JUMPA 2 [2] : 17 - 38

ISSN 2406-9116

PERUBAHAN PENGELOLA DTW TANAH LOT

DAN DAMPAKNYA TERHADAP MASYARAKAT LOKAL

I Putu Krisna Arta Widana Email: krisna.arta11@gmail.com

Abstract

This article discusses the impact of the management changes of Tanah Lot tourist attraction on community of Beraban village, Tabanan, Bali, and efforts of the new management in realizing Tanah Lot as a sustainable tourist attraction. The research method used is a qualitative method with data collection techniques, namely observation, interviews, and documentation. The management changes of Tanah Lot tourist attraction have direct and indirect impacts to the local community. The impacts are divided into three aspects, namely physical, social cultural and economic aspect. Efforts made by the new management in order to realize Tanah Lot includes adding tourist attractions, tourism facilities, distributes the location of trade, organising and supervising activities of the tourism business, and forming a group of merchants as well as establishing good relationship and communication with private land owner. Indicators used as a benchmark is the Magic Pentagon, namely a healthy economy, the welfare of the local community, does not change the natural, healthy culture, and tourist satisfaction.

Keywords: management changes, the impact of management changes, sustainable tourism, Tanah Lot tourist attraction

  • 1.    Pendahuluan

Tanah Lot merupakan salah satu daya tarik wisata (DTW) di Bali yang sepenuhnya dikelola oleh masyarakat atas persetujuan pemerintah sejak tahun 2000. Hak masyarakat untuk mengelola DTW Tanah Lot bukan dihadiahkan begitu saja oleh pemerintah daerah, tetapi melalui proses negosiasi yang panjang dan bertahan (Putra dan Pitana, 2010). Sebelum dikelola penuh oleh masyarakat dan pemerintah daerah, pengelolaan DTW Tanah Lot dikelola oleh tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta. Sejak dikelola penuh oleh masyarakat melalui badan yang pembentukannya direstui oleh pemerintah daerah, terjadi banyak

pembenahan dan pengembangan yang positif buktinya jumlah wisatawan yang berkunjung meningkat terus dari tahun ke tahun.

Sejak pengelolaan berupa badan yang melibatkan masyarakat lokal yang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Pakraman Beraban pada tahun 2000 sampai saat ini, jumlah pengunjung yang datang terus meningkat setiap tahunnya, yaitu rata-rata sebesar 11,84 persen per tahun. Hanya tahun 2006, terjadi penurunan tingkat kunjungan wisatawan sebesar 10,91 persen. Hal ini disebabkan karena adanya travel warning bagi wisatawan berkunjung ke Bali sebagai akibat adanya bom di Menega cafe di wilayah Jimbaran, wabah flu burung, dan rabies. Pihak pengelola berusaha membangun kembali citra pariwisata Bali khususnya di DTW Tanah Lot. Peningkatan promosi dengan membuat berbagai even yang didukung oleh pemerintah daerah dan masyarakat ternyata mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung kembali. Selain itu, sistem keamanan juga dievaluasi guna memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan ketika sedang berwisata di DTW Tanah Lot, sehingga kunjungan wisatawan meningkat drastis, yaitu sebesar 26,32 persen pada tahun 2007 (Lihat Tabel 1).

Tabel 1 Kunjungan Wisatawan ke DTW Tanah Lot 2001-2014

Tahun

Jumlah Wisatawan

Pertumbuhan (%)

2001

768.017

-

2002

782.416

1,80

2003

830.092

6,09

2004

1.043.177

25,67

2005

1.153.127

10,54

2006

1.027.287

-10,91

2007

1.297.677

26,32

2008

1.574.808

21,36

2009

1.854.020

17,73

2010

2.149.893

15,96

2011

2.315.966

7,72

2012

2.577.299

11,28

2013

2.842.281

10,28

2014

3.125.205

9,95

Sumber: Badan Operasional DTW Tanah Lot (2015)

Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan untuk semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot. Sebelum pengelolaan oleh masyarakat, semua pendapatan dari hasil pengelolaan DTW Tanah Lot dimiliki oleh pihak swasta selaku pengelola. Masyarakat hanya sebatas sebagai pedagang yang menjual makanan dan minuman saja, pekerja foto keliling serta berjualan suvenir

atau cinderamata. Namun, di sisi lain masyarakat diwajibkan berpartisipasi dalam menjaga dan merawat kesucian pura-pura yang ada di DTW Tanah Lot. Masyarakat membayar iuran untuk upacara-upacara yang diadakan di setiap pura, termasuk Pura Tanah Lot yang menjadi ikon di DTW ini. Masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan. Mereka hanya menjadi penonton. Tidak puas akan situasi demikian, masyarakat mendesak pemerintah agar diizinkan ikut menjadi pengelola dan menuntut agar swasta dihentikan sebagai pengelola. Tuntutan itu dipenuhi pemerintah dan masyarakat menunjukkan kemampuan mereka dalam mengelola daya tarik wisata, terbukti angka kunjungan meningkat dan suasana objek kian nyaman. Masyarakat pun ikut menikmati keuntungan ekonomi pariwisata Tanah Lot. Hasil dari pengelolaan DTW Tanah Lot terbukti telah dan tetap diharapkan mampu mengurangi beban masyarakat (wawancara dengan I Made Sujana, 11 Januari 2015). Pada Tabel 2 disajikan pendapatan DTW Tanah Lot dari tahun 2005 sampai dengan 2014.

Tabel 2 Pendapatan Bersih DTW Tanah Lot 2005-2014

Tahun

Pendapatan (rupiah)

Pertumbuhan (persen)

2005

2.273.341.400

-

2006

5.512.396.583

142,48

2007

6.553.617.595

18,89

2008

8.616.628.242

31,48

2009

10.656.220.494

23,67

2010

13.301.422.250

24,82

2011

14.519.147.750

9,15

2012

26.974.888.596

85,79

2013

33.519.717.827

24,26

2014

40.589.501.282

21,09

Sumber: Badan Operasional DTW Tanah Lot (2015)

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pertumbuhan pendapatan bersih dari hasil pengelolaan DTW Tanah Lot terus meningkat. Peningkatan yang tinggi terjadi tahun 2006 dan 2012 setelah pihak pengelola menaikkan harga tiket masuk. Walaupun jumlah wisatawan yang berkunjung menurun pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2005, jumlah pendapatan meningkat karena adanya perubahan harga tiket masuk yang semula Rp. 5.000 untuk dewasa dan Rp. 3.000 untuk anak-anak baik wisatawan mancanegara maupun domestik menjadi Rp. 15.000 untuk wisatawan mancanegara dewasa, Rp. 7.500 untuk wisatawan domestik dewasa, dan Rp. 5.000 untuk anak-anak baik wisatawan mancanegara dan domestik. Pada tahun 2012 juga terjadi peningkatan harga tiket masuk menjadi Rp. 30.000 untuk wisatawan mancanegara dewasa, Rp. 15.000 untuk wisatawan mancanegara

anak-anak, Rp. 10.000 untuk wisatawan domestik dewasa, dan Rp. 7.500 untuk wisatawan domestik anak-anak. Semakin besar pendapatan dari pengelolaan DTW Tanah Lot, maka distribusi pendapatan ke Desa Pakraman Beraban juga semakin besar, sehingga roda perekonomian juga bergerak. Selain itu, dari hasil kontribusi yang diterima oleh Desa Pakraman Beraban telah mampu membebaskan masyarakat dari segala bentuk iuran pembangunan desa. Bahkan juga dari penerimaan oleh desa pakraman ini, 15 persen dikontribusikan langsung kepada masyarakat yang diberikan kepada masing-masing kepala keluarga setiap bulan. Apalagi ditambah dengan adanya konsep pariwisata yang melibatkan masyarakat atau dikenal dengan istilah pariwisata berbasis masyarakat. Konsep ini membuka ruang dan peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pengelolaan pariwisata khususnya DTW yang ada di daerah masing-masing. Konsep ini juga memberikan pemahaman tentang perlunya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan suatu DTW. Hal ini pula yang mendorong masyarakat Desa Pakraman Beraban ingin ikut berpartisipasi dalam pengelolaan DTW Tanah Lot.

Sejarah partisipasi masyarakat mengelola Tanah Lot boleh dikatakan dimulai tahun 1999 pasca reformasi. Sebelum itu, pengelolaan DTW Tanah Lot diserahkan pemerintah kepada pengelola swasta, yaitu CV Ari Jasa Wisata dengan sistem kontrak pada tanggal 1 Juni 1980 (Putra dan Pitana, 2010). Sistem ini berlangsung sampai dengan tahun 2000. Sekadar kilas balik, pada tahun 1999, pemerintah mengeluarkan undang-undang otonomi daerah yang memungkinkan pihak masyarakat dalam hal ini masyarakat Desa Pakraman Beraban untuk ikut mengelola DTW Tanah Lot, sehingga masyarakat Desa Pakraman Beraban berjuang agar dapat ikut mengelola DTW Tanah Lot. Namun, di pihak lain ternyata pemerintah telah memperpanjang kontrak pengelolaan DTW Tanah Lot sampai dengan tanggal 21 April 2011 kepada CV Ari Jasa Wisata tanpa sepengetahuan masyarakat Desa Pakraman Beraban. Hal ini memicu kemarahan masyarakat dan sebagai jalan tengah dibentuklah pansus pengkajian kontrak kerjasama pengelolaan DTW Tanah Lot antara pemerintah daerah dengan pihak swasta. Dari pengkajian tersebut diperoleh kesepakatan bahwa dari tanggal 1 Juli 2000 sampai dengan tanggal 21 April 2011, DTW Tanah Lot dikelola oleh tiga unsur, yaitu unsur Desa Pakraman Beraban, unsur swasta (CV Ari Jasa Wisata), dan Pemerintah Kabupaten Tabanan.

Pada tanggal 21 April 2011, setelah Perjanjian Kontrak Kerjasama Pengelolaan DTW Tanah Lot berakhir, semua komponen masyarakat Desa Pakraman Beraban menuntut pengelolaan DTW Tanah Lot hanya antara Desa Pakraman Beraban dan Pemerintah Kabupaten Tabanan saja tanpa melibatkan pihak swasta. Hal ini kembali memicu perdebatan tentang pengelolaan DTW Tanah lot. Akhirnya, berdasarkan rekomendasi pansus yang dibentuk, disepakati bahwa pengelolaan DTW Tanah Lot hanya

Foto 1. Daya tarik wisata Tanah Lot, sebuah pura indah di tepi laut, dengan pesona sunset yang indah.

antara Desa Pakraman Beraban dan Pemerintah Kabupaten Tabanan tanpa melibatkan pihak swasta yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dari perjanjian tersebut, Pemerintah Kabupaten Tabanan berkewajiban untuk mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sedangkan Desa Pakraman Beraban diberikan kesempatan untuk ikut berperan aktif dalam pengelolaan DTW Tanah Lot (dalam Bali Post, 22 Mei 2011).

Pengelolaan DTW Tanah Lot telah menunjukkan sikap positif masyarakat untuk dilibatkan mengelola dan mengontrol DTW Tanah Lot (Putra dan Pitana, 2010). Dari satu dasawarsa (2000-2010) yang telah lewat, pengelolaan DTW Tanah Lot memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat. Selanjutnya, yang menjadi sebuah tanggung jawab besar sekaligus suatu tantangan ke depan adalah kemampuan Desa Pakraman Beraban dan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengontrol DTW Tanah Lot guna memberikan dampak yang bermanfaat dan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian tentang perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban guna menuju pariwisata berkelanjutan (Foto 1).

Artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot, memahami dampak perubahan pengelola DTW Tanah Lot terhadap masyarakat, dan upaya pengelola baru dalam mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW berkelanjutan. Secara khusus artikel ini disusun untuk menjawab latar belakang terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot di Desa Pakraman Beraban Kabupaten Tabanan, dampak perubahan pengelola DTW Tanah Lot terhadap masyarakat

Desa Pakraman Beraban Kabupaten Tabanan, dan upaya pengelola baru dalam mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW berkelanjutan.

  • 2.    Teori dan Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan konsep pengelolaan kawasan, daya tarik wisata, dan manajemen komunitas, sedangkan untuk landasan teori, yaitu teori dampak pariwisata, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan, dan teori siklus hidup destinasi wisata.

Konsep pengelolaan kawasan dalam hal ini adalah pengelolaan kawasan pariwisata. Pengertian kawasan pariwisata diungkapkan oleh seorang ahli, yaitu Inskeep (1991:77) sebagai area yang dikembangkan dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan lengkap (untuk rekreasi atau relaksasi, pendalaman suatu pengalaman atau kesehatan). Konsep daya tarik wisata yang dulunya dikenal dengan istilah objek dan daya tarik wisata telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Marpaung (2002:41) mengemukakan bahwa daya tarik wisata sebagai suatu bentukan dan atau aktivitas yang berhubungan yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat tertentu, sedangkan manajemen komunitas merupakan paradigma alternatif terhadap kegagalan paradigma birokratis yang dianggap menciptakan ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap birokrasi. Partisipasi yang menyertai paradigma birokratis dimaknai sebagai mobilisasi atau dukungan rakyat terhadap rencana pemerintah.

Salah satu bentuk pengelolaan yang partisipatif dalam manajemen komunitas adalah dengan menerapkan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan demikian dalam pandangan Hausler (2003:3), pariwisata berbasis masyarakat merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwisata yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal.

Dampak pariwisata terjadi akibat dari adanya aktivitas pariwisata. Suatu destinasi pariwisata yang dikelola tentu memiliki dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini dikemukakan oleh Gee (1989) yang mengatakan bahwa adanya dampak atau pengaruh yang positif maupun negatif karena adanya pengembangan pariwisata dan kunjungan wisatawan yang meningkat. Menurut Cronin (dalam Sharpley, 2000:1), pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang terfokus pada dua hal, yaitu keberlanjutan pariwisata sebagai aktivitas ekonomi di satu sisi dan lainnya mempertimbangkan pariwisata sebagai elemen kebijakan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas. Selain teori pembangunan

pariwisata berkelanjutan, juga digunakan teori siklus hidup destinasi wisata (Butler, 1980). Teori ini digunakan untuk melihat perkembangan DTW Tanah Lot dari tahun ke tahun. Pada prinsipnya, siklus ini meliputi lima urutan atau tahapan perkembangan pariwisata dari sebuah destinasi wisata dan dua tahap berikutnya merupakan prediksi yang akan terjadi.

Penelitian dilakukan di DTW Tanah Lot dan Desa Pakraman Beraban pada bulan Januari sampai dengan Mei 2015. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi dilakukan di DTW Tanah Lot dan Desa Pakraman Beraban dengan menggunakan pedoman observasi yang telah ditentukan. Wawancara dilakukan dengan menentukan informan dari tokoh dan masyarakat Desa Pakraman Beraban. Setiap informan yang diwawancarai dibuatkan daftar pertanyaan sesuai dengan kapasitas dan informasi yang dibutuhkan seperti Bendesa Desa Pakraman Beraban, Perbekel Beraban, Manajer DTW Tanah Lot, dan pemilik CV Ari Jasa Wisata masing-masing sebanyak satu orang, prajuru Desa Pakraman Beraban sebanyak tiga orang, Kelihan Banjar Pakraman, masyarakat yang memperoleh manfaat secara langsung dalam pengelolaan, dan masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam pengelolaan DTW Tanah Lot masing-masing sebanyak 15 orang. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 52 orang. Dokumentasi dari penelitian ini berupa peta lokasi penelitian, berita dari media cetak, laporan pertanggungjawaban keuangan, surat perjanjian, foto-foto pengamatan, dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu dengan mentransformasikan data mentah menjadi bentuk data yang mudah dimengerti dan diintepretasikan, serta menyusun dan menyajikan data menjadi informasi yang jelas. Penyajian hasil analisis data secara deskriptif kualitatif yang didukung dengan penyajian data dalam bentuk tabel. Hasil analisis disajikan ke dalam tiga bagian. Pertama, menyajikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot.

Perubahan pengelola DTW Tanah Lot dijelaskan dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola dari pihak swasta menjadi tiga pihak dan dari tiga pihak menjadi dua pihak. Kedua, memaparkan analisis mengenai dampak perubahan pengelola DTW Tanah Lot terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban. Dampak dari perubahan pengelola ini dianalisis dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Ketiga, menjelaskan tentang upaya pengelola baru dalam mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW yang berkelanjutan. Upaya yang dimaksud dilihat dari kebijakan dan program kerja pengelola baru, partisipasi masyarakat, dan evaluasi sistem pengelolaan.

  • 3.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pengelola

Telah terjadi dua kali perubahan pengelola DTW Tanah Lot, yaitu pada tahun 2000 perubahan pengelola dari pihak swasta menjadi tiga pihak (swasta, pemeritnah, masyarakat) dan pada tahun 2011 perubahan pengelola dari tiga pihak menjadi dua (pemerintah dan masyarakat). Adapun perubahan pengelola DTW Tanah Lot adalah sebagai berikut:

  • 3.1    Perubahan Pengelola dari Pihak Swasta Menjadi Tiga Pihak

Faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari pihak swasta menjadi tiga pihak, yaitu kesempatan kerja, tanggung jawab lokal, memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk ikut mengelola, wilayah Desa Pakraman, landasan hukum, dan kondisi politik. Berikut penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari pihak swasta menjadi tiga pihak.

  • a.    Kesempatan kerja

Pada saat DTW Tanah Lot dikelola oleh pihak swasta, masyarakat yang sebagian besar berasal dari Desa Pakraman Beraban merasa dilarang bahkan diusir jika berdagang acung (berdagang keliling) maupun membangun lapak di sekitar DTW Tanah Lot. Sejak dikelola oleh pihak swasta, masyarakat yang berdagang di DTW Tanah Lot dibatasi dan diatur. Dengan kondisi seperti inilah mulai timbul pemikiran masyarakat Desa Pakraman Beraban terutama yang bekerja atau berusaha di DTW Tanah Lot untuk berjuang agar dapat ikut mengelola DTW Tanah Lot.

  • b.    Tanggung jawab lokal

Daya tarik wisata Tanah Lot merupakan potensi wisata yang ada di Desa Pakraman Beraban. Segala sesuatu yang terjadi di DTW Tanah Lot merupakan tanggung jawab Desa Pakraman Beraban. Tanggung jawab yang dimiliki oleh Desa Pakraman Beraban menyangkut sekala (nyata) dan niskala (abstrak). Secara sekala, Desa Pakraman Beraban berkewajiban untuk menjaga keamanan, kebersihan, dan kelestarian DTW Tanah Lot. Desa Pakraman Beraban juga berkewajiban memberikan perhatian sosial terhadap Desa Pakraman lain di Kecamatan Kediri dan juga perhatian terhadap budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat. Secara niskala, Desa Pakraman Beraban mempunyai kewajiban untuk melaksanakan upacara, memelihara kesucian, khususnya Pura Dang Kahyangan yang ada di Desa Pakraman Beraban.

  • c.    Memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk ikut mengelola

Semenjak pariwisata mulai dikenal di Desa Pakraman Beraban pada awal tahun 1980-an, masyarakat Desa Pakraman Beraban mulai tertarik untuk belajar pariwisata terutama belajar bahasa Inggris. Terlebih lagi

dengan dibukanya Bali Nirwana Resort (BNR) pada tahun 1997 yang pembangunannya telah dimulai pada tahun 1993. Hal ini mendorong masyarakat Desa Pakraman Beraban untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pendidikan baik secara kuantitas maupun kualitas.

  • d.    Wilayah desa pakraman

Hal yang mendasari terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari pihak swasta menjadi tiga pihak salah satunya karena faktor wilayah. Seperti diketahui, DTW Tanah Lot berada di wilayah Desa Pakraman Beraban. Dasar inilah yang mendorong masyarakat Desa Pakraman Beraban meminta haknya untuk ikut mengelola DTW Tanah Lot.

  • e.    Landasan hukum

Dasar terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari pihak swasta menjadi tiga pihak tidak hanya dilihat dari segi kewilayahan, tetapi juga dilihat dari landasan hukum. Hal ini bertujuan agar perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pakraman Beraban untuk ikut mengelola DTW Tanah Lot sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan kata lain, masyarakat Desa Pakraman Beraban tidak asal menuntut tanpa didasari dengan landasan hukum yang jelas. Landasan hukum perjuangan masyarakat Desa Pakraman Beraban untuk ikut mengelola DTW Tanah Lot pada tahun 2000 berpedoman pada semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Salah satunya adalah berdasarkan isi dari Perda Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 1999 tentang pengelolaan tempat rekreasi dan olahraga yang menyatakan bahwa dari sisi kemasyarakatan desa pakraman berhak mengelola potensi yang berada pada wilayahnya dan Tanah Lot merupakan wilayah Desa Pakraman Beraban. Hal ini didukung juga oleh Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 1999 tentang retribusi tempat rekreasi dan olahraga yang menyatakan bahwa DTW merupakan tanggung jawab pemerintah dan boleh bekerjasama dengan masyarakat lokal dan swasta. Jadi, tingkatan swasta ada di bawah Desa Pakraman.

  • f.    Kondisi politik

Tidak dapat dipungkiri bahwa realitas perjuangan masyarakat Desa Pakraman Beraban untuk ikut mengelola DTW Tanah Lot berkaitan dengan kondisi politik pada saat itu. Pada waktu reformasi tahun 1999, salah satu partai politik, yaitu PDI Perjuangan mengalami kebangkitan, sehingga memiliki kekuatan untuk memberikan masukan kepada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) agar membentuk Panitia Khusus (Pansus). Perjuangan ini dipimpin oleh I Nyoman Gede Putra Astawa dan I Ketut Tama yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Tabanan dari Desa

Pakraman Beraban dan dibantu oleh karang taruna Gapera yang dipimpin oleh I Made Sujana serta Bendesa Pakraman Beraban pada saat itu, I Made Deka. Perjuangan ini dilakukan guna mengkaji ulang kontrak pemerintah daerah dengan pihak swasta dalam pengelolaan DTW Tanah Lot yang telah diperpanjang sampai dengan tahun 2011 tanpa sepengetahuan masyarakat Desa Pakraman Beraban.

Dengan dikelola tiga pihak, pembagian pendapatan dari Tanah Lot dibagi seperti berikut (Tabel 3). Dalam pembagian ini, desa mulai dapat dan pihak swasta masih dapat, berbeda halnya dengan sesudah perubahan pengelola menjadi dua pihak (Table 4).

Tabel 3 Persentase Pembagian Pendapatan DTW Tanah Lot 2000-2011

Pembagian Pendapatan                        %

Pemkab Tabanan55

Swasta15

Desa Beraban20

Pura Tanah Lot dan pura sekitarnya5

Desa Adat Kec Kediri5

  • 3.2    Perubahan Pengelola dari Tiga Pihak Menjadi Dua Pihak

Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak, yaitu kepentingan pemerintah daerah dan desa pakraman, peningkatan hasil pembagian pengelolaan, memiliki sumber daya manusia yang baik untuk mengelola, berakhirnya masa perjanjian, adanya landasan hukum, dan kondisi politik.

  • a.    Kepentingan pemerintah daerah dan desa pakraman

Alasan kuat yang mendasari terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah lot dari tiga pihak menjadi dua pihak karena adanya pertimbangan kepentingan antara pemerintah daerah dan desa pakraman. Apabila berbicara mengenai hasil, hasil dari pengelolaan DTW Tanah Lot semestinya menjadi milik Desa Pakraman Beraban dan Pemerintah Kabupaten Tabanan karena kepentingan ini menyangkut kepentingan masyarakat Desa Pakraman Beraban dan masyarakat Kabupaten Tabanan. Hal ini berbeda dengan pihak swasta yang hanya menyangkut kepentingan pribadi. Atas dasar inilah, masyarakat Desa Pakraman Beraban meminta pengelolaan DTW Tanah Lot hanya dikelola oleh dua pihak saja tanpa melibatkan pihak swasta lagi.

  • b.    Peningkatan hasil pembagian pengelolaan

Dasar terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak salah satunya dipengaruhi oleh hasil dari pengelolaan DTW Tanah Lot. Seperti diketahui, pada saat DTW Tanah Lot dikelola oleh

tiga pihak, Desa Pakraman Beraban bertanggung jawab terhadap operasional DTW Tanah Lot termasuk membuat laporan kepada badan pengelola. Namun, jika dibandingkan dengan pembagian hasil yang diperoleh dari pengelolaan DTW Tanah Lot tersebut dianggap kurang adil karena Desa Pakraman Beraban yang bekerja sehari-hari. Ibarat sebuah semangka yang dulunya dibagi tiga dan sekarang jika dibagi dua tentu hasilnya lebih banyak daripada dibagi tiga.

  • c.    Memiliki sumber daya manusia yang baik untuk mengelola

Sejak pengelolaan DTW Tanah Lot yang melibatkan masyarakat pada tahun 2000, operasional pengelolaan DTW Tanah Lot semakin baik termasuk peningkatan infrastruktur dan peningkatan kualitas pelayanan. Model pelayanan yang baik memicu naiknya tingkat kunjungan wisatawan asing dan domestik. Sejak tahun 2000, jumlah pengunjung ke DTW Tanah Lot terus meningkat, dari 452.429 orang pada tahun 2000 menjadi 2,2 juta orang di tahun 2010. Total pendapatan dari DTW Tanah Lot juga naik. Pada tahun 2000 hanya sekitar Rp. 1,2 miliar, namun jumlah ini naik tajam di tahun 2010 yang mencapai Rp. 12 milyar lebih.

  • d.    Berakhirnya masa perjanjian

Terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak salah satunya karena berakhirnya masa perjanjian kerjasama pengelolaan DTW Tanah Lot oleh tiga pihak. Perjanjian kerjasama pengelolaan DTW Tanah Lot oleh tiga pihak berlangsung selama 12 tahun terhitung mulai tanggal 01 Juli 2000 dan berakhir tanggal 01 April 2011.

  • e.    Landasan hukum

Terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak juga dilihat dari landasan hukum yang ada. Dengan adanya jaminan hukum masyarakat sebagai pengelola harta kekayaan desa pakraman, maka harta kekayaan masyarakat Desa Pakraman Beraban, yaitu DTW Tanah Lot secara hukum dapat dikelola oleh masyarakat tanpa melibatkan pihak swasta. Landasan hukum yang digunakan sebagai acuan adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Bab V tentang Harta Kekayaan Desa Pakraman pasal 9 menyatakan bahwa a). harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religious magis yang menjadi milik desa pakraman, b). pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh prajuru desa sesuai dengan awig-awig desa pakraman masing-masing, c). setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa pakraman harus mendapat persetujuan paruman, d). pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama desa pakraman, e). tanah desa pakraman

dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi, f) tanah desa pakraman dan tanah milik desa pakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan. Selain itu, juga berpedoman pada undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 19 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang dan atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas menjadi pekerja/buruh, konsinyasi, dan atau pengelola.

  • f.    Kondisi politik

Perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak juga dipengaruhi kondisi politik pada saat itu. Pergulatan terkait pengelolaan DTW Tanah Lot berawal dari berakhirnya masa kontrak kerja sama pengelolaan Tanah Lot antara Pemerintah Kabupaten Tabanan, pihak swasta, dan Desa Pakraman Beraban pada tanggal 01 April 2011. Sebelum kontrak berakhir, tim perjuangan Desa Pakraman Beraban sempat mengajukan proposal kajian pengelolaan DTW Tanah Lot kepada Bupati Tabanan pada saat itu, namun tidak ada tanggapan.

Setelah pansus mengkaji kontrak kerjasama pengelolaan DTW Tanah Lot, akhirnya pansus mengeluarkan rekomendasi DPRD Kabupaten Tabanan Nomor 170/1976/DPRD tanggal 23 September 2011 yang salah satu isinya menegaskan bahwa pengelolaan DTW Tanah Lot dilakukan oleh dua pihak, yaitu Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman Beraban dalam bentuk badan pengelola. Dengan adanya rekomendasi pansus inilah akhirnya terbit Perjanjian Kerjasama Pengelolaan DTW Tanah Lot Nomor 12 Tahun 2011.

Dengan pengelolaan dua pihak, pembagian pendapatan berubah di mana pihak swasta hilang dan tidak mendapat bagian sama sekali (Tabel 4).

Tabel 4 Persentase Pembagian Pendapatan Sejak 2012-sekarang

Pembagian Pendapatan

%

Pemkab Tabanan

58

Desa Beraban

24

Pura Tanah Lot

7,5

Pura Sekitar

4

Desa Adat Kec Kediri

6,5

  • 4.    Dampak Perubahan Pengelola DTW Tanah Lot

Secara umum pengembangan pariwisata di suatu daerah berdampak bagi daerah tersebut baik itu terhadap aspek fisik, sosial budaya, dan ekonomi.

KRISNA ARTA WIDANA

Foto 2. Salah satu dampak dari peningkatan sarana dan prasarana di Desa Pakraman Bera-ban berupa pemugaran Pura Puseh.

  • 4.1    Dampak Perubahan Pengelola dari Pihak Swasta Menjadi Tiga Pihak

Perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari pihak swasta menjadi tiga pihak telah memberikan dampak secara langsung dan tidak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat Desa Pakraman Beraban. Dampak perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari aspek fisik, yaitu alih fungsi lahan yang salah satunya adalah pembangunan jalan keluar DTW Tanah Lot di sisi barat parkir menuju ke jalan raya utama untuk mengatasi kemacetan di DTW Tanah Lot. Dampak lain yang ditimbulkan terhadap aspek fisik dari segi alih fungsi lahan salah satunya adalah berkurangnya lahan pertanian produktif, terjadinya polusi terhadap tanah dan air, mengganggu penyerapan air hujan dan kehidupan satwa liar.

Dari segi sarana dan prasarana dapat dilihat adanya peningkatan sarana dan prasarana yang ada di DTW Tanah Lot seperti penambahan kamar mandi umum di areal parkir dan di pintu masuk pantai, penataan taman dan jalan setapak, renovasi dan memperluas areal Pura Penyawang, membangun wantilan Pura Tanah Lot dan Pura Pakendungan, dan juga peningkatan sarana dan prasarana di Desa Pakraman Beraban dimulai dengan pemugaran Pura Puseh (Foto 2), pembangunan wantilan Desa Pakraman Beraban, pembangunan gedung Taman Kanak-kanak, penyediaan lahan untuk SMP, dan pembangunan lapangan voli dan basket.

Dari aspek sosial budaya, dengan adanya perubahan pengelola ini, nilai sosial budaya yang muncul dari pengelolaan DTW Tanah Lot memicu masyarakat ingin bergerak lebih maju dengan pola pikir yang terus

berkembang. Hal ini bisa dibuktikan dengan telah mulai adanya sejumlah masyarakat yang termotivasi untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang sarjana bahkan belakangan sampai jenjang pasca sarjana. Namun, hal ini juga memberikan dampak seperti kehidupan sosial yang cenderung lebih individualistis, terjadinya komodifikasi budaya, dan komersialisasi budaya lokal masyarakat. Dari aspek ekonomi dapat dilihat beberapa contoh dari dampak perubahan pengelola DTW Tanah Lot di antaranya kehidupan masyarakat Desa Pakraman Beraban menjadi semakin maju. Tingkat pendapatan masyarakat semakin meningkat karena peluang masyarakat untuk bekerja atau berusaha di DTW Tanah Lot tidak lagi dibatasi, masyarakat dibebaskan dari segala bentuk iuran (pepeson) untuk pembangunan desa, dan memperoleh bagian 15 persen dari pendapatan desa di DTW Tanah Lot. Namun, seiring dengan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat diikuti dengan peningkatan harga tanah di Desa Pakraman Beraban yang berakibat pada peningkatan terhadap biaya pajak bumi dan bangunan.

  • 4.2    Dampak Perubahan Pengelola dari Tiga Pihak Menjadi Dua Pihak

Perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak tentunya juga memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat Desa Pakraman Beraban. Dampak terhadap aspek fisik di Desa Pakraman Beraban dan DTW Tanah Lot seperti banyak pembangunan fasilitas penunjang pariwisata di sepanjang jalan menuju DTW Tanah Lot, terutama di pintu masuk. Salah satunya adalah pendirian pariwisata agro kopi luwak, pembangunan convenience store, bakery corner, bank, dan galeri.

Dari sisi sarana dan prasarana adalah adanya peningkatan infrastruktur di kawasan DTW Tanah Lot dan Desa Pakraman Beraban. Peningkatan sarana berupa perbaikan trotoar dan jalan setapak (Foto 3), penyediaan tempat untuk rest area, penyediaan tempat bagi pedagang kuliner yang dulunya keliling menjajakan dagangannya, dan penyediaan kamar mandi bagi penyandang cacat atau sudah lanjut usia. Peningkatan sarana dan prasarana juga terjadi di Desa Pakraman Beraban seperti pembangunan di masing-masing banjar pakraman, yaitu perbaikan saluran air, perbaikan gang, pembuatan jalan adat, dan pemugaran Pura Dalem.

Dampak lainnya terhadap aspek fisik di DTW Tanah Lot dan Desa Pakraman Beraban seperti onggokan sampah di sekitar tebing, pemasangan paving yang memberikan pengaruh terhadap daya resap tanah terhadap air hujan. Dari sisi sarana dan prasarana tidak terasa karena masyarakat tidak lagi membayar iuran (pepeson). Semua pembangunan di setiap banjar pakraman langsung memperoleh biaya dari hasil pengelolaan DTW Tanah Lot.

Dampak terhadap aspek sosial budaya adalah peningkatan penguasaan

KRISNA ARTA WIDANA

Foto 3. Peningkatan sarana dan prasarana di DTW Tanah Lot berupa perbaikan trotoar dan pemasangan paving.

keterampilan berbahasa dan peningkatan sikap terhadap pekerjaan, pihak Desa Pakraman Beraban juga membantu dengan memberikan santunan uang duka sebesar Rp. 2 juta kepada keluarga yang mengalami kematian. Dari segi budaya, perubahan pengelola DTW Tanah Lot ini tentunya sangat membantu dalam mendorong masyarakat untuk terus mengembangkan budaya yang ada. Namun, tren kehidupan masyarakat lebih ke arah modern, masyarakat cenderung mulai berpikir praktis dalam melaksanakan setiap kegiatan adat yang dilaksanakan. Dampak lainnya dari segi budaya lebih mengarah kepada perubahan kebiasaan masyarakat. Misalnya dalam pembuatan sarana upacara menggunakan bahan-bahan yang praktis dan tahan lama serta memiliki nilai estetika.

Dampak terhadap aspek ekonomi seperti meningkatnya pendapatan masyarakat di DTW Tanah Lot diikuti dengan pendapatan masyarakat di Desa Pakraman Beraban, sehingga roda perekonomian dapat berjalan dengan baik. Dampak lainnya dari aspek ekonomi seperti belum meratanya pendapatan masyarakat yang diperoleh dari kegiatan pariwisata karena tidak semua masyarakat Desa Pakraman Beraban bekerja atau berusaha di DTW Tanah Lot, mulai timbul kekhawatiran di masyarakat Desa Pakraman Beraban dengan masuknya swalayan modern.

Dari sisi kesempatan kerja, perubahan pengelola ini telah memberikan dampak terhadap penambahan karyawan operasional DTW Tanah Lot dan penciptaan lapangan pekerjaan baru. Namun, dampak lain yang mulai dirasakan adalah masyarakat Desa Pakraman Beraban yang mencari nafkah harus masuk ke kelompok dan membayar uang pangkal (pemogpog) yang dibentuk oleh masing-masing kelompok pedagang DTW Tanah Lot.

Kesempatan kerja untuk anak-anak yang menjual postcard dan souvenir juga dibatasi karena adanya kesan eksploitasi anak-anak untuk kepentingan ekonomi di samping untuk mencari pengalaman.

  • 5.    Upaya Mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW Berkelanjutan

Dalam melaksanakan peranannya sebagai pengelola DTW Tanah Lot, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pengelola baru guna mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan di DTW Tanah Lot, yaitu sebagai berikut:

  • a.    Menambah atraksi wisata

Penambahan atraksi wisata merupakan salah satu upaya pengelola DTW Tanah Lot untuk memberikan kepuasan kepada wisatawan. Salah satunya adalah foto bersama dengan ular phyton. Biasanya ular phyton dilepas di atas rumput di depan wantilan Pura Tanah Lot. Lebih lanjut perencanaan jangka panjang di DTW Tanah Lot adalah adanya night tour. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan kegiatan pariwisata di DTW Tanah Lot.

  • b.    Menyediakan lokasi fasilitas pariwisata

Pihak pengelola berusaha untuk membangun kemitraan yang baik dengan pemilik lahan guna menyediakan fasilitas pariwisata. Melihat kebutuhan seperti ini, pihak pengelola berusaha memberikan pemahaman kepada masyarakat pemilik lahan pribadi tentang dampak pariwisata dan membuat sistem irigasi yang baik untuk lahan yang dialihfungsikan sebagai lahan parkir serta membangun jalur pejalan kaki untuk memberikan kenyamanan tanpa merusak lingkungan sekitar. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir dampak terhadap aspek fisik DTW Tanah Lot dari alih fungsi lahan yang terjadi.

  • c.    Mendistribusikan lokasi berdagang

Pendistribusian terhadap kios-kios yang dibangun baik oleh pemerintah daerah, Desa Pakraman Beraban, dan masyarakat di kawasan DTW Tanah Lot diatur sepenuhnya oleh badan pengelola. Bentuk kios yang ditetapkan oleh desa pakraman dengan ketentuan pokok bahwa pada setiap blok kios harus seragam. Boleh berbentuk kios dengan ruangannya tertutup atau bisa pula berbentuk terbuka, tergantung kesepakatan diantara pemilik ruang yang menempati blok kapling kios atau toko yang sama. Penyeragaman bentuk kios atau toko sangat penting, dengan tujuan untuk mencegah kesenjangan diantara masyarakat yang memiliki perekonomian baik dengan perekonomian yang kurang baik dalam membangun kios atau tokonya terutama di lahan milik pribadi. Jika kondisi ini dibiarkan akan berpengaruh pada keindahan dan daya tarik bagi para wisatawan dalam berbelanja. Ini akan menyebabkan terjadinya konflik antar pedagang karena persaingan yang tidak seimbang.

KRISNA ARTA WIDANA

Foto 4. Salah satu upaya pengelola dalam menjaga kelestarian dan kebersihan DTW Tanah Lot dengan menyediakan motor pengangkut sampah.

  • d.    Mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata

Dalam mengelola DTW Tanah Lot, pihak manajemen memiliki wewenang dalam menjalankan operasional, mengatur, dan mengawasi kegiatan pariwisata di DTW Tanah Lot. Pengaturan dan pengawasan dilakukan oleh staf operasional DTW Tanah Lot. Staf operasional menginformasikan kepada seluruh pelaku usaha wisata khususnya pedagang dan pelayan jasa seperti tukang foto, pedagang kuliner, dan postcard agar tidak memaksa wisatawan dalam menawarkan barang maupun jasanya. Selain itu, staf operasional juga menginformasikan kepada pengunjung baik secara lisan maupun tertulis agar tidak masuk ke wilayah yang disucikan oleh masyarakat seperti pura.

  • e.    Menjaga kelestarian dan kebersihan DTW Tanah Lot

Menjaga kelestarian dan memelihara kebersihan kawasan wisata sangat penting untuk dilakukan. DTW Tanah Lot sudah memiliki petugas kebersihan yang bekerja pagi, siang, dan sore dengan bergantian. Hal ini bertujuan agar kebersihan selalu terjaga, sehingga wisatawan yang berkunjung merasa lebih nyaman. Selain itu, penyediaan tempat sampah dan motor pengangkut sampah juga dilakukan oleh pengelola (Foto 4). Kebersihan kamar mandi juga diperhatikan oleh pihak pengelola terutama untuk kamar mandi milik pribadi yang disewakan.

  • f.    Membentuk kelompok pedagang

Pembentukan kelompok pedagang merupakan salah satu upaya pengelola menjaga keberlangsungan aktivitas pariwisata di DTW Tanah

Lot. Pembentukan kelompok pedagang ini bertujuan agar memudahkan koordinasi antara pengelola dengan pedagang yang semuanya berasal dari Desa Pakraman Beraban. Dari hasil observasi, pihak pengelola memberikan himbauan kepada kelompok pedagang untuk mengatur jumlah pedagang yang berjualan setiap hari, lokasi berdagang, dan pentingnya kebersihan lingkungan. Pihak pengelola juga memberikan pemahaman sadar wisata ke kelompok pedagang dan mengajak kelompok pedagang untuk melaksanakan kerja bakti setiap hari jumat.

  • g.    Menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pemilik lahan pribadi

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola mewujudkan DTW Tanah Lot sebagai DTW berkelanjutan adalah menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pemilik lahan pribadi. Hal ini dilakukan melihat salah satu dampak dari adanya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak, yaitu dari aspek fisik di mana banyak terjadi alih fungsi lahan di atas lahan milik pribadi yang berada di kawasan DTW Tanah Lot. Dari hasil penelitian diketahui bahwa bangunan yang berdiri di atas lahan milik pribadi tidak sama bentuknya, tergantung besarnya modal yang menyewa tanah. Melihat hal ini, pihak pengelola perlu menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pemilik lahan pribadi untuk mengikuti rencana tata guna lahan di DTW Tanah Lot. Sebaliknya, pihak pengelola juga mempertimbangkan untuk memberikan return fee kepada masyarakat pemilik lahan pribadi karena secara tidak langsung lahan mereka digunakan sebagai areal parkir cadangan.

Dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan di DTW Tanah Lot, upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Selanjutnya proses pengelolaan pariwisata ini dievaluasi secara berkelanjutan dalam setiap tahapan, sehingga kepentingan masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan sasaran pengelolaan. Indikator dari pembangunan pariwisata berbasis masyarakat guna menuju pariwisata berkelanjutan adalah lima isu dari The Magic Pentagon (Muller, 1997:29). Semua isu tersebut diberikan porsi atau perlakuan yang sama, yaitu sebagai berikut:

  • 1)    Ekonomi sehat

Ekonomi sehat yang dimaksud dalam pariwisata berkelanjutan adalah adanya transparansi pendapatan dari pengelolaan DTW Tanah Lot. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa transparansi pendapatan DTW Tanah Lot dimulai dari pencatatan pendapatan harian sampai per bulan hingga akhirnya dilaporkan dan dibagikan kepada para pihak. Dana yang terkumpul setiap hari dari tiket masuk, retribusi parkir, dan retribusi pasar disimpan di Lembaga Perkreditan Desa Pakraman Beraban. Selanjutnya

Lembaga Perkreditan Desa Pakraman Beraban akan mendistribusikan dana tersebut kepada pihak-pihak yang menerima hasil dari pengelolaan DTW Tanah Lot, namun perhitungan besarnya hasil yang diterima oleh pihak-pihak terkait ditentukan sesuai dengan prosentase yang telah ditetapkan dalam surat perjanjian kerjasama pengelolaan DTW Tanah Lot. Semua kegiatan ini diawasi oleh inspektorat dari Pemerintah Kabupaten Tabanan dan prajuru Desa Pakraman Beraban.

Dana yang diperoleh dari hasil pengelolaan DTW Tanah Lot digunakan untuk menunjang aktivitas di setiap banjar pakraman seperti pembangunan bale banjar, perbaikan saluran air, pengaspalan gang, pembuatan jalan setapak, dan pembinaan kesenian.

  • 2)    Kesejahteraan masyarakat lokal

Dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat lokal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan karena masyarakat lokal adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan kegiatan pariwisata yang ada di daerah mereka. Dalam hal ini, pengelolaan DTW Tanah Lot diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Desa Pakraman Beraban, sehingga pengelolaan yang dilakukan memiliki manfaat yang besar untuk kesejahteraan masyarakat Desa Pakraman Beraban.

  • 3)    Tidak mengubah alam

Pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang sangat memperhatikan kualitas lingkungan alam demi keberlangsungan pariwisata itu sendiri. Dengan adanya pengelolaan DTW Tanah Lot, maka lingkungan alam yang ada dapat terpelihara dengan baik karena hasil dari pengelolaan DTW Tanah Lot dapat digunakan untuk memelihara lingkungan alam yang ada di DTW Tanah Lot. Pihak pengelola melakukan kegiatan-kegiatan yang memelihara lingkungan, seperti kerja bakti yang dilakukan setiap hari jumat, penanaman pohon pelindung, menjaga tebing pantai, dan penataan saluran irigasi guna menuju pariwisata berkelanjutan.

  • 4)    Budaya sehat

Dengan adanya pariwisata berkelanjutan, apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya semakin tinggi. Pengelolaan DTW Tanah Lot memberikan kontribusi terhadap budaya-budaya yang ada di masyarakat Desa Pakraman Beraban. Cara yang dilakukan adalah dengan membentuk sanggar tari, sekaha seperti sekaha santi, gong, dan lain-lain, sehingga budaya yang ada di masyarakat tetap hidup. Budaya yang berkembang di masyarakat digunakan sebagai atraksi wisata guna menunjang aktivitas pariwisata di DTW Tanah Lot. Dengan kata lain, budaya yang ada di masyarakat tetap hidup dan aktivitas pariwisata juga berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

  • 5)    Kepuasan wisatawan

Kepuasan wisatawan merupakan rangkaian dari pariwisata berkelanjutan yang tidak dapat dipisahkan, karena kepuasan wisatawan adalah hasil dari

KRISNA ARTA WIDANA

Foto 5. Salah satu upaya pengelola dalam memberikan kepuasan wisatawan berupa pemasangan pagar rantai di sekitar tebing.

pengelolaan DTW yang tidak dapat diukur dengan materi. Pengelolaan DTW Tanah Lot berusaha untuk menciptakan kepuasan wisatawan terhadap lingkungan alam dan budaya yang ada. Cara yang dilakukan adalah dengan memperbaiki infrastruktur, menggunakan sumber daya yang tidak merusak, namun berkelanjutan, sehingga wisatawan tidak merasa bosan untuk mengunjungi DTW Tanah Lot. Salah satu contohnya adalah memasang rantai pengaman di sisi tebing pantai (Foto 5).

  • 6.    Simpulan

Berdasarkan pembahasan tentang perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban Kabupaten Tabanan dapat disimpulkan hal-hal berikut.

Pertama, terjadinya perubahan pengelola telah mengubah sistem pengelolaan DTW Tanah Lot. Pengelolaan DTW Tanah Lot telah mengalami dua kali perubahan pengelola, yaitu perubahan pengelola dari pihak swasta menjadi tiga pihak pada tahun 2000 dan perubahan pengelola dari tiga pihak menjadi dua pihak pada tahun 2011. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari pihak swasta menjadi tiga pihak, yaitu kesempatan kerja, tanggungjawab lokal, memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk ikut mengelola, wilayah desa pakraman, landasan hukum, dan kondisi politik. Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari tiga pihak menjadi dua pihak, yaitu kepentingan pemerintah daerah dan desa pakraman, peningkatan hasil pembagian pengelolaan, memiliki sumber daya manusia yang baik untuk mengelola, berakhirnya masa perjanjian, adanya landasan

hukum, dan kondisi politik saat itu.

Kedua, secara umum pengembangan pariwisata di suatu daerah berdampak bagi daerah tersebut baik itu terhadap aspek fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Perubahan pengelola DTW Tanah Lot dari pihak swasta menjadi tiga pihak dan perubahan pengelola dari tiga pihak menjadi dua pihak telah memberikan dampak secara langsung dan tidak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat Desa Pakraman Beraban.

Ketiga, dalam melaksanakan peranannya sebagai pengelola DTW Tanah Lot, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pengelola baru guna mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan di DTW Tanah Lot, yaitu menambah atraksi wisata, menyediakan lokasi fasilitas pariwisata, mendistribusikan lokasi berdagang, mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata, menjaga kelestarian dan kebersihan DTW Tanah Lot, dan membentuk kelompok pedagang serta menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pemilik lahan pribadi. Indikator yang digunakan adalah lima isu dari The Magic Pentagon. Kelima isu tersebut diberikan porsi atau perlakuan yang sama, yaitu ekonomi sehat, kesejahteraan masyarakat lokal, tidak mengubah alam, budaya sehat, dan kepuasan wisatawan.

  • 7.    Saran

Dari hasil pembahasan serta simpulan perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban Kabupaten Tabanan dapat disarankan beberapa hal pertama, pengelola DTW Tanah Lot perlu melakukan lebih banyak kerjasama dengan stakeholder di bidang pariwisata untuk mengoptimalkan jumlah kunjungan. Pelatihan serta pemahaman pariwisata secara berkelanjutan perlu diberikan kepada karyawan dan kelompok pedagang guna peningkatan kualitas pelayanan. Misalnya dengan mengadakan seminar pariwisata, studi banding ke DTW lain, dan mengikuti even promosi pariwisata.

Kedua, masyarakat Desa Pakraman Beraban, pihak pengelola, dan pelaku usaha pariwisata harus bersinergi untuk mengoptimalkan dampak yang bermanfaat dan meminimalkan dampak yang tidak bermanfaat dari adanya perubahan pengelola DTW Tanah Lot, terutama untuk menghindari konflik yang kemungkinan akan terjadi.

Ketiga, penelitian ini terbatas pada perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban, maka disarankan kepada peneliti berikutnya untuk meneliti tentang evaluasi model pengelolaan DTW Tanah Lot beserta daya tampung bagi masyarakat lokal yang bekerja atau berusaha dan wisatawan yang berkunjung di DTW Tanah Lot guna menuju pariwisata berkelanjutan.

Ucapan Terima Kasih

Artikel ini tersusun dengan bimbingan dan saran dari pembimbing dan pihak lainnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. selaku Pembimbing I yang dengan kesabaran memberikan bimbingan, masukan, koreksi dan saran untuk kesempurnaan artikel ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. I Made Antara, MS. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, koreksi maupun saran mengenai isi dan teknis penulisan artikel. Ucapan terima kasih disampaikan kepada para penguji, yaitu, Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A., Dr. Made Heny Urmila Dewi, SE., M.Si., Dr. Dewa Putu Oka Prasiasa, A.Par, MM. yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran serta koreksi demi kesempurnaan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Butler, R.W. 1980. “The Concept of a Tourist Area Cycle of Evolution: Implication for Management of Resources”. Canadian Geographer 24, 5-12.

Butler, R.W. 2011. Contemporary Tourism Reviews Tourism Area Life Cycle. Oxford: Goodfellow Publishers Ltd.

Dickman, S. 1992. Tourism: An Introductory Text. London: Edward Arnold.

Gee, Chuck Y. 1989. The Travel Industry. United Kingdom: Prentice Hall.

Hausler, Nicole. 2003. Planning For Community Based Tourism. The International Ecotourism Society.

Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta.

Muller, Hansruedi. 1997. The Thorny Path to Sustainable Tourism Development dalam Lesley France (ed). UK: Earthscan Publication Ltd.

Putra, I Nyoman Darma dan I Gde Pitana. 2010. Pariwisata Pro-Rakyat, Meretas Jalan Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Sharpley, Richard. “Tourism and Sustainable Development: Exploring the Theoretical Divice”. Journal of Sustainable Tourism VIII (1), 2000: 1-19.

Udi. 2011. “Berebut Kepentingan, Bupati Terkesan Cuci Tangan”. Bali Post, 22 Mei, hal: 1, kol. 1.

Profil Penulis

I Putu Krisna Arta Widana, SST.Par. adalah karyasiswa Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana Denpasar. Ia menyelesaikan Program Studi D4 Manajemen Bisnis Pariwisata pada tahun 2012 di Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali. Sejak tahun 2010 sampai sekarang bekerja sebagai karyawan di PT Jasa Angkasa Semesta Tbk. pada unit kerja flights operation center.

38

JUMPA Volume 2 Nomor 2, Januari 2016