PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGELOLA OBJEK WISATA HUTAN BAMBU DI DESA SUMBERMUJUR KECAMATAN CANDIPURO
on
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENGELOLA OBJEK WISATA HUTAN BAMBU DI DESA SUMBERMUJUR KECAMATAN CANDIPURO
Dickky Divani Tri Yudistira
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
Margono
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
Abd.Mu’id Aris Shofa
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study was to find out about the process of creating tourist attractions, community participation in the process of managing the Bamboo Forest Tourism Object and the economic impact felt by the community after the opening of the Bamboo Forest Tourism Object. This research uses a qualitative research approach with a descriptive type. Sources of research data obtained through informants, events, and documents. Data collection procedures were carried out through observation, interviews, and documentation. Data analysis used Miles and Huberman's interactive model through the stages of data collection, data reduction, and data presentation, as well as drawing conclusions. The results showed that the process of creating the Bamboo Forest Tourism Object was due to the participation of the people of Sumbermujur Village through the Semeru Belt Pokdarwis. The forms of participation of the Sumbermujur Village community in managing tourism objects can be seen through their participation in the form of thought participation, property participation, labor participation, skill participation and social participation. The perceived economic impact is the increase in the income of the people of Sumbermujur Village through trading activities and the service sector around tourist sites.
Keywords: bamboo forest; community participation; tourism management.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam luar biasa dengan segala potensi di dalamnya sehingga dapat digunakan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat. Negara Indonesia bukan hanya kaya akan sumber daya alamnya, melainkan dari keindahan panorama alamnya memiliki segudang potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Seluruh wilayah bagian Negara Indonesia memiliki kekayaan alam di dalamnya. Jadi menjadi hal yang wajar apabila hampir rata-rata setiap wilayah di Negara Indonesia ini memiliki objek wisata (Soetopo, 2011). Dengan banyaknya objek wisata alam yang dimiliki Indonesia, tidak hanya diketahui oleh masyarakat lokal, akan tetapi juga diketahui oleh masyarakat global. Sebagai contoh objek wisata alam yang mendunia diantaranya Pulau Raja Ampat di Papua Barat, Pulau Komodo yang ada di Nusa Tenggara Timur, Pantai Sanur di Bali, Gunung Semeru di Lumajang dan masih banyak lagi wisata yang lain karena memiliki keindahan alamnya.
Sebagai negara tujuan destinasi wisata, pengelolaan pariwisata yang baik merupakan indikator keberhasilan menarik banyaknya wisatawan, baik dari lokal ataupun mancanegara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa “Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara”. Masih dalam Undang-Undang yang sama pada pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah”. Pariwisata alam dewasa ini, semakin banyak dinikmati oleh masyarakat lokal ataupun masyarakat global.
Pariwisata adalah salah satu prioritas utama dalam perkembangan perekonomian di Indonesia, apalagi pemulihan kegiatan ekonomi pasca pandemic
covid-19. Pernyataan ini karena pariwisata merupakan aset penting milik negara dengan memajukan perekonomian suatu negara dan berpotensi sebagai penyumbang devisa terbesar bagi negara (Roeslani, 2018). Perkembangan dari pariwisata akan menjadi lebih maksimal apabila didukung oleh potensi daerah yang berupa objek wisata alam dan dengan sistem pengelolaan objek wisata yang baik pula. Pengembangan pariwisata dapat diwujudkan dengan adanya partisipasi masyarakat lokal dalam mengelola potensi wisata, sehingga kegiatan pariwisata bisa sesuai dengan apa yang diharapkan. Partisipasi memiliki makna keterlibatan masyarakat saat proses pengelolaan objek wisata, serta turut andil dalam memanfaatkaan objek wisata yang dapat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri (Riyani, 2018).
Pembangunan dan pengelolaan pariwisata dapat melibatkan semua komponen dalam masyarakat, mulai dari tipe masyarakat ekonomi menengah atas sampai dengan tipe masyarakat ekonomi kalangan menengah bawah, baik kalangan pemerintah ataupun swasta. Semua kalangan diharapkan ikut serta berpartisipasi aktif dalam mendukung usaha pembangunan dan pengelolaan pariwisata. Masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi aktif, jika mereka mengetahui apa yang bisa dibantu dan sebab kenapa harus dibantu. Mereka akan lebih tertarik untuk ikut serta mendukung pembangunan dan pengelolaan pariwisata apabila mereka telah memahami dengan jelas dampak baik yang didapatkan dari kegiatannya (Suwantoro, 1997). Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Bobsuni dan Ma’ruf (2021) pada objek wisata Bukit Kapur Setigi, Kabupaten Gresik, yang dalam risetnya disebutkan bahwa masyarakat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan pariwisata. Partisipasi aktif masyarakat ini muncul karena melihat potensi wisata berupa penampakan bumi yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan kapur yang sebelumnya menjadi tempat pembuangan akhir, akan lebih bermanfaat jika dikelola menjadi tempat wisata. Partisipasi aktif ini juga didorong karena masyarakat mendapatkan dampak positif dari pengelolaan wisata tersebut berupa program Taplus Invest sebagai dana pengelolaan objek wisata Bukit Kapur Setigi dan
masyarakat bisa meningkatkan perekonomian nya dari kegiatan pariwisata. Riset yang lainnya dari Ragil dan Ri’fan (2019) dalam pengelolaan pariwisata Pantai Parangtritis, Kabupaten Gunung Kidul, juga melibatkan partisipasi masyarakat aktif terutama pada penambahan fasilitas objek wisata. Fasilitas objek wisata ini berupa something to buy seperti kegiatan perdagangan dan jasa serta something to do seperti kegiatan persewaan kolam renang, persewaan kuda dan persewaan mobil ATV. Hasil dari kegiatan di kawasan objek wisata ini bisa memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar dan meningkatkan perekonomian bagi daerah tersebut. Maka dari itu, partisipasi masyarakat dalam mengelola objek wisata menjadi sangat penting, selain mempermudah dalam menjalankan kegiatan pariwisata, juga bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar yang menetap dekat di daerah objek wisata tersebut.
Kawasan wisata alam memang memberikan pesona tersendiri bagi wisatawan yang datang mengunjunginya. Kawasan wisata alam memiliki panorama alam indah yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan. Menurut Ridwan (2012), objek wisata adalah sesuatu yang memiliki keindahan, keunikan, kekhasan tertentu dan nilai berupa keanekaragaman budaya, kekayaan serta hasil karya manusia yang menjadi target tujuan wisatawan. Dari sekian banyak kekayaan alam, salah satu yang menarik dan unik adalah kawasan wisata alam Objek Wisata Hutan Bambu di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Kabupaten Lumajang adalah salah satu wilayah yang berada di bagian selatan Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Lumajang memiliki kondisi geografis yang meliputi dari keadaan tanah yang sangat subur, karena dikelilingi oleh tiga gunung berapi aktif yang meliputi Gunung Semeru (3.676 m). Gunung Lemongan (1.641m) dan Gunung Bromo (2.329 m). Kondisi ini menyebabkan wilayah Kabupaten Lumajang memiliki beragam keanekaragaman bentuk permukaan bumi yang indah yang kemudian bisa digunakan sebagai objek wisata alam, hutan bambu adalah salah satunya.
Hutan bambu yang berlokasi di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro ini menyimpan segudang potensi di dalamnya. Hal ini yang kemudian menyebabkan masyarakat Desa Sumbermujur dan Pemerintah Desa Sumbermujur memiliki keinginan suatu saat nanti wilayah hutan bambu ini, juga bisa dimanfaatkan sebagai objek wisata. Masyarakat dan Pemerintah Desa Sumbermujur dalam mewujudkan keinginan menjadikan hutan bambu sebagai objek wisata masih kesulitan dan sulit untuk merealisasikan. Baru pada tahun 2014 dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Lumajang Nomor 79 Tahun 2014 Tentang “Destinasi Wisata Satu Kecamatan Satu Desa Wisata Di Kabupaten Lumajang” Pemerintah Desa Sumbermujur dan masyarakat akhirnya bisa mewujudkan keinginan untuk bisa memanfaatkan hutan bambu menjadi objek wisata. Pasca diberlakukan Peraturan Bupati Nomor 79 Tahun 2014 tersebut, maka Pemerintah Desa Sumbermujur kemudian dengan segera membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang memiliki nama Pokdarwis Sabuk Semeru. Pokdarwis Sabuk Semeru ini yang kemudian bertugas mengembangkan dan mengelola kawasan hutan bambu menjadi objek wisata. Pada akhirnya area hutan bambu ini tidak hanya sebagai wilayah konservasi, akan tetapi menjadi tempat pariwisata yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Keberagaman fungsi dari hutan bambu memberikan risiko pada pengelolaannya, yang tidak bisa dikerjakan oleh Pemerintah Desa Sumbermujur atau pengelola objek wisata, akan tetapi komponen yang paling dekat dengan Objek Wisata Hutan Bambu yaitu masyarakat Desa Sumbermujur, karena mereka yang hidup di sekitar kawasan. Maka dari itu, partisipasi masyarakat Desa Sumbermujur merupakan kunci utama pengelolaan hutan bambu yang akan berdampak kepada minat kedatangan wisatawan.
Pengelolaan kawasan hutan bambu yang sebelumnya merupakan area konservasi dan dimanfaaatkan lagi menjadi tempat pariwisata, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hal ini didasari dengan adanya pemanfaatan lebih lanjut area hutan bambu menjadi kawasan wisata, akan tetapi tata
kelola pemanfaatan area hutan bambu tersebut masih belum diatur secara jelas. Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus penelitian ini yaitu: (1) proses lahirnya lahirnya Objek Wisata Hutan Bambu di Desa Sumbermujur Kecamatan Candipuro, (2) bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam mengelola Objek Wisata Hutan Bambu di Desa Sumbermujur Kecamatan Candipuro, (3) dampak pengelolaan Objek Wisata Hutan Bambu terhadap kondisi perekonomian masyarakat di yang terjadi pada masyarakat di Desa Sumbermujur Kecamatan Candipuro.
Metode
Penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu proses penelitian yang dilakukan secara wajar dan murni sesuai dengan fakta yang ada di lapangan tanpa adanya rekayasa, serta jenis data yang dikumpulkan berbentuk data kualitatif (Arifin, 2011). Maksud dari penelitian kualitatif adalah untuk menjelaskan fenomena yang terjadi tentang sesuatu yang dialami oleh subjek penelitian misalnya tindakan, perilaku, motivasi, persepsi, dan lain-lain secara holistik dengan dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini memakai metode penelitian deskriptif, yaitu metode dengan pandangan tentang kemungkinan jawaban untuk memecahkan masalah secara terbarukan atau (up to date) atau dengan cara mengumpulkan data, menyusun, menganalisis, mengklasifikasi dan menginterpretasikannya. Menurut Mirzaqon (2018) dijelaskan bahwa metode deskriptif adalah metode analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta temuan di lapangan yang kemudian diikuti dengan analisis dan tidak serta merta menguraikan, akan tetapi memberikan penjelasan dan pengertian secukupnya.
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian menjadi sangat penting keberadaanya, karena peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data,
penganalisis, menyimpulkan, dan akhirnya menyusun laporan hasil penelitian. Peneliti menjadi peran utama dalam menginterpretasikan data (Faisal,1990). Kehadiran peneliti pada penelitian kualitatif berperan dalam proses pengumpulan data karena yang menjadi instrumen dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri (Anggito dan Setiawan, 2018). Peneliti hadir langsung di lokasi penelitian yang bertempat di Objek Wisata Hutan Bambu, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang.
Sumber data penelitian ini diperoleh melalui informan, peristiwa dan dokumen. Informan dijadikan sebagai sumber data utama sedangkan dokumen dan peristiwa adalah sebagai sumber data pendukung. Informan yang menjadi sasaran adalah Ketua, Wakil Ketua, Bendahara, Sekretaris dan bidang-bidang pengelola Objek Wisata Hutan Bambu Desa Sumbermujur yang diberi nama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sabuk Semeru. Selain itu, informan lain yang akan diwawancarai adalah Kepala Desa Sumbermujur, Tokoh Masyarakat, Pedagang dan Pengunjung disekitar Objek Wisata Hutan Bambu. Peristiwa disini adalah kegiatan pariwisata mulai dari awal pengelolaan sampai sekarang berjalannya Objek Wisata Hutan Bambu. Dokumen disini adalah data-data dari pengelola Objek Wisata Hutan Bambu atau dalam hal ini Pokdarwis Sabuk Semeru yang diarsipkan.
Prosedur pengumpulan disini menggunakan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik wawancara digunakan sebagai pengumpulan data saat dilakukan studi pendahuluan dan juga untuk mengetahui informasi dari responden pilihan yang lebih mendetail (Sugiyono, 2013). Peneliti juga ikut melakukan observasi partisipasi secara aktif, yaitu dengan berinteraksi langsung dengan subjek penelitian dan tidak hanya menjadi pengamat saja serta mendokumentasikan kegiatan penelitian.
Setelah memperoleh data yang digunakan dalam penelitian, peneliti kemudian melakukan teknik analisis data penelitian dengan menggunakan model Miles & Huberman (1992), yaitu yang terdiri dari tahap pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian. Adapun data penelitian ini meliputi data tentang proses terbentuknya Objek Wisata Hutan Bambu, partisipasi masyarakat dalam mengelola Objek Wisata Hutan Bambu serta dampak ekonomi yang ditimbulkan dari adanya kegiatan pariwisata ini. Pengecekan kevalidan temuan dilakukan dengan proses triangulasi dan pengamatan. Peneliti melakukan penelitian secara teliti dan fokus pada yang diteliti sehingga diperoleh hasil yang akurat, sedangkan triangulasi adalah pengecekan data dengan cara pemeriksaan ulang secara berkala yang dilakukan dengan triangulasi waktu dan triangulasi sumber. Triangulasi waktu dilakukan dengan cara pengumpulan data di waktu yang berbeda sedangkan triangulasi sumber dilakukan dengan mencari mencari sumber lebih dari satu dengan tujuan memahami data atau informasi secara mendalam (Umrati & Wijaya, 2020).
Hasil dan Pembahasan
Proses Lahirnya Kawasan Hutan Bambu Menjadi Objek Wisata
Desa Sumbermujur memiliki salah satu jenis hutan konservasi yaitu hutan bambu. Hutan bambu ini pada awalnya adalah hanya hutan yang digunakan sebagai area konservasi lingkungan, akan tetapi dengan berjalannya waktu ada penambahan fungsi menjadi tempat pariwisata. Proses lahirnya kawasan hutan bambu menjadi objek wisata ini terdiri dari beberapa tahap. Tahapan ini terdiri dari: (1) fase awal adanya hutan bambu, (2) fase kerusakan dan upaya konservasi, (3) fase kesadaran masyarakat dalam menambah fungsi hutan bambu menjadi objek wisata. Tahapan-tahapan proses hutan bambu menjadi objek wisata akan diuraikan menjadi beberapa fase seperti dibawah ini:
Fase Awal Adanya Hutan Bambu
Pada awalnya hutan bambu ini diperkirakan sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1930-an. Saat awal diketahui
keberadaannya hutan bambu ini masih asri dan belum terjadi kerusakan yang berarti. Kawasan hutan bambu ini tumbuh secara alami dan hidup menyatu dengan alam di sekitar sehingga di dalamnya terdapat sumber mata air yang begitu segar dan deras untuk mengaliri area di bawahnya. Masyarakat pribumi terdahulu sangat bergantung terhadap aliran air yang berada di dalam kawasan hutan bambu ini, karena digunakan oleh masyarakat sebagai sumber kehidupan mereka, seperti mengairi area pertanian, perladangan dan perkebunan milik pribadi atau Belanda. Baru pada masa penjajahan Jepang kondisi debit aliran sumber mata air di hutan bambu ini mulai mengecil. Informasi ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Bapak Agus Wijaya selaku wakil ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) bahwa pada saat itu penjajahan dari Jepang sangat menyengsarakan masyarakat pribumi. Sistem kerja paksa yang diterapkan oleh Jepang, membuat masyarakat pribumi menderita dan mengambil sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk menyambung kebutuhan hidup. Termasuk mengambil rebung atau bambu kecil untuk digunakan sebagai bahan makanan sehari-hari. Sehingga dari aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan yang luar biasa di Kawasan Hutan Bambu.
Fase Kerusakan dan Upaya Konservasi Alam
Pada zaman dahulu ketika bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Jepang, masyarakat Indonesia mengalami sistem kerja paksa yang diberi nama Romusha. Romusha adalah tenaga buruh kerja paksa yang ditarik bangsa Jepang saat memiliki rentan usia 16-40 tahun, baik laki-laki ataupun perempuan (Saputra, 2018). Praktik kerja paksa ini dikoordinir menggunakan struktur pemerintahan yang bisa dikatakan dekat di tingkat kecamatan (son), desa (ku) dan rukun tetangga (Tonarigumi). Akibat dari sistem kerja paksa atau Romusha ini selain masyarakat pribumi waktu itu menderita, dampak buruk lain yang disebabkan adalah kerusakan kawasan alam saat itu yaitu hutan bambu. Kondisi hutan bambu semakin tidak terjaga dan rusak diakibatkan karena masyarakat pribumi mengambil sumber daya alam di kawasan
tersebut untuk bertahan hidup dan untuk pembuatan bahan bangunan bagi pemerintah Jepang.
Periode kerusakan dan gundulnya hutan bambu terjadi antara rentan waktu tahun 1945 sampai dengan tahun 1970. Periode 1945 merupakan tahun dimana masyarakat mulai melakukan pertanian dan merasakan dampak dari mengecilnya debit sumber mata air di Hutan Bambu. Sedangkan di tahun 1970, wilayah sekitar hutan bambu yang pada saat itu bernama Dusun Rekasan Kulon dan masuk dalam Desa Penanggal, terdapat pemekaran wilayah administratif. Hasil dari pemekaran wilayah administratif tersebut, membuat wilayah awal yang bernama Dusun Rekasan Kulon berubah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Sumbermujur. Penamaan Sumbermujur memiliki filosofi diharapkan sumber mata air ini kedepan membawa keberuntungan bagi masyarakat desa ini. Pemekaran wilayah administratif ini membawa dampak positif bagi masyarakat Dusun Rekasan Kulon, terutama masyarakat di wilayah sekitar hutan bambu yang pada saat itu kawasan hutan tersebut perlahan-lahan mulai diperbaiki dan masuk area konservasi.
Area konservasi ini mulai diperhatikan dan muncul aktivis lingkungan yang bernama Heri Gunawan yang prihatin atas kerusakan lingkungan di Hutan Bambu. Pada saat awal pergerakannya bapak Heri Gunawan membentuk kelompok kecil dengan tujuan untuk membenahi hutan bambu yang ada dan menambah kapasitas debit air yang keluar dari sumber. Kelompok ini bernama Kelompok Pelestari Sumber Alam (KPSA) Kali Jambe. Saat KPSA Kali Jambe sudah terbentuk, maka langkah awal yang dilakukan oleh kelompok ini adalah dengan melakukan upaya konservasi lingkungan dengan mengganti beberapa jenis bambu yang rebungnya bisa dimakan seperti bambu petung dan bambu jajang, diganti dengan jenis bambu apus atau bambu tali dengan karakter yang lebih lentur, banyak menyimpan air dan juga bisa bertahan dalam jangka panjang. Keunggulan lain dari jenis bambu apus atau bambu tali ini adalah rebungnya tidak bisa dimakan sehingga aman dari gangguan masyarakat nakal yang sering mengambil rebung dan cocok untuk upaya konservasi.
Upaya konservasi KPSA Kali Jambe ini berlangsung dari tahun 1972 sampai dengan saat ini.
Beragam upaya konservasi dan pemulihan kawasan alam hutan bambu ini terus dilakukan oleh masyarakat, terutama masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Pelestari Sumber Alam (KPSA) Kali Jambe. Hasil jerih payah dari masyarakat Desa Sumbermujur dan Kelompok Pelestari Sumber Alam (KPSA) Kali Jambe ini pada akhirnya berbuah manis. Pada tahun 2002 KPSA Kali Jambe ini yang diwakili oleh bapak Heri Gunawan mendapatkan penghargaan nasional yang namanya adalah penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kategori penyelamat lingkungan yang pada saat itu penghargaan ini diserahkan Presiden Republik Indonesia Ke-4 Ibu Megawati Sukarnoputri. Penerimaan penghargaan Kalpataru ini berdampak besar bagi kawasan hutan bambu, karena semakin banyak masyarakat yang sadar dan termotivasi untuk bisa terus melestarikannya. Selain itu kawasan hutan bambu semakin terkenal hingga kancah nasional.
Fase Kesadaran Masyarakat dalam Menambah Fungsi Hutan Bambu Menjadi Objek Wisata
Potensi alam hutan bambu yang luar biasa ini apabila tidak dimanfaatkan akan sangat sayang sekali, hingga akhirnya pada tahun 2014 keluar Peraturan Bupati Lumajang Nomor 79 Tahun 2014 Tentang “ Destinasi Wisata Satu Kecamatan Satu Desa Wisata Di Kabupaten Lumajang ” ini membawa perubahan yang luar biasa bagi pemikiran masyarakat Desa Sumbermujur dan perkembangan hutan bambu tersebut. Isi dari Perbup tersebut salah satunya adalah menetapkan Desa Sumbermujur yang mewakili Kecamatan Candipuro untuk ditetapkan sebagai Desa Wisata. Definisi Desa Wisata sendiri menurut Peraturan Bupati Lumajang Nomor 79 Tahun 2014 Pada Pasal 1 ayat (10) adalah kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya,
adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, Misalnya atraksi, akomodasi, makanan-minuman, cindera-mata dan kebutuhan wisata lainnya. Karena Desa Sumbermujur dianggap layak dan memenuhi segala komponen yang ada dalam Perbup tersebut, maka Desa Sumbermujur dipilih untuk mewakili Kecamatan Candipuro sebagai Desa Wisata.
Adanya pemberlakuan Perbup tentang desa wisata mendorong Kepala Desa yang pada saat itu menjabat Bapak Syafii bersama dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat mulai mencari kader yang bisa dimasukan dalam kelompok sadar wisata. Pada saat peneliti menemui Bapak Syafii, beliau menyampaikan bahwa saat awal pembentukan Pokdarwis merekrut keanggotaan dari berbagai unsur masyarakat seperti perangkat desa, semua kepala dusun, tokoh masyarakat, tokoh agama, unsur wanita dan kepemudaan. Harapan melibatkan semua unsur masyarakat ini adalah agar semua mempunyai rasa memiliki Desa Wisata Sumbermujur, khususnya Kawasan Hutan Bambu.
Bapak Syafii juga menjelaskan dalam penamaan nama Pokdarwis yang bernama Sabuk Semeru ini tidak hanya sembarangan, melainkan ada filosofi dibaliknya. Nama pokdarwis ini tersusun dari dua kata yaitu “Sabuk” dan “Semeru”. Sabuk artinya pengikat dan Semeru adalah Gunung Semeru yang pada dasarnya Desa Sumbermujur berada di daerah lereng Gunung Semeru. Harapannya dengan nama yang disematkan dalam kelompok Pokdarwis Sabuk Semeru ini, bisa menjadi pengikat menjadi penguat di lereng-lereng Gunung semeru yang lain, agar risiko kebencanaan ini bisa dicegah.
Peran Pokdarwis Sabuk Semeru ini dalam upayanya untuk menciptakan sebuah Destinasi Wisata di kawasan hutan bambu ini sangat besar. Mulai dari perintisan awal sampai launching opening wisata pada tahun 2017. Selama kurang lebih 3 tahun berdiri yaitu sejak tahun 2014 – 2017, Pokdarwis Sabuk Semeru sudah
banyak melakukan upaya-upaya perbaikan lingkungan di kawasan hutan bambu. Konservasi lingkungan dilakukan agar dapat menjaga keasrian dan kesejukan hutan bambu itu sendiri dengan rencana jangka panjang adalah dibuat Destinasi Wisata Alam. Hasil jerih payah kelompok ini akhirnya berbuah manis, saat launching awal pada tahun 2017 dengan pembukaan wisata yang bisa dikatakan sukses dan bertahan sampai sekarang. Hasil analisis membuktikan bahwa sebab utama dalam mengelola objek wisata berasal dari masyarakat lokal dan pemerintah setempat (Nurlina dkk., 2022). Pembangunan wisata juga menurut (Bahiyah, C.dkk, 2018) bahwa pemerintah juga harus bersinergi dengan masyarakat lokal dalam hal ini, bisa mengoptimalkan anggaran guna memajukan wisata tersebut. Kunci suksesnya Objek Wisata Hutan Bambu adalah adanya sinergi antara masyarakat lokal dengan Pemerintah Desa Sumbermujur dalam membuka wisata alam di kawasan hutan bambu.
Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Mengelola Objek Wisata Hutan Bambu
Pembangunan Destinasi Wisata perlu melibatkan banyak komponen yang tergabung di dalamnya. Salah satu komponen terpenting dalam pembangunan Destinasi Wisata adalah dengan keterlibatan masyarakat lokal secara langsung dalam berpartisipasi untuk pembangunan tersebut. Bentuk dari partisipasi masyarakat saat mengelola objek wisata diantaranya adalah: (1) partisipasi pemikiran yang disampaikan partisipan dalam agenda musyawarah atau rapat rutinan, (2) partisipasi tenaga yang diberikan partisipan ketika dalam rangka kegiatan pembangunan, perbaikan desa dan pertolongan terhadap sesama(3) partisipasi harta benda yang diberikan orang dalam rangka perbaikan desa, pembangunan desa, pertolongan bagi orang lain yang berupa makanan, bahan material, uang dan lain sebagainya, (4) partisipasi keterampilan dan kemahiran, yang dihasilkan karya perorangan untuk menambah jenis bentuk usaha dan industri kreatif, atau memberikan keterampilan
kepada desa dan anggota masyarakat, (5) partisipasi sosial merupakan wujud dari manusia sebagai mahluk sosial yang melakukan aktivitas secara bersama-sama.
Berdasarkan data yang telah didapatkan oleh peneliti, sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini yakni mengenai bagaimana Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Mengelola Objek Wisata Hutan Bambu di Desa Sumbermujur Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang, yang akan diuraikan menurut indikator keberhasilan partisipasi masyarakat dalam mengelola objek wisata tersebut adalah seperti berikut ini :
Partisipasi Pemikiran
Partisipasi pemikiran dari masyarakat Desa Sumbermujur ini diikuti oleh berbagai perwakilan komponen yang ada di desa. Partisipasi pemikiran ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan Destinasi Wisata Hutan Bambu terbilang tinggi. Partisipasi pemikiran masyarakat Desa Sumbermujur ini dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan pembuatan wisata, tahap penyelenggaraan wisata sampai tahap evaluasi dari penyelenggaraan wisata tersebut. Pada tahap perencanaan, partisipasi pemikiran masyarakat Desa Sumbermujur mengenai sumbangsih ide tentang penataan objek wisata, pengelolaan area hutan bambu untuk wisata, anggaran untuk membangun Destinasi Wisata. Mengelola kawasan alam hutan bambu menjadi Destinasi Wisata membutuhkan kesepakatan masyarakat setempat, yang meliputi konsep maupun anggarannya. Misalkan dalam tahap perencanaan penataan lahan untuk Objek Wisata Hutan Bambu, perlu sumbangsih pemikiran mengenai lahan untuk parkiran, lahan untuk wahana wisata kolam renang, lahan untuk hutan bambu yang digunakan sebagai tujuan utamanya dan penataan-penataan yang lainnya. Sehingga dari semua ide dan pemikiran tadi yang sudah disampaikan dalam musyawarah, dapat diambil keputusan dan tidak berujung kepada konflik karena sudah musyawarah mufakat.
Pada saat objek wisata hutan bambu ini beroperasi, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Pokdarwis Sabuk Semeru terus berupaya melakukan komunikasi antara pengelola dengan masyarakat lokal. Hal ini bertujuan agar meminimalisir konflik yang terjadi antara masyarakat setempat dengan pengelola. Acara rapat rutinan Desa Sumbermujur ini diadakan sebulan sekali yang bertempat di Objek Wisata Hutan Bambu. Acara rapat rutin ini merupakan partisipasi pemikiran dan wujud keterlibatan masyarakat dalam proses penemuan masalah serta potensi yang ada di masyarakat, penentuan dan kesepakatan dalam memecahkan masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah dan partisipasi masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang sudah terjadi (Isbandi, 2007).
Partisipasi Tenaga
Partisipasi tenaga adalah partisipasi langsung dari masyarakat dalam kegiatannya yang dilakukan secara bersama-sama dan dilakukan secara langsung. Bentuk dari partisipasi tenaga ini dapat diketahui dari keaktifan masyarakat Desa Sumbermujur dalam mempersiapkan Objek Wisata Hutan Bambu. Dalam upaya membangun tempat wisata, perlu adanya partisipasi tenaga dari masyarakat terutama dalam hal pembangunan fisik. Pada partisipasi ini, masyarakat Desa Sumbermujur melakukan beberapa pembangunan fisik yang diantaranya berupa pembangunan gorong-gorong, pembangunan aliran sungai, membuat pondasi bangunan, membuat pagar, membuat area parkiran dan lain sebagainya.
Warga Desa Sumbermujur ikut serta memberikan partisipasi tenaganya dengan melakukan kegiatan gotong royong bersama sejak awal dikelolanya kawasan hutan bambu. Gotong royong ini berupa pembersihan kawasan hutan bambu dengan merapikan bambu yang sudah roboh dan penataan ulang bambu yang ada disekitar kawasan. Kerja bakti dilakukan oleh seluruh masyarakat Desa Sumbermujur yang terbagi menjadi tujuh dusun ini. Tujuh dusun ini diantaranya Dusun Krajan, Dusun Kebon Seket, Dusun Umbulsari, Dusun Umbulrejo, Dusun Wonorenggo, Dusun
Banjarejo, Dusun Sidorejo. Jadwal pelaksanaan kerja bakti ini dibuat seminggu satu kali, sehingga sesuai dengan jumlah dusun yang berada di Desa Sumbermujur yang berjumlah tujuh. Cara yang dilakukan untuk menarik masyarakat dalam mengelola kawasan hutan bambu menjadi objek wisata adalah dengan memberikan tanggung jawab kepada kepala dusun untuk mengajak warganya turut andil dalam pembangunan.
Wujud partisipasi tenaga ini dapat dibuktikan dengan adanya partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan sejak awal. Selain ikut berpartisipasi dalam kerja bakti masyarakat Desa Sumbermujur turut andil dalam mengelola Objek Wisata Hutan Bambu melalui Pokdarwis Sabuk Semeru. Pokdarwis Sabuk Semeru secara legal menjadi wadah bagi masyarakat Desa Sumbermujur untuk bisa mengelola Objek Wisata Hutan Bambu. Maka dari itu, apabila dihubungkan dengan teori partisipasi bentuk tenaga menurut pendapat (Huraerah, 2008) maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Sumbermujur sudah sukses dalam memanfaatkan potensi desa yaitu kawasan hutan bambu menjadi objek wisata yang memiliki dampak yang baik bagi masyarakat itu sendiri.
Partisipasi Harta Benda
Partisipasi harta benda adalah bentuk partisipasi dari masyarakat berupa bahan material, uang, makanan atau minuman, peralatan dan benda lainnya dalam hal ini bersifat kepemilikan pribadi yang secara sukarela diberikan dengan harapan bisa turut berpartisipasi dalam pembangunan. Masyarakat yang berprofesi sebagai pengusaha, pejabat, pegawai, petani yang memiliki lahan yang luas dimintai sumbangan berupa bahan baku material seperti satu truk pasir, semen sebanyak 50 sak, batako dan bahan material lainnya. Kemudian perangkat Desa Sumbermujur juga diwajibkan untuk bergiliran memberikan sumbangan berupa makanan dan minuman bagi masyarakat yang sedang bekerja untuk membangun Objek Wisata Hutan Bambu.
Partisipasi harta benda berupa bahan baku material, dana, makanan dan minuman yang berasal dari masyarakat Desa Sumbermujur ini merupakan wujud nyata keterlibatannya dalam proses pembangunan Objek Wisata Hutan Bambu. Dengan adanya sumbangan harta benda dari masyarakat asli Desa Sumbermujur, maka dapat dikatakan investor utamanya adalah seluruh masyarakat Desa Sumbermujur. Untuk itu saat sudah dilaksanakan pembukaan Objek Wisata Hutan Bambu, maka bagi seluruh masyarakat Desa Sumbermujur bebas untuk berwisata di daerah tersebut dan tidak dikenakan biaya apapun.
Oleh sebab itu, jika dihubungkan dengan teori partisipasi harta benda, proses pembangunan Objek Wisata Hutan Bambu ialah dengan cara memberikan berbagai bentuk kegiatan pembangunan ataupun perbaikan desa, pertolongan orang lain dan hal yang lain (Huraerah, 2008).
Partisipasi Keterampilan dan Kemahiran
Pembangunan Objek Wisata Hutan Bambu berawal dari hasil musyawarah masyarakat Desa Sumbermujur dan juga dari proses perencanaan dan master plan yang baik, dapat diketahui dari kemahiran dan keterampilan yang dimiliki masyarakat setempat. Pokdarwis Sabuk Semeru mengekspresikan kemahiran dan keterampilannya untuk mengisi sebagian wahana-wahana yang ada di kawasan hutan bambu. Meskipun hutan bambu sudah menarik karena memang kondisi alamnya, namun Pokdarwis Sabuk Semeru terus berinovasi agar dapat menambah wahana untuk menarik minat pengunjung seperti rumah pohon, spot fotp, kolam renang dan panggung budaya.
Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan di Objek Wisata Hutan Bambu, masyarakat Desa Sumbermujur yang tergabung dalam Pokdarwis Sabuk Semeru, benar-benar sangat memperhatikan kondisi wisata dengan penambahan wahana-wahana yang ada di dalamnya. Spot-spot foto yang Instagramable dan kekinian dapat menarik minat pengunjung untuk datang. Selain itu, di samping
menyediakan wahana bagi pengunjung, Pokdarwis Sabuk Semeru juga menyediakan beberapa produk asli dari Desa Sumbermujur dengan bahan dasar berupa bambu yang didapatkan dari kawasan hutan bambu. Bambu-bambu yang digunakan adalah yang sudah rusak atau mau mati sehingga daripada dibuang, lebih baik dimanfaatkan menjadi barang yang bermanfaat seperti gelas dan mangkok. Proses mengolah bambu menjadi produk kerajinan ini dilakukan melalui Bengkel Bambu Semeru (BBS) yang merupakan bentukan dari Pokdarwis Sabuk Semeru. Oleh sebab itu, Bengkel Bambu Semeru (BBS) hadir sebagai pusat pengolahan bambu yang tidak terpakai menjadi barang dengan nilai jual yang baik, seperti gelas, mangkok, wadah makanan dan barang lainnya.
Pengolahan bambu ini apabila dikaitkan dengan teori bentuk partisipasi kemahiran dan keterampilan yang diberikan orang untuk mendorong beragam bentuk usaha dan industri kreatif (Huraerah: 2008) dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Sumbermujur melalui Pokdarwis Sabuk Semeru turut aktif dalam pengelolaan Objek Wisata Hutan Bambu demi mendukung keindahan desanya sendiri. Bentuk partisipasi kemahiran dan keterampilannya adalah melalui pembentukan Bengkel Bambu Semeru (BBS) yang merupakan pusat pengolahan bahan baku bambu mentah, menjadi barang-barang kerajinan yang unik dan khas serta memiliki nilai jual guna meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Sumbermujur.
Partisipasi Sosial
Masyarakat Desa Sumbermujur setiap tahun menyelenggarakan kegiatan sosial budaya, yang diselenggarakan di dalam kawasan Hutan Bambu. Kegiatan sosial budaya itu sangat menarik dan dinanti-nanti oleh masyarakat Desa Sumbermujur. Kegiatan sosial budaya tersebut adalah acara Grebek Suro yang di dalamnya ada ritual Nyadran. Tradisi Nyadran ini juga turut memicu adanya partisipasi sosial dari masyarakat Desa Sumbermujur untuk berpartisipasi aktif
dalam kegiatannya. Ada sesuatu yang menarik dalam tradisi ini, pernyataan dari Bapak Kepala Desa Sumbermujur mengenai acara Grebek Suro adalah penanaman kepala sapi di sekitar sumber mata air, dengan tujuan kelestarian Hutan Bambu dan sumber mata air tetap terjaga.
Prosesi acara Grebek Suro ini merupakan wujud dari partisipasi sosial yang ditandai dengan guyubnya masyarakat saat acara berlangsung. Hal ini sesuai dengan teori (Huraerah, 2008) yang mana partisipasi sosial merupakan bentuk yang diberikan perorangan sebagai tanda keguyuban saat berlangsungnya kegiatan masyarakat seperti sedekah bumi, layad (dalam peristiwa kematian) dan Kondangan (dalam peristiwa pernikahan).
Pada point ini, partisipasi sosial bisa dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk rasa kekeluargaan dan kerukunan yang dapat melahirkan rasa sosial, simpati dan empati yang tinggi antar masyarakat dalam pengelolaan wisata (Bobsuni dan Ma’aruf, 2020). Partisipasi masyarakat Desa Sumbermujur dalam mengelola Objek Wisata Hutan Bambu memiliki tujuan guna meningkatkan kesejahteraan hidup bagi masyarakat, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memfungsikan alam menjadi lebih bermanfaat dan juga bisa meningkatkan perekonomian.
Dampak Pengelolaan Objek Wisata Hutan Bambu Terhadap Kondisi Perekonomian Masyarakat Desa Sumbermujur
Pada awalnya masyarakat Desa Sumbermujur mayoritas bekerja sebagai petani atau bahkan sebagai buruh tani, yang mana penghasilan mereka hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah adanya pembukaan Objek Wisata Hutan Bambu, maka ada perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi ini membawa dampak positif bagi masyarakat Desa Sumbermujur. Wujud dari perubahan tersebut ditandai dengan semakin banyaknya masyarakat Desa Sumbermujur yang bekerja dan berdagang di sekitar Objek Wisata Hutan Bambu. Hal ini, tentu dampak dari
adanya pembukaan pariwisata sehingga mendatangkan keramaian dan disitu ada peluang usaha yang bisa dimanfaatkan.
Adanya Objek Wisata Hutan Bambu di Desa Sumbermujur selain dapat memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat secara langsung, juga meningkatkan pendapat asli daerah. Penambahan lapangan kerja memberikan dampak positif terhadap pengurangan angka kriminalitas dan pengangguran yang terjadi, karena melibatkan pemuda dan masyarakat yang tidak bekerja. Selain hal di atas, masih ada beberapa dampak ekonomi yang dapat dirasakan oleh masyarakat dari adanya kegiatan pengelolaan Objek Wisata Hutan Bambu yang diantaranya sebagai berikut:
Pembukaan Lapangan Kerja Baru bagi Masyarakat
Semenjak dikelolanya kawasan hutan bambu dan ada penambahan fungsi menjadi objek wisata, menyebabkan sedikit demi sedikit kondisi perekonomian masyarakat Desa Sumbermujur mulai terangkat. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang ditemukan oleh peneliti pada saat mengunjungi tempat tersebut. Ada banyak aktivitas perekonomian yang dijalankan oleh masyarakat Desa Sumbermujur seperti, membuka warung-warung, berdagang, berjualan hasil bumi desa dan ada yang menjadi tour gate jika ada lembaga sekolah atau lembaga pemerintahan yang berwisata sampai lebih dari satu hari. Terlebih lagi ada bantuan yang datang dari luar untuk meningkatkan sarana prasarana Objek Wisata Hutan Bambu, terutama di bagian kolam renang. Bantuan tersebut berupa pembangunan sarana warung-warung untuk berjualan di sekitar kolam renang dengan jumlah sebanyak 11 unit yang didapatkan dari Corporate Social Responsibility (CSR) yang diperoleh dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ibu Kasimah salah satu warga yang beralih profesi dari buruh tani menjadi pemilik warung dengan pendapatan dua kali lebih tinggi dari sebelumnya. Peningkatan ini karena beliau beralih profesi menjadi pemilik warung
yang ada di sekitar objek wisata, yang juga bangunan warung tersebut merupakan bantuan dari Bank BRI.
Fakta di atas membuktikan bahwa dengan adanya kegiatan pariwisata bisa menambah peningkatan kesejahteraan hidup bagi masyarakat, dan dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat serta meningkatkan dalam bidang perekonomian. Pembangunan sarana dan prasarana demi mengembangkan kawasan wisata, jelas akan menambah peminat pengunjung serta dapat meningkatkan kegiatan perekonomian (Yoeti, 1996).
Peningkatan Hasil Penjualan Pertanian dan Peternakan
Hasil bumi berupa pertanian dan peternakan yang ada di Desa Sumbermujur dulu sebelum ada Objek Wisata Hutan Bambu langsung disetor ke tengkulak atau dijual kepada pedagang di pasar tradisional, sehingga harga yang didapatkan sangat murah. Akan tetapi sejak adanya Objek Wisata Hutan Bambu yang mana mendatangkan banyak pengunjung atau orang luar hadir di Desa Sumbermujur, ini merupakan peluang untuk dipasarkan disitu. Lokasi penjualan hasil bumi tersebut adalah di sepanjang akses jalan menuju kawasan hutan bambu. Mereka dapat menjual hasil bumi tersebut, sekaligus menaikkan harganya, karena dijual langsung kepada konsumen bukan melalui tengkulak yang ambilnya lebih murah. Seperti harga sayur terong ungu dari harga Rp.3.000 per kg menjadi Rp.6.000 per kg, harga cabai rawit dari Rp. 10.000 per kg menjadi Rp. 25.000 per kg, harga tomat dari Rp. 2.000 per kg menjadi Rp. 5.000 per kg dan masih banyak lagi yang lain.
Dampak dari adanya pariwisata dalam bidang ekonomi ini, juga dapat meningkatkan hasil pertanian dan peternakan. Hal ini disebabkan karena adanya pariwisata terutama dalam hal ini adalah Objek Wisata Hutan Bambu akan menimbulkan pusat keramaian yang disitu bisa dimanfaatkan untuk berdagang ataupun berjualan. Karena pada dasarnya, dimana ada pusat keramaian disitu pasti ada kebutuhan dengan jumlah yang besar, hal inilah yang menyebabkan peningkatan
hasil pertanian dan pertanian di Desa Sumbermujur semakin meningkat. Sehingga, para petani dan para peternakan akan meningkat pendapatan mereka dari hasil berjualan dan berdagang hasil bumi di sekitar objek wisata (Riyani, 2018).
Perluasan Beragam Dunia Usaha
Pengelolaan Objek Wisata Hutan Bambu dalam menjalankan kegiatan wisatanya, tentu membutuhkan banyak sekali sumber tenaga. Terlebih jika pada akhir pekan atau pada saat hari libur, tentu kawasan wisata menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Kesempatan ini merupakan peluang bagi Pokdarwis Sabuk Semeru untuk memberdayakan pemuda-pemudi dan masyarakat Desa Sumbermujur yang tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran serta mengurangi angka kriminalitas. Terdapat beberapa posisi yang bisa di tempati seperti pertugas keamanan, petugas parkir, petugas kebersihan dan keindahan, petugas loket pintu masuk dan tour gate. Petugas ini digaji sesuai dengan penerimaan tiket masuk ke dalam Objek Wisata Hutan Bambu.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, menunjukkan bahwa pariwisata dapat mempengaruhi kondisi perekonomian di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro. Disamping dapat memberikan manfaat terhadap daerah berupa pendapatan asli daerah (PAD), pariwisata juga dapat menciptakan lapangan kerja yang baru. Peningkatan lapangan kerja ini dapat memberikan dampak positif terhadap pengurangan angka kemiskinan, kriminalitas dan pengangguran (Yoeti, 1996).
Kesimpulan
Kawasan alam hutan bambu yang berlokasi di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang adalah kawasan hutan konservasi yang patut dijaga dan dirawat kelestariannya. Diperkirakan bahwa keberadaan hutan bambu ini sudah diketahui sejak tahun 1930-an sebelum Negara Indonesia Merdeka. Karena terjadi
kerusakan yang sangat parah di tahun 1970-an dan berdampak pada jumlah debit air yang keluar, maka dilakukan upaya konservasi lingkungan untuk pengembalian fungsi hutan. Berkat upaya konservasi lingkungan yang mendapatkan penghargaan nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masyarakat Desa Sumbermujur memiliki keinginan agar hutan bambu ini dapat dijadikan sebagai objek wisata. Keinginan ini bisa terwujud saat dikeluarkannya Peraturan Bupati Nomor 79 Tahun 2014 tentang “ Destinasi Wisata Satu Kecamatan Satu Desa Wisata Di Kabupaten Lumajang ” yang dalam isinya mewajibkan pembentukan pokdarwis dan objek wisata yang kemudian hutan bambu dijadikan sebagai objek wisata utamanya. Pembangunan dan pengelolaan Objek Wisata Hutan Bambu di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro dikerjakan secara bergotong royong antara Pemerintah Desa Sumbermujur dan masyarakat yang tergabung dalam Pokdarwus Sabuk Semeru yang meliputi partisipasinya dalam bentuk pikiran, partisipasi tenaga, partisipasi harta benda, partisipasi keterampilan dan partisipasi sosial. Hasil dari kerja keras tersebut membuahkan hasil yang maksimal, yang mana Kawasan Objek Wisata Hutan Bambu sudah resmi beroperasi di tahun 2017 dan selalu ramai didatangi pengunjung saat liburan tiba serta akhir pekan.
Pengelolaan hutan bambu membawa dampak ekonomi yang luar biasa, khususnya bagi masyarakat Desa Sumbermujur. Masyarakat Desa Sumbermujur yang pada awalnya banyak yang menjadi buruh tani, kini bisa beralih profesi dengan membuka usaha warung di sekitar Objek Wisata Hutan Bambu dan meningkatkan pendapatan mereka. Selain itu para petani ketika menjual hasil panennya langsung ke tengkulak, sekarang dapat juga memasarkan langsung di sekitar Objek Wisata Hutan Bambu dengan harga jual yang bisa di tingkatkan Melihat potensi wisata yang ada di Objek Wisara Hutan Bambu sudah sangat baik dan selalu ramai didatangi oleh wisatawan, maka dari itu hasil yang manis ini harus terus ditingkatkan dan dikembangkan agar dapat meingkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Desa
Sumbermujur dan menjadi icon wisata yang terkenal di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang.
Ucapan Terima Kasih
Saya ucapkan terima kasih pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang yang telah menjadi tempat saya untuk belajar dan berproses menjadi mahasiswa yang luar biasa dan Jurnal Master Pariwisata (JUMPA) yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk bisa mempublikasikan artikelnya.
Daftar Pustaka
Anggito.,dkk. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi: CV Jejak.
Arifin, Zainal. 2011. Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda.
Bobsuni dan Ma’aruf. 2021. Partisipasi Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Objek Wisata Alam (Studi Kasus Wisata Bukit Kapur Setigi, Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik). Jurnal Publika, (Online)Volume 9 Nomor 2 Tahun 2021, 215 226,
(https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/publika/article/ view/38254), diakses 10 Juni 2022.
Bahiyah, C., Riyanto, W. H., dan Sudarti, S. 2018. Strategi Pengembangan Potensi Pariwisata di Pantai Duta Kabupaten Probolinggo. Jurnal Ilmu Ekonomi, (Online) 2(1), 95-103. Retrieved from
http://202.52.52.22/index.php/jie/article/view/6970
Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif (dasar-dasar dan aplikasi). Malang: Ya3 Malang.
Huberman, A. Michael. dan Miles, Matthew B. 1992. Analisis data kualitatif Terj. Tjejep Rohidi. Jakarta: UI Press.
Huraerah. 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Lokal dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung: Humaniora.
Huraerah, Abu. 2011. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat: Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung: Humaniora.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11. Sekretariat Negara. Jakarta.
Isbandi, Rekminto Adi. 2007. Perencanaan Partisipsi Berbasis Aset Komoditis, dari pemikiran meneuju penerapan. Depok : FISIP UI Press.
Mirzaqon, Abdi. 2018. Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori Dan Praktik Konseling Expressive Writing Library. Jurnal BK UNESA (1): (hlm 1–8).
Moleong, Lexy J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurlina, N., Pratama, Y. S., dan Andiny, P. 2022. Strategi Pengembangan Industri Pariwisata (Studi Kasus Objek Wisata Pulau Rukui Kabupaten Aceh Tamiang). Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis. (Online) Volume 13, Nomor 1, Januari 2022 13(1), 1-14. doi: 10.33059/jseb.v13i1.3195.
Kabupaten Lumajang. 2014. Peraturan Bupati Lumajang Nomor 79 Tahun 2014 tentang Destinasi Wisata Satu Kecamatan Satu Desa Wisata Di Kabupaten Lumajang, (Online),
(https://disparbud.lumajangkab.go.id/uploads/ppid/PERBUP-NO-79-TAHUN-2014pdf1526958956.pdf), diakses 15 Juni 2022.
Ragil dan Rif,an. 2019. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Pariwisata Pantai Parangtritis. Jurnal Reka Ruang, (Online) Vol.2, No.2, 2019, Hal 63-74,
(https://journal.itny.ac.id/index.php/rekaruang/index), diakses 20 Juni 2022.
Roeslani, Rosan P. 2018. Sektor Pariwisata Bisa Jadi Ujung Tombak Ekonomi RI. (Online), (https://www.liputan6.com/bisnis/read/3653734/sektor-pariwisata-bisa-jadi-ujung-tombak-ekonomi-ri), diakses 13 Juni 2022.
Ridwan, Mohamad. 2012. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Medan: PT Sofmedia.
Riyani, Eko. 2018. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Obyek Wisata Alam Air Terjun Jumog Dan Dampak Terhadap Kondisi Ekonomi Masyarakat (Studi Di Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Saputra, Anugrah. 2018. Menapaki Kembali Sejarah dan Gerakan Isu Romusha di Indonesia. Jurnal Renaissance, (Online) | Volume 3 No. 02 | Agustus 2018, hlm:
419-432, (http://www.ejournal-academia.org/index.php/renaissance), diakses 02 Juli 2022.
Soetopo, Aliefin. 2011. Mengenal Lebih Dekat:Wisata Alam Indonesia. Jakarta:Pacu Minat Baca.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta CV.
Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta:Penerbit Andi.
Umrati., & Wijaya, Hengki. 2020. Analisis Data Kualitatif. Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Profil Penulis
Dickky Divani Tri Yudistira adalah mahasiswa Departemen Hukum dan Kewarganegaraan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Dickky Divani merupakan seorang Duta Anti Narkoba Kabupaten Lumajang dan founder dari media sekolah di Kabupaten Lumajang yaitu Murid Lumajang. Berangkat dari proses karantina Duta Anti Narkoba yang bertempat di Objek Wisata Hutan Bambu, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro membuat Dickky tertarik untuk meneliti objek wisata tersebut kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam mengelolanya.
Drs.Margono,M.Pd, M.Si merupakan dosen di Departemen Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Margono aktif mengajar di Departemen Hukum dan Kewarganegaraan terutama dalam fokus moral Pancasila dan mengajar di Program Pendidikan Profesi Guru untuk membentuk guru yang profesional.
Abd Mu’id Aris Shofa, S.Pd, M.Sc merupakan dosen di Departemen Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Shofa merupakan dosen kelahiran Banyuwangi yang saat ini menjabat sebagai sekretaris Departemen Hukum dan Kewarganegaraan. Shofa juga aktif mengajar dan melakukan penelitian di bidang keilmuan Pancasila dan Kewarganegaraan.
JUMPA Volume 10, Nomor 1, Juli 2023
51
Discussion and feedback