ANALISIS KEWIRALEMBAGAAN DESA WISATA DALAM

PENGEMBANGAN DESA WISATA KEDANG IPIL

Adi Sucipto

Universitas Kutai Kartanegara (UNIKARTA) Email: [email protected]

Zulkifli

Universitas Kutai Kartanegara (UNIKARTA) Email: [email protected]

ABSTRACT

Kedang Ipil officially became a Tourism Village in 2016. The main advantages are natural Waterfall and Cultural Arts. Readiness in the face of competition needs to be supported by such things as adequate infrastructure, good marketing, and, most importantly, institutional governance. The purpose of this study is to determine the institutional process, the relationship between actors and structures that occur in the development activities of Kedang Ipil Tourism Village. To describe institutional opportunities and arrange elements of tourism village institutional governance to be able and ready to face both local and global competitions. Based on the Institutional Entrepreneurial Task quadrant analysis, the Kedang Ipil Tourism village institution belongs in the third quadrant. The function and formation are already available, but they don't function properly. Tourism management that moves to social enterprises requires actors to be more innovative in organizing tourist destinations, starting from marketing, services, formulating tour packages, even creating new attractions so that existing institutions can run effectively and efficiently so it will affect to the residents’ welfare.

Keywords: Institutional Entrepreneurship, Sustainability, Village Tourism

Pendahuluan

Melalui trend pengembangan desa wisata, desa dapat mengoptimalkan setiap potensi yang dimilikinya karena wisata desa merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menarik wisatawan. Selain itu kegiatan wisata ini juga sebagai upaya pelestarian seni budaya masyarakat. Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah

satu daerah yang dikenal memiliki banyak potensi obyek wisata budaya dan alam . Kedang Ipil merupakan salah satu desa tertua di Kecamatan Kota Bangun dan memiliki potensi Objek Wisata Air Terjun serta kekayaan seni budaya daerah yang masih terjaga dan dilestarikan hingga saat ini (Humas Kabupaten Kutai Kartanegara, 2016).

Perkembangan desa wisata Kedang Ipil dan banyaknya desa wisata baru di Indonesia dengan statusnya berkembang dapat dikatakan masih sangat rentan. Temuan dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain sistem pengelolaan, penataan tempat wisata yang representatif masih didambakan untuk meningkatkan jumlah wisatawan karena pada dasarnya kinerja dalam melakukan penataan tempat wisata Kendang Ipil belum optimal (Hadiyatno, Ernayani, & Indriastuty, 2018).

Aksesibilitas jalan menuju lokasi wisata masih berbelit-belit karena terbatasnya angkutan umum dan kondisi jalan rusak berat. Pengelolaan wisatawan oleh lembaga ini masih sederhana. Berdasarkan Peraturan Kelembagaan, Kedang Ipil menghadapi batas yurisdiksi, batas-batas kepemilikan, dan perwakilan aturan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemajuannya masih jauh dari selesai, dimana unsur keterlibatan pemerintah masih kurang, bahkan tidak tersentuh (Ansahar & Sinaga, 2018).

Selain masih mengalami kendala terkait hal-hal di atas, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan potensi keruntuhan. Kecenderungan penurunan yang terlihat dari data pengunjung menunjukkan penurunan daya tarik pengunjung, penurunan pendapatan, dan peningkatan jumlah pemuda lokal yang bermigrasi ke kota. Keberlanjutan Desa Wisata Kedang Ipil membutuhkan kreativitas pengelola untuk mengantisipasi kondisi tersebut dengan memperkuat peran masing-masing pelaku dalam arah rencana desa wisata ke depan. Dimulai dengan mengubah pola

pikir dan perilaku stakeholders dengan memberikan pemahaman kepada berbagai pihak terkait pentingnya tata kelola yang baik untuk keberlanjutan Desa Wisata. Desa wisata yang dibangun dengan sinergi antar pelaku dan jaringan yang kuat akan mengatasi berbagai tantangan dan menghasilkan berbagai inovasi untuk beradaptasi dengan lingkungan kompetitif yang akan terus mengalami keberlanjutan (Sucipto, 2017).

Berdasarkan kondisi di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses kelembagaan, hubungan aktor-struktur, dan perubahan elemen organisasi yang terjadi akibat keterkaitan aktor-struktur dalam kegiatan pembangunan Desa Wisata Kedang Ipil. Mendeskripsikan peluang kelembagaan dan menyusun aspek kelembagaan tata kelola desa wisata agar mampu dan siap menghadapi persaingan yang ada.

Landasan Teori dan Konsep

Institutional Entrepreneurship/Kewiralembagaan

Pacheco dan rekan (2010) menggunakan terminologi institutional entrepreneurship untuk mengembangkan pendekatan dua aliran signifikan yang berbeda. Ini dibangun di atas institusionalisme sosiologis dan aliran ekonomi berdasarkan lembaga keuangan (institusionalisme ekonomi). Istilah institutional entrepreneurship diterjemahkan oleh Kusworo (2015) menjadi Kewiralembagaan yang artinya masih terkait dengan tindakan para pelaku dalam menciptakan atau mengembangkan lembaga inovatif berdasarkan peluang kelembagaan dalam struktur tertentu. Kusworo (2015), juga menyatakan bahwa kewiralembagaan atau institutional entrepreneurship merupakan istilah yang memiliki arti berbeda dengan kewirausahaan dalam konteks bisnis.

Dalam penelitian ini konsep institutional entrepreneurship mengacu pada Pacheco dkk (2010). Mereka berpendapat bahwa teori kelembagaan memberikan karakterisasi yang lebih luas dan beragam dalam menjelaskan pengusaha kelembagaan karena dapat mengkonseptualisasikannya sebagai inovator kelembagaan. Walaupun teori kelembagaan dan perspektif lembaga ekonomi memiliki konsep bahwa pengusaha institusional adalah inovator atau agen perubahan yang mengedepankan aturan kelembagaan baru, namun maknanya menyempit pada upaya mengejar peluang ekonomi (keuntungan) dalam perspektif lembaga keuangan. Lain halnya dengan pendekatan teori kelembagaan, tanpa mengurangi peran penting lingkungan eksternal dalam menjelaskan perubahan kelembagaan, perhatian lebih difokuskan pada pelaku perubahan dari lingkungan internal yaitu masyarakat yang disebut sebagai pengusaha kelembagaan (DiMaggio, 1988) atau wiralembagawan (Kusworo , 2015).

Menurut Hudalah dalam Kusworo (2015), peluang, jaringan, dan wacana tidak hanya terfokus pada aktor tetapi juga pada level struktur eksternal aktor. Kerangka kerja ini untuk melihat momen dan peluang yang diciptakan oleh para aktor di dalam sistem. Sebagai proses yang terintegrasi dengan pembentukan lembaga baru, wiralembagawan menggunakan strategi untuk memobilisasi sumber daya yang ada (DiMaggio, 1998, dalam Dacin et al. 2002). Sejalan dengan pendapat Pacheco dan rekan (2010) yang menekankan pada tiga pendekatan kewirausahaan yang disebut Individual-Opportunity Nexus (ION), termasuk pengenalan (recognition), penemuan (discovery), dan penciptaan (creation) peluang bisnis.

Institutional-Individual Opportunity Nexus (IION)

Perubahan kelembagaan terjadi karena adanya kekuatan struktural di luar aktor dan kekuasaan di dalam aktor (Kusworo, 2015). Keduanya merupakan kekuatan yang menentukan seberapa besar sinergi kekuatan eksternal dan internal

mempengaruhi bagaimana seorang aktor atau pemimpin institusi dapat mencapai tujuannya. Seorang aktor hanya dapat mencapai perubahan signifikan jika mereka memiliki tujuan kelembagaan yang jelas dan dapat mengenali peluang. Hubungan individu dan struktur dalam konteks kelembagaan kewirausahaan terlihat pada bagan berikut.

Gambar 1. Bagan Relasi Aktor-Stuktur dalam Pembentukan Institusi Baru

Sumber: Kusworo (2015)

Bagan ini diciptakan oleh Kusworo (2015) setelah mempelajari kemunculan pariwisata perkotaan di Yogyakarta. Oleh karena itu, model penelitian ini bersifat kontekstual dan belum tentu sejalan dengan pembentukan lembaga atau organisasi lain. Fungsi model dalam penelitian ini menjadi dasar hipotesis. Peneliti menduga perkembangan pariwisata di Desa Wisata Kedang Ipil sejalan dengan model tersebut.

Menurut Rohmawati (2015), model hubungan aktor-struktur “membagi” dua entitas, yaitu struktur dan aktor, yang saling terkait dalam beberapa aspek. Baik aktor maupun jaringan memiliki "modal" sendiri yang mendukung lahirnya institusi inovatif. Namun, beberapa atribut yang bersinggungan adalah motivasi, institusi baru, dan hasil. Model tersebut menunjukkan bahwa ketiganya bukan merupakan monopoli satu entitas. Pelaku dapat memotivasi untuk campur tangan dalam struktur karena mereka tinggal di dalamnya, sedangkan lembaga inovatif adalah "kreasi" yang

dihasilkan oleh upaya kewirausahaan. Adapun pengetahuan, relasi, wacana, dan jejaring adalah empat hal yang saling mempengaruhi meski “dimiliki” oleh entitas yang berbeda. Ruang dimana aktor dan struktur dapat terhubung dan mempengaruhi satu sama lain, disebut Institutional-Individual Opportunity Nexus oleh Kusworo (2015).

Tugas Kewirausahaan Kelembagaan

Untuk mencapai tujuan pengelolaan, struktur, dan aktor Desa Wisata Kedang Ipil dalam hubungan aktor-struktur berpijak pada tiga unsur kelembagaan. Mereka adalah tujuan (rencana), pembentukan (sumber daya), dan fungsi (tata kelola), yang menjadi dasar untuk menentukan apakah pembentukan dan fungsi yang ada saat ini relevan atau tidak, perlu diubah atau dimodifikasi atau tidak. Keputusan yang diambil terkait dengan penampilan dan fungsinya juga bergantung pada kemampuan aktor untuk mengidentifikasinya. Hal-hal tersebut saling berhubungan karena kebutuhan akan formasi dan fungsi yang optimal, dan aktor-aktor yang menentukan di tengah struktur membentuk institusi baru yang inovatif (Kusworo , 2015). Hubungan antara ketiga hal tersebut tercermin pada gambar 2, yang menggambarkan hubungan keterkaitan antara goal, function dan formation.

Gambar 2. Goal, Function dan Formation hasil relasi antara aktor dan struktur

Sumber: Kusworo, 2015

Peran kewirausahaan institusional harus menangkap tujuan tertentu untuk menemukan konfigurasi yang sesuai antara function dan formation untuk mencapai tujuan (Kusworo, 2015). Posisi atau tindakan wiralembagawan pada function dan formation sangat bergantung pada tujuan yang diharapkan dan konteks kondisi di mana hal itu terjadi. Pada akhirnya, lembaga yang dianggap ketinggalan zaman dapat berfungsi dan membentuk makna (dalam konteks kelembagaan) hanya jika memiliki keterkaitan dan makna dengan pencapaian tujuan aktor, dalam hal ini wiralembagawan. Namun, function dan formation mungkin sudah tersedia di institusi yang sedang berjalan. Namun untuk mengenali kedua kondisi tersebut dibutuhkan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pelaku sebagai wirausaha.

Gambar 3. Institutional entrepreneurial Task dalam IION

Sumber: Kusworo, 2015

Kusworo (2015) memetakannya ke dalam empat kuadran dalam kuadran sistem Cartesian untuk menjelaskan bagaimana momen kelembagaan atau situasi kelembagaan, yaitu situasi dimana para pelaku berada dan seperti apa tugas lembaga (tugas kewirausahaan kelembagaan) serta tantangan yang dihadapi oleh wiralembagawan untuk mencapai tujuan tersebut. Kerangka IION dan tugas institusional yang dapat diklasifikasikan ke dalam empat kuadran, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, berfungsi untuk memetakan upaya mitra institusional dalam menangkap peluang institusional yang disediakan oleh struktur.

  • a)    Kuadran I adalah kondisi dimana formation dan function telah tersedia. Pada tahap ini tugas wiralembagawan sebatas mengenali (recognition) function dan formation, agar dapat menggunakannya sebagai jalan menuju tujuan yang ingin dicapai.

  • b)    Kuadran II adalah kondisi dimana terdapat formation namun function tidak ada. Pada kondisi yang seperti ini, wiralembagawan memiliki tugas untuk memodifikasi (modifying) atau menemukan function tersebut.

  • c)    Kuadran III adalah kondisi dimana baik formation dan function belum ada dalam struktur, atau keduanya tidak berfungsi dengan baik, dan belum ada bentukan yang tepat. Dalam hal ini, wiralembagawan harus memodifikasi (modifying) formation dan function atau menciptakan (creating) keduanya.

  • d)    Kuadran IV adalah kondisi dimana function telah ditemukan namun formation belum jelas. Wiralembagawan hanya perlu memodifikasi (modifying) formation agar sesuai dengan kebutuhan untuk pembentukan institusi.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Peneliti memilih metode kualitatif ini (Creswell, 2016) karena dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang informasi lapangan, selain itu memungkinkan peneliti untuk menjalin hubungan yang nyata dengan mengungkap masalah penelitian. Untuk mendeskripsikan hasil temuan lapangan, peneliti membingkainya melalui model analisis deskriptif. Model ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang segala hal yang berkaitan erat dengan proses kelembagaan, hubungan aktor-struktur, dan perubahan elemen organisasi yang terjadi akibat keterikatan aktor-struktur dalam kegiatan pembangunan Desa Wisata Kedang Ipil.

Hasil Penelitian

Proses Kewiralembagaan dalam Pembentukan Desa Wisata Kedang Ipil

Kelembagaan desa wisata Kedang Ipil tidak sepenuhnya mengejar peluang ekonomi ( profit ) tetapi tidak sepenuhnya non profit. Saat ada kegiatan / upacara adat, masing-masing kepala keluarga bekerja sama dengan sumbangan sembako. Dijelaskan bahwa lembaga ini bergerak menuju kewirausahaan sosial dengan mengoptimalkan perannya sebagai pengelola desa wisata.

Awal berdirinya Desa Wisata Kedang Ipil tidak lepas dari gagasan pemerintah tentang Program Desa Mandiri, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 31 Tahun 2012. Pada tahun 2013, Pemerintah Kutai Kartanegara memilih Desa Kedang Ipil sebagai salah satu desa dengan status Desa Mandiri. Dinas Pariwisata meminta Kedang Ipil menggali dan mengoptimalkan potensi yang ada. Beberapa organisasi Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa terus memantau dan mengevaluasi perkembangan desa, dan Dinas Pariwisata datang untuk melakukan survei langsung ke Kedang Ipil. Potensi yang ada di Kedang Ipil adalah air terjun, produksi gula aren yang beroperasi setiap hari. Selain itu, tradisi tradisional Kutai seperti upacara Nutuk Baham, Tarian Belian tetap dipertahankan dan selalu tampil ketika ada perayaan Erau di Kedaton. Dari sanalah masyarakat menjadi sadar dan ingin menjaga serta memelihara potensi wisata yang ada.

Melalui Dinas Pariwisata, mereka membentuk kelompok warga untuk mengelola Kedang Ipil yang disebut Pokdarwis Dewi Karya yang diketuai oleh Pak Sartin dengan sekitar 40 pengurus Pokdarwis mulai bergerak untuk mengelola pariwisata yang ada. Warga sepakat untuk mengembangkan wisata di Kedang Ipil, potensi alam yaitu air terjun Kandua Raya dan air terjun Putang yang lebih dulu menjadi fokus pada pengelolaan pariwisata. Warga bergotong royong membuat akses

jalan dan jembatan menuju lokasi wisata air terjun, dibantu dana dari desa untuk mendukung pembangunan akses wisata. Pada tahun 2015, Kepala Desa Kedang Ipil menggagas acara untuk menghidupkan kembali tradisi Nutuk Beham yaitu acara panen padi bekerjasama dengan beberapa komunitas. Setelah acaranya sukses, banyak tamu atau pengunjung mulai berdatangan ke Desa Kedang Ipil. Tahun 2016 merupakan awal dari pencanangan Desa Wisata Kedang Ipil yang diresmikan oleh H. Marli selaku Sekretaris Kabupaten Kutai Kartanegara. Pengukuhan ini bertepatan dengan Festival Budaya Adat Lawas dalam rangka HUT ke-107 Desa Kedang Ipil.

Acara adat masih sering dilakukan sebagai bagian dari festival yang disebut Nutuk Baham. Acara ini diadakan pada pertengahan tahun saat panen raya, sekitar bulan Mei-Juni. Selain itu, ritual belian adalah program pengobatan dengan menggunakan tradisi, perkawinan adat, dan ritual ketika orang meninggal. Selain itu ada wisata air terjun yang buka setiap saat yaitu air terjun Kandua Raya dan air terjun Putang. Wisatawan yang datang juga bisa menginap di homestay. Total keseluruhan ada 11 homestay di Desa Kedang Ipil.

Gambar 4 Gerbang Masuk Air

Gambar 5. Plang Nama Obyek wisata


Terjun Kandua Raya


alam air terjun kandua raya


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2020


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2020


Sejak wabah Covid-19 muncul, Desa Wisata Kedang Ipil telah menutup lokasi wisata; Bahkan festival tahunan Nutuk Baham dibatalkan pada tahun 2020 untuk mencegah keramaian dan penyebaran Covid-19. Setelah memasuki era normal baru, wisata air terjun sudah dibuka dan beroperasi sesuai standar Covid-19, namun pengunjung yang datang di akhir pekan tidak terlalu banyak, berbeda dengan sebelum wabah. Data kunjungan ke desa wisata Kedang Ipil tahun 2019 menunjukkan tingkat kunjungan tertinggi terjadi pada bulan Januari sekitar 1.754 orang, dan pada bulan Juni sekitar 1.802 orang. Jika melihat jumlah kunjungan wisatawan selama tahun 2018 sebanyak 12.002 orang, dan jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan selama tahun 2019 mengalami penurunan sebesar 45,08% dari jumlah kunjungan wisatawan tahun sebelumnya.

Gambar 6. Grafik Jumlah Kunjungan Wisatawan Tahun 2019

Sumber: Data Pokdarwis yang diolah oleh peneliti, 2020

Analisis Institutional Entrepreneurial Task

Karakter, struktur, dan kewiralembagaan sangat erat kaitanya dengan perspektif IION (Institutional-individual Opportunity Nexus) karena dianggap sebagai atribut dan peluang unik di luar individu (Kusworo, 2015). Misalkan melihat kronologis awal terbentuknya Desa Wisata dari awal menggali potensi mendirikan sebuah lembaga, Pokdarwis Dewi Karya. Dalam hal tersebut, peneliti menggambarkannya sebagai visualisasi elemen organisasi tahap I sebagai berikut.

Gambar 7. Elemen Organisasi Tahap I Sumber: Diolah dari data penelitian

Keterangan:

1. Struktur

: Penggalian Potensi Desa untuk menunjang Desa Mandiri

2. Goal

: Mengembangkan Wisata Alam dan Budaya

3. Formation

: Sartin

4. Function

: Pengelolaan air terjun sebagai obyek wisata

5. Actor

: Pemerintah Desa dan Sartin

Sartin menjadi tokoh kunci penggodokan ide dan salah satu tools terlaksananya ide wisata dan menjadikan Kedang Ipil sebagai Desa Wisata. Karenanya iya menempati dua posisi yakni sebagai aktor sekaligus sebagai formation. Jabatan sebagai Kepala Desa yang masih dipegang pada tahun 2012 menjadi kemudahan tersendiri dalam menggali dan mengoptimalkan potensi lokal sebagai penunjang program status Desa Mandiri. Terlebih akses eksternal dan internal yang dimiliki dalam melakukan pemetakan potensi desa karena program tersebut memang telah di prioritaskan oleh pemerintah kabupaten. Dipenghujung masa jabatannya sebagai kepala desa, Dinas pariwisata melakukan peninjauan dan membentuk Pokdarwis di Desa Kedang Ipil sebagai persiapan Desa wisata, dan pokdarwis tersebut dikenal dengan nama “Dewi Karya”, Sartin ditunjuk sebagai ketua pokdarwis dengan 40 anggota diambil dari para tokoh dan warga desa Kedang Ipil. Tahun 2013, status

jabatan kepala desa Sartin yang habis digantikan Erham selaku sekdes yang ditunjuk sebagai PJ. Kades hingga Kades baru terpilih. Pemerintah Desa membantu pendanaan dalam pembangunan awal akses ke lokasi wisata alam air terjun melalui anggaran desa, yang pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong bersama warga.

Gambar 8 Elemen Organisasi Tahap 2

Sumber: Diolah dari data penelitian

Keterangan:

  • 1.    Struktur         : Persaingan Desa wisata

  • 2.    Goal            : Mengembangkan Wisata Alam air terjun dan Budaya

  • 3.    Formation       : Pokdarwis dan Pengelola homestay

  • 4.    Function          : ?

  • 5.    Actor           : Kuspawansyah dan Sartin

Februari 2014 menjadi awal kuspawansyah menjadi Kepala Desa Kedang Ipil, sesuai dengan visi&misinya dalam memajukan wisata yang ada dikedang ipil, Beberapa proyeksi pembangunan fasilitas wisata mulai dibangun untuk menarik pengunjung, wisata yang sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan setiap diakhir pekan adalah air terjun. Tahun 2015 menjadi awal mulainya dibuat sebuah event, tujuannya untuk mengangkat kembali tradisi Nutuk Baham atau acara panen padi dan untuk menarik wisatawan datang ke kedang ipil. Para tokoh meminta bantuan komunitas lain untuk dapat turut berpartisipasi dalam acara tersebut, bahkan ada

yang mempromosikan melalui akun sosial medianya, dari situlah Desa Wisata Kedang Ipil mulai dikenal dan semakin banyak wisatawan yang datang berkunjung. Sejak awal ditetapkan sebagai Desa Wisata di tahun 2016 hingga saat ini berjalan, perayaan atau event Nutuk Baham selalu dilaksanakan setiap tahunnya, hanya saja ditahun 2020 kegiatan tersebut tidak dilaksanakan dikarenakan ada wabah pandemi covid-19, lokasi wisatapun sempat dilakukan penutupan sebagai langkah antisipasi pemerintah desa.

Berdasarkan data yang peneliti dapat dilapangan, para aktor telah melihat dan menyadari peluang dalam merespon persaingan yang ada pada struktur eksternal, dimana terdapat peluang dan juga tantangan yang harus dihadapi dan dipersiapkan aktor dalam mengembangkan Desa Wisata Kedang Ipil, terlebih dalam memformulasikan formation dan function dalam mencapai dan menjaga keberlanjutan desa wisata kedang ipil.

Persaingan yang terus mengalami peningkatan dan permintaan konsumen sebagai pengunjung yang terus beragam menjadikan aktor dituntut untuk lebih inovatif dalam menyelenggarakan destinasi wisata. Jika melihat kondisi dilapangan pemerintah desa yang dipimpin oleh kuspawansyah sangat aktif melakukan pembangunan guna peningkatan obyek wisata melalui dana desa. Hanya saja ditingkat manajemen pengelolaan wisata yang masih terbilang lemah dalam menghadapi persaingan.


Gambar 9 Jembatan Puan Oten adalah akses menuju Air Terjun Kandua Raya

Gambar 10. Pos Penitipan Barang di obyek wisata alam air terjun kandua raya

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2020

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2020


Gambar 11. Bangunan Lapak untuk berjualan warga di obyek wisata alam air terjun kandua raya

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2020

Gambar 12. Bangunan Toilet Umum untuk pengunjung di lokasi wisata alam air terjun kandua raya

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2020

Bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegaram peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan Desa Wisata semakin meningkat. Pelatihan untuk kerajinan anyaman, kerajinan kuliner, dan souvenir yang dilakukan oleh Diklusppora Kabupaten Kutai Kartanegara bermitra dengan SKB kecamatan Kota Bangun. Ada juga pelatihan Homestay oleh DInas Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara. Namun, para pelaku Pokdarwis Dewi Karya harus banyak melakukan perbaikan sendiri. Inisiatif untuk mengatur destinasi wisata yang lebih inovatif, termasuk komunikasi yang menarik antara semua anggota Pokdarwis, dapat melaksanakan pertemuan manajemen rutin mingguan atau bulanan untuk evaluasi dan perencanaan di masa depan, meningkatkan dan mengoptimalkan akses promosi melalui media sosial, mengatur paket wisata sesuai dengan atraksi yang ada. Terutama akses jalan menuju objek wisata air terjun berada dalam kondisi yang membahayakan saat musim hujan, pengendara akan mudah terpeleset karena kondisi jalan tanah dan hanya bisa di akses dengan kendaraan roda dua karena jaraknya yang jauh dari gerbang masuk wisata. Pada titik ini, Pelaku juga perlu berinisiatif untuk memperbaiki jalan secepatnya.

Pelaku kelembagaan harus memiliki kapasitas kelembagaan yang didorong oleh motivasi dan tujuan untuk mengubah peluang menjadi elemen kelembagaan. Hubungan antar institusi sebagai struktur yang memberikan peluang saat ini dengan aktor dengan kapasitas tersebut akan mengarah pada peran inovatif yang dapat dibedakan dari bagaimana aktor “membuat” institusi yang ada berjalan secara efektif dan efisien.

Berdasarkan analisis Kuadran Kelembagaan Desa wisata Kedang Ipil masuk dalam kuadran ketiga, kondisi dimana baik formation dan function belum berfungsi dengan baik, dan belum ada bentukan yang tepat. Dalam hal ini, wiralembagawan harus memodifikasi (modifying) formation dan function atau menciptakan (creating) keduanya.

Kesimpulan dan Saran

Pengelolaan kelembagaan Desa Wisata Kedang Ipil lebih banyak bergerak ke wirausaha sosial dengan mengoptimalkan perannya sebagai pengelola desa wisata. Sejak awal berdirinya, perkembangannya semakin meningkat, mulai dari perbaikan destinasi wisata mulai dari pelatihan anggotanya hingga penunjang pengelolaan destinasi wisata. Pemerintah desa juga secara aktif mendukung pengembangan Desa Wisata untuk menambah objek wisata melalui dana desa. Hanya saja, tingkat pengelolaan pariwisata masih tergolong lemah dalam menghadapi persaingan dan perlu ditingkatkan. Berdasarkan kerangka analisis Kuadran Kelembagaan, Kelembagaan Desa wisata Kedang Ipil masuk dalam kuadran ketiga, kondisi dimana baik formation dan function belum berfungsi dengan baik, dan belum ada bentukan yang tepat.

Para aktor harus memodifikasi formasi dan fungsi yang sudah ada atau membuat model baru yang berjalan efektif dan efisien. Selain itu, para pelaku merupakan motor penggerak agar lebih inovatif dalam menata destinasi wisata, mulai dari pemasaran, pelayanan, penyusunan paket wisata, bahkan membuat objek wisata baru sesuai dengan potensi desa untuk menarik para wisatawan datang.

Daftar Pustaka

Ansahar, A., & Sinaga, Y. (2018). Rekayasa Lingkungan Dan Valuasi Ekonomi Objek Wisata Air Terjun Kandua Raya Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Ekonomi & Manajemen Indonesia, 18(2).

Creswell, J. W. (2016). Research design Pendekatan kualitatif, kuantitatif, and Mixed (edisi ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadiyatno, D., Ernayani, R., & Indriastuty, N. (2018). Menumbuhkembangkan Ekonomi Kreatif dalam Upaya Meningkatkan Wisata Daerah di Desa Kedang Ipil. Jurnal Abdi Masyarakat Ilmu Ekonomi (JAMIE), 1(01), 6-14.

Humas Kabupaten Kutai Kartanegara. (2016, 11 21). Berita: Marli Resmikan Desa Wisata Kandua Raya di Desa Kedang Ipil. Retrieved from Humas Kabupaten KutaiKartanegara: https://humas.kukarkab.go.id/read/news/2016/10938/marli-resmikan-desa-wisata-kanduaraya-di-desa-kedang-ipil-.html.

Kholisdinuka, A. (2019, 7 26). detiknews. Retrieved from detiknews: Berita: Manfaatkan Dana Desa, Mendes PDTT Minta Desa Kembangkan Pariwisata: https://news.detik.com/berita/d-4640340/manfaatkan-dana-desa-mendes-pdtt-minta-desa-kembangkan-pariwisata.

Kusworo, Hendrie Adji. (2015). Framing poverty: an institutional entrepreneurship approach to poverty alleviation through tourism. Netherland: University of Groningen.

Miles, Matthew B dan Huberman, A. Michael. 2007. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-etode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Rohmawati, D. (2015). Kewiralembagaan dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat di bank sampah “Gemah Ripah”, Badegan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Sucipto, A. (2017). Analisis strategi inovasi kelembagaan desa wisata pentingsari dalam pusaran masyarakat ekonomi ASEAN. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Profil Penulis

Adi Sucipto, S.Sos., M.A merupakan alumni S1 Ilmu Administrasi Negara, Unikarta, dan Magister program studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada. Saat ini tercatat sebagai dosen tetap pada program studi Ilmu Administrasi Negara, Unikarta. Minat studi adalah bidang kebijakan, pariwisata, pengembangan masyarakat dan pedesaan. Email: [email protected].

Zulkifli, S.Sos., M.Si merupakan alumni S1 Ilmu Administrasi Negara, Unikarta, dan Magister Ilmu Administrasi Negara, Universitas Mulawarman. Saat ini tercatat sebagai dosen tetap pada program studi Ilmu Administrasi Negara, Unikarta. Minat studi adalah bidang kebijakan, pemerintahan, pengembangan masyarakat dan pedesaan. Email: [email protected].

106     JUMPA Volume 8, Nomor 1, Juli 2021