Hubungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut (SPL) Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Lemuru Sardinella lemuru di Selat Bali Menggunakan Citra Aqua MODIS Tahun 2009-2018
on
JMRT, Volume 5 No 1 Tahun 2022, Halaman: 48-56
JMRT
JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT
ISSN: 2621 -0096 (electronic); 2621 -0088 (print)
Hubungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut (SPL) Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Lemuru Sardinella lemuru di Selat Bali Menggunakan Citra
Aqua MODIS Tahun 2009-2018
Rony Clinton a, I Wayan Gede Astawa Karang a*, Widiastutia
aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
*Corresponding author, email:[email protected]
ARTICLE INFO |
ABSTRACT |
Article history: Received: December 4th 2020 Received in revised form: January 18th 2021 Accepted: November 5th 2021 Available online: February 28th 2022 |
Oceanographic parameters such as sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a in the water can influence the productivity of pelagic fish such as Lemuru. Many studies have been conducted on the relationship between SST and chlorophyll-a and the fluctuations in the catch of Lemuru fish, especially |
Keywords: Lemuru Fish Chlorophyll-a Sea Surface Temperature Bali Strait |
using satellite databased sensing technology. Most of the research using satellite data is done in a short-term period (not climatology), so there are still a lot of unanswered questions. One of them is: how the correlation between the fluctuation in the number of Lemuru fish catches is related to SST and chlorophyll-a in the ENSO and IOD periods. The purpose of this study is to determine the distribution of SST and chlorophyll-a concentrations and their relationship with the yield of Lemuru fish catches in the Bali Strait from 2009 to 2018. Aqua Moderate Imaging Spectroradiometer (MODIS) satellite data level 2 from Oceancolor and data on the number of fish caught in the Bali Strait from the National Fisheries Port (PPN) Pengambengan and UPT PPP Muncar. The method is used with correlation analysis between SST and chlorophyll-a to the number of Lemuru fish caught. The monthly average SST in Bali Strait waters from 2009 to 2018 was approximately 24,76 0C-30, 11 0C, with an estimated monthly chlorophyll-a concentration of 0,10 mg/m3-3,68 mg/m3. The spatial distribution of SST tends to be low in the southern Bali Strait and tends to be high in the northern Bali Strait. The spatial distribution of chlorophyll-a appears to have a high value in the near land area. The cross-correlation test between chlorophyll-a and the number of Lemuru catches showed a positive correlation yield at the 4th month lag. While the correlation of SST to the number of Lemuru fish catches shows a positive correlation at lag (-1). |
Perairan Selat Bali, merupakan “hotspot” tangkapan ikan khususnya ikan tongkol, kembung, dan Lemuru (Ridha et al., 2013). Lemuru dapat ditemukan di perairan Selat Bali, khususnya di pantai barat Bali hingga timur Banyuwangi (Susilo, 2015). Ikan Lemuru merupakan sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Wujdi et. al., 2012). Saputra et al. (2017), menyatakan bahwa di Selat Bali terjadi penurunan hasil tangkapan yang signifikan terutama Lemuru. Penurunan hasil tangkapan terjadi dari 67.016 ton per tahun pada 2007 menjadi 14.948 ton per tahun pada 2016. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor oseanografi.
Faktor oseanografi yang dapat berkaitan terhadap tingginya suatu produktivitas di perairan adalah sebaran konsentrasi klorofil-a dan SPL (Suhu permukaan laut). SPL digunakan sebagai penanda dalam penentuan kesuburan karena memiliki dampak dalam proses metabolisme, perkembangbiakan dan distribusi organisme laut (Yuniarti et al., 2013), sebaliknya konsentrasi klorofil-a dapat digunakan sebagai acuan dalam indikator kesuburan perairan (Sofarini, 2012). Adnan (2010) menerangkan, klorofil-a maupun SPL memiliki peran dalam mempengaruhi fluktuasi jumlah tangkapan ikan.
Penelitian yang dilakukan Putri (2018) menunjukkan SPL di wilayah Selat Bali berkisar 25,64 - 31,62oC, sedangkan
2022 jmrt. all rights reserved.
konsentrasi klorofil-a 0,22 - 4,35 mg/m3. Penelitian yang
dilaksanakan Ridha et al., (2013), menyimpulkan bahwa pola sebaran SPL di Selat Bali pada musim timur cenderung lebih rendah diikuti dengan tingginya klorofil-a pada musim ini. Fenomena ini diakibatkan karena Armondo (arus monsun Indonesia) membawa SPL rendah ke perairan Selat Bali dari Samudera Hindia dan juga pengaruh fenomena upwelling.
Pengukuran SPL dan klorofil-a secara langsung di lapangan memerlukan biaya operasional yang tinggi, sehingga perlu adanya alternatif lain untuk mendapatkan data. Salah satu alternatif yang dapat digunakan yaitu teknik penginderaan jauh. Penginderaan jauh dapat memberikan informasi mengenai objek, daerah, maupun fenomena, dilakukan melalui penganalisisan data yang didapatkan dari perangkat tanpa bersentuhan langsung dengan objek (Lilleseand et al., 2004). Satelit Aqua MODIS (Moderate Imaging spektroradiometer) merupakan salah satu satelit yang dapat dimanfaatkan dalam memperoleh data klorofil-a maupun SPL.
Nababan (2009), Putri (2018) dan Palupi (2018) telah melakukan kajian mengenai konsentrasi klorofil-a dan SPL dengan jumlah tangkapan Ikan Lemuru. Kajian tersebut menggunakan data bulanan Aqua MODIS level 3. Pada daerah penelitian seperti Selat Bali memiliki luasan daerah yang relatif kecil. Hal ini menjadikan pemanfaatan data level 3 memiliki kelemahan dalam merekam data karena resolusi spasial paling 48
tinggi yaitu 4 km. Oleh karena diperlukan kajian dengan resolusi spasial yang lebih tinggi seperti Satelit MODIS level 2 dengan resolusi spasial 1 km. Penelitian menggunakan Satelit MODIS level 2 kaitannya dengan tangkapan ikan juga sudah dilaksanakan oleh Ekayana et al. (2017), Padmaningrat et al. (2017) serta Sastra et al. (2018) dimana jenis ikan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah ikan tuna mata besar dan ikan tongkol. Pada kajian tersebut, didapatkan hasil adanya korelasi yang kuat antara SPL serta klorofil-a atas ikan hasil tangkapan Tuna maupun Ikan tongkol. Kajian ini memakai periode waktu yang relatif singkat. Dengan menggunakan periode waktu yang panjang diharapkan dapat memberikan informasi bagaimana korelasi SPL serta klorofil-a terhadap ikan hasil tangkapan pada periode klimatologi (ENSO dan IOD).
Penelitian pengaruh SPL dan klorofil-a terhadap jumlah tangkapan ikan lemuru dengan memanfaatkan data satelit Aqua MODIS level 2 telah dilakukan oleh Saputra et al. (2017). Pada kajian tersebut, diperoleh adanya korelasi yang kuat atas SPL terhadap hasil tangkapan Lemuru, namun dalam penelitian ini hanya mengambil parameter SPL dalam penentuan keberadaan ikan Lemuru sehingga dapat dikembangkan dengan menambahkan parameter lain seperti klorofil-a yang dapat menambah keakuratan data. Oleh sebab itu penelitian hubungan SPL dan klorofil-a serta hubungannya dengan jumlah tangkapan ikan Lemuru di perairan Selat Bali menggunakan data temporal yang panjang serta resolusi spasial yang semakin tinggi penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan parameter oseanografi SPL dan klorofil-a dalam kaitannya dengan fluktuasi jumlah tangkapan ikan Lemuru di perairan Selat Bali.
Periode waktu penelitian adalah Januari 2009 sampai Desember 2018. Penelitian berlokasi di Selat Bali (Gambar 1) pada koordinat 8.16o LS sampai 8.80o LS dan 114.3o BT sampai 115.2o BT. Pengolahan serta analisa data dijalankan di Laboratorium Remote Sensing serta GIS Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
-
2.2. Alat dan Bahan
Pada penelitian berikut memakai peralatan berupa perangkat keras (hardware), yakni laptop dan komputer dengan perangkat lunak (software) yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu Seadas, SAGA, QGIS, Ms. Excel dan SPSS. Data yang digunakan berupa jumlah tangkapan Lemuru Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan, Jembrana, Bali, serta Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar, Banyuwangi. Data persebaran SPL serta klorofil-a yang dipakai pada kajian
berikut adalah data dari Aqua MODIS level 2 resolusi 1x1 kilometer yang diunduh di laman
https://oceancolor.gsfc.nasa.gov/. Data Aqua MODIS level 2 telah memiliki algoritma untuk proses memperoleh data geofisik (temperature, brightness, radiance, cloud mask, dan NDVI) (NASA, 2013).
-
2.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan citra yang bebas dari awan melalui proses pemilihan citra yang diunduh untuk mengambil spectral/band yang diperlukan. Awan yang menutupi akan mengakibatkan kehilangan informasi pada daerah penelitian. Setelah melakukan pengunduhan kemudian dilakukan ekstraksi data dengan melakukan georeference dan mosaic data. Georeference yaitu pemberian referensi geografi pada objek citra yang belum memiliki sistem koordinat atau proyeksi tertentu. Hal ini dilakukan pada aplikasi Seadas. Data yang diunduh terdiri dari beberapa bagian yang belum menjadi satu maka perlu kemudian dilakukan Mosaic pada data yang telah dilakukan Reproject file untuk menyatukan beberapa scene data dalam satu hari. Setelah itu dilakukan cropping/ clip data pada aplikasi SAGA tahap ini dilakukan dengan mengambil citra pada daerah penelitian yang ditentukan dalam penelitian ini daerah yang diambil yaitu Selat Bali. Data Aqua MODIS yang telah diolah kemudian disimpan dalam format GeoTIF. Data harian diakumulasikan dalam data 1 bulan, kemudian dirata-ratakan menjadi satu nilai data bulanan.
-
2.4 Analisis Data
Analisis sebaran SPL dan klorofil-a dilakukan secara spasial dan temporal. Analisis spasial dilakukan dengan melihat secara visual sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a dalam 3 tingkatan waktu, yaitu bulanan, tahunan dan musiman pada periode waktu 10 tahun. Sebaran tiap bulan didapatkan dengan merata-ratakan setiap bulan yang sama dalam periode sepuluh tahun. Penentuan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a secara spasial dilihat dari gradasi warna pada citra yang ditampilkan. Analisis temporal dilakukan dengan membuat data time series SPL dan klorofil-a dalam periode10 tahun, kemudian dilihat kenaikan dan penurunan berdasarkan nilai tertinggi maupun terendah. Pada penelitian ini periode musim dibagi menjadi 4 yaitu Musim Barat (Desember, Januari, Februari), Musim Peralihan I (Maret, April, Mei), Musim Timur (Juni, Juli, Agustus), Musim Peralihan II (September, Oktober, November).
Analisis hasil tangkapan ikan Lemuru (Sardinella lemuru) dilakukan dengan menggabungkan data yang didapatkan dari PPN Pengambengan dan UPT PPP Muncar. Data tersebut kemudian diolah pada Microsoft Excel lalu kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik fluktuasi hasil tangkapan ikan Lemuru dalam 10 tahun .
-
2.4. Analisis Korelasi Silang
Analisis korelasi silang dilakukan untuk memperoleh hubungan antara konsentrasi klorofil-a dan SPL terhadap hasil tangkapan Ikan Lemuru. Menurut Makridakis et al., 1999
persamaan korelasi silang adalah sebagai berikut:
• τ≡⅛≡.......................................(1)
cxγ (•)=⅛r (χt - χ)‰ - r)
…………………(2)
Keterangan:
rxy(k) = koefisien korelasi silang SPL atau Klorofil- a
serta Lemuru Hasil.
Cxy(k) = kovarian antara peubah bebas
SPL/Klorofil- a dan peubah tidak bebas hasil tangkapan Lemuru.
√ Cxy(O)Cyy(O) = standar deviasi SPL/Klorofil dan
Hasil tangkapan Lemuru
X = rata- rata peubah SPL/Klorofil
Xt = nilai Peubah SPL/Klorofil pada
waktu t
Y = rata-rata peubah Hasil tangkapan
Lemuru
Yt+1 = nilai peubah hasil tangkapan
Lemuru pada waktu t+1
terlihat karakteristik nilai SPL mulai terjadi penurunan SPL hingga bulan September, kemudian mulai mengalami kenaikan SPL dari bulan oktober hingga memasuki periode musim barat (Gambar 2).
![](https://jurnal.harianregional.com/media/67271-2.jpg)
Gambar 2. Sebaran Spasial SPL Bulanan
Untuk melihat tingkat hubungan berdasarkan koefisien korelasi ditampilkan pada Tabel 1 (Fadholi, 2013).
Tabel 1. Tingkat hubungan korelasi
Koefisien Korelasi |
Tingkat Hubungan Korelasi |
0 |
Tidak ada |
0-0.25 |
Sangat lemah |
0.25-0.5 |
Cukup kuat |
0.5-0.75 |
Kuat |
0.75-0.99 |
Sangat Kuat |
1 |
Sempurna |
Sebaran spasial SPL ditampilkan dengan data rata-rata estimasi SPL pada periode 10 tahun (Gambar 2, 3 dan 4). Rerata SPL bulanan pada periode 10 tahun memiliki kisaran 25,75oC-29,04oC (Tabel 2). Rata-rata SPL bulanan dengan rerata tertinggi berlangsung pada bulan April dan terendah pada bulan Agustus (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata SPL bulanan
Bulan |
Rata-rata SPL (oC) |
Jan |
28,59 |
Feb |
28,67 |
Mar |
28,91 |
Apr |
29,04 |
May |
28,29 |
Jun |
27,23 |
Jul |
26,39 |
Aug |
25,75 |
Sep |
26,09 |
Oct |
27,10 |
Nov |
28,46 |
Dec |
28,80 |
Pada bulan Desember-Mei (musim barat serta peralihan I) karakteristik secara spasial SPL cenderung memiliki nilai yang hampir sama dibagian dekat pantai maupun lepas pantai (Gambar 2). Sebaran spasial SPL rata-rata bulanan pada bulan Juni sampai Oktober cenderung rendah pada bagian selatan dan mulai meningkat di bagian utara Selat Bali. Pada bulan Juni
Pada musim timur serta peralihan II dapat terlihat SPL cenderung rendah pada bagian selatan dan mulai mengalami kenaikan menuju ke arah utara (Gambar 2), hal ini diduga akibat terjadinya fenomena upwelling pada musim timur. Syafik et al., (2013), mengatakan saat musim timur, terjadinya pergerakan arus dan transport Ekman ke kiri yang disebabkan oleh bergeraknya angin dari tenggara menuju barat laut (barat daya perairan selatan Jawa-Bali) yang artinya menjauhi daratan. Arah arus laut di Belahan Bumi Selatan (BBS) akan condong dibelokkan ke kiri dari arah angin. Hal ini yang enyebab massa air laut permukaan kosong lalu massa air laut di bawahnya yang mengisi. Peristiwa penaikan massa air bersuhu rendah menuju ke permukaan disebut upwelling (Ridha et al., 2013). Pada Juni-November, air bersuhu rendah dari perairan Samudera Hindia masuk ke Selat Bali bagian selatan dan bergerak menuju bagian utara Selat Bali, sehingga terjadi penurunan SPL pada perairan Selat Bali (Soebakti et al., 2014)
Gambar 3. Sebaran Spasial SPL Tahunan
Sebaran spasial SPL tahunan dapat terlihat (Gambar 3), SPL tertinggi terjadi pada tahun 2016 memiliki rata-rata 28,97oC, sedangkan rata-rata paling rendah berlangsung pada tahun 2018 yaitu 27,00oC. Pola sebaran SPL di Selat Bali dapat dilihat SPL cenderung mengalami peningkatan di bagian utara sedangkan di selatan mengalami penurunan, hal ini berlangsung pada setiap 50
tahun dalam periode waktu 10 tahun. SPL pada tahun 2009-2010 terlihat memiliki nilai yang cenderung tinggi, kemudian mulai terjadi penurunan SPL pada tahun 2011-2012. Pada tahun 20132016 SPL cenderung hangat. Pada tahun 2017-2018 nilai SPL cenderung rendah. SPL cenderung tinggi di tahun 2010 maupun 2016. Hal ini dikarenakan terjadi fenomena IOD fase negatif pada tahun tersebut. Pada tahun tertentu seperti tahun 2018 suhu cenderung dingin, hal ini dikarenakan terjadinya fase IOD positif dan juga El nino dalam 3 bulan terakhir.
31
![](https://jurnal.harianregional.com/media/67271-4.jpg)
Gambar 4. Sebaran Spasial SPL Musiman
Sebaran spasial musiman dapat kita lihat dalam Gambar 4. Secara spasial terlihat Selat Bali pada musim barat memiliki kisaran SPL yang hampir sama antara daerah dekat pantai maupun laut lepas. Pada musim timur SPL pada bagian selatan mempunyai nilai yang cenderung lebih rendah daripada bagian utara Selat Bali. Rata-rata SPL musim timur mempunyai rerata sebesar 26,46oC kemudian mulai mengalami kenaikan saat memasuki peralihan II dengan rerata SPL mencapai 27,21oC. SPL paling tinggi berlangsung saat musim barat dan peralihan I yaitu masing-masing mencapai 28,69oC dan 28,74oC.
-
3.2. Variabilitas Temporal SPL
Berdasarkan hasil, diperoleh hasil SPL paling tinggi berlangsung pada bulan Maret 2016 yaitu 30,11oC serta paling rendah di bulan Agustus 2012 yaitu 24,76oC (Gambar 5). Secara umum, pola musiman mempengaruhi variabilitas temporal SPL di perairan Selat Bali. Selain itu, perairan Selat Bali mendapat pengaruh dari Samudera Hindia, salah satu fenomena yang dapat memengaruhi perubahan iklim di negara yang terletak sekitar Samudera Hindia adalah fenomena IOD (Saji et. al, 1999). Tingginya variabilitas SPL pada tahun 2016 diduga berkaitan dengan terjadinya IOD fase negatif pada daerah Samudera Hindia, sesuai yang dikatakan oleh BOM (bureau of meteorology) tahun 2016. Pada saat terjadinya IOD fase negatif SPL di bagian barat Samudera Hindia (bagian timur Pantai Afrika) akan mengalami penurunan SPL sedangkan bagian Samudera Hindia bagian timur yaitu Sumatera hingga Jawa dan Bali mengalami kenaikan SPL.
24
Bulan,Tahun
Gambar 5. SPL rata-rata bulanan di Selat Bali Tahun 20092018
Gambar 6. Variabilitas Temporal SPL Tahunan
Variabilitas temporal SPL Tahunan dalam periode 10 tahun dapat dilihat pada Gambar 6, dimana SPL tertinggi berlangsung pada 2016 dan terendah pada 2018 dengan nilai masing masing 28,97oC dan 27,00oC. Rata-rata SPL tahunan 2009-2018 sebesar 28,43oC. Menurut data dari BOM, NOAA dan JAMSTEC, pada tahun 2016 terjadi IOD fase negatif sehingga SPL pada tahun tersebut cenderung tinggi sedangkan di tahun 2018 terjadi El nino serta juga IOD fase positif yang mengakibatkan rendahnya SPL pada tahun tersebut. Pada saat IOD fase negatif, SPL lebih dingin di Samudera Hindia tropis barat sebaliknya pada daerah timur lebih hangat jika dibandingkan dengan keadaan normal (Martono, 2017).
SPL pada tahun 2011-2012 cenderung dingin pada musim timur maupun peralihan II. Menurut Susilo dan Wibawa (2016), intensitas upwelling pada musim timur menjadi lebih tinggi saat terjadinya IOD positif sehingga SPL menjadi menurun.. Tren penurunan ini juga disebabkan oleh terjadinya IOD fase positif maupun El nino pada tahun tertentu seperti pada tahun 2012, 2015 dan 2018. Tingginya intensitas upwelling wilayah perairan Selatan Jawa serta Selat Bali memengaruhi penurunan atau rendahnya SPL di Selat Bali pada saat berlangsungnya IOD fase positif.(Iskandar et al., 2010; Mashita dan Lumban Gaol 2016). Variasi tren yang berbeda di tiap-tiap daerah di wilayah Indonesia diduga akibat beberapa faktor oseanografi pada masing masing daerah (Habibie, 2014).
Gambar 7. SPL Musiman Selat Bali. DJF= Desember Januari Februari; MAM = Maret April Mei; JJA = Juni Juli Agustus; SON = September Oktober November
Variabilitas temporal SPL musiman ditampilkan pada grafik (Gambar 7). Secara umum SPL pada musim barat (DJF) serta peralihan I (MAM) cenderung hangat dan terjadi setiap tahun dalam periode 2009-2018. Secara temporal, musim timur (JJA) memiliki rata-rata SPL mencapai 26,46oC kemudian mulai mengalami kenaikan saat memasuki musim peralihan II (SON) dengan rata-rata SPL mencapai 27,21oC. Rata-rata SPL tertinggi terjadi pada musim barat (DJF) dan musim peralihan I (MAM) yaitu masing-masing mencapai 28,69oC dan 28,74oC.
Secara temporal, rata-rata SPL musiman di Selat Bali (Gambar 7) memiliki pola sebaran yang relatif sama setiap tahunnya. Menurut Jochum and Murtugudde (2005), SPL di Samudera Hindia termasuk di perairan Indonesia didominasi oleh pola musiman dengan siklus musiman yang relatif tetap dari tahun ke tahun. SPL mengalami kenaikan setiap musim barat dan peralihan I dengan kisaran SPL antara 26oC-30oC sebaliknya mengalami penurunan pada musim timur dan Peralihan II dengan kisaran antara 24oC-28oC kecuali pada tahun 2016 diduga akibat terjadi IOD fase negatif. SPL yang mengalami penurunan pada musim timur dan peralihan II memiliki kaitan dengan menguatnya intensitas angin Muson Tenggara yang didominasi gerakan arah angin menuju arah barat daya (Syafik et al., 2013).
-
3.3. Sebaran Spasial rata-rata Klorofil-a
Pola sebaran spasial rata-rata konsentrasi klorofil-a ditunjukkan pada Gambar 8, 9 dan 10. Pada sebaran spasial bulanan dapat terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a cenderung rendah terjadi pada musim barat dan peralihan I (Desember-Mei). Kemudian cenderung mengalami kenaikan saat musim timur dan peralihan II (Juni-November). Konsentrasi klorofil-a rata-rata bulanan paling tinggi terjadi pada bulan September sedangkan terendah terjadi pada bulan Januari dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a masing-masing yaitu 1,95 mg/m3 dan 0,27 mg/m3 (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlihat rata-rata konsentrasi klorofil- a pada bulan Desember-Mei antara 0,26-1,20 mg/m3 sedangkan pada bulan Juni-November yaitu antara 1,12-2,12 mg/m3.
Tabel 3. Rata-rata konsentrasi klorofil-a bulanan
Bulan Rata-rata klorofil-
a bulanan (mg/m3) | |
Januari |
0,26 |
Februari |
0,35 |
Maret |
0,33 |
April |
0,46 |
Mei |
1,20 |
Juni |
1,45 |
Juli |
1,74 |
Agustus |
1,78 |
September |
2,12 |
Gambar 8. Sebaran Spasial rata-rata Klorofil-a bulanan
Konsentrasi klorofil-a pada periode 2009-2018 cenderung tinggi di pesisir timur dan barat Selat Bali. Pada wilayah lepas pantai konsentrasi klorofil-a terlihat lebih rendah.. Tingginya nilai klorofil-a tersebut diduga karena tingginya masukan nutrisi yang berasal dari daratan yang membawa unsur hara yang tinggi. Masukan nutrien dari daratan mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap klorofil-a dari fitoplankton sebagai bahan penentu tingkat produktivitas dari perairan (Marlian et al., 2015). Pada musim timur serta peralihan II (Juni-November) nilai tertinggi terdapat pada wilayah Selat Bali bagian selatan, dan mulai mengalami penurunan ke arah utara Selat Bali. Hal ini diduga pada bulan Juni hingga November terjadi peningkatan intensitas upwelling. Menurut Susanto & Marra (2005), sepanjang April hingga Oktober angin muson tenggara bergerak dan memicu terjadinya fenomena upwelling, kemudian air bersuhu rendah dan mengandung nutrient naik ke permukaan laut di wilayah pantai Bali sampai Sumatera.
Gambar 9. Sebaran Spasial Klorofil-a Tahunan
Berdasarkan hasil diperoleh rerata tertinggi konsentrasi klorofil-a tahunan berlangsung pada 2015, sebesar 1,70 mg/m3. Rerata paling rendah terjadi di tahun 2016 yaitu 0,52 mg/m3. Tingginya klorofil-a pada tahun 2015 disebabkan karena tingginya intensitas terjadinya upwelling pada tahun tersebut. Menurut data dari BOM, pada tahun 2015 terjadi fase IOD
positif disertai terjadinya El nino. Rendahnya konsentrasi klorofil-a tahun 2016 diduga akibat adanya fenomena IOD fase negatif di Samudera Hindia. Anomali IOD fase negatif dapat memberikan pengaruh pada angin muson. Pada saat IOD fase negatif, kekuatan angin semakin lemah ke arah barat sehingga berpengaruh pada turunnya kekuatan upwelling. Intensitas upwelling yang melemah menjadikan transport massa air ke permukaan sangat kecil dan berdampak pada kadar nutrien yang turun (Hafizhurrahman et al., 2015).
Gambar 10. Sebaran Spasial Klorofil-a Musiman
Pada Gambar 10 terlihat pola sebaran rata-rata musiman. Rerata konsentrasi klorofil-a musim barat, peralihan I, timur, serta peralihan II diantaranya sebesar 0,32 mg/m3, 0,68 mg/m3, 1,65 mg/m3 dan 1,51 mg/m3. Pada bagian dekat daratan sebaran konsentrasi klorofil-a cenderung tinggi daripada bagian lepas pantai.
3.4. Variabilitas Temporal Klorofil-a
Konsentrasi klorofil-a secara temporal di perairan Selat Bali, memiliki nilai yang fluktuatif tiap tahunnya (Gambar 11, 12 dan 13).
Gambar 11. Variabilitas Temporal bulanan Klorofil-a tahun 2009-2018
Secara umum, variasi temporal klorofil-a bulanan mengalami peningkatan pada musim timur namun cenderung mengalami penurunan saat musim barat. Klorofil-a tertinggi terjadi bulan November tahun 2015 dan terendah terjadi pada bulan Mei tahun 2016. Konsentrasi klorofil-a memiliki kisaran
0,11 mg/m3- 3,68 mg/m3.
Gambar 12. Variabilitas Temporal Tahunan Klorofil-a
Variasi temporal tahunan klorofil-a dapat terlihat pada gambar 12. Diperoleh bahwa klorofil-a paling tinggi terjadi di tahun 2015 dan paling rendah terjadi pada tahun 2016. Rerata tahunan klorofil-a berada pada kisaran 0,52 mg/m3-1,70 mg/m3. Rerata konsentrasi klorofil-a tahunan periode 2009-2018 yaitu 1,04 mg/m3. Sukresno et al. (2019), menyatakan tingginya klorofil-a pada Selat Bali diakibatkan karena tingginya upwelling pada daerah tersebut, yang merupakan satu rangkaian dengan upwelling di Selatan Jawa sampai Bali. Konsentrasi klorofil-a pada tahun 2015 cenderung tinggi diduga karena adanya pengaruh fenomena IOD fase positif pada tahun tersebut yang mengakibatkan perubahan angin monsun sehingga meningkatnya intensitas upwelling. Sedangkan pada tahun 2016 terjadi fenomena IOD fase negatif sehingga konsentrasi klorofil-a rendah. Fenomena fase negatif IOD pada bulan Juni-November 2016 mengakibatkan terjadinya downwelling pada daerah Jawa-Sumbawa (Martono, 2017).
Gambar 13. Variabilitas Temporal Klorofil-a Musiman
Rerata di musim barat, peralihan I, timur, serta peralihan II secara berturut-turut yaitu sebesar 0,32 mg/m3, 0,68 mg/m3, 1,65 mg/m3 dan 1,51 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a paling rendah berlangsung saat musim barat dan paling tinggi terjadi saat musim timur (Gambar 13).
-
3.5. Fluktuasi Tangkapan Lemuru 2009-2018
Berdasarkan jumlah ikan lemuru tangkapan yang didaratkan di PPN Pengambengan serta PPP Muncar (Gambar 14), dapat dilihat tangkapan Lemuru mengalami puncak tertinggi pada bulan Oktober tahun 2009 dengan jumlah tangkapan mencapai 12034,15 ton. Jumlah tangkapan terendah pada periode 20092018 ini terjadi pada Februari tahun 2017 sebesar 0,95 ton.
Gambar 14. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Lemuru 20092018
Gambar 15. Jumlah tangkapan ikan Lemuru Tahunan 2009-
2018
Hasil tangkapan lemuru secara tahunan menurut data PPN Pengambengan dan PPP Muncar menunjukkan jumlah tangkapan tertinggi pada tahun 2009 sebesar 54619,08 ton, kemudian mengalami penurunan drastis pada tahun 2011 mencapai 3211,38 ton, dan mencapai titik terendah pada tahun 2017 yang hanya mencapai 131,01 ton per tahun.
-
3.6 Hubungan Antara SPL dan Konsentrasi Klorofil-a terhadap Tangkapan Ikan Lemuru
Jan-09 Mav-IO Sep-Il Feb-13 Jun-14 Nov-15 Mar-17 Aug-IS
-O-Lemuru —•—SPL * klorofil-a
Gambar 16. Grafik Hubungan Klorofil-a dan SPL terhadap hasil tangkapan Ikan Lemuru
Grafik korelasi antara rerata klorofil-a dengan tangkapan bulanan periode tahun 2009-2018 ditunjukkan pada gambar 18. Terlihat kenaikan klorofil-a diikuti dengan menurunnya jumlah tangkapan Lemuru bulan tersebut, namun mulai mengalami kenaikan pada bulan berikutnya, hal ini diduga diakibatkan oleh adanya jeda waktu (time lag).
Gambar 17. Hubungan antara SPT terhadap jumlah tangkapan Lemuru bulanan periode (2009-2018)
Gambar 18. Hubungan antara klorofil-a terhadap jumlah tangkapan Lemuru bulanan periode (2009-2018)
Analisis data dilakukan dengan metode korelasi silang (Cross Correlation). Pada metode korelasi ini dapat dilihat koefisien korelasi pada (lag) berapa parameter SPL dan klorofil-a masing-masing memiliki pengaruh pada jumlah tangkapan Lemuru di Selat Bali. Sumbu X pada Gambar 19, 20 dan 21 menunjukkan Lag number (bulan) dan Sumbu Y adalah Cross Correlation Coefficient (CCF).
Hasil grafik correlogram korelasi silang antara SPL serta konsentrasi klorofil- a bisa dilihat adanya hubungan secara langsung (Gambar 19). Nilai CCF tertinggi terjadi pada lag 0, dengan koefisien korelasi sejumlah -0,73. Hal ini menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik (kuat) antara SPL dengan konsentrasi klorofil- a dimana kenaikan SPL akan berpengaruh pada penurunan konsentrasi klorofil-a. Fadholi (2013) menyatakan bahwa rentang koefisien 0,5-0,75 masuk dalam kategori kuat.
Pada Gambar 16, dapat dikatakan tidak terlihat adanya hubungan yang signifikan antara SPL maupun konsentrasi klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan Lemuru. Secara tahunan dapat terlihat grafik rata-rata bulanan dalam periode 2009-2018 ditunjukkan pada Gambar 17 dan 18. Pada grafik (Gambar 17), terlihat kenaikan SPL cenderung diikuti menurunnya jumlah tangkapan Lemuru begitu pun sebaliknya.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/67271-20.jpg)
![](https://jurnal.harianregional.com/media/67271-21.jpg)
Gambar 19. Korelasi silang antara SPL dengan konsentrasi klorofil-a
Berdasarkan grafik correlogram korelasi silang antara SPL dan hasil tangkapan Lemuru (Gambar 20), koefisien korelasi (rxy) tertinggi adalah 0,29 pada (lag 1) sebelum terjadi peningkatan SPL Hal ini menunjukkan bahwa respon hasil tangkapan ikan berupa peningkatan jumlah tangkapan ikan Lemuru berada pada waktu 1 bulan sebelum terjadinya peningkatan SPL. Pada lag positif diperoleh koefisien korelasi negatif, hal ini berarti bahwa peningkatan SPL diikuti oleh penurunan hasil tangkapan ikan Lemuru. Berdasarkan grafik correlogram korelasi silang dalam periode 10 tahun hasil yang didapatkan mengindikasikan hubungan linear positif (cukup kuat) antara SPL dengan jumlah tangkapan Lemuru. Fadholi (2013), menyatakan bahwa rentang koefisien 0,26-0,5 masuk dalam kategori cukup kuat. Menurut Susilo (2015) aktivitas penangkapan Lemuru umumnya berlangsung di kisaran SPL 25oC hingga 26,5oC.
Gambar 20. Korelasi silang antara SPL dan hasil tangkapan Lemuru
Pada Gambar 21 dapat terlihat klorofil-a tidak berpengaruh secara langsung pada jumlah tangkapan Lemuru. Koefisien korelasi (rxy) diperoleh nilai korelasi tertinggi sebesar 0,19 pada (lag 4) (Gambar 21). Hal ini dapat dikatakan bahwa saat konsentrasi klorofil-a meningkat akan diikuti oleh meningkatnya jumlah tangkapan Lemuru 4 bulan setelah klorofil-a meningkat. Peningkatan klorofil-a akan diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan dalam jeda waktu 2 sampai 6 bulan (Palupi, 2018). Hasil correlogram korelasi silang menampilkan adanya hubungan linier positif (berbanding lurus) antara kedua variabel (Gambar 21) namun memiliki hubungan yang sangat lemah. Fadholi (2013) menyatakan bahwa tingkat rentang koefisien 0-0,25 masuk dalam kategori sangat lemah.
Gambar 21. Korelasi Silang antara klorofil-a dan Hasil Tangkapan Lemuru
.Berdasarkan data jumlah tangkapan lemuru PPN Pengambengan serta PPP Muncar pada 2009, jumlah tangkapan ikan lemuru mencapai 54619,08 ton/tahun. Nugraha et al. (2018) menjelaskan bahwasanya di Selat Bali jumlah hasil tangkapan Lemuru yang diperbolehkan sebesar 20.085,86 ton/tahun. Adanya korelasi yang lemah antara SPL serta klorofil-a terhadap jumlah tangkapan Lemuru diduga dipengaruhi oleh adanya overfishing di Selat Bali. Hal ini didukung oleh Putri (2018) yang memperoleh hubungn antara SPL dan jumlah tangkapan yang lemah. Dalam SKB Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Bali Nomor 238/1992 serta 674/1992 pada 14 November 1992, jumlah armada purse sein yang diperbolehkan melakukan aktivitas penangkapan ikan di Selat Bali yaitu hanya 273 unit dimana pembagiannya yaitu 190 unit di Jawa Timur serta 83 di Bali. Nugraha et al. (2018) menemukan bahwa jumlah kapal penangkapan lemuru saat ini mencapai 326 armada, jumlah kapal di Pengambengan Bali 136 unit sedangkan di Muncar 190 unit. Meningkatnya jumlah armada yang melakukan kegiatan penangkapan di Selat Bali berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan Lemuru. Rendahnya kesadaran dari masyarakat serta kontrol dari pemerintah juga menjadikan Selat Bali mengalami overfishing (Saputra et al., 2017).
Secara spasial, nilai SPL cenderung rendah terjadi pada Selat Bali bagian selatan dan cenderung tinggi pada Selat Bali bagian utara. Sebaran spasial klorofil-a cenderung tinggi pada daerah dekat daratan. Rerata SPL bulanan di Selat Bali pada 2009-2018 berkisar antara 24,76oC sampai 30,11oC dan rerata konsentrasi klorofil-a bulanan berkisar antara 0,10 mg/m3 hinga 3,68 mg/m3.
Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan Lemuru didapatkan hasil hubungan positif (sangat lemah) pada lag bulan ke 4. SPL terhadap hasil tangkapan ikan Lemuru menunjukkan hasil hubungan positif (cukup kuat) pada lag bulan ke (-1). Pada penelitian ini data parameter oseanografi yang didapatkan seluruhnya berdasarkan pada data remote sensing sehingga untuk penelitian kedepannya diperlukan alternatif lain dalam memperoleh data parameter oseanografi yang lebih akurat dengan melakukan kombinasi antara data remote sensing dan pemodelan numerik.
Adnan. 2010. Analisis SPL dan Klorofil-a Data Inderaja Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Di Perairan Kalimantan Timur. Jurnal Amanisal PSP FPIK Unpatti – Ambon: hal 1 – 12.
Ekayana IM, Karang IWGA, As-syakur AR , Jatmiko, I., & Novianto, D. (2017). Hubungan Hasil Tangkapan Ikan Tuna Selama Februari-Maret 2016 dengan Konsentrasi Klorofil-a dan SPL dari Data Penginderaan Jauh Di Perairan Selatan Jawa – Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, Vol 3(1): 19-29.
Habibie MN. 2014. Karakteristik dan Tren Perubahan Suhu Permukaan Laut di Indonesia periode 1982-2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 15(1):37-49.
Hafizhurrahman I, Kunarso, Suryoputro AAD. 2015. Pengaruh IOD (Indian Ocean Dipole)Terhadap Variabilitas Nilai serta Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a pada Periode Upwelling di Perairan sekitar Bukit Badung Bali. Jurnal Oseanografi Undip, Vol 4(2): 423433.
Iskandar I, Sasaki H, Sasai Y, Masumoto Y, Mizuno K, 2010. A Numerical Investigation of Eddy-induced Chlorophyll Bloom in the Southeastern Tropical Indian Ocean during Indian Ocean Dipole - 2006. Jurnal Ocean Dynamics. 60(3): 731-742.
JAMSTEC (Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology). 2020. Databases General. www.jamstec.go.jp (Diakses pada tanggal 10 November 2020).
Jochum M, Murtugudde R. (2005). Internal Variability of Indian Ocean SST. Journal of Climate 18, pp 3726-3738.
Lillesand TM, Kiefer, RW, Chipman, JW 2007. Remote Sensing and Image Interpretation, 6th Edition, Jhon Wiley & Sons Inc, New York. 753 hlm.
Makridakis, S., Wheelwright, S.C., McGee, V.E. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jilid 1. Edisi ke-2. penerjemah; Andriyanto, Untung S, Basith, Abdul. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Forecasting, 2nd Edition. 493 hlm
Marlian, N., A. Damar dan H. Effendi. (2015). Distribusi Horizontal Klorofil-a Fitoplankton Sebagai Indikator Tingkat Kesuburan Perairan di Teluk Meulaboh Aceh Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 20(3):272-279.
Martono. 2017. Perubahan Tinggi Muka Laut dan KonsentrasiKlorofil-a di Perairan Selatan Jawa-Sumbawa selama Indian Ocean Dipole 2016. Jurnal Geomatika, Vol.23(2): 57-64.
Mashita M, Lumban-Gaol J. 2019. Variability of Sea Surface Temperature (SST) and Chlorophyll-a (Chl-a) Concentrations in the Eastern Indian Ocean during the Period 2002–2017. Jurnal Internasional Penginderaan Jauh dan Ilmu Bumi. 16(1): 55-62.
Nababan, N. 2009. Hubungan Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Selat Bali dengan Produksi Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru) yang Didaratkan di TPI Muncar, Banyuwangi [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 49 hal
NOAA (National Oceanic and Atmosphere Administration) 2020. El-Nino Southern Oscillation (ENSO). www.cpc.ncep.noaa.gov (Diakses pada tanggal 10 November 2020)
Nugraha SW, Ghofar A, Wijaya SS. 2018. Monitoring Perikanan Lemuru Di Perairan Selat Bali. Journal of Maquares. Vol 7(1) 130-140
Padmaningrat KB, IWGA Karang, AR. As-syakur, 2017. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh untukPemetaan Daerah Penangkapan Ikan Tuna Mata Besar di Selatan Jawa dan Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, Vol 3(1):70-83.
Palupi, H. 2018. Hubungan Antara Produksi Lemuru (Sardinella Lemuru) Dengan Konsentrasi Klorofil-a Dan Spl Di Selat Bali Periode 20132017. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 25 hal
Putri, FY. 2018. Analisis Pengaruh Suhu Permukaan Laut, Sebaran Klorofil-a dan Upaya Penangkapan Ikan (Effort) Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. 94 hal
Ridha U, Muskananfola MR, Hartoko A. 2013. Analisa Sebaran Tangkapan Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru) Berdasarkan Data Satelit SPL Dan Klorofil-a Di Perairan Selat Bali. Diponegoro Journal Of Masquares, Management Of Aquatic Resources, Volume 2 Nomor 4: Hal 53-60
Saji, NH., BN. Goswami, PN. Vinayachandran dan T. Yamagata. 1999. A Dipole Mode in The Tropical Indian Ocean. Nature. 401: 360 – 363.
Soebakti A, Dwi AA, Satriadi A, 2014 Pemetaan Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a untuk Menentukan Fishing Ground Potensial Menggunakan Data Citra Satelit Aqua MODIS Pada Musim Timur di Selat Bali. Jurnal Oseanografi. Vol 3(2): 200-209
Sofarini, D. 2012. Keberadaan dan Kelimpahan Fitoplankton sebagai Salah Satu Indikator Kesuburan Lingkungan Perairan di Waduk Riam Kanan.
Journal enviro scientiae, 8(2), 30-34.
Sukresno B, Wijaya D, Jatisworo D, Susilo E, Suniada KI. 2019. Karakteristik Oseanografis Teluk Senggrong Banyuwangi. Jurnal Kelautan Nasional. 14(3): 191-200
Susanto D, and Marra J, 2005 “Effect of The 1997/1998 El Nino on Chlorophyll-a Variability along The Southern Coasts of Java and Sumatra”, Journal of The Oceanography Society Vol. 18, No. 4
Susilo E dan Wibawa T.A, 2016. Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Memprediksi Daerah Penangkapan Ikan Lemuru Berbasis Rantai Makanan dan Pendekatan Statistik GAM. Jurnal Kelautan Nasional. Vol 11(2): Hal 77-87
Susilo E. 2015 Variabilitas Faktor Lingkungan pada Habitat Ikan Lemuru di Selat Bali Menggunakan Data Satelit Oseanografi dan Pengukuran Insitu. Jurnal Omni-Akuatika Vol. 14(20): Hal 13 – 22.
Syafik A, Kunarso, Hariadi. 2013. Pengaruh Sebaran Dan Gesesuskan Angin Terhadap Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Samudera Hindia (WPP RI 573). Jurnal Oseanografi Vol 2(3): 318-328
Wujdi, A., Suwarso, S., & Wudianto, W. (2012). Hubungan Panjang Bobot, Faktor Kondisi dan Struktur Ukuran Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap, 4(2), 83-89.
Yuniarti A, Maslukah L, Helmi M. 2013. Studi Variabilitas Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Citra Satelit Aqua MODIS Tahun 2007-2011 di Perairan Selat Bali. Jurnal Oseanografi UNDIP Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Hal 416-421.
56
Discussion and feedback