Segmentasi Citra Retina …

I KG. Darma Putra, IG. Suarjana

SEGMENTASI CITRA RETINA DIGITAL RETINOPATI DIABETES UNTUK MEMBANTU PENDETEKSIAN MIKROANEURISMA

I Ketut Gede Darma Putra1, I Gede Suarjana 1)Staff Pengajar Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Bali, 80361

Email: [email protected]

Abstrak

Retinopati diabetes merupakan komplikasi mikro vaskuler yang dapat terjadi pada penderita diabetes dan menyerang fungsi penglihatan. Gejala klinis dari penyakit ini adalah munculnya mikroaneurisma yang merupakan pembengkakan pembuluh darah berukuran mikro dan dapat terlihat sebagai titik-titik kemerahan pada retina. Sistem segmentasi citra retina digital untuk membantu pendeteksian mikroaneurisma adalah sistem yang dikembangkan untuk melakukan segmentasi terhadap citra retina sehingga citra retina yang dihasilkan layak digunakan sebagai masukan pada sistem identifikasi mikroaneurisma.

Pada penelitian ini dilakukan kombinasi terhadap metode-metode seperti variasi grayscale (grayscale biasa, red channel, green channel, blue channel), filter Gaussian, histogram modifikasi (histogram ekualisasi dan adaptif histogram ekualisasi), binerisasi (iterasi dan threshold ganda), filter median dan pelabelan komponen terhubung.

Pengujian masing-masing kombinasi dilakukan pada citra retina yang berasal dari basis data Departement of Ophthamology, Faculty of Medicine,University of Kuopio, Finland dan dihitung akurasi dengan membandingkan hasil penandaan dokter antara citra asli dan citra hasil segmentasi. Hasilnya kombinasi metode dengan grayscale green channel, filter Gaussian, adaptif histogram ekualisasi 9 x 9, Threshold ganda dengan T1=70 dan T2=90, dan filter median memberikan akurasi sistem yang paling tinggi yaitu sebesar 94%.

Kata kunci: retina, retinopati diabetes, mikroaneurisma, segmentasi

  • 1.    PENDAHULUAN

Retinopati diabetes merupakan komplikasi mikro vaskular yang dapat terjadi pada pasien diabetes yang tidak ditangani dengan baik. Penyakit ini dapat mengganggu penglihatan, dan pada suatu keadaan dapat menyebabkan kebutaan. Penyakit ini cukup banyak terjadi di Indonesia, oleh karena itu penelitian di bidang diagnosis retinopati diabetes menarik untuk dibahas. Pada penderita retinopati diabetes terdapat beberapa tanda-tanda kelainan pada retina yaitu mikroneurisma, hemorrhages, hard exudate, soft exudates, dan neovasklurasi.

Pada umumnya dokter spesialis mata mendeteksi tanda-tanda tersebut dengan mengamati langsung dari citra retina yang diambil dengan menggunakan kamera fundus, cara ini kurang efektif karena membutuhkan waktu yang lama dan memungkinkan terjadi kesalahan dalam pengamatan. Hal ini menyulitkan dokter spesialis mata untuk menentukan dengan cepat terapi apa yang tepat diberikan pada pasien. Untuk mengatasi hal ini pengolahan citra digital untuk mendeteksi tanda-tanda kelainan retinopati diabetes bisa dikembangkan, dimana suatu citra retina penderita retinopati diabetes diolah sehingga nantinya dari citra tersebut diketahui tanda-tanda kelainan apa saja yang terkandung didalamnya, namun proses pendeteksian tanda-tanda tersebut tidaklah mudah, karena kompleksnya struktur retina mata.

Dari permasalahan tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai pengolahan citra digital untuk segmentasi pada citra retina digital sehingga nantinya

citra yang dihasilkan dapat digunakan untuk membantu proses pendeteksian mikroaneurisma.

  • 2.    STUDI PUSTAKA

    • 2.1    Penguimpulan Data (Citra) Retina

Citra retina yang diperoleh dari Departement of Ophthamology, Faculty of Medicine,University of Kuopio, Finland. Setiap sampel citra sel darah merah dilakukan pra pemrosesan untuk mendapatkan citra yang layak untuk disegmentasi.

Gambar-1. Sampel citra retina yang digunakan

  • 2.2    Segmentasi Citra Retina

Segmentasi citra retina terdiri dari beberapa proses, diantaranya: Proses Grayscale, Gaussian Filter, Histogram Equalization, Binary, Median,

Masking dan Pelabelan (Connected Component Labeling).

  • A.    Grayscale

Citra retina yang diterima adalah citra berwarna, sehingga terlebih dahulu perlu dilakukan proses grayscale untuk mendapatkan citra dengan aras keabuan dengan menggunakan persamaan berikut:

I (x, y) =


R + G + B

3


(1)


dimana I (x,y) adalah level keabuan pada suatu kopordinat yang diperoleh dengan membagi komponen warna R (merah), G (hijau), B (biru).

  • B.    Gaussian Filter

Agar hasil ekualisasi histogram nantinya tidak menimbulkan banyak derau, maka sebelumnya dilakukan proses Gaussian filter. Fungsi Gaussian Filter yang digunakan adalah Gaussian 2-D dengan menggunakan persamaan berikut:

G(x,y) = ' 2 exp( (x2 + y2)∕2σ2) (2) 2πσ

dengan σ menyatakan standar deviasi dari distribusi. Fungsi di atas diasumsikan memiliki mean 0 (pusat distribusi pada garis x=0). Semakin besar nilai σ maka kurva distribusi Gaussian semakin melebar dan puncaknya menurun. Berikut adalah tapis distribusi Gaussian 2-D dengan σ =1 dan ukuran tapis 5 x 5.

Tabel-1. Tapis distribusi Gaussian 2-D dengan σ =1 dan ukuran tapis 5 x 5

0.0029

0.0131

0.0215

0.0131

0.0029

0.0131

0.0585

0.0965

0.0585

0.0131

0.0215

0.0965

0.1592

0.0965

0.0215

0.0131

0.0585

0.0965

0.0585

0.0131

0.0029

0.0131

0.0215

0.0131

0.0029

  • C.    Histogram Equalization

Citra grayscale yang diperoleh dari proses grayscale, kemudian dilakukan proses ekualisasi histogram. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menghasilkan histogram citra yang seragam. Distribusi ulang terhadap histogram awal dilakukan dengan memetakan setiap nilai pixel pada histogram awal menjadi nilai pixel baru dengan cara:

n (g ) = max

(3)


dengan n(g) adalah nilai pixel baru, N menyatakan banyaknya pixel pada citra (bila citra berukuran 8 x 8, maka N adalah 64), g menyatakan nilai gray level awal yang nilainya dari 1 … L-1 (L menyatakan nilai gray level maksimum), sedangkan c(g) menyatakan banyaknya pixel yang memiliki nilai sama dengan g

atau kurang, yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai:

g

c (g )=h (i), g=1,2X..,L-1            (4)

i =1

dengan h(.) menyatakan histogram awal.

  • D.    Binary

Citra grayscale yang diperoleh dari proses ekualisasi histogram ini selanjutnya akan mengalami proses binerisasi, sehingga dihasilkan citra biner yang siap untuk proses pelabelan. Adapun metode-metode dalam melakukan binerisasi adalah sebagai berikut:

  • 1)    Pengambangan (thresholding)

Secara umum proses pengambangan citra grayscale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut:

  • , x (1if. f (x, y )T }

g (x, y) = -------7----(-----I            (5)

^0if.f (x,y)< T)

dengan g(x,y) adalah citra biner dari citra grayscale f(x,y), dan T menyatakan nilai ambang.

  • 2)    Metode Otsu

Tujuan dari metode otsu adalah membagi histogram citra gray level kedalam dua daerah yang berbeda secara otomatis. Formulasi dari metode Otsu adalah sebagai berikut.

Nilai Ambang yang akan dicari dari suatu citra gray level dinyatakan dengan k. Nilai k berkisar antara 1 sampai dengan L, dengan nilai L = 255. Probabilitas setiap pixel pada level ke i dapat dinyatakan:

n

p i = NN                           (6)

dengan :

ni menyatakan jumlah pixel pada level ke i

N menyatakan total jumlah pixel pada citra.

Nilai Zeroth cumulative moment (7), First cumulative moment (8), dan total nilai mean (9) berturut-turut dapat dinyatakan dengan rumus berikut.

k

ω( k ) = P1(7)

i =1

k

μ(k )=iPi(8)

i=1

L

Mt =iPi

i=1

Nilai ambang k dapat ditentukan dengan memaksimumkan persamaan :

σB (k* )= maxιkL σB (k)

dengan

σ2 (k ‘ )=


[ατω( k)- μ( k )]2 ω( k )[1 - ω( k)]

(11)


  • 3)    Metode Iterasi

Langkah-langkah dalam menentukan nilai batas T untuk metode iterasi adalahb sebagai berikut:

  • -    Pilih nilai T awal untuk operasi threshold, biasanya nilai rata-rata dari intensitas citra cukup bagus untuk digunakan

  • -    Bagi citra menjadi dua daerah, misalnya R1 dan R2, menggunakan nilai T awal yang telah ditemukan pada langkah pertama.

  • -    Hitung nilai rata-rata intensitas mean1 dan mean2 untuk daerah R1 dan R2

  • -    Hitung nilai threshold yang baru dengan rumus T=(mean1+mean2)/2

  • -    Ulangi langkah 2 sampai 4 hingga nilai-nilai mean1 dan mean2 tidak berubah lagi. Saat itulah nilai T merupakan nilai yang dicari untuk operasi binerisasi citra tersebut

  • 4)    Metode Threshold Ganda

Algoritma untuk melakukan proses binerisasi dengan menggunakan metode threshold ganda adalah sebagai berikut:

  • -    Pilih 2 nilai threshold, T1 dan T2.

  • -    Partisi citra menjadi tiga daerah, R1 untuk piksel-piksel dibawah T1, R2 untuk piksel-piksel diantara T1 dan T2, dan R3 untuk piksel-piksel diatas T2.

  • -    Periksa piksel-piksel pada R2 jika piksel tersebut mempunyai tetangga atau berdampingan dengan piksel pada R1, masukkan sebagai bagian dari R1.

  • -    Ulangi langkah 3 sampai tidak ada lagi piksel-piksel yang memenuhi syarat.

  • -    Ubah piksel-piksel lain pada R2 menjadi bagian dari R3.

  • E.    Median Filter

Filter median menghitung nilai dari setiap pixel baru, yaitu nilai pixel pada pusat koordinat sliding window dengan nilai tengah (median) dari pixels didalam window. Untuk ukuran window m baris dan n kolom, maka banyaknya pixels dalam window adalah (m x n). Secara matematis, filter media dapat dinyatakan sebagai berikut:

O(i, j ) = median (U (i + k -1, j +1 -1), (k, l ) W)

(12)

Gambar 2. menunjukkan contoh citra masukan dan citra keluaran filter median dengan ukuran window 3 x 3.

Nilai pixel 9 pada citra masukan dianggap derau (memiliki frekuensi tinggi), dengan filter median, derau tersebut hilang pada citra keluaran.

0

0

0

0

0

0

1

1

1

0

0

1

1

1

0

0

1

0

0

1

1

1

0

1

1

1

0

1

1

1

0

1

1

1

0

1

9

1

0

1

1

1

0

1

1

1

0

1

1

1

0

0

0

1

0

0

1

1


(a)                  (b)

Gambar 2. (a) citra masukan, (b) citra keluaran filter median 3 x 3

  • F.    Masking

Citra hasil segmentasi diberikan masking agar nantinya background hitam pada citra retina, tidak dihitung sebagai objek pada proses pelabelan komponen terhubung.

  • 4.    PERCOBAAN DAN HASIL

Tahap-tahap pengujian mengikuti langkah segmentasi yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Pengujian sistem segmentasi dan pelabelan komponen terhubung ini menggunakan 25 citra retina.

Pengujian terhadap segmentasi menggunakan beberapa kombinasi parameter, diantaranya adaptif histogram ekualisasi dengan n x n daerah, ukuran n x n window seperti pada Tabel 2, parameter T1 dan T2 (binerisasi otomatis) dan metode threshold ganda. Selisih T1 dan T2 yang digunakan adalah 20, pengujian 1 dilakukan dengan nilai T1=50 dan T2=70, pengujian 2 dilakukan dengan nilai T1=60 dan T2=80, Pengujian 3 dilakukan dengan nilai T1=70 dan T2=90, Pengujian 3 dilakukan dengan nilai T1=80 dan T2=100, dan pengujian 5 dilakukan dengan nilai T1=90 dan T2=110.

Tabel-2. Perbandingan waktu masing-masing ukuran

window

Ukuran window

Waktu ( mm:ss.ms)

Grayscale biasa

Grayscale Green channel

7 x 7

02:09.792

02:10.430

9 x 9

01:13.240

01:11.530

13 x 13

00:41.408

00:40.778

17 x 17

00:26.130

00:25.020

21 x 21

00:20.171

00:21.321

Hasil segmentasi kemudian dibandingkan dengan hasil pengamatan dokter antara citra retina yang asli dengan citra retina yang telah disegmentasi, kemudian dihitung secara manual kandidat mikroaneurisma pada citra asli dan dilakukan pengecekan pada citra asli yang telah disegmentasi. Analisa citra retina digital secara konvensional

dibantu oleh dr. A.A.A Sukartini D. Spm. Gambar 2 berikut adalah salah satu contoh pengecekan kandidat mikroaneurisma yang telah dilakukan.

(a)

(b)

Gambar 2. Citra retina (a) yang telah ditandai mikroaneurismanya, (b) hasil segmentasi yang telah ditandai kandidat mikroaneurismanya


Gambar-3. Tahapan proses segmentasi citra retina


Berikut adalah hasil segmentasi citra retina dengan kombinasi Grayscale green channel-Adaptif Histogram Ekualisasi 9x9-Threshold Ganda T1=70, T2=90.

Gambar-4. Retina normal dan hasil pengolahan dengan kombinasi Grayscale green channel-Adaptif Histogram Ekualisasi 9x9-Threshold Ganda T1=70, T2=90

Pada citra yang dihasilkan dengan kombinasi Grayscale green channel-Adaptif Histogram Ekualisasi 9x9-Threshold Ganda T1=70, T2=90, kandidat mikroaneurisma dapat tersegmentasi dengan baik, walaupun ada beberapa yang tidak dapat tersegmentasi dengan baik karena mikroaneurisma tertempel pada akar mata, sehingga tidak terlihat. Gambar 5 adalah salah satu contoh penandaan kandidat mikroaneurisma pada citra hasil pengolahan dari kombinasi di atas.

Gambar-5. Contoh penandaan citra hasil segmentasi dengan kombinasi Grayscale green channel-Adaptif Histogram Ekualisasi 9x9-Threshold Ganda T1=70, T2=90

  • 5.    SIMPULAN

Tabel 3 adalah hasil perbandingan antara pengamatan konvensional dari dokter dan pengamatan dari hasil segmentasi dengan kombinasi Grayscale green channel-Adaptif Histogram Ekualisasi 9x9-Threshold Ganda T1=70, T2=90.

Tabe-3. Hasil pengamatan terhadap segmentasi citra retina dengan kombinasi Grayscale green channel-Adaptif Histogram Ekualisasi 9x9-Threshold Ganda T1=70, T2=90

No

Image

Citra Asli

Citra Segmentasi

Akurasi Sistem

1

image001

6

6

100%

2

image002

5

5

100%

3

image003

8

7

88%

4

image004

5

5

100%

5

image005

6

5

83%

6

image006

7

6

86%

7

image007

4

4

100%

8

image008

6

6

100%

9

image009

6

5

83%

10

image010

11

10

91%

11

image011

12

11

92%

12

image012

6

6

100%

13

image013

5

5

100%

14

image014

6

6

100%

15

Image015

16

15

94%

16

image016

7

7

100%

17

image017

4

4

100%

18

image018

6

5

83%

19

image019

18

17

94%

20

image020

15

14

93%

Pengujian dengan menggunakan masukan berupa citra grayscale green channel menghasilkan citra biner paling baik bila diproses dengan Adaptif Histogram Ekualisasi 9x9 dan Threshold Ganda dengan T1=70 dan T2=90 dengan keakuratan sebesar 94%.

Perbedaan hasil pengamatan jumlah mikroaneurisma antara hasil dokter dan sistem disebabkan karena ada beberapa informasi objek yang hilang pada tahap binerisasi, selain itu ada beberapa mikroaneurisma yang menempel pada akar dan memiliki warna yang hampir sama, sehingga pada saat proses binerisasi, mikroaneurisma tersebut tidak terlihat, karena menyatu dengan akar mata. Kurang sempurnanya metode segmentasi juga mempengaruhi sehingga beberapa informasi citra tidak dapat direpresentasikan. Kelemahan sistem yang tidak mampu mendeteksi mikroaneurisma pada akar mata perlu diatasi dengan mengembangkan metode segmentasi lainnya seperti matched filter sehingga didapatkan hasil citra biner yang lebih baik.

  • 6.    DAFTAR PUSTAKA
  • [1]    Acharya Tinku, K Jay Ajoy. 2005, “Image Processing Principles and Applications”. USA : A JOHN WILEY SONS, MC., PUBLICATION

  • [2]    American Society of Hematology.-.ASH 2009, “Medical Image Bank”. http://www. hematologyatlas.com/. Akses tanggal : 18 Januari.

  • [3]    Balza Achmad, Kartika Firdausy. 2005, “Teknik Pengolahan Citra Digital Menggunakan Delphi”. Yogyakarta: Ardi Publising.

  • [4]    Blekinge Institute of Technology. October 2006. “Automatic Diagnosis Of Diabetic Retinopathy Using Fundus Images”.

  • [5]    Darma Putra, IKG. 2009, Sistem Biometrika Teori dan Aplikasi, Andi Offset : Jogjakarta

  • [6]    Darma Putra, IKG. 2009, “Draf Buku Pengolahan Citra Digital”.

  • [7]    Jain, Anil K. 1989, “Fundamentals of Digital Image Processing”. Singapore: Prentice Hall.

  • [8]    Lappeenranta University Of Technology Department Of Information Technology, June 2005, “Retinal Image Analysis Using Machine Vision”.

  • [9]    Ilyas, Sidarta, Prof. dr. 1991, “Penuntun Ilmu Penyakit Mata”. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

  • [10]    Robert Fisher, Simon Perkins, Ashley Walker, Erik Wolfart, “Hypermedia Image Processing Reference (HIPR) 2”. http://homepages.inf. ed.ac.uk/rbf/HIPR2.

Teknologi Elektro

4 9

Vol. 9 No.1 Januari – Juni 2010