BRAND “BALI SHANTI” PADA MEDIA PROMOSI PARIWISATA PEMERINTAH INDONESIA DI PARIS
on
JUMPA 1 [2] : 1 - 8
ISSN 2406-9116
BRAND “BALI SHANTI” PADA MEDIA PROMOSI PARIWISATA PEMERINTAH INDONESIA DI PARIS
Natasha Erinda Putri Moniaga
Email: [email protected]
Abstract
This study examines promotional print media on Bali in form of pamphlet and folder made by the Embassy of the Republic of Indonesia to Paris and the Ministry of Tourism and Creative Economy of the Republic of Indonesia. The aims were to recognize the messages conveyed by both medias and whether the meaning of Bali’s branding, Bali Shanti (Bali Peace), could be delivered or not. The method used in this research were discourse analysis with semiotical approach, and Barthes’s semiotics theory was used as primary theory. The message of Bali Shanti brand is about peace and harmony, since this brand was created to restore the image of the island of Gods after the Bali Bombing in 2002 and 2005. After the analysis, it was found that the pamphlet conveyed to the readers that Bali is a peaceful island with unique culture based on Balinese Hindu religion, thus, this media could transmit the message of Bali Shanti. Meanwhile, the folder expressed Bali as an island with lots of beautiful nature destinations and has exceptional culture, but the message of Bali Shanti brand could not be delivered to the audience.
Keywords : meaning, communication, promotional media, Bali Shanti, brand
Indonesia dengan gugusan kepulauan sejumlah lebih dari 17.000, membentang dari ujung timur Sabang hingga ujung barat Merauke, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Keragaman bentang alam di masing-masing provinsinya menjadikannya menarik dan sangat berpotensi untuk dijadikan destinasi wisata. Pemerintah melalui Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (sejak 2014 bernama Kementerian Pariwisata) kemudian menciptakan sebuah nation branding yang bernama Wonderful Indonesia dalam mempromosikan pariwisata secara internasional.
Salah satu cara yang digunakan pemerintah dalam upaya promosi
tersebut, selain dengan pengunggahan video di situs internet youtube atau situs resmi pariwisata Indonesia, adalah dengan penyebaran media cetak. Desain dan konten yang diterapkan pada media tersebut berbeda-beda tergantung dari negara tujuan, seperti di Paris, Prancis, media yang berupa folder dan pamphlet menggunakan Bahasa Prancis. Berkaitan dengan branding, beberapa kota atau provinsi di Indonesia juga memiliki branding mereka sendiri-sendiri seperti Jakarta dengan Enjoy Jakarta, Pekalongan dengan Pekalongan World’s City of Batik, Surabaya dengan Sparkling Surabaya, atau Bali dengan Bali Shanti.
Branding Bali Shanti diciptakan pada tahun 2004 untuk memulihkan citra Pulau Bali setelah peristiwa Bom Bali pada tahun 2002, di mana terjadi penurunan jumlah angka kunjungan (walau hanya sebentar) dan inflasi di sektor ekonomi. Pembuatan branding ini dilaksanakan oleh tim gabungan yang terdiri dari pemerintah, akademisi, dan tourism stakeholders. Branding ini memiliki makna filosofi yang diambil dari agama Hindu Bali yaitu Tri Hita Karana, yang dipandang sebagai identitas dan dasar dari segalanya di pulau tersebut. Tri Hita Karana merupakan filosofi mengenai keharmonisan antara manusia dengan sesamanya, dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan lingkungannya. Branding dengan dasar filosofi ini dipandang tepat untuk memperbaiki dan membangun citra Bali sebagai Pulau Dewata dan Seribu Pura yang mencintai keharmonisan dan kedamaian.
Kembali lagi pada pembahasan mengenai media cetak promosi pariwisata, di Paris, Prancis, Pemerintah Indonesia memiliki dua media cetak berbeda, yang satu berupa pamphlet yang dibuat oleh Kedutaan Besar Indonesia di Paris, sedangkan yang berupa folder dibuat oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia. Kedua media ini dibuat setelah branding “Wonderful Indonesia” diresmikan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2011. Menarik untuk diteliti mengenai apakah kedua media cetak tersebut mampu menyampaikan pesan branding Bali Shanti kepada para pembaca sasarannya.
Penelitian ini memiliki dua rumusan permasalahan untuk dijawab: Pertama, pesan apakah yang disampaikan oleh masing-masing media cetak tersebut mengenai Pulau Bali?; Kedua, bagaimanakah kesesuaian pesan tersebut dengan makna brand Bali Shanti? Rumusan permasalahan di atas akan dijawab menggunakan metode penelitian analisis wacana dengan pendekatan semiotika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaplikasian sebuah branding di media cetak, karena pembicaraan mengenai sebuah branding tidak berhenti hanya sebatas sebuah logo saja.
Dalam bukunya Brandstorm, Nickels (2012) menjelaskan bahwa branding adalah sebuah cara untuk terhubung pada sistem kepercayaan konsumen
untuk melihat bagaimana perasaan, respon mereka, dan segala hal yang berkaitan pada suatu benda, baik itu hanya sebuah deterjen pencuci maupun kandidat kepresidenan. Brand bukan sekadar membicarakan sebuah logo saja, melainkan lebih dalam dari itu, ini adalah sebuah hubungan perasaan. Komunikasi langsung antara sebuah brand dengan konsumen merupakan standar emas yang amat penting. Memahami aspek perasaan konsumen merupakan satu kunci vital bagi sebuah brand untuk tetap berkelanjutan. Ketika perasaan telah dilibatkan, konsumen akan menyadari bahwa mereka dilibatkan dalam rangka cerita, bukan hanya sekedar pengamat di luar lingkaran. Sebuah branding yang baik mampu memahami apa yang diingankan oleh konsumennya, menarik minat mereka, namun pada saat yang bersamaan ia tetap mampu mengkomunikasikan budaya perusahaan mereka (Gobé; 2005).
Berkaitan dengan penelitian ini, untuk dapat melihat pengkomunikasian makna branding Bali Shanti pada pamphlet dan folder, metode analisis wacana akan digunakan sementara pendekatan dan teori yang digunakan adalah semiotika yang diperkenalkan Roland Barthes. Analisis wacana pada dasarnya menargetkan bahasa sebagai objek penelitian, biasanya berupa teks atau naskah pidato, namun untuk kasus penelitian ini adalah teks yang berada dalam media cetak promosi. Untuk lebih spesifik, metode penelitian ini disebut metode analisis wacana paradigmatis yaitu menganalisis wacana dengan memperhatikan tanda-tanda (signs) tertentu dalam sebuah wacana untuk menemukan makna keseluruhan (Hamad, 2007).
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, bagaimana ia berfungsi, dan diproduksi (Tinarbuko, 2008). Bagi seseorang, satu tanda bisa bermakna berbeda jika dibandingkan dengan orang lainnya. Zoest (Tinarbuko, 2008) berpendapat bahwa tanda tidak hanya terbatas pada sebuah benda. Keberadaan sebuah situasi, ketiadaan, kebiasaan hidup, sekuntum bunga, bendera kecil, berbicara tergagap-gagap, bahkan kegelapan pun merupakan sebuah tanda. Maka dalam penelitian ini, teks dan gambar pun merupakan sebuah tanda.
Barthes (Piliang, 2010) dalam teorinya menyebutkan ada dua tingkat penandaan: denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Denotasi adalah tingkatan pertandaan yang paling konvensional dalam masyarakat, yaitu elemen-elemen tanda yang maknanya cenderung disepakati secara sosial. Makna denotasi adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap
berbagai kemungkinan tafsiran). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaanm emosi atau keyakinan, yang disebut makna konotatif. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang atau tanda tengkorak mengkonotasikan bahaya (Piliang, 2010).
Bagaimanakah kaitan antara branding, semiotika, dan pariwisata? Dalam penelitian ini, objek yang dikaji adalah media cetak promosi pariwisata. Dalam mempromosikan produk atau jasa pariwisata, periklanan memegang peranan yang sangat penting.
Periklanan merupakan daerah penelitian yang terletak di antara dua disiplin ilmu yang tampaknya tidak berhubungan sama sekali: ekonomi dan semiotika. Untuk ekonomi, iklan adalah salah satu faktor dalam proses pertukaran barang. Untuk semiotika, iklan adalah proses pertukaran pesan (Noth, 1990). Dalam arti yang sama, pariwisata memerlukan iklan dalam proses promosi (Weaver, 2010). Semiotika menawarkan alat-alat teoritis untuk menganalisis proses komunikasi dalam periklanan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Barthes menyatakan ada dua macam makna: denotasi dan konotasi. Karena arti harfiah disampaikan oleh makna denotasi dan makna lapis kedua disampaikan oleh makna konotasi, teori ini benar-benar tepat untuk menemukan lapisan makna tersembunyi yang terdapat di dalam iklan. Sementara itu, makna sendiri di dalam dunia periklanan berkaitan erat dengan branding.
Dengan menganalisis media cetak menggunakan semiotika untuk memahami pengkomunikasian pesan branding, hasil akhirnya ini turut dapat berguna dalam memahami penyusunan teks yang tepat, komunikatif, dan informatif pada konsumen, yang memegang peranan penting dalam promosi pariwisata.
Media cetak dirasakan perlu dan masih berperan penting walau dewasa ini perkembangan di bidang teknologi digital dan internet sangatlah pesat. Media cetak yang digunakan untuk mempromosikan pariwisata oleh pemerintah Republik Indonesia di Paris berupa pamphlet dan folder. Lebih tepatnya, folder tersebut dibuat oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, sementara pamphlet dibuat oleh Kedutaan Besat Republik Indonesia di Paris. Berikut akan dipaparkan mengenai pamphlet terlebih dahulu.
Setelah analisis dilakukan pada gabungan teks dan gambar yang terdapat pada pamphlet ini (Gambar 1-5), ditemukan bahwa media ini mengkomunikasikan pesan bahwa Bali merupakan sebuah pulau yang damai, dihuni oleh penduduknya yang mayoritas beragama Hindu Bali sehingga memiliki budaya yang sangat unik tiada duanya, memiliki keindahan alam
Gambar 1. Halaman Pertama Bali di Pamphlet
Gambar 2. Halaman Kedua Bali di Pamphlet
Gambar 3. Halaman Ketiga Bali di Pamphlet.
Gambar 4. Halaman Keempat Bali di Pamphlet.
yang cantik mempesona, dan juga merupakan sebuah pulau yang tepat untuk mengadakan pertemuan rapat baik nasional maupun internasional dikarenakan hotel-hotel yang ada mempunyai fasilitas yang diperlukan bagi mereka para wisatawan bisnis. Pesan yang disampaikan tersebut telah sesuai dengan pesan yang diusung oleh brand Bali Shanti: harmoni dan kedamaian.
Gambar 5. Halaman Kelima Bali di Pamphlet
Hanya saja terdapat beberapa kekurangan pada pamphlet ini yang terletak pada kesalahan penulisan informasi kontak dan penempatan foto pura yang tidak tepat pada halaman MICE. Pencantuman informasi mengenai MICE sendiri juga dapat membuat konsumen berpikir bahwa Bali adalah tempat yang tepat untuk melakukan bisnis, tidak lagi murni sebagai pulau Dewata yang damai.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah komunikasi makna ini tersampaikan secara tepat atau justru mereka mendapatkan makna berbeda?
Wawancara mendalam dilakukan kepada lima orang Prancis yang akan berlibur ke Bali pada musim panas 2014. Mereka semua mengakui bahwa ketika mereka membaca informasi mengenai Bali, mereka merasakan kedamaian karena penggunaan gambar Pura Ulun Danu, halaman hotel, dan gambar kamar dengan pemandangan laut, serta penggunaan kata ‘Hindu’ dan ‘upacara’. Jika demikian, ini menunjukkan bahwa pamphlet ini telah berhasil mengkomunikasikan pesan dan makna branding Bali Shanti kepada pembacanya.
Berikutnya adalah pemaparan mengenai folder.
Gambar 6. Penampakan Seluruh Halaman Bali pada Folder
Wujud dari folder ini sangat berbeda dengan pamphlet. Jika pamphlet bentuknya seperti sebuah buku tipis, folder ini sesungguhnya adalah sebuah kertas berukuran sangat besar yang dilipat-lipat banyak kali sedemikian rupa sehingga akhirnya terlipat seukuran buku saku (Gambar 6).
Bali Shanti berbicara mengenai kedamaian; keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Petunjuk terkecil yang diperlihatkan pada teks di dalam folder adalah kalimat ‘Pulau Dewata’ dan ‘Pulau Seribu Pura’, akan tetapi penyampaian pesan tersebut gagal ketika kombinasi teks dan gambar sisanya tidak mendukung.
Folder ini menggambarkan Bali sebagai sebuah pulau kecil dengan berbagai destinasi wisata alam untuk dikunjungi yang juga memiliki pariwisata budaya. Pesan yang disampaikan tidak sesuai dengan makna dari Bali Shanti. Ada lagi kekurangan lainnya yaitu penempatan gambar yang tidak sesuai dengan teks yang menyertainya. Tata letak informasi di dalam folder pun akan membuat mereka yang membacanya (akan) kebingungan dan kemungkinan besar akan salah menangkap informasi mengenai masing-masing provinsi.
Wawancara mengenai folder ini pun turut dilaksanakan pada kelima orang Prancis yang sama. Mereka semua, walaupun diwawancara terpisah, mengakui bahwa folder ini sangatlah rumit dan membingungkan. Akan tetapi, menurut mereka, informasi mengenai tempat-tempat wisata dituliskan lebih banyak di dalamnya; mereka memandang folder ini lebih informatif dibandingkan pamphlet. Namun, akhirnya masing-masing dari mereka lebih menyukai pamphlet dibandingkan folder ini. Selain itu mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak merasakan adanya makna damai dan harmoni yang disampaikan melalui folder tersebut, dari kombinasi teks dan gambar yang digunakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengaplikasian filosofi brand Bali Shanti pada pamphlet berhasil dan pembacanya pun dapat menangkap makna tersebut, sedangkan pada folder tidak.
Di kesempatan mendatang, mendesain sebuah media haruslah memperhatikan keseluruhan elemennya yang berupa teks, gambar, warna, bentuk, dan tata letak; mengaturnya secara tepat namun tetap indah sesuai dengan misi atau makna brand yang diusungnya. Selain itu, yang sama pentingnya harus diperhatikan adalah hal-hal yang disukai oleh konsumen. Karena jikalau dalam mendesain tidak memperhatikan kenyamanan dan preferensi dari konsumen, kemungkinan kegagalan akan lebih besar. Dikaitkan dengan pariwisata, jikalau media promosinya tidak menarik bagi konsumen dan tidak juga mampu menyampaikan pesan dari brand, bukankah itu artinya telah terjadi kegagalan dalam promosi dan juga (akhirnya) pemasaran?
Ucapan Terima Kasih
Terutama dan yang pertama penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Jesus Christ, atas segala berkat dan tuntunan selama penyelesaian penelitian ini. Kedua orangtua, Evert Moniaga dan Gung Indah Windarthi, yang telah banyak memberi dukungan dan kepercayaan. Dosen-dosen yang telah memberikan bimbingan, M. Frederic Thomas dan Larry Julianto. Begitu pula dengan Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra atas bantuan dan bimbingan dalam penulisan artikel ini. Tak lupa dengan staf KBRI Paris dan KWRI UNESCO yang telah memberikan informasi berkaitan dengan penelitian ini. Kawan-kawan seperjuangan selama perkuliahan di Paris, Febianti dan Handijaya, yang telah memberi semangat selama proses penulisan thesis. Beserta segenap keluarga dan sahabat di Indonesia yang tak bisa disebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan moral begitu besar.
Pustaka
Barthes, Roland. 2013. Mythologies. New York: Hill and Wang.
Gobé, Marc. 2005. Emotional Branding. Surabaya: Penerbit Erlangga.
Hamad, Ibnu. 2007. Lebih Dekat dengan Analisis Wacana. Mediator Vol.8 no.2.
Lindstorm, Martin. 2010. Brand Sense: Sensory Secret Behind The Stuff We Buy.
New York: Kogan Page Limited.
Nadeau, Raymond A. 2007. Living Brands. New York: McGraw-Hill Companies. Nickels, Liz. 2012. Brandstorm. New York: Palgrave McMillan.
Nöth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Indiana: Indiana University Press.
Piliang, Yasraf A. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode, dan Matinya
Makna. Yogyakarta: Matahari.
Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Weaver, David B. 2010. Tourism Management. Milton, QLD: John Wiley & Sons Australia, Ltd.
Profil Penulis
Natasha Erinda Putri Moniaga menyelesaikan studi masternya di Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana (Bali) dan Université Paris 1 – Panthéon Sorbonne melalui program DDIP (Double Degree Indonesia Prancis) tahun 2014. Sebelum memasuki program master Kajian Pariwisata dan Géstion des Activités Touristiques et Hôteliers di tahun 2012-2014, ia telah menyelesaikan studinya di Sastra Inggris Universitas Udayana dan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Denpasar pada tahun 2008-2013. Ia menggemari fotografi dan penulisan literatur fiksi, sempat menjadi pembicara di salah satu event Ubud Writers and Readers Festival 2012 dan melakukan magang di UNESCO selama masa perkuliahan di Paris.
8
JUMPA Volume 1 Nomor 2, Januari 2015
Discussion and feedback