PENGEMBANGAN DESA WISATA BERBASIS DAYA TARIK WISATA PETUALANGAN PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI BALI

Dewa Putu Oka Prasiasa

Prodi S1 Manajemen Universitas Dhyana Pura Bali

Email: [email protected]

ABSTRACT

This study examines the strengths, weaknesses, opportunities and challenges of tourist villages in Bali; find important criteria in the development of tourist villages in Bali; and formulate strategic priorities for the development of tourist villages in Bali that offer adventure tourism attractions during the Covid-19 Pandemic. As a qualitative study, data analysis was carried out using SWOT, AHP, and a combination of SWOT and AHP. This study found that tourist villages with adventure tourism attractions during the Covid-19 Pandemic in Bali had strengths: variations in tourist attractions, community readiness to accept tourists during the Covid-19 Pandemic, people were easy to adapt, the implementation of health protocols was understood by the community; Weaknesses: public transportation to tourist villages, access is not well organized, tourist attractions are relatively the same; opportunities: potential to attract tourists, nature and culture support the development of tourist villages; and threats: digital technology in marketing tourism village products has not been evenly distributed, the entry of foreign investors into tourist villages. Three important criteria in the development of tourist villages during the Covid-19 Pandemic in Bali: concern for CHSE (score 0.351), security guarantees (score 0.34), and ease of CHSE facilities (score 0.329). Meanwhile, three strategic priorities need to be implemented: healthy tourism (score 0.89), sports tourism (score 0.67) and environmentally friendly tourism (score 0.58).

Keywords: tourism village; adventure tourism; tourist attraction; covid-19 pandemic.

Pendahuluan

Kemampuan sumber daya manusia serta kerjasama antar pemangku kepentingan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun dan mengembangkan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan. Menurut

Paristha dkk. (2022) kontribusi para pemangku kepentingan (stakeholders) diperlukan karena dapat membantu desa dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi serta mempercepat laju pengembangan desa wisata karena setiap stakeholders bekerja sesuai peran dan fungsinya masing-masing.

Selain itu kemampuan sumber daya manusia juga akan ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam membangun dan mengembangkan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan serta dukungan kearifan lokal (local wisdom). Menurut Hermawan (2016) pengembangan desa wisata dengan dukungan kearifan lokal, akan menghasilkan produk wisata yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat, kepedulian terhadap lingkungan, serta timbulnya kebanggaan masyarakat desa terhadap kepemilikan identitas budaya. Lebih lanjut menurut Prasiasa dan Widari (2017) dalam pengembangan sumber daya manusia di desa wisata, apapun bentuk pengelolaannya adalah merupakan sistem yang lahir dari interaksi terus menerus antara permintaan, penawaran, budaya dan lingkungan yang ada di desa wisata.

Seiring dengan perkembangan pariwisata global, berbagai konsep terkait pariwisata terus berkembang. Konsep-konsep tersebut antara lain pembangunan pariwisata berkelanjutan, pariwisata pedesaan, pariwisata hijau, ekowisata, dan geowisata. Perkembangan konsep-konsep global dalam perkembangan pariwisata, mendorong lahirnya produk-produk wisata yang semakin variatif dan adaptif, sehingga memicu terjadinya pergeseran permintaan wisatawan terhadap produk wisata. Salah satu produk wisata yang terus dikembangkan di Indonesia pada umumnya dan secara khusus di Bali, termasuk di masa Pandemi Covid-19 ini adalah desa wisata yang merupakan salah satu bentuk wisata alternatif. Pengembangan desa wisata antara lain bertujuan membangun kawasan pedesaan yang berkelanjutan dengan dukungan kearifan lokal untuk mngembangkan budaya serta meningkatkan ekonomi masyarakat desa.

Desa wisata menawarkan produk wisata yang ada di kawasan pedesaan, termasuk masyarakat dengan berbagai kearifan lokal, tradisi dan budayanya. Produk wisata yang ada di desa wisata antara lain makanan khas desa, kesenian tradisional, sistem pertanian, sistem sosial masyarakat desa, arsitektur bangunan tradisional serta suasana kehidupan keseharian masyarakat desa. Menurut Yoeti (2006) faktor pendukung lainnya seperti alam, budaya dan lingkungan yang masih asli (authenticity) dan terjaga dengan baik juga sangat penting bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah desa wisata. Selain itu menurut Adipati dkk. (2022) terdapat tiga manfaat yang mempengaruhi keunikan dan otentisitas yaitu budaya, lingkungan, dan ekonomi.

Desa wisata yang menawarkan daya tarik wisata petualangan di Bali memiliki karakteristik yang sangat bervariasi. Akibat adanya berbagai variasi dalam karateristik daya tarik wisata di desa wisata, telah mampu mengarahkan masyarakat desa untuk mengambil peran dalam pengembangan desanya sebagai desa wisata. Untuk itu, menurut Mutana dan Mukwada (2018) yang perlu mendapat perhatian dari masyarakat di desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan adalah bahwa wisatawan petualangan memiliki ketertarikan untuk menikmati alam yang masih asli dan budaya yang khas serta unik.

Dalam pengembangan desa menjadi desa wisata, berbagai kendala dapat terjadi sehingga pengembangan desa wisata tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan baik. Kendala yang sering terjadi dalam pengembangan desa menjadi desa wisata di Bali adalah peran kearifan lokal desa setempat dalam mendukung keberlanjutan budaya dan lingkungan. Dalam konteks ini keberlanjutan dimaknai sebagai pemanfaatan sumber daya budaya dan sumber daya alam sebagai daya tarik dan ikon dari desa wisata, dan diharapkan mampu memberi dampak positif bagi tumbuh dan berkembangnya budaya dan perekonomian masyarakat desa. Selain kendala peran kearifan lokal desa setempat dalam mendukung keberlanjutan budaya dan lingkungan, program pemerintah dalam pengembangan desa wisata (kategori

rintisan, kategori berkembang, kategori maju, dan kategori mandiri) juga menghadapi kendala. Kendala tersebut berupa adanya sebagian masyarakat yang belum sepenuhnya sejalan dengan pengembangan desanya menjadi desa wisata, diakibatkan oleh terbangunnya pemahaman yang salah dalam memahami pengembangan desa wisata. Selain itu faktor permodalan, keterampilan maupun pengetahuan kewirausahaan dalam mengembangkan dan mengemas daya tarik wisata dan atraksi wisata menjadi produk wisata dari desa wisata juga menjadi kendala, termasuk di dalamnya digitalisasi pemasaran terhadap produk-produk di desa wisata.

Berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan desa wisata dengan menawarkan daya tarik wisata petualangan di Bali, maka penelitian ini perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dari desa-desa wisata di Bali yang menawarkan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19; menemukan kriteria penting dalam pengembangan desa wisata di Bali yang menawarkan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19; dan merumuskan prioritas strategi pada pengembangan desa wisata di Bali yang menawarkan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19.

Tinjauan Pustaka

Desa Wisata

Desa wisata dikenal juga dengan istilah village tourism, rural tourism, farm tourism, atau agro tourism (Leu, 1992; Dolor dkk., 1995; Iakovidou, 1995; Oppermann, 1996; Dowling, 1996). Sedangkan desa wisata di Indonesia merupakan keterpaduan dari atraksi, akomodasi, serta fasilitas pendukung yang tersaji dan menyatu dengan struktur kehidupan, tata cara, dan tradisi (Nuryanti, 1993). Penetapan sebuah desa sebagai desa wisata antara lain karena memiliki daya tarik wisata, atraksi wisata, mudah dijangkau, terdapat sarana pariwisata, dan adanya kelembagaan dalam

pengelolaan desa wisata. Selain itu faktor keamanan dan dukungan masyarakat serta aparat desa juga sangat diperlukan dalam pengembangan desa wisata.

Mengacu pada studi United Nation Development Program (UNDP) dan World Tourism Organization (WTO) tahun 1981, terdapat tiga pendekatan dalam pengembangan desa wisata yaitu interaksi tidak langsung, interaksi setengah langsung, dan interaksi langsung. Studi ini menekankan pentingnya cerminan suasana desa dalam pengembangan desa wisata. Untuk itulah daya tarik wisata di desa wisata ditujukan pada pengembangan budaya dan kearifan lokal serta konservasi alam desa. Berdasarkan potensi desa, beragam atraksi dapat dikembangkan yaitu aktivitas persawahladangan, kesenian tradisional, permainan tradisional, arsitektur tradisional, serta budaya lokal. Jika ini terjadi, maka pengembangan desa wisata akan dapat lebih mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh sebuah desa. Fasilitas wisata yang disediakan juga harus menampilkan potensi dan karakter desa. Desa dengan segala potensinya bukan saja dijadikan daya tarik wisata, akan tetapi keunikan serta keaslian yang berkaitan dengan cara hidup masyarakat desa perlu disajikan tanpa bersifat komodifikasi. Dengan demikian diharapkan masyarakat desa dapat semakin berperan aktif dalam menjaga keharmonisan serta keberlanjutan desanya sebagai desa wisata. Menurut Seliari dan Ikaputra (2021) keberlanjutan tersebut merupakan keberlanjutan sebagai sebuah bentuk pariwisata yang berbasis ekologi.

Pariwisata Petualangan

Aktivitas berwisata yang mengandung resiko menantang sering kali menarik perhatian wisatawan dengan motivasi petualangan, dan menjadi salah satu faktor pendorong tumbuh dan berkembangnya penawaran produk wisata petualangan di desa wisata. Pariwisata petualangan sebagian besar mengandalkan alam sebagai daya tarik wisatanya, merupakan salah satu bentuk pembangunan kepariwisataan berkelanjutan yaitu kepariwisataan yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial,

dan lingkungan saat ini dan masa yang akan datang; serta memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat setempat. Menurut Kemenparekraf (2018) daya tarik wisata petualangan adalah keanekaragaman kekayaan alam dan budaya yang kondisinya mengandung risiko dan membutuhkan keterampilan khusus dan tenaga fisik, yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sedangkan wisata petualangan adalah kegiatan wisata yang melibatkan eksplorasi atau perjalanan yang mengandung risiko, membutuhkan keterampilan dan peralatan khusus serta interaksi aktivitas fisik dengan alam dan atau dengan budaya.

Mengacu pada batasan daya tarik wisata petualangan dan wisata petualangan tersebut, maka desa wisata (khususnya desa wisata di Bali) sangatlah tepat menawarkan daya tarik wisata petualangan. Hal ini karena selain memiliki keindahan alam, desa-desa wisata di Bali juga memiliki daya tarik budaya serta kearifan lokal. Budaya dan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di desa wisata, dapat dijadikan pondasi dalam rangka menjadikan wisata petualangan di desa wisata sebagai salah bentuk pariwisata berkelanjutan.

Lebih lanjut menurut Asosiasi Pariwisata Petualangan Dunia (Adventure Travel Trade Association) dalam Kemenparekraf (2018) bahwa pariwisata petualangan setidaknya mengandung dua dari tiga unsur berikut: aktivitas fisik, pertukaran budaya, dan interaksi dengan lingkungan. Khusus untuk di Indonesia, pariwisata petualangan dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu Pariwisata Petualangan Nusa (darat), Pariwisata Petualangan Tirta (danau, sungai dan laut), dan Pariwisata Petualangan Dirgantara (udara). Masing-masing kategori memiliki berbagai jenis atraksi wisata petualangan, dimana jenis atraksi ini dapat terus berkembang sesuai dengan kreatifitas dan inovasi yang dilakukan para penggiat kegiatan pariwisata petualangan.

Covid-19

Salah satu virus yang mulai menyebar di Indonesia pada Maret 2020 adalah Corona Virus atau Covid-19. Promkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2021 menyatakan bahwa Corona Virus dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia dan hewan. Jika manusia terjangkit Covid-19, dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada saluran pernapasan, dengan gejala mulai flu yang terlihat biasa-biasa saja hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Corona Virus jenis baru ditemukan di Wuhan Cina pada Desember 2019, kemudian diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2) merupakan penyebab penyakit Corona Virus Disease-2019 (Covid-19). Angka kematian yang disebabkan oleh SARS mencapai 9,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan kematian yang disebabkan oleh Covid-19 yang kurang dari 5%.

Lebih lanjut menurut Promkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2021 menyebutkan jika ditemukan orang yang dalam kurun waktu 14 hari sebelum muncul gejala tersebut pernah melakukan perjalanan ke negara terjangkit, atau pernah merawat atau kontak erat dengan penderita Covid-19, maka orang tersebut perlu melakukan pemeriksaan laboratorium guna memperoleh kepastian akan diagnosisnya. Covid-19 ditandai dengan gejala ringan seperti pilek, sakit tenggorokan, batuk, dan demam. Ditemukan sekitar 80% kasus Covid-19 dapat dipulihkan dengan tanpa perawatan khusus, serta 1 dari setiap 6 orang kemungkinan akan menderita sakit yang lebih parah dengan penyertaan kesulitan bernafas (pneumonia) yang timbulnya secara bertahap. Meskipun tingkat kematian penyakit ini tergolong masih rendah (sekitar 3%), namun bagi orang-orang yang tergolong pada usia lanjut, serta orang-orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya atau komorbit (seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung), mereka beresiko lebih besar untuk menderita sakit lebih parah.

Penelitian Terdahulu

Penelitian yang mengkaji desa wisata dalam konteks wisata petualangan telah dilakukan oleh Sung (2004) dan Yetim (2017). Selain itu terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bashar dan Ajloni (2012); Chiu dkk., 2016; Rajaratman dan Nair (2015); Chang dan Tsai (2016); dan Akhoonndnejad (2016).

Sung (2004) dalam penelitiannya memfokuskan pada perilaku wisatawan yang berwisata petualangan, klasifikasi wisatawan petualangan, proses pengambilan keputusan dalam berwisata petualangan serta persepsi wisatawan terhadap wisata petualangan. Analisis dilakukan terhadap 6 faktor yang menjadi penyebab pemilihan wisata petualangan yaitu ketertarikan umum, biaya, ketertarikan antara, keindahan alam yang baik, liburan keluarga, serta kehidupan yang aktif. Penelitian ini menemukan bahwa persiapan sangat diperlukan dalam wisata petualangan serta strategi yang efektif dalam merebut pasar wisatawan petualangan belum diketahui. Namun demikian, persepsi wisatawan akan sangat menentukan keberlanjutan wisata petualangan.

Selain itu menurut Yetim (2017) dalam penelitiannya menemukan bahwa wisata petualangan membantu liburan di destinasi wisata serta dapat menjadi atraksi pariwisata berkelanjutan. Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa untuk memperoleh manfaat dari wisata petualangan, maka manajemen persiapan yang baik sangat diperlukan oleh wisatawan petualangan. Selain persiapan, untuk menjadikan wisata petualangan sebagai upaya aktualisasi diri, maka dukungan budaya dan lingkungan secara optimal sangat diperlukan.

Penelitian yang mengkaji motivasi wisatawan asing berwisata ke situs pedesaan di Petra, Yordania dilakukan oleh Bashar dan Ajloni (2012). Penelitian ini menemukan bahwa wisatawan berkunjung ke pedesaan karena daya tarik utama berupa fasilitas lingkungan dan budaya. Untuk itu direkomendasikan perlunya revitalisasi program serta strategi untuk memberikan pengalaman tentang

lingkungan dan budaya kepada wisatawan serta meningkatkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat pedesaan.

Chiu dkk. (2016) meneliti image dan image destinasi serta pengaruhnya terhadap loyalitas dan kepuasan wisatawan. Penelitian ini menemukan bahwa image afektif dipengaruhi oleh image kognitif dan mengkonfirmasi proses pembentukan image terhadap destinasi. Meskipun tidak ada hubungan langsung antara loyalitas wisatawan dengan image kognitif, namun ditemukan image kognitif tidak langsung mempengaruhi loyalitas wisatawan.

Penelitian mengenai pengaruh kualitas destinasi terhadap perilaku wisatawan diteliti oleh Rajaratman dan Nair (2015). Hasil penelitian ini mengungkap sedikitnya terdapat delapan atribut utama yang mempengaruhi kualitas destinasi yaitu fasilitas, aksessibilitas, logistik, pengalaman, kebersihan, informasi, keamanan, dan keramahan.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Chang dan Tsai (2016) menganalisis faktor utama yang mempengaruhi daya tarik wisata, pengaruh festival terhadap daya tarik wisata, serta fungsi dan kegiatan festival yang memberikan pengalaman baru bagi wisatawan. Penelitian ini menemukan faktor utama yang mempengaruhi daya tarik wisata adalah implikasi dan integrasi budaya yang membentuk pengalaman baru.

Akhoondnejad (2016) dalam penelitiannya tentang Tourist Loyalty to a Local Cultural Event: the Case of Turkmen Handicrafts Festival, menganalisis loyalitas wisatawan pada kehadirannya di festival lokal. Penelitian ini menemukan bahwa autensitas mempengaruhi persepsi terhadap kualitas, nilai, dan kepuasan terhadap destinasi pariwisata.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma positivisme. Informan penelitian ditentukan dengan cara purposive, berjumlah 10 orang yang

merupakan Ketua Pengelola dari 10 desa wisata di Bali atau 10% dari 100 desa wisata yang dikembangkan di Bali Tahun 2013-2018. Menurut Bungin (2006: 67) bahwa dalam penelitian sosial besarnya sampel yang diambil dari populasi tidak boleh kurang (paling tidak) 10% dari populasi. Sedangkan menurut Mukhtar (2013: 93) apabila sampel berkarakter homogen, maka sampel yang ditetapkan tidak perlu besar cukup 5% dari populasi. Ini berarti pengambilan informan sejumlah 10 orang tersebut sudah sejalan dengan Bungin (2006: 67) dan Mukhtar (2013: 93). Kesepuluh Ketua Pengelola Desa Wisata yang ditentukan sebagai informan berasal dari Desa Wisata Batuagung (Jembrana), Desa Wisata Pangsan (Badung), Desa Wisata Suter (Bangli), Desa Wisata Terunyan (Bangli), Desa Wisata Tua (Tabanan), Desa Wisata Antapan (Tabanan), Desa Wisata Baha (Badung), Desa Wisata Sangsit (Buleleng), Desa Wisata Bakas (Klungkung), dan Desa Wisata Timbrah (Karangasem).

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan diambilnya 10 desa wisata tersebut sebagai lokasi penelitian karena kepemilikan daya tarik wisata petualangan, baik berupa hutan, pegunungan, sungai, sawah ladang, tebing, gua, ataupun daya tarik wisata petualangan lainnya.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara, dan studi dokumen. Observasi dilakukan untuk mengamati pengembangan desa wisata berbasis daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19. Wawancara kepada informan dilakukan untuk memperoleh data terkait pengembangan desa wisata, kriteria penting dalam pengembangan desa wisata, serta penentuan prioritas strategi dalam pengembangan desa wisata. Sedangkan penggunaan studi dokumen bertujuan untuk menemukan teori, konsep dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan untuk menganalisis permasalahan penelitian.

Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan SWOT, AHP (Analytic Hierarchy Process), dan kombinasi SWOT dengan AHP. Analisis SWOT dipergunakan untuk menemukan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari desa-desa wisata di Bali yang menawarkan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19;

analisis AHP dipergunakan untuk menemukan kriteria penting dalam pengembangan desa wisata di Bali yang menawarkan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19; serta kombinasi SWOT dan AHP digunakan untuk merumuskan prioritas strategi pada pengembangan desa wisata di Bali yang menawarkan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19.

Hasil dan Pembahasan

SWOT Desa Wisata di Bali Dengan Daya Tarik Wisata Petualangan di Masa Pandemi Covid-19

Desa wisata merupakan area atau wilayah di desa yang menawarkan berbagai daya tarik wisata dan aktivitas yang berbeda dengan aktivitas keseharian dan lingkungan tempat tinggal wisatawan. Meskipun wisatawan hanya singgah dalam waktu yang singkat, namun diharapkan kunjungan wisatawan ke desa wisata di Bali yang menawarkan daya tarik wisata petualangan mampu memberikan pengalaman baru yang berbeda serta mendapat pelayanan yang baik dan ramah. Hal ini sejalan dengan Bashar dan Ajloni (2012) bahwa memberikan pengalaman tentang lingkungan dan budaya kepada wisatawan dapat meningkatkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat pedesaan, serta menurut Yetim (2017) pemberian pengalaman baru dapat menjadi media untuk aktualisasi diri dari wisatawan.

Salah satu daya tarik wisata di desa wisata yang dapat terus didorong perkembangannya meskipun sedang berada pada masa Pandemi Covid-19 adalah daya tarik wisata petualangan. Selain daya tarik wisata petualangan, ada beberapa jenis wisata yang dapat dikembangkan di desa wisata pada masa Pandemi Covid-19 seperti wisata budaya berbasis kearifan lokal dan ekowisata. Untuk desa wisata yang berlokasi di pesisir, menurut Prasiasa dan Hermawan (2012) dapat menawarkan wisata pantai sebagai salah satu bentuk wisata petualangan.

Agar atraksi dan daya tarik wisata petualangan yang ada di desa wisata dapat berkembang dengan baik meskipun berada pada masa Pandemi Covid-19, persoalan

Clean, Healthy, Safety dan Environment (CHSE) harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius. Selai itu permasalahan terkait transportasi, akses menuju desa wisata, dan penunjang lainnya seperti pemasaran dengan media digital perlu mendapat perhatian serta solusi dari pemangku kepentingan pariwisata. Menurut Mustangin dkk. (2017) agar program desa wisata dapat berfungsi sebagai komoditi untuk pemberdayaan masyarakat setempat, pengembangan produk lokal, dan penguatan kearifan lokal, maka perlu merubah pola pikir masyarakat desa dalam meningkatkan pendapatan melalui pengembangan produk desa wisata.

Solusi yang dapat ditawarkan untuk merubah pola pikir masyarakat desa dalam meningkatkan pendapatan melalui pengembangan produk desa wisata seperti yang dikemukakan oleh Mustangin dkk. (2017) khususnya di masa Pandemi Covid-19 adalah dengan tetap mengembangkan kegiatan yang bersifat tradisional dan asli yang terkait dengan kehidupan masyarakat desa dan melaksanakan penerapan protokol kesehatan yang ketat bagi penduduk lokal maupun bagi wisatawan. Aktivitas tradisional dan asli yang tetap dilakukan oleh masyarakat desa dalam rangka mendukung pengembangan produk wisata di desa wisata, akan menjadi magnet atau daya tarik bagi kehadiran wisatawan ke desa wisata. Adanya aktivitas tradisional yang tetap dilakukan oleh masyarakat desa merupakan pilihan dan dapat menghasilkan ragam produk ekonomi kreatif. Dengan demikian masyarakat desa yang desanya dikembangkan sebagai desa wisata tidak hanya mengandalkan pendapatan dari usaha pertanian dan peternakan, akan tetapi juga dapat mengembangkan usaha jasa pariwisata sesuai dengan potensi dan keunikan yang dimiliki oleh desa. Insentif lain yang dapat dihasilkan dari pengembangan aktifitas tradisional di desa, menurut Wasantara (2010) adalah terpeliharanya nilai-nilai tradisi dan budaya serta kelestarian lingkungan, dan potensi geografis dapat memperkuat wawasan kebangsaan dan geopolitik Indonesia, dan menurut Yetim (2017) dapat mendukung keberlanjutan budaya dari sebuah desa yang dikembangkan sebagai desa wisata.

Selain perubahan pola pikir masyarakat desa dalam pengembangan desa wisata, sebuah desa wisata harus memiliki karakter yang khas. Untuk mendorong agar sebuah desa wisata memiliki karakter yang khas, menurut Ma’rup dkk. (2017) desa wisata harus mengintegrasikan atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung dalam suatu struktur masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang sudah ada dan berlaku di desa. Keseluruhan desa wisata di Bali merupakan pedesaan yang tetap menawarkan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan dalam kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, arsitektur bangunan dan tata ruang desa yang khas unik dan menarik. Selain itu desa wisata di Bali juga memiliki potensi budaya, atraksi, akomodasi, kuliner, kerajinan, dan kebutuhan wisata lainnya. Keseluruhan potensi tersebut telah terintegrasi dengan budaya, struktur kehidupan dan kearifan lokal masyarakat desa di Bali. Terintegrasinya seluruh potensi yang ada pada desa wisata di Bali ke dalam budaya masyarakat desa di Bali sejalan dengan Chang dan Tsai (2016) yang menyatakan bahwa implikasi dari integrasi budaya akan membentuk pengalaman baru yang diperoleh wisatawan dan dapat menjadi bentuk aktualisasi diri.

Pendekatan pariwisata berbasis masyarakat yaitu pariwisata yang menitik beratkan pada keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya ke dalam produk wisata yang dikelola dan dimiliki oleh masyarakat dan hasilnya untuk masyarakat setempat, menjadi penting dalam pengembangan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan. Menurut Lee dan Jan (2019) pendekatan pariwisata berbasis masyarakat bertujuan untuk peningkatan sumber daya, memaksimalkan potensi warga, menjaga lingkungan dan budaya lokal. Implementasi pendekatan pariwisata berbasis masyarakat pada desa wisata di Bali berupa daya tarik wisata petualangan di masing-masing desa wisata dikemas menjadi produk wisata yang memberi peluang bagi masyarakat desa setempat menyediakan berbagai keperluan wisatawan selama berpetualang di desa wisata. Selain paket wisata alam yang melibatkan wisatawan untuk ikut bertani dan berkebun serta trekking ke hutan, yang

dapat menjadi peluang ekonomi bagi masyarakat di desa wisata di masa Pandemi Covid-19 adalah penyediaan paket wisata petualangan kuliner lokal. Menurut Prasiasa dkk. (2020) kuliner lokal yang ditawarkan kepada wisatawan perlu memperhatikan keunikan, keaslian, dan keragaman/perbedaan. Hal ini sejalan dengan Akhoondnejad (2016) bahwa keaslian mempengaruhi persepsi terhadap kualitas, nilai, dan kepuasan dari produk wisata yang dinikmati wisatawan.

Daya tarik wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan di desa wisata seperti daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, daya tarik wisata buatan manusia, maupun daya tarik wisata petualangan. Khusus daya tarik wisata petualangan, produk wisata yang ditawarkan oleh desa wisata di Bali berupa wisata dengan aktivitas alam terbuka (out door). Aktivitas out door ini sangat tepat ditawarkan di masa Pandemi Covid-19 dengan tetap memperhatikan penerapan CHSE, aspek pelestarian alam dan budaya serta penggunaan fasilitas dan jasa dari masyarakat setempat. Selain itu terdapat juga daya tarik wisata petualangan yang menawarkan aktifitas cenderung terkait fisik yang sangat menantang seperti menaklukkan tebing yang terjal serta menyusuri gua. Menurut Beedie (2016) wisata petualangan melibatkan berbagai aktifitas fisik, didorong oleh adrenalin, dan sangat beresiko. Wisatawan yang tertarik dengan wisata petualangan, umumnya melakukan perjalanan wisata tidak ke tempat wisata yang bersifat umum, melainkan ke tempat wisata yang terpencil dan sangat menantang. Aktifitas petualangan bertujuan mencari pengalaman, menikmati lingkungan yang lain dari pada yang lain, mencari inspirasi, menguji kemampuan menghadapi ancaman, serta hal-hal lain yang terkait pengalaman baru bagi wisatawan. Beberapa desa wisata di Bali juga menawarkan aktivitas bagi wisatawan petualangan seperti arung jeram, menunggang kuda, mendaki gunung, menyelam, bersepeda gunung, dan berkemah. Selain itu terdapat juga aktivitas seperti panjat tebing dan berenang, aktivitas di air, petualangan pantai, keindahan alam dan petualangan margasatwa. Lebih lanjut menurut Mason dan Cheyne (2000) dibutuhkan jaringan yang luas dengan pihak lain untuk menjual

produk wisata petualangan yang ditawarkan. Sedangkan Sung (2004) menyatakan bahwa wisatawan petualangan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang bersifat umum, namun dalam penelitian ini ditemukan justru wisatawan pergi ke tempat-tempat yang tidak bersifat umum dengan tujuan berpetualang. Berdasarkan hasil analisis SWOT, dapat disajikan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman desa wisata di Bali dengan daya tarik wisata petualangan seperti Tabel 1.

Tabel 1. Analisis SWOT Desa Wisata di Bali dengan Daya Tarik Wisata Petualangan di Masa Pandemi Covid-19

Internal Kekuatan

  • 1.    Memiliki daya tarik wisata yang bervariasi dengan dukungan budaya dan kearifan lokal.

  • 2.    Masyarakat yang tinggal di pedesaan sangat menerima kehadiran wisatawan lokal dan domestik serta mancanegara.

  • 3.    Masyarakat desa mudah beradaptasi dengan pengunjung/wisatawan.

  • 4.    Sebagian besar masyarakat di desa wisata sudah memahami penerapan protokol kesehatan di masa Pandemi Covid-19.

Kelemahan

  • 1.    Kurangnya transportasi umum menuju desa wisata.

  • 2.    Akses menuju beberapa desa wisata belum tertata dengan baik.

  • 3.    Daya tarik wisata petualangan yang ditawarkan oleh desa-desa wisata yang ada di pegunungan relatif sama.

Eksternal Peluang

  • 1.    Seluruh potensi yang dimiliki oleh desa-desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan di Bali sangat menarik bagi wisatawan petualangan di masa pandemi Covid-19.

  • 2.    Potensi alam dan budaya Bali mendukung pengembangan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19.

Ancaman

  • 1.    Belum semua desa wisata menghadirkan teknologi digital dan online dalam pemasaran produk wisatanya.

  • 2.    Masuknya investor dari luar desa wisata.

Sumber: (Data diolah peneliti, 2021)

Hasil analisis SWOT terhadap desa wisata di Bali seperti Tabel 1 menunjukkan bahwa desa wisata di Bali memiliki potensi wisata dengan kekuatan alam serta dukungan budaya dan kearifan lokal yang kuat untuk pengembangan wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19. Potensi wisata pada desa-desa wisata yang terdapat di Bali dapat menjadi salah satu sumber untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat pedesaan, melalui penguatan produk wisata alam dengan dukungan budaya dan kearifan lokal. Selain itu dengan adanya karakteristik yang sangat bervariasi dari masing-masing daya tarik wisata petualangan di desa wisata, maka potensi ini dapat menjadi salah satu penarik bagi wisatawan untuk menjelajahi desa-desa wisata yang ada di Bali dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, baik bagi masyarakat di desa wisata maupun bagi wisatawan (lokal dan domestik).

Kriteria Penting Pengembangan Desa Wisata di Bali Dengan Daya Tarik Wisata Petualangan Pada Masa Pandemi Covid-19

Dalam pengembangan desa wisata di Bali khususnya desa wisata yang memiliki daya tarik wisata petualangan pada masa Pandemi Covid-19 digunakan sepuluh kriteria. Kesepuluh kriteria tersebut adalah ketersediaan produk, standar pelayanan, kearifan lokal, tampilan produk di media, aktivitas petualangan, jaminan terhadap keamanan, keunikan budaya, kemudahan fasilitas CHSE, atraksi wisata,

dan kepedulian terhadap CHSE. Dalam penelitian ini diambil tiga skor tertinggi yang dicapai oleh sepuluh kriteria penting tersebut, yang akan dijadikan dasar dalam mendukung pengembangan desa wisata di Bali dengan daya tarik wisata petualangan. Berdasarkan hasil analisis AHP, diperoleh hasil seperti Gambar 1.

Gambar 1. Kriteria Penting Pengembangan Desa Wisata di Bali dengan

Daya Tarik Wisata Petualangan di Masa Pandemi Covid-19

Sumber: (Data diolah peneliti, 2021)

Gambar 1 menunjukkan bahwa kriteria terpenting ke-1 dalam pengembangan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan di Bali di masa Pandemi Covid-19 adalah kriteria kepedulian terhadap CHSE (skor 0,351). Hal ini berarti diperlukan kepedulian berupa penguatan kemampuan sumber daya pengelola desa wisata dan daya tarik wisata petualangan di masa Pandemi Covid-19 terhadap pelaksanaan protokol kesehatan berupa kebersihan (clean), kesehatan (healthy), keamanan (safety) dan kepedualian terhadap linglungan (environment). Harapannya dengan kepedulian tersebut akan dapat berdampak pada peningkatan dan penguatan ekonomi bagi masyarakat di desa wisata di masa Pandemi Covid-19. Kriteria terpenting ke-2 adalah jaminan terhadap keamanan (skor 0,34), yang berarti faktor keamanan dari daya tarik wisata, aksessibilitas, akomodasi, atraksi, dan amenitas perlu mendapat perhatian serta peningkatan sesuai dengan standar keamanan yang berlaku dalam industri

pariwisata. Selanjutnya kriteria terpenting ke-3 adalah kemudahan fasilitas CHSE (skor 0,329), yang mengandung arti pengelola desa wisata yang menawarkan wisata petualangan di Bali harus menyiapkan fasilitas CHSE seperti tempat cuci tangan lengkap dengan sabun dan pengukur suhu tubuh pada lokasi yang strategis sepanjang jalur petualangan di desa wisata, selalu mengingatkan wisatawan untuk tetap menjaga jarak serta tidak berkerumun, mengingatkan wisatawan untuk selalu memakai masker, serta pada lokasi-lokasi yang strategis menyiapkan tempat penjualan CHSE Kit.

Prioritas Strategi pada Pengembangan Desa Wisata di Bali Dengan Daya Tarik Wisata Petualangan di Masa Pandemi Covid-19

Dengan mempergunakan kombinasi analisis SWOT dan AHP terhadap enam indikator yang dijadikan dasar penentuan prioritas strategi pengembangan desa wisata di Bali pada masa Pandemi Covid-19 yaitu keberlanjutan, ramah lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, SDM pengelola, pariwisata olah raga (sport tourism), dan pariwisata sehat (healthy tourism) diperoleh hasil seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Prioritas Strategi Pengembangan Desa Wisata di Bali dengan Daya Tarik Wisata Petualangan di Masa Pandemi Covid-19 Sumber: (Data diolah penelitian, 2021)

Berdasarkan Gambar 2 dapat ditentukan tiga prioritas strategi yang perlu dilaksanakan dalam mendukung pengembangan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan pada masa Pandemi Covid-19 di Bali. Strategi dengan prioritas

ke-1 yang perlu dilaksanakan adalah terkait pariwisata sehat atau healthy tourism (skor 0,89) yaitu strategi pengembangan produk wisata petualangan yang menerapkan standar serta prinsif-prinsi kesehatan, baik dilakukan oleh pengelola maupun wisatawan serta masyarakat lokal yang ada di wilayah desa wisata. Penerapan prinsif-prinsif serta standar kesehatan mengacu pada standar yang berlaku secara internasional untuk menjamin kesehatan serta keselamatan wisatawan selama berwisata ke desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan. Strategi dengan prioritas ke-2 yaitu pariwisata olah raga atau sport tourism (skor 0,67) yaitu strategi peningkatan kemampuan pengelola desa wisata dalam mengembangkan desanya sebagai desa wisata dengan daya tarik sport tourism sebagai pendukung wisata petualangan. Strategi ini berupa memperkuat infrastruktur melalui penguatan kelembagaan (ancilary) dengan cara melibatkan pemangku kepentingan (pemerintah, industri, masyarakat lokal dan akademisi) untuk berkolaborasi dengan masyarakat desa sebagai pelaku pariwisata untuk mengoptimalkan pengembangan infrastruktur sesuai standar pelayanan yang dibutuhkan oleh wisatawan. Selanjutnya strategi dengan prioritas ke-3 yaitu ramah lingkungan (skor 0,58) yaitu strategi dari pengelola desa wisata untuk mempergunakan fasilitas dan peralatan yang tergolong ramah lingkungan dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan. Strategi ini dapat dilakukan dengan cara pemberian pelatihan kompetensi ramah lingkungan kepada SDM pengelola desa wisata. Hasil pelatihan perlu dimonitor serta dievaluasi, sehingga diharapkan akan memperoleh hasil yang optimal dalam rangka pemberian pelayanan yang berkualitas kepada wisatawan yang berwisata ke desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan.

Kesimpulan

Desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan pada masa Pandemi Covid-19 di Bali memiliki kekuatan berupa variasi daya tarik wisata, kesiapan masyarakat menerima wisatawan, masyarakat mudah beradaptasi, penerapan protokol kesehatan

sudah dipahami masyarakat; kelemahan berupa transportasi umum ke desa wisata, akses belum tertata, daya tarik wisata relatif sama; peluang berupa potensi sangat menarik wisatawan, alam dan budaya mendukung pengembangan desa wisata petualangan; ancaman berupa kehadiran teknologi digital dalam pemasaran produk desa wisata belum merata, dan masuknya investor dari luar desa wisata yang bisa mengancam implementasi pariwisata berbasis masyarakat.

Ditemukan tiga kriteria penting dalam pengembangan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan di masa pandemi Covid-19 di Bali yaitu kriteria penting ke-1 kepedulian terhadap CHSE (skor 0,351), kriteria penting ke-2 jaminan terhadap keamanan (skor 0,34), dan kriteria penting ke-3 kemudahan fasilitas CHSE (skor 0,329). Terdapat tiga prioritas strategi yang perlu dilaksanakan dalam mendukung pengembangan desa wisata dengan daya tarik wisata petualangan pada masa pandemi Covid-19 di Bali yaitu prioritas ke-1 pariwisata sehat atau healthy tourism (skor 0,89), prioritas ke-2 pariwisata olah raga atau sport tourism (skor 0,67), dan prioritas ke-3 ramah lingkungan (skor 0,58).

Rekomendasi

Digitalisasi pemasaran termasuk didalamnya pemasaran online terhadap produk desa wisata yang menawarkan daya tarik wisata petualangan merupakan sebuah ancaman sekaligus tantangan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan digitalisasi dan pemasaran online dari produk wisata di desa wisata khususnya yang menawarkan daya tarik wisata petualangan.

Meskipun healthy tourism, sport tourism, dan pariwisata ramah lingkungan sudah banyak dikenal oleh masyarakat dan wisatawan sebelum Pandemi Covid-19 melanda Bali sebagai destinasi pariwisata utama di Indonesia, maka di masa Pandemi dan Pasca Pandemi Covid-19 ketiga jenis pariwisata tersebut perlu lebih dikembangkan melalui implementasi hasil-hasil penelitian yang relevan guna

mendukung perkembangan desa wisata yang menawarkan atraksi dan daya tarik wisata petualangan.

Daftar Pustaka

Adipati, I.G., Pitana, I G., Baskara, G.I. (2022). Keunikan dan Otentisitas Pasar Ekstrim Wilken Sebagai Daya Tarik Wisata Di Kota Tomohon Sulawesi Utara. JUMPA Jurnal           Master           Pariwisata,           8(2),           545-567.

https://doi.org/10.24843/JUMPA.2022.v08.i02.p09

Akhoondnejad, A. (2016). Tourist Loyalty to a Local Culture Event: the Case of Turkmen Handicrafts Festival. Journal of Tourism Management, 52, 468-477. https://doi.org/10.1016/j.tourman.2015.06.027

Bashar., Ajloni, A.A.A. (2012). Motivating Foreign Tourist to Visit The Rural Site in Jordan Village of Petra. Australian Journal of Business and Management Research, 2(5), 01-07. ISSN 1839 - 0846

Beedie, P. (2016). Adventure Tourism, Routledge International Handbook of Outdoor Studies, July, 463-471. https://doi.org/10.4324/9781315768465

Bungin, B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. ISBN 979-421-856-1

Chang, F.H., Tsai, C.Y. (2016). Influences of The Cultural Implications and Tourism Attractiveness of Festival Tourism on Tourist Loyalty. Journal of Business and Management Studies, 2(1), 1-10. Corpus ID: 54990681

Chiu, W., Zeng, S., Cheng, P.S.T. (2016). The Influence of Destination Image and Tourist Satisfaction on Tourist Loyalty A Case Study of Chinese Tourist in Korea. International Journal of Culture Tourism and Hospitality Research, 10(2), 223-234. https://doi.org/10.1108/IJCTHR-07-2015-0080

Dolors, M.G., Canoves., Valdovinos. (1995). Farm Tourism, Gender and The Environment in Spain. Annals of Tourism Research, 22(2),  267-282.

https://doi.org/10.1016/0160-7383(94)00096-4

Dowling, R. (1996). Ecotourism in Thailand. Annals of Tourism Research, 23(2), 488-490.

Hermawan, H. (2016). Dampak Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran Terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal. Jurnal    Pariwisata,    3(2),105-117.

https://doi.org/10.31294/par.v3i2.1383

Iakovidou, O. (1995). The Female Gender in Greek Agrotourism. Annals of Tourism Research, 22(2), 481-484. https://doi.org/10.1016/0160-7383(94)00099-9

Kemenparekraf. (2018). Pedoman Safety Code Wisata Petualangan. Jakarta: Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Pariwisata.

Lee, T. H., & Jan, F. H. (2019). Can Community-based Tourism Contribute to Sustainable Development? Evidence from Residents’ Perceptions of the Sustainability.     Journal     Tourism     Management,     70,     368-380.

https://doi.org/10.1016/J.TOURMAN.2018.09.003

Leu, W. (1992). The Swiss Experience, In Nuryanti (editor), Universal Tourism Enriching or Degrading Culture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, p.132-138. ISBN 794202762

Ma’ruf, M.F., Kurniawan, B., & Pangestu, R.P.A.G. (2017). Desa Wisata Sebuah Upaya Mengembangkan Potensi Desa Dan Meningkatkan Pendapatan Asli Desa (Studi Pada Desa Wisata Bejiharjo Kecamatan Karangmojo Kabupaten Gunungkidul). Dinamika Governance Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 7(2), 192202. https://doi.org/10.33005/jdg.v7i2.1209

Mason, P., & Cheyne, J. (2000). Residents’ Attitudes to Proposed Tourism

Development. Annals of Tourism    Research,    27(2),    391-411.

https://doi.org/10.1016/S0160-7383(99)00084-5

Mukhtar. (2013). Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Referensi (GP Press Group). ISBN 978-979-9151-91-9

Mustangin., Kusniawati, D., Islami, N.P., Setyaningrum, B., Prasetyawati, E. (2017). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Lokal Melalui Program Desa Wisata Di Desa Bumiaji. Sosioglobal Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, 2(1), 58-72.      http://jurnal.unpad.ac.id/sosioglobal/article/view/15282      dan

http://jurnal.unpad.ac.id/sosioglobal/article/view/15282/7204

Mutana, S., & Mukwada, G. (2018). Mountain-route Tourism and Sustainability A Discourse Analysis of Literature and Possible Future Research. Journal of Outdoor     Recreation     and      Tourism,      24(August),      p.59-65.

https://doi.org/10.1016/j.jort.2018.08.003

Nuryanti, W. (1993). Concept, Perspective and Challenges. Naskah Lengkap Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Oppermann, M. (1996). Rural Tourism in Southern Germany. Annals of Tourism Research, 23(1), 86-102. https://doi.org/10.1016/0160-7383(95)00021-6

Paristha, N.P.T., Arida, I N.S., Baskara, G.I. (2022). Peran Stakeholder dalam Pengembangan Desa Wisata Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar. JUMPA      Jurnal      Master      Pariwisata,      8(2),      568-583.

https://doi.org/10.24843/JUMPA.2022.v08.i02.p13

Prasiasa, D.P.O., Hermawan, H. (2012). Pengembangan Wisata Bahari di Indonesia. Jakarta:  Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan

Kemenparekraf. ISBN: 978-979-1440-72-1

Prasiasa, D.P.O., Widari, D.A.D.S. (2017). Desa Wisata Potensi dan Strategi Pengembangan. Denpasar: Pustaka Larasan. ISBN: 978-602-5401-09-1

Prasiasa, D.P.O., Widari, D.A.D.S., Kurniady, D.A., Sutono, A. (2020). Interpreting Local Cuisine as a Tourism Attraction Klungkung City. Journal Talent Development and Excellence, 12(1s), 56-65.

Promkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.         https://stoppneumonia.id/informasi-tentang-virus-corona-novel-

coronavirus/ Diakses Pada Tanggal 20 Agustus 2021

Rajaratnam, S.D., Nair, V. (2015). Destination Quality an Tourist’ Behavioural Intentions Rural Tourist Destinations in Malaysia. Journal Emerald Worldwide Hospitality and Tourism Themes, 7(5), 463-472. https://doi.org/10.1108/whatt-06-2015-0026

Seliari, T., Ikaputra. (2021). Ekowisata Utopia Dalam Keberlanjutan. Jurnal Ilmiah Pariwisata, 26(2), 193-203. https://doi.org/10.30647/jip.v26i2.1470

Sung, H. H. (2004). Classification of Adventure Travelers Behavior Decision Making and  Target Markets.  Journal of Travel  Research,  42(4),  343-356.

https://doi.org/10.1177/0047287504263028

Wasantara, P. (2010). Konsepsi Wawasan Nusantara. Jakarta: Pokja Wasantara Lemhannas.

Yetim, A.C. (2017). Determining The Benefits of Adventure Tourism from a Providers’ Perspective in Fethiye. Global Journal of Business, Economics and Management: Current Issues, 7(1), 2. https://doi.org/10.18844/gjbem.v7i1.1390.

Yoeti, Oka A. (2006). Tours and Travel Marketing. Jakarta: Pradnya Paramita.

Profil Penulis

Dewa Putu Oka Prasiasa adalah dosen PNS LLDikti Wilayah VIII Bali Nusra dipekerjakan pada Prodi S1 Manajemen Universitas Dhyana Pura Bali. Dia menyelesaikan studi Diploma 4 Pariwisata dari Universitas Udayana pada tahun 1993, S2 Magister Manajemen Pemasaran Pariwisata dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta pada tahun 2000, dan S3 Kajian Budaya Konsentrasi Pariwisata dari Universitas Udayana pada tahun 2010.

JUMPA Volume 9, Nomor 2, Januari 2023

501