Telaah Terhadap Program …

Nyoman S Kumara

TELAAH TERHADAP PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN LISTRIK MELALUI PEMBANGUNAN PLTU BATUBARA 10.000 MW

Nyoman S Kumara

Staf Pengajar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Bali, 80361

Intisari

Indonesia berada di peringkat enam dunia dalam jumlah penduduk dengan populasi lebih dari 220 juta orang yang merupakan sumber daya pembangunan yang sangat potensial. Tetapi sampai sekarang, hampir 35% dari populasi tersebut masih belum mendapat aliran listrik. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kapasitas pembangkit listrik yang tersedia dan/atau wilayah-wilayah tersebut belum terjangkau oleh jaringan distribusi listrik karena hambatan geografis.

Sejak bangkitnya Indonesia pasca krisis keuangan 1997, pembangunan ekonomi telah berkembang dengan pertumbuhan yang lebih cepat dari pertumbuhan kapasitas energi listrik nasional. Dan sejak beberapa tahun terakhir, keterbatasan pasokan tenaga listrik telah mencapai keadaan yang mempengaruhi tingkat keandalan tenaga listrik yang didistribusikan kepada pelanggan dan bahkan harus diambil langkah drastis seperti pemadaman bergilir karena adanya defisit pasokan.

Dua hal di atas, yaitu peningkatan akses energi listrik bagi seluruh rakyat dan perbaikan keandalan distribusi tenaga listrik menuntut peningkatan kapasitas daya listrik nasional. Salah satu program yang sedang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan kapasitas sistem ketenagalistrikan nasional adalah dengan membangun 10.000 MW pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Tulisan ini mencoba memaparkan program percepatan penyediaan tenaga listrik tersebut dan juga mencoba mereview ketersediaan teknologi pengendalian polusi dan gas rumah kaca dari proses konversi batubara menjadi energi listrik.

Kata kunci: rasio kelistrikan, program 10000 PLTU MW, cadangan batubara, gas buang batubara

  • 1.    PENDAHULUAN

Secara geografis, Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan 13.000 pulau lebih yang tersebar luas dari Irian Jaya di ujung timur hingga Aceh di ujung barat yang terbagi ke dalam tiga zona waktu. Indonesia juga kaya dengan potensi sumber daya manusia. Hal ini bisa dilihat bahwa pada tahun 2007 saja, jumlah penduduk telah mencapai angka lebih dari 220 juta orang dan terus bertumbuh. Pada tahun yang sama PLN melaporkan bahwa rasio elektrifikasi nasional baru mendekati 60%. Ini berarti bahwa cukup banyak penduduk Indonesia yang masih belum bisa menikmati listrik. Hal ini merupakan tantangan bagi pelaksana pembangunan dalam mengejawantahkan mandat konstitusi UUD 45 yang menyebutkan bahwa sumber daya alam Indonesia harus dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat dimanapun mereka berada. Sementara itu dari pandangan internasional, indikator-indikator yang digunakan dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu negara menurut PBB, yang tercantum dalam Milenium Development Goals (MDGs), secara langsung dipengaruhi oleh ketersediaan akses energi listrik.

Pasca krisis keuangan tahun 1997, ekonomi Indonesia telah berkembang dan mengalami pertumbuhan positif. Dari tahun 2000 hingga 2008, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi telah mencapai di atas 5% dengan PDB Per Kapita mengalami peningkatan dari sedikit di atas US$ 1000 pada tahun

1997 menjadi US$ 2000 pada tahun 2008, [7]. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar itu seharusnya sektor kelistrikan juga tumbuh dengan rasio antara 7–8% per tahun. Namun pada kenyataanya, pertumbuhan energi listrik hanya berkisar pada angka 3% pertahun, [8].

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan untuk mencapai rasio elektrifikasi sebesar 95% pada tahun 2025. Hal ini tertuang dalam Cetakbiru Pengelolaan Energi Nasional, [2]. Sementara itu kapasitas sistem kelistrikan nasional saat ini sudah dalam kondisi kritis yang ditunjukan dengan adanya defisit pasokan di beberapa wilayah propinsi. Dua hal ini menuntut peningkatan pasokan yang karena berbagai keterbatasan harus dibangun secara bertahap. Salah satu upaya yang telah dan sedang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan program percepatan pembangunan 35 buah pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan kapasitas keseluruhan 10.000 MW. Pembangkit baru ini akan dibangun di berbagai wilayah di seluruh Indonesia.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menggambarkan program percepatan pembangunan pembangkit listrik tersebut terutama mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan ketersediaan cadangan batubara. Di samping itu, akan ditinjau pula perkembangan teknologi konversi batubara menjadi energi listrik beserta teknologi pengaturan polusi dan gas rumah kaca. Dengan paparan ini diharapkan dapat diperoleh gambaran yang lengkap

tentang potensi batubara nasional dalam penyediaan tenaga listrik dan kaitannya dengan pengaturan polusi dan emisi gas buang. Tulisan ini diawali dengan paparan singkat tentang sistem ketenagalistrikan nasional dan ketersediaan berbagai sumber energi primer yang digunakan dalam pembangkitan energi listrik. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan program percepatan pembangunan pembangkit listrik baru yang diikuti dengan tinjauan terhadap ketersediaan teknologi pengelolaan polusi dan gas buang dari sistem konversi batubara menjadi energi listrik.

  • 2.    SISTEM KETENAGALISTRIKAN

    NASIONAL

Pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia dilakukan oleh PT PLN (Persero) yang merupakan badan usaha milik negara. Kegiatan pengelolaan yang meliputi pembangkitan, penyaluran, pendistribusian dan penjualan energi kepada konsumen dilakukan oleh PLN dan anak perusahaanya. Sejak tahun 1998, sektor pembangkitan sudah melibatkan pihak swasta yang dikenal dengan Independence Power Producers (IPPs). Pihak IPP membangun dan mengoperasikan pembangkit dan kemudian menjual energi listrik yang dibangkitkan kepada PLN melalui perjanjian pembelian listrik, Power Purchasing Agreements (PPA). Tabel 1 menunjukkan IPPs yang sudah beroperasi di Indonesia, [9].

Tabel 1. IPPs di Indonesia

No

IPP

Bahan bakar

MW

1

PT Cikarang Listrindo

Gas

150

2

PT Energi Sengkang

Gas

200

3

Unocal Geothermal Indonesia

Panas Bumi

330

4

PT Makasar Power

MFO

60

5

PT Paiton Energy (Paiton I)

Coal

1230

6

PT Jawa Power (Paiton II)

Coal

1220

7

Pertamina, Cevron Drajat Ltd, Texaco Drajat Ltd, PT Drajat Geothermal Ind

Panas Bumi

140

8

Pertamina + Magma Nusantara Limited

Panas Bumi

110

9

PT Geo Dipa Energy

Panas Bumi

60

10

PT Asrigita Prasarana

Gas

150

11

PT Sumber Segara Primadaya

Coal

600

12

PT Dalle Energy Batam

Gas

55

13

PT Mitra Energi Batam

Gas

55

14

PT Indo Matra Power

Gas

55

15

PT Pusaka Jaya Palu Power

Coal

27

Total kapasitas daya IPPs

4484

Penyaluran energi listrik dari pusat-pusat pembangkit menuju gardu induk dikelola oleh PLN bagian Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B)

yaitu P3B Sumatera dan P3B Jawa Madura Bali. Sedangkan untuk pendistribusian dan penjualan energi kepada konsumen dilaksanakan oleh PLN Distribusi di masing-masing wilayah kerja. Komposisi konsumen dapat dilihat seperti tabel yang diperlihatkan pada Gambar 1, [9].

Gambar 1. Komposisi pelanggan PLN

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsumen tipe rumah tangga memiliki pertumbuhan yang relatif paling stabil dengan pertumbuhan rata-rata di atas 3%. Dan melihat rasio elektrifikasi yang baru sedikit di atas 50% maka ke depan sebagian besar penambahan beban listrik akan berasal dari sektor rumah tangga.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak sumber daya alam yang berupa minyak bumi, gas, dan batubara. Ketiga bahan tambang ini merupakan tulang punggung pembangkitan energi listrik nasional, seperti diperlihatkan baik dalam bauran energi yang sudah dilakukan maupun dalam proyeksi bauran energi masa depan. Komposisi pembangkitan energi listrik berdasarkan energi primer yang digunakan sebagai bahan bakar untuk periode tahun 2000-2007 dapat dilihat pada Gambar 2, [1]. Di sini terlihat bahwa peran bahan bakar minyak masih sangat dominan dalam pembangkitan energi listrik nasional.

I Coal I Gas ■ Geothermal           Hydro ■ Oil

Gambar 2. Bauran energi pembangkitan listrik

Sementara itu proyeksi ke depan atas bauran energi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3, [1]. Di sini terlihat bahwa peran bahan bakar minyak akan semakin turun dibarengi dengan peningkatan peran batubara.

□ COAL □ GEOTHERMAL □ GAS □ HYDRO □ LNG □ OIL

Gambar 3. Proyeksi bauran energi dlm pembangkitan

Status produksi minyak bumi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4. Di sini, dapat dilihat bahwa pada tahun 2004 Indonesia sudah melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri. Sehingga langkah pengurangan kontribusi bahan bakar minyak dalam bauran energi listrik nasional merupakan langkah yang tepat. Di samping itu, hal ini akan dapat mengurangi tingkat subsidi yang diberikan oleh pemerintah atas harga jual berbagai bentuk bahan bakar kepada masyarakat.

Sementara itu, cadangan batubara Indonesia yang dipublikasikan oleh Indonesian Coal Mining Association dapat dilihat pada Gambar 5, [3]. Di sini dapat dilihat bahwa cadangan batubara nasional masih cukup besar. Dan dengan tingkat konsumsi seperti yang diperlihatkan, cadangan ini akan dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan nasional hingga 60 sampai 70 tahun ke depan.

Gambar 4. Cadangan minyak bumi Indonesia

Gambar 5. Cadangan batubara Indonesia

  • 3.    PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN LISTRIK

Program pembangunan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap batubara ini didasarkan atas Peraturan Presiden RI No 71 Tahun 2006, [10]. Melalui Kepres ini pemerintah menugaskan PLN selaku PKUK untuk menjalankan program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik baru dengan membangun 10 PLTU di pulau Jawa dan 25 PLTU di luar Jawa Bali. Tabel 2 menunjukkan pembangkit-pembangkit yang akan dan sedang dibangun melalui skema percepatan ini, [1]. Tujuan dari program ini adalah untuk memenuhi defisit pasokan energi pada saat sekarang ini dan termasuk untuk mengantisipasi pertumbuhan permintaan energi dalam beberapa tahun ke depan. Program ini juga untuk menunjang peningkatan diversifikasi energi dalam pembangkitan energi listrik. Pembangkit baru ini direncanakan akan beroperasi pada tahun 2009/2010.

  • 4.    TEKNOLOGI KONVERSI BATUBARA

Teknologi pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik telah berkembang cukup lama dan bahkan merupakan salah satu teknologi pembangkitan listrik yang pertama setelah PLTA. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut telah berhasil dikembangkan berbagai sistem dan teknologi konversi. Secara sederhana prinsip kerja sebuah pembangkit listrik tenaga uap batubara dapat dijelaskan sbb: batubara disulut dan dibakar dalam sebuah ruang bakar untuk mendidihkan air dalam ketel uap. Uap bertekanan ini kemudian dialirkan menuju turbin yang akan merubah energi thermokimia ini menjadi energi kinetik rotasi. Turbin uap ini terhubung dengan generator listrik sehingga saat turbin berputar generator akan bekerja dan menghasilkan energi listrik. Tabel 3 merangkum secara singkat berbagai sistem konversi batubara menjadi tenaga listrik, [6].

Tabel 2. Pembangkit listrik program 10.000 MW PLTU

No

PLTU - Lokasi

MW

Sistem

1

Suralaya East -

1 x 625

Jawa Bali

2

Labuhan -

2 x 300

Jawa Bali

3

Pelabuhan Ratu -

3 x 350

Jawa Bali

4

Cilacap Baru -

1 x 600

Jawa Bali

5

Jatim Selatan -

2 x 315

Jawa Bali

6

Lontar -

3 x 315

Jawa Bali

7

Indramayu -

3 x 350

Jawa Bali

8

Rembang – Jatim

2 x 315

Jawa Bali

9

Tanjung Awar -

Jatim

2 x 350

Jawa Bali

10

Paiton Baru - Jatim

1 x 660

Jawa Bali

Sub Total Jawa Bali

7430

11

Meulaboh – Aceh

2 x 110

Sumatera

12

Pangkal Susu -

2 x 218

Sumatera

No

PLTU - Lokasi

MW

Sistem

13

Bengkalis -

2 x 11

Sumatera

14

Selat Panjang -

2 x 9.5

Sumatera

15

Karimun Baru -

2 x 8

Sumatera

16

Bangka Baru -

2x 27.5

Sumatera

17

Belitung Baru -

2x 16.5

Sumatera

18

Teluk Sirih -

2 x 112

Sumatera

19

Tarahan Baru -

2 x 110

Sumatera

Sub Total Sumatera

1245

20

Parit Baru -

2 x 55

Kalimantan

21

Singkawang Baru -

2x 27.5

Kalimantan

22

Pulang Pisau -

2 x 60

Kalimantan

23

Asam Asam -

2 x 65

Kalimantan

Sub Total Kalimantan

415

24

Amurang -

2 x 25

Sulawesi

25

Gorontalo -

2x 27.5

Sulawesi

26

Kendari -

2 x 102

Sulawesi

27

Barru -

2 x 55

Sulawesi

Sub Total Sulawesi

239

28

Ternate -

2 x 8

Maluku

29

Ambon -

2 x 17

Maluku

30

Lombok - NTB

2 x 30

Lombok

31

Bima - NTB

2 x 11

Lombok

32

Kupang - NTT

2x 16.5

Kupang

33

Ende - NTT

2 x 8

Kupang

34

Jayapura – Irian Jaya

2 x 12

Irian

35

Timika – Irian Jaya

2 x 7.5

Irian

Sub Total Lain

240

Kapasitas Total

10.000

Tabel 3. Sistem konversi batubara menjadi listrik

Teknologi

Prinsip

Pulverized Fuel(PF)

Batubara ditumbuk halus kemudian dimasukan ke dalam ruang bakar. Panas yang dihasilkan digunakan untuk memanaskan air sehingga berubah menjadi uap

Fluidized Bed Combustion (FBC)

Di samping batubara kualitas baik, juga bisa menggunakan bahan bakar kualitas rendah seperti low grade coal, biomass, ban bekas, dll.

Integrated Gas Combined Cycle (IGCC)

Sistem dengan dua turbin: turbin gas dan turbin uap. Ekspansi gas dalam turbin gas dan kemudian digunakan untuk memananskan ketel uap untuk memutar turbin uap. Efisiensi tinggi dan kualitas bahan bakar beragam.

Hasil utama dari pembakaran batubara adalah energi thermokimia yang dikonversi menjadi energi listrik. Disamping itu, proses ini juga menghasilkan materi yang bisa berdampak negatif terhadap

lingkungan. Komposisi materi hasil sampingan dari berbagai bahan bakar fosil dapat dilihat pada Gambar 6. Data ini dipublikasikan oleh EIA, [4].

Fossil Fuel Emission Levels

(Pounds per Billion BTU of Energy Input )

Pollutant

Natural Gas

Oil

Coal

Carbon Dioxide

117,000

164,000

208,000

Carbon Monoxide

40

33

208

Nitrogen Oxides

92

448

457

Sulfur Dioxide

1

1,122

2,591

Particulates

7

84

2,744

Mercury

0.000

0.007

0.016

Gambar 6. Gas buang dari bahan bakar fosil

Jadi secara jelas ditunjukkan pada Gambar 6 bahwa batubara (coal) menghasilkan polutan dan gas buang dengan komposisi yang paling banyak di antara minyak bumi, gas, batubara. Namun demikian, karena pemanfaatan batubara sudah dilakukan sejak lama dan dan jumlah pembangkit listrik yang menggunakanya sangat banyak, berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengurangi polusi dan emisi gas buang tersebut. Tabel 4 merangkum berbagai teknik yang digunakan dalam pengelolaan hasil sampingan tersebut.

Polutan dan gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara ini memiliki dampak negatif terhadap manusia, lingkungan lokal, dan bahkan lingkngan global. Untuk mengurangi dampak negatif ini, berbagai sistem dan teknologi penangulangannya telah dan sedang dikembangkan. Tabel 4 merangkum berbagai teknik dan prinsip kerjanya. Secara umum, teknik-teknik yang tersedia tersebut sudah merupakan teknologi yang sudah siap pakai. Sehingga sebagian sudah digunakan dalam pengelolaan polusi dan gas buang namun teknik carbon capture and storage masih dalam uji coba dan pengembangan. Namun demikian teknik CCS dipercaya akan dapat mengurangi jumlah emisi gas buang dari penggunaan bahan bakar berbasis fosil dalam pembangkitan listrik secara signifikan. CO2 yang telah ditangkap kemudian dikompresi ini kemudian akan disimpan di dalam perut bumi sampai efek rumah kaca berkurang atau persediaan sumber alam fosil habis terpakai.

Tabel 4. Teknologi pengelolaan polusi dan gas buang

Teknologi

Prinsip

Coal washing

Penghalusan ukuran batubara dan kemudian dipisahkan melalui pemisah gravitasi dalam cairan yang memungkinkan batubara mengambang dan materi lain tenggelam.

Flue Gas Desulphurisati on (FGD)

Untuk mengurangi kadar sulfur melalui proses wet scrubber dan injeksi limestone.

Low NOx burner

Burner yang didesain untuk membatasi kadar oksigen dalam ruang pembakaran batubara. Ini akan mengurangi pembentukan gas sehingga mengurangi post combustion treatment.

Fabric Filters (baghouses)

Untuk mengatur emisi gas buang dengan filter tekstil/kain.

Electric or Electro Static Precipitator (EP or ESP)

Menggunakan medan listrik untuk memuati partikel dalam flyash dan kemudian dikumpulkan dalam suatu plat. Teknik ini bisa menghilangkan partikulat sampai 99%.

Carbon Capture

Storage (CCS)

Penangkapan CO2 yang dihasilkan dari pembakaran batubara (dan fosil yang lain) kemudian dikompresi dan dipindahkan untuk disimpan di dalam perut bumi. Sistem CCS mampu mengurangi emisi CO2 ke atmosfir antara 80-90% dibandingkan dengan sistem tanpa CCS.

  • 5.    RINGKASAN

Tulisan ini telah memaparkan tentang program percepatan pembangunan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap batubara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Juga telah dipaparkan kaitan antara pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik baru tersebut dengan ketersediaan cadangan batubara nasional. Cadangan batubara nasional masih cukup banyak untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan domestik khususnya untuk pembangkitan tenaga listrik.

Ketersediaan teknologi pengelolaan polusi dan gas efek rumah kaca juga telah didiskusikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan batubara dalam upaya memenuhi kebutuhan energi listrik masih bisa dilakukan namun seyogyanya juga mengadopsi teknologi pengelolaan gas buang dan polutan sehingga dampak lingkungan dapat diperkecil. Namun demikian, pemanfaatan batubara dalam pembangkit listrik harus dilihat sebagai sebagai sebuah solusi jangka pendek atau menengah dan harus segera diikuti dengan penyusunan strategi penyediaan energi listrik jangka panjang.

Dari paparan tentang cadangan sumber daya alam fosil nasional dapat dilihat bahwa ketersediaanya sangat terbatas sehingga solusi penyediaan tenaga listrik jangka panjang perlu dipikirkan secara lebih serius untuk menjaga kelanjutan pembangunan nasional, khususnya dalam

menjamin ketersediaan energi listrik yang bersih, handal, mencukupi, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.

  • 6.    REFERENSI

  • [1]    Adnyana, N., Tantangan Dalam Mengelola Kelistrikan Nasional, PT PLN (Persero), Presentasi dalam Kuliah Umum Program Pascasarjana Teknik Elektro Universitas Udayana, September 2008

  • [2]    BPEN, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BPEN), Jakarta, 2005

  • [3]    ICMA, Long Term Prediction of Indonesian Coal Production, Exports, And Domestic Consumption, ICMA

  • [4]    DOE US, Natural Gas 1998: Issues and Trends, Department of Energy United State of America

  • [5]    UU 30 2007, Undang Undang No 30 tahun 2007 Tentang Energi, Pemerintah Republik Indonesia, Agustus 2007

  • [6]    Li, K.W., Priddy, A.P., Power Plant System Design, John Wiley and Sons, USA, 1985

  • [7]    Indrawati, S.M, Siaran Pers Evaluasi Ekonomi 2008 Dan Prospek 2009: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Januari 2009

  • [8]    ICN, Industri Kelistrikan Di Indonesia 2008, Indonesian Commercial Newsleter (ICN), on line di www.icn.co.id, di akses April 2009

  • [9]    PLN, Laporan Tahunan PT PLN (Persero) Tahun 2007, PT PLN (Persero), Jakarta, 2007

  • [10]    Perpres 71 2006, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2006 Tentang Penugasan Kepada PT Perusahan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara, Perpres 71 2006

  • [11]    Katzer, J., et all, The Future of Coal: An Interdiciplinary MIT Study, Massachusets Institute of Technology, USA, 2007

  • [12]    NMA, Carbon Capture and Storage, National Mining Association of USA, on line www.nma,org, di akses 9 April 2009

  • [13]    UK Parliament, Carbon Capture Storage CCS, UK Parliament Office of Science and Technology, London, March 2005

  • [14]    Herzog, H., Drake, E., Adams, E., CO2 Capture, Reuse, and Storage Technologies for Mitigating Global Climate Change, Energy Laboratory Massachusetts Institute of Technology, USA, January 1997

  • [15]    IEEE-PES, IEEE Power Engineering Society Policy Statement on Energy and Environment, IEEE PES, Society News, May/June 2007

  • [16]    Howard, M.W., Energy Innovation: The Power to Create a Low-Carbon Future, EPRI Electric Power Research Institue, October 2008

  • [17]    Coninck, H.C., Project-Based Kyoto Mechanism and CO2 Capture and Storage, Energy Research Centre of the Netherlands (ECN) Unit Policy Studies, on line di www.ecn.nl, diakses pada April 2009

  • [18]    Joswig, H., RWE’s Strategy on Clean Coal Power in the European Network, 8th Regional Energy Forum, Neptun-Olimp, June 2006

  • [19]    Horkel, A., On the Plate-Tectonic Setting of the Coal Deposits of Indonesia and the Philipines, Viena, December 1990

  • [20]    British Petroleum, BP Statistical Review of World Energy 2007, BP, 2007

[21]ESDM, Indonesia Lower Rank Coal Resources Development  Policy,   Geological Agency,

Ministry of Energy and Mineral Sources, 2006

  • [22]    Cook, A., Dauly, B., The Indonesia Coal Industry, The Australian Coal Review, April 2000

  • [23]    PEUI, Indonesia Energy Outlook and Statistics 2006: Executive Summary, PEUI Pengkajian Energi Universitas Indonesia, 2006

  • [24]    Turner, D.M., Mayes, I., Advanced Optimisation of Coal-Fired Power Plant Operations: Final Project Report, E. ON UK (Powergen UK), March 2005

Teknologi Elektro

6 8

Vol. 8 No.1 Januari - Juni 2009