanita yang mengalami keterbelakangan mental dapat memperoleh persetujuannya. Aborsi yang tidak sah dapat dilakukan ketika seorang wanita hamil karena perkosaan atau inses. Pada tahun 1955, tingkat aborsi Jepang dilaporkan mencapai rekor tertinggi 1,17 juta, dan sejak itu semakin menurun, menurut analisis demografi oleh Ryuzaburo Sato dari Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial. Tingkat aborsi di kalangan wanita antara usia 15 dan 49 tahun naik menjadi 289 ribu per 1.000 pada tahun 2005.11

  • 3.    Hukum Aborsi di Republik Cina

RRC dikenal sebagai negara yang terkenal dengan penduduknya yang padat, dimana keluarga berencana memainkan peran mendasar dalam kebijakan publik. Republik Rakyat Tiongkok menggunakan perhitungan rumit untuk mengontrol ukuran dan meningkatkan kualitas populasi secara keseluruhan. Kebijakan satu anak telah menjadi bagian integral dari situasi sosial-politik di Tiongkok saat ini.12 Selain itu, penegakan kebijakan tidak separah yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa jumlah anak dipengaruhi oleh keragaman ras, lokasi geografis, dan perbedaan upah antara penduduk asli dan angkatan kerja. Campur tangan negara secara langsung, yang biasanya menjadi masalah di negara lain dan dianggap sebagai masalah pribadi, telah dilembagakan oleh kebijakan tersebut. Situasinya belum membaik dalam tiga puluh tahun, dan masih belum membaik. Pasal 25 Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok (RRC) ditulis sebagai tanggapan atas perlunya tujuan negara untuk melampaui visi individu dan rakyat RRC :13

“The state promotes family planning so that population growth may fit the plans for economic and social development.”

China telah membatasi secara ketat jumlah, waktu, dan jarak kelahiran sejak 1979 untuk mengelola pertumbuhan penduduk, yang pada gilirannya mendorong pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Ketika kebijakan itu diberlakukan, Cina memiliki lebih dari 25% populasi global. Mereka yang berusia di bawah 30 tahun berjumlah sekitar 2/3 dari populasi global, atau 7% dari total. Peraturan Keluarga Berencana menyebutkan bahwa China, yang saat ini diperkirakan berpenduduk 1,3 miliar orang, akan mencegah 250 juta hingga 300 juta kelahiran.14 Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengubah norma di daerah pedesaan sehingga keluarga dengan satu atau dua anak dianggap sebagai normal, dan tidak melanggar praktik individu yang sebelumnya memiliki keluarga yang relatif besar. Jelas, tujuan penghentian ini adalah untuk menghindari situasi di mana RRT tidak dapat berkembang (memberi makan) warganya sendiri serta untuk memajukan pembangunan

yang gesit. Berikut ini adalah beberapa hukuman administratif terbaru untuk kebijakan kelahiran :15

  • 1.    Pasangan menikah wajib menyerahkan izin tertulis sebelum kehamilan diperbolehkan.

  • 2.    Kehamilan diluar perkawinan adalah ilegal, dan semua bentuk kehamilan yang tidak sah wajib diakhiri.

  • 3.    Mengikuti kelahiran anak pertamanya, perempuan diminta untuk memakai Intrauterine Device (IUD) atau alat kontrasepsi lainnya.

  • 4.    Mengikuti kelahiran anak yang tidah sah atau tidak direncanakan, salah satu pihak dari pasangan harus disterlisisasi.

Ciri lain dari kebijakan ini adalah kemungkinan hukuman, penghilangan paksa, penghargaan, tindakan disipliner, atau penurunan pangkat jika program KB tidak mencapai tujuannya. Strategi sanksi dan penghargaan internal, meskipun memiliki niat terbaik, memiliki hasil yang tidak terduga dan tidak terduga. Strategi keluarga berencana telah diguncang oleh cerita-cerita tentang penutupan populasi yang dipaksakan dan ditargetkan, meskipun desakan negara bahwa partisipasi RRT bersifat sukarela.

Hukuman atau penghargaan ekonomi, bersama dengan paksaan fisik dan psikologis, adalah contoh teknik pemaksaan yang digunakan untuk mempengaruhi populasi sasaran. Di antara teknik yang digunakan adalah sterilisasi paksa, aborsi paksa pada usia lanjut, pembunuhan janin yang lahir hidup, menahan wanita hamil selama diperlukan untuk memaksa mereka melakukan aborsi, penyitaan properti, pemutusan hubungan kerja, penahanan dan penganiayaan terhadap keluarga sebagai insentif untuk mematuhi, dan perusakan rumah dan properti pribadi (atau, jika anggota keluarga tidak ada).

Undang-Undang Tiongkok telah memformalkan kesetaraan gender, yang telah lama dihargai sebagai prinsip dasar pemerintah. Dalam nada yang sama, suami dan istri sama-sama bertanggung jawab secara hukum atas tugas-tugas yang terkait dengan keluarga berencana. Namun pada kenyataannya, perempuan telah lama menjadi fokus utama yang membuat mereka bertanggung jawab atas pengendalian kelahiran dan paksaan fisik. Kebijakan KB secara rutin diterapkan, yang membebani perempuan dan secara efektif berujung pada diskriminasi karena hasil yang tidak setara.16

Undang-Undang Perencanaan Kependudukan dan Kesuburan ini mengamanatkan bahwa pemerintah Cina berusaha untuk mempromosikan keluarga berencana, meningkatkan standar kependudukan, dan memperlambat pembangunan kependudukan. “Kebijakan satu anak” kuno masih ditegakkan oleh undang-undang, tetapi dalam kondisi tertentu, pasangan diizinkan untuk memiliki anak kedua.17 Persyaratan bahwa ada jarak empat tahun atau lebih lama antara kelahiran sering dimasukkan dalam kriteria ini. Pada November 2013, ada modifikasi signifikan pada kebijakan satu anak. Karena undang-undang ini, pasangan menikah yang masing-masing memiliki setidaknya satu anak tunggal sekarang diizinkan untuk memiliki dua anak.

3.2 Perbandingan Penerapan Aspek Hukum di Indonesia, Jepang dan RRC

Unsur

Indonesia

Jepang

Republik Rakyat Cina

Regulasi

UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan medis

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

UU No. 7 Tahun 1984 tentang CEDAW.

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Maternal Protection Act.

Notice of Vice Minister of Health No. 122, Ministry of Health and Welfare, September 25, 1996.

Penal Code.

Constitution of People’s Republic China.

Population and Family Planning Law of The People’s Republic of China.

Hak Reproduksi Wanita

Aborsi hanya diizinkan pada keadaan darurat medis saat kehamilan mengancam nyawa ibu.

Perempuan bebas untuk mengandung baik dalam atau diluar perkawinan, namun dampaknya adalah pada status legal sang anak

Melalui tes prenatal, perempuan dapat mengakhiri kehamilan apabila bayi         dalam

kandungan   dapat

dibuktikan memiliki komplikasi kesehatan.

Rakyat   memiliki

hak      terhadap

reproduksinyaa sekaligus kewajiban untuk melaksanakan keluarga berencana sesuai Hukum

Tingkat Kematian Ibu

190 (per 100.000 kelahiran).

5 (per 100.000 kelahiran).

18,3 (per 100.000 kelahiran).

Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Hamil

UU No. 7 Tahun 1984 tentang CEDAW.

UU No. 13 Tahun 2013 tentang

Ketenagakerjaan. Peraturan

Pemerintahan No.32 Tahun 1999 tentang Hak dan Kewajiban Perizinan

Eugenic Protection Act.

Maternal Protection Act.

Law on the Protection of Women’s Rights and Interest.

Labor Protection Regulation.

Rekomendasi

Keluarga Berencana

Pronatal Policy in Japan.

Efek dari kebijakan satu anak tidak

The Children Leave Law.

Children’s

Allowance Law.

dapat       dibalik

karena berkaitan dengan populasi yang menua saat ini.            Setiap

perubahan yang akan terjadi akan menguntungkan generasi     masa

depan

  • 4.    Kesimpulan

Hukum internasional sekarang menganggap kematian ibu sebagai masalah dalam skala dunia. Salah satu penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia adalah aborsi ilegal, yang mencerminkan berbagai perspektif berbagai negara tentang pentingnya aborsi itu sendiri, termasuk motivasi agama untuk di Indonesia, pertimbangan politik untuk China, dan jaminan kesejahteraan bagi Jepang. Perlindungan yang diberikan kepada ibu hamil dan tingkat kematian ibu akan berubah tergantung pada kerangka legislatif seputar aborsi di setiap negara. Hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa kebijakan satu anak di China menjamin penderitaan bagi penduduknya, sedangkan di Indonesia menentang karena aborsi memiliki angka kematian tertinggi bagi ibu. Sedangkan situasi di Jepang yang paling ideal, di mana aborsi adalah pilihan dan layanan namun, ini subjektif. Sedangkan di Indonesia sudah barang tentu aborsi bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh setiap individu termasuk juga nilai-nilai dasar yaitu Pancasila dan tidak akan mempertimbangkan sudut pandang RRT sebagai pilihan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Namawi. Perbandingan Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Press, 2015).

Purwoleksono, Didik Endro. Hukum Pidana (Surabaya: Airlangga University Press, 2014).

Jurnal Imiah

Ayunda, Rahmi, and Revlina Salsabila Roselvia. “Kajian Perbandingan tentang Ketetapan Hukum Aborsi di Indonesia dan Chili.” Jurnal Supremasi (2021): 48-62. DOI: https://doi.org/10.35457/supremasi.v11i2.1443

Darmawan, Ricky. “Penegakan Hukum Terhadap Malpraktek Dokter Yang Melakukan Aborsi (Studi Putusan No. 288/PID. SUS/2018/PN. NJK).” El-Iqthisady: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah. (2020): 15-32. DOI: https://doi.org/10.24252/el-iqthisadi.v2i2.13999

Daryanto, Agus. “Pengaturan Mengenai Pengecualian Dalam Tindakan Aborsi Ditinjau Dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” Jurnal Education and Development, Vol.8, No.1 (2020). DOI: https://doi.org/10.37081/ed.v8i1.1506.

Hinduswari, Ni Luh Putu, AA Sagung Laksmi Dewi, and Ni Made Sukariyati Karma. “Sanksi Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Aborsi. Jurnal Interpretasi         Hukum.”         1.         1          (2020):         193.

DOI: https://doi.org/10.22225/juinhum.1.1.2209.191-195

Miyazaki, Michiko. “The History Of Abortion-Related Acts And Current Issues In Japan.”           Med.           &          L. 26           (2007):           791.

DOI: https://doi.org/10.1093/ww/9780199540884.013.u57976

Munarif, M., “Analisis Perbandingan Hukum Aborsi Menurut Hukum Islam Dengan Hukum Pidana Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum dan Ekonomi Islam, Vol.4, No.1 (2022). DOI: https://doi.org/10.31970/almashadir.v4i1.82.

Pranata, Bujangga Agus Arif, Sujana, I Nyoman, & Sudibya, Diah Gayatri, “Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi (Studi Kasus Putusan Nomor : 87/Pid.G/2007/Pn.Gir).” Jurnal Analogi Hukum, Vol.2, No.2 (2020). DOI: https://doi.org/10.22225/ah.2.2.2020.148-154.

Saifulloh, Moh. “Aborsi Dan Resikonya Bagi Perempuan (Dalam Pandangan Hukum Islam).” Jurnal Sosial Humaniora (JSH) 4.1      (2011):      13-25.

DOI: http://dx.doi.org/10.12962/j24433527.v4i1.636

Saputra, Kurniawan Tri, Liyus, Herry & Wahydhi, Denny. “Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Studi Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Jepang.” PAMPAS: Journal of Criminal     Law,     Vol. 4, No.1 (2023). DOI:

https://doi.org/10.22437/pampas.v4i1.24164.

Wibowo, Sigit. “Hukum Aborsi Dalam Perspektif Interkonektif (Tinjauan Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia).” Justisi Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3, No.1 (2018). DOI: https://doi.org/10.36805/jjih.v3i1.506.

Skripsi:

Qadafi, Muammar. Perbandingan Hukum Tentang Aborsi Hasil Pemerkosaan Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Mazhab Maliki (Skripsi: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2021).

Peraturan Perundang-Undangan:

UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Medis

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Wanita

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Maternal Protection Act.

Notice of Vice Minister of Health No. 122, Ministry of Health and Welfare, September 25, 1996.

Penal Code.

Constitution of People’s Republic China

Population and Family Planning Law of The People’s Republic of China.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 9 Tahun 2023 hlm 1010-1022

1021