JMRT, Volume 4 No 1 Tahun 2021, Halaman: 49-55

JffRT


JOURNAL OF MARINE RESEARCH AND TECHNOLOGY journal homepage: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT ISSN: 2621-0096 (electronic); 2621-0088 (print)

Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Transplan Karang Lunak Menggunakan Metode Gantung Pada Lokasi Budidaya yang Berbeda

I Gusti Ngurah Bagus Sukertha Diputraa, I Wayan Nuarsaa, Widiastutia*

aProgram Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

*Corresponding author, email: [email protected]

ARTICLE INFO


ABSTRACT


Article history:

Received: August 5th 2020

Received in revised form: September 4th 2020

Accepted: November 12th 2020

Available online: February 28th 2021


Keywords: Soft coral Transplantation Hanging Method Growth Rate Survival Rate.


Besides the second largest community in the coral reef ecosystem, the attractive shapes and colors of soft corals establish it an export commodity for the marine ornamental aquarium. The transplantation methods in soft coral are limited. Commonly method for soft coral transplantation is attached to the artificial substrate followed by placed at table frame. However, this method is easily covered by algae and costly. One of the alternative methods is vertically hanging that this method commonly applied in hard corals transplantation. This study aimed to examine the average differences of growth rates among different transplanted soft coral species, different location, and the presence of interaction between soft coral species and location towards the difference of growth rates. Moreover, it determined the average survival rates among different transplanted soft coral species at different location. There were three soft coral species, Lobophytum strictum, Sinu-laria polydactyla and S. asterolobata. They were fragmented at initial size ± 25 cm2, hanging vertically in 1.5 m length, and 0.03 m diameter followed by located inside and outside the Pegam-etan bay, Sumberkima village, Buleleng Regency. The increased size of each transplanted soft coral species and the number of survivals and environmental parameters were observed every two weeks for 12 weeks. The average in growth rates among species, location, and interaction was analysed using two ways Anova, whereas the survival rates were tested using Log-Rank. Results showed that the average growth rates of transplanted soft coral inside the bay were significantly higher (4.53 cm2) than outside the bay (1.64 cm2). Moreover, the average growth rates of transplanted S. polydactyla were significantly higher than others (5.22 cm2), (respectively; 2.35 cm2 and 1.7 cm2). It was also indicated that different location and species did not differentiate the transplanted soft corals' average growth rate. The survival rates of the transplanted soft corals in different location were not significantly different as well.

2021 JMRT. All rights reserved.

  • 1.    Pendahuluan

Karang lunak merupakan salah satu organisme utama penyusun ekosistem terumbu karang selain karang keras. Karang lunak termasuk dalam ordo Alcyonacea, kelas Anthozoa dan sub kelas Oc-tocorallia, dimana telah tersebar luas di perairan Indo-Pasifik (Manuputty, 2008). Beberapa jenis karang lunak, diantaranya yaitu Sinularia sp., dan Lobophytum sp. telah terbukti mengandung senyawa antimikroba, anti-inflamasi, dan bersifat sitotoksik (Murni-asih, 2016). Selain itu, karang lunak memiliki warna dan corak yang sangat menarik, sehingga dijadikan biota penghias akuarium dan dapat diekspor ke berbagai negara di dunia dengan harga jual yang relatif tinggi (Ellis, 1999).

Saat ini metode budidaya karang lunak umumnya masih dillakukan dengan cara ditempelkan pada substrat dan kemudian diletakkan di atas meja transplan. Namun, metode ini masih memiliki banyak kekurangan, seperti gangguan alga dan mahalnya biaya instalasi (Kelli, 2016). Salah satu metode alternatif yang dapat dilakukan yaitu metode gantung secara vertikal dimana metode ini pada karang keras menunjukan tingkat kelangsungan

hidup serta laju pertumbuhan yang cukup tinggi, dengan pertumbuhan meningkat sebesar 175% selama kurun waktu 1 tahun 9 bulan (Sumitro dan Omer, 2016). Penelitian yang dilakukan Yunus et al. (2013) menggunakan karang keras, menghasilkan pertumbuhan yang cenderung lebih baik pada metode gantung jika dibandingkan dengan metode penempelan substrat dimana mencapai 10,25 cm sedangkan pada metode penempelan substrat sebesar 9,19 cm. Selain metode budidaya, laju pertumbuhan karang lunak juga dipengaruhi beberapa faktor yaitu antara lain, jenis karang lunak dan kondisi lingkungan budidaya. Kondisi lingkungan yaitu meliputi, kedalaman, cahaya dan suhu (Insafitri et al., 2006).

Karang lunak memiliki ketergantungan hidup terhadap kondisi lingkungan yang ada diantaranya yaitu cahaya matahari, arus atau pergerakan air yang dapat berpengaruh terhadap proses sedimentasi pada media penanaman ataupun permukaan karang lunak, suhu serta nutrien (Manuputty, 2008). Oleh karena itu, perlu diketahui perbedaan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan jenis-jenis karang lunak yang ditransplantasikan dengan metode gantung pada lokasi budidaya dengan karakteristik lingkungan perairan yang berbeda.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – April 2020 di Perairan Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali (Gambar 1.)

Gambar 1. Lokasi Penelitian

  • 2.2    Alat dan Bahan

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya yaitu Alat SCUBA, kamera bawah air, jangka sorong, perahu, pipa PVC, tali nilon, pelampung berbahan plastik, dan pemberat (batu). Karang lunak yang digunakan pada penelitian ini yaitu L. strictum, S. polydactyla, dan S. asterolobata.

  • 2.3    Metodologi Penelitian

Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan penelitian ini, diantaranya: 1) Persiapan sarana transplantasi, 2) Pengambilan sampel karang lunak, 3) Transplantasi karang lunak, 4) Pengukuran pertumbuhan karang lunak.

  • 2.3.1    Persiapan Sarana Transplantasi

Pembuatan kerangka metode gantung mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Sumitro dan Omer (2016). Kerangka terbuat dari pipa PVC dengan ukuran panjang 1,5 dan diameter 0,03 m untuk bagian tiang utamanya dan pada bagian lengan terbuat dari pipa PVC dengan ukuran panjang 1 m dan diameter 0,01 m, kemudian kerangka tersebut diikat dengan pelampung dan pemberat Gambar (2).

Gambar 2. Kerangka metode gantung (Omer, 2016).

  • 2.3.2    Pengambilan Sampel Karang Lunak

Sampel karang lunak berasal dari hasil budidaya PT. Dinar Darum Lestari. Jumlah fragmen karang lunak yang dibutuhkan un-

tuk masih – masing jenis yaitu 3 fragmen per jenis. Masing – mas-ing jenis indukan karang lunak dipotong menjadi beberapa bagian menggunakan gunting pada ukuran yang relatif sama ± 5 x 5 cm.

  • 2.3.3    Transplantasi Karang Lunak

Fragmen karang lunak yang telah dipotong kemudian dijahit menggunakan tali nilon yang kemudian diikat pada lengan kerangka pipa PVC dan masing – masing fragmen karang lunak disusun pada lengan pipa PVC.

  • 2.3.4    Pengukuran Pertumbuhan

Pertumbuhan karang lunak merupakan pertambahan luas permukaan yang merupakan hasil perkalian panjang dan lebar (Arafat, 2009). Pengamatan pertumbuhan dilakukan selama 12 minggu, dimana setiap 2 minggu diukur pertumbuhannya.

  • 2.3.5    Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan RAK (Rancangan Acak Kelompok). Pertimbangan penggunaan RAK karena di alam terbuka membuat homogenitas kondisi di luar perlakuan antar ulangan sangatlah sulit. Sementara itu, perlakuan (faktor) dalam penelitian ini adalah jenis karang lunak (S) dan lokasi transplantasi (L). Perlakuan jenis karang lunak terdiri dari 3 jenis, yaitu S1 (S. polydac-tyla), S2 (L. strictum), dan S3 (S. asterolobata). Sedangkan perlakukan Lokasi terdiri dari 2, yaitu L1 (di luar teluk) dan L2 (di dalam teluk).

  • 2.4    Analisa Data

    • 2.4.1    Laju Pertumbuhan Karang Lunak

Perhitungan laju pertumbuhan ditunjukan pada persamaan 1, (Effendi, 1997).


(1)

Keterangan :

β : Laju pertumbuhan luas karang lunak (cm2/waktu)

Lt   : Rata-rata Luas karang lunak pada waktu ke-t (cm2)

L0  : Rata-rata Luas karang lunak pada saat awal penenaman

(cm2)

t : Waktu pengamatan (Minggu)

  • 2.4.2    Tingkat kelangsungan hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival rate) dihitung berdasarkan persamaan 2 (Ricker, 1975 in Arafat, 2009):

SR=(Nt / No) x 100%

Keterangan

(2)


SR     : Kelulus hidupan

Nt      : Jumlah transplan yang hidup

N0      : Jumlah awal yang ditransplan

  • 2.5    Analisa Statistik

    • 2.5.2    Laju Pertumbuhan

Pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan karang lunak dianalisa menggunakan Analisis Varian (ANOVA) 2 arah. Analisis varian dapat digunakan untuk melihat pengaruh faktor tunggal, yaitu jenis karang lunak dan lokasi budidaya dan interaksinya terhadap laju pertumbuhan karang. Sebelum dilakukan analisis varian, dilakukan uji normalitas data dan homogenitas terlebih dahulu (Utomo, 2019).

Apabila pengaruh perlakuan baik jenis karang lunak maupun lokasi budidaya menunjukkan perbedaan yang nyata (nilai Sig < 0,05) terhadap laju pertumbuhan karang, maka perlu dilakukan analisa lanjut. Analisa lanjut yang diperlukan adalah uji Beda Nyata Terkecil (BNT) yang akan mengevaluasi ada tidak perbedaan yang nyata antar level perlakuan (Priambodo, 2019).

  • 2.5.2    Tingkat Kelangsungan Hidup

Tujuan utama dari analisa ini adalah untuk mengetahui fungsi survival yang digunakan untuk menghasilkan kurva Survival Kaplan Meier, dimana analisis ini digunakan untuk melihat perbedaan nilai tingkat kelangsungan hidup terhadap kelompok yang diuji (Kleinbaum and Klein, 2005). Pada analisis survival selalu terjadi censored (data tersensor), yang merupakan informasi mengenai suatu individu, dimana individu tersensor apabila suatu penelitian berakhir individu tidak mengalami suatu kejadian (kematian). Setelah kurva tingkat kelangsungan hidup terbentuk dilakukan Uji Log-Rank (Mantel cox).

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Parameter Lingkungan Kualitas Perairan Lokasi Budidaya Transplan Karang Lunak

Nilai rata – rata salinitas dan pH pada kedua lokasi budidaya berada pada kisaran yang sama. Suhu perairan di kedua lokasi juga relatif sama sampai dengan minggu ke-6, dimana suhu perairan di luar teluk lebih tinggi 2-4 °C. Kekeruhan juga memilki rentang nilai yang tidak jauh berbeda antar dua lokasi budidaya, namun nilai kekeruhan di dalam teluk sedikit lebih tinggi daripada di luar teluk. Kondisi yang sama juga terlihat pada nutrien (nitrat dan fosfat) dalam air laut, dimana konsentrasi nitrat dan fosfat sepanjang pengamatan menunjukkan kisaran yang sama pada kedua lokasi. Pada penelitian ini nilai kecepatan arus lebih tinggi pada lokasi pengamatan luar teluk dibandingkan dengan lokasi pengamatan dalam teluk. Kecerahan pada kedua lokasi budidaya tergolong rendah dimana di dalam teluk <50% sedangkan di luar teluk <60% selama 12 minggu. Rata-rata parameter fisika dan kimia diluar dan dalam teluk pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Nilai salinitas, dan pH yang relatif sama di kedua lokasi budi-daya diduga selama pengamatan berlangsung kondisi cuaca pada kedua lokasi budidaya cenderung sama. Menurut Nontji (2002), faktor yang mempengaruhi beda tingginya salinitas perairan adalah cuaca, selain itu menurut Sudinno et al. (2015), air laut baik di pesisir maupun laut terbuka memiliki pH yang relatif stabil. Nilai salinitas dan pH pada kedua lokasi budidaya berada dalam kisaran baik untuk pertumbuhan karang lunak yaitu, pada salinitas 33 – 36 psu (Supriharyono, 2000), dan pH 7 - 8,5 (Nugroho, 2008).

Perbedaan suhu perairan pada minggu ke-8 diduga karena perubahan kecepatan arus yang ada di lokasi budidaya luar teluk dimana mengalami peningkatan pada waktu yang relatif sama. Menurut Hadikusumah (2008), variasi suhu dipengaruhi oleh pola arus yang dihasilkan oleh pasang surut dan angin. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Gemilang et al. (2017), dimana suhu perairan di dalam teluk lebih rendah dibandingkan dengan bagian di luar teluk dikarenakan tidak adanya pengaruh angin atau arus. Namun, rata-rata suhu perairan pada kedua lokasi budidaya berada pada kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan karang yaitu berkisar antara 25-32 (Dahuri, 2003).

Rendahnya kecerahan pada lokasi budidaya di luar teluk diduga disebabkan karena teraduknya partikel yang disebabkan oleh arus. Hal ini terlihat dari kecepatan arus yang mencapai 0,06 – 0,36 m/s, berdasarkan matriks kriteria parameter lingkungan biofisik perairan untuk kesesuaian rahabilitasi terumbu karang, pengukuran yang berada pada lokasi budidaya luar teluk masuk ke dalam kategori sangat sesuai untuk dilakukannya transplantasi, sedangkan kecepatan arus yang ada pada lokasi dalam teluk berkisar antara 0,005 – 0,097 m/s matriks kriteria parameter lingkungan biofisik perairan untuk kesesuaian rahabilitasi terumbu karang, pengukuran yang berada pada lokasi budidaya dalam teluk masuk kedalam kategori sesuai untuk dilakukannya proses transplantasi (Sahetapy, 2016). Rendahnya kecerahan pada lokasi budidaya di dalam teluk dapat disebabkan oleh adanya aktifitas keramba jaring apung. Menurut Siagian (2018), rendahnya kecerahan pada perairan yang dekat dengan keramba jaring apung, disebabkan oleh sisa – sisa pakan yang terbuang ke perairan sehingga menyebabkan penurunan tingkat kecerahan perairan dan meningkatkan nilai kekeruhan. Nilai kekeruhan di kedua lokasi budidaya masih berada di bawah baku mutu kualitas air untuk biota laut yaitu <5 NTU (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang baku mutu kualitas air untuk biota laut No. 179 Tahun 2004).

Konsentrasi nitrat dalam air laut di kedua lokasi budidaya menunjukkan nilai yang melebihi nilai standar baku mutu yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup No. 20 Tahun 2004 yaitu 0,008 mg/l. Konsentrasi fosfat di air laut pada kedua lokasi secara umum masih berada di bawah nilai standar baku mutu yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup No. 20 tahun 2004 yaitu 0,015 mg/l, (Kementrian Lingkungan Hidup No. 20 Tahun 2004). Konsentrasi nitrat yang tinggi dapat berasal dari aktifitas keramba jaring apung yaitu pakan sisa yang tidak habis dimakan oleh ikan (Kabalmay et al., 2017). Sisa pakan ini diduga terbawa oleh arus yang berasal dari dalam teluk menuju luar teluk lokasi budidaya karang lunak dilakukan.

Tabel 1. Data Rata – Rata Parameter Fisika dan Kimia di luar dan dalam Teluk Pengametan

Parameter

Lokasi

0

2

Minggu ke-

10

12

4

6

8

Salinitas (psu)

Luar

34

33

35

35

34

34

35

Dalam

35

34

34

35

35

34

34

pH

Luar

7,53

7,82

7,68

7,65

7,13

8,16

8,14

Dalam

7,35

7,54

7,68

7,22

7,63

8,15

8,17

Kecepatan Arus (m/s)

Luar

0,00

0,15

0,06

0,06

0,34

0,36

0,37

Dalam

0,02

0,03

0,02

0,01

0,10

0,01

0,01

Kecerahan (%)

Luar

40

45

60

65

50

60

80

Dalam

25

30

40

40

25

50

20

Suhu (°C)

Luar

27

28

27

27

29

29

31


Dalam      27        27        28        28        27        27         27

Kekeruhan (NTU)

Luar       1,83        1,75        1,84       2,40       2,63        2,91         2,37

Dalam      2,08       1,97       1,93       2,60       2,77       3,02        2,99

Nitrat (mg/l)

Luar         -        0,135      0,857      0,403      0,613      0,513       0,564

Dalam        -        0,33       1,149      0,371      0,537      0,425       0,582

Posfat (mg/l)

Luar         -        0,094      <0,01      <0,01      <0,01      <0,01       <0,01

Dalam        -        0,035      <0,01      0,043      <0,01      <0,01       <0,01


  • 3.2    Laju Pertumbuhan Transplan Karang Lunak yang Ditran plantasikan di Luar dan Dalam Teluk Pengametan Dengan Metode Gantung

Rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak yang dibudidayakan di luar dan dalam Teluk Pengametan selama 12 minggu ditunjukkan pada Tabel 3. Pertambahan ukuran (aug-mentasi) akhir fragmen pada masing-masing jenis karang lunak

dan lokasi budidaya menunjukkan kisaran rata-rata 1 kali ukuran awal, kecuali pada transplan karang lunak S. polydactyla yang mengalami pertambahan ukuran lebih besar dari jenis karang lunak yang lain yaitu 2-3 kali ukuran awal.

Tabel 3. Rata-rata (mean ± stdv) laju pertumbuhan transplan karang lunak yang di budidayakan di luar dan dalam Teluk Pengametan

Spesies

Lokasi

Ukuran Luas Awal (cm2)

Ukuran Luas Akhir (cm2)

Laju Pertumbuhan (cm2)

Augmentasi (cm2)

S. polydactyla

Luar

25,09 ± 4,76

49,43 ± 9,26

2,23 ± 0,44

2,01 ± 0,36

Dalam

21,78 ± 4,61

103,52 ± 34,01

8,23 ± 2,59

4,82 ± 1,61

L. strictum

Luar

28,38 ± 3,80

27,89 ± 20,24

0,94 ± 0,83

1,09 ± 0,84

Dalam

21,67 ± 4,09

32,31 ± 5,01

2,46 ± 1,22

1,53 ± 0,35

S. asterolo-bata

Luar

27,46 ± 4,28

39,80 ± 15,95

1,74 ± 1,15

0,64 ± 0,90

Dalam

24,99 ± 3,93

44,58 ± 5,33

2,92 ± 0,32

1,26 ± 0,91

Berdasarkan uji ANOVA dua arah rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar lokasi budidaya (P<0,05) dimana semua jenis transplan karang lunak yang dibudidayakan di dalam teluk memiliki rata-rata laju pertumbuhan lebih tinggi daripada di luar teluk (Tabel 3). Perbedaan pola pertumbuhan pada kedua lokasi budidaya dapat dilihat pada grafik (Gambar 3). Pertumbuhan semua transplan karang lunak di dalam teluk menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi hingga minggu ke-12.

Gambar 3. Pola pertumbuhan karang lunak di lokasi berbeda

Walaupun variabel jenis karang lunak dan lokasi budi-daya masing-masing menunjukkan rata-rata perbedaan laju pertumbuhan transplan karang lunak secara signifikan, tetapi secara bersama-sama kedua variabel tersebut tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada rata-rata laju pertumbuhan semua jenis transplan karang lunak (P = 0,066).

Pola pertumbuhan rata-rata ketiga jenis karang transplan pada lokasi budidaya berbeda ditampilkan pada Gambar 4, dimana pertumbuhan tertinggi didominasi oleh karang lunak S. polydactyla dan terendah terdapat pada karang lunak L. strictum hingga minggu ke-10, namun pada minggu ke-12 karang lunak S. asterolobata mengalami penurunan ukuran, hal ini disebabkan karena adanya kematian pada fragmen S. asterolobata.

Berdasarkan hasil uji dua arah-ANOVA, rata-rata laju pertumbuhan semua jenis transplan karang lunak berbeda signifikan (P<0,05) dimana berdasarkan Uji lanjut BNT, rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak L. strictum lebih rendah secara signifikan daripada laju pertumbuhan transplan karang lunak S. polydactyla (P<0,05), tetapi tidak berbeda dengan rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak S. asterolobata. Hasil Uji BNT juga menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak S. polydactyla signifikan lebih tinggi daripada S. asterolobata (P<0,05)

Gambar 4. Pola pertumbuhan transplan karang lunak S. poly-dactyla, S. asterolobata dan L. strictum.

Rata – rata laju pertumbuhan transplan karang lunak L. strictum cenderung sama dengan karang lunak S. asterolobata pada metode budidaya gantung, diduga karena kedua jenis karang lunak ini memiliki daya adaptasi yang rendah pada kondisi atau lingkungan yang baru. Stres pada kedua jenis terlihat dari bentuk yang mengkerut, dan kedua jenis karang lunak ini kembali menunjukkan bentuk normal lebih lama daripada jenis S. polydactyla. Menurut Villanueva et al. (2012) stress pada karang lunak dapat terjadi karena adanya tekanan dari lingkungan yang baru. Karang lunak akan melakukan proses adaptasi dengan cara menjaga kestabilan tubuhnya dengan cara mengeluarkan lendir atau mucus, dan jika proses adaptasi berhasil karang lunak akan mengalami kondisi homeostasis, tetapi bila tidak berhasil melakukan adaptasi karang lunak akan mengalami stress kembali (Sarwono, 1992 in Rani C., 1999). Karang lunak jenis Sinularia spp. memiliki daya tahan yang tinggi terhadap perubahan cahaya maupun lokasi yang ada di perairan (Mohammed et al., 2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cunha (2006) mengenai transplantasi karang lunak Sinularia sp. dengan dua metode yang berbeda yaitu dengan metode ikat dan metode tebar yang dilakukan di kolam terkontrol, diperoleh nilai pertumbuhan selama 40 hari sebesar ± 3 cm untuk kedua metode, berbeda dengan karang lunak Sinularia sp., hasil studi Prastiwi et al. (2012) menunjukkan laju pertumbuhan rendah pada karang lunak L. strictum yang dibudidayakan pada sistem resirkulasi dengan sistem cahaya yang berbeda di kolam terbuka selama 84 hari atau 12 minggu, dengan laju pertumbuhan tertinggi mencapai ± 1,35 cm/minggu, namun pada hari ke-42 tejadi pertumbuhan yang menurun hingga -2,89 cm. Hal ini mengindikasikan kemampuan adaptasi kedua jenis karang lunak yaitu tinggi pada karang lunak Sinularia sp. dan rendah pada L. strictum terhadap kegiatan transplantasi/budi-daya.

Transplan karang lunak S. asterolobata memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah dari S. polydactyla, dapat disebabkan adanya alga yang menutupi permukaan S. asterolobata. Karang lunak S. asterolobata memiliki struktur polip yang kaku (Verseveldt, 1977), dan pada pengamatan langsung karang lunak S. polydactyla memiliki tekstur yang lebih lunak dibandingkan dengan S. asterolobata, sehingga diduga alga lebih mudah menempel pada jenis S. asterolobata. Hal ini sesuai dengan McCook et al. (2001) yaitu kemampuan karang berkompetisi dengan alga juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik atau bentuk pertumbuhan karang. Hasil studi Abdul (2001) juga menunjukkan hal yang sama dengan penelitian ini,

yaitu alga menutupi permukaan polip karang lunak yang akhirnya menyebabkan kematian pada karang lunak tersebut.

Rendahnya laju pertumbuhan pada karang lunak L. strictum juga diduga disebabkan penempelan alga dan rendahnya kemampuan adaptasi. Menurut Abdul (2001), L. strictum memiliki kemampuan adaptasi yang rendah terhadap kecepatan arus dan pergerakan air di kolom perairan yang disebabkan oleh ukuran polip L. strictum cenderung kecil, dan memiliki jarak antar polip yang sedikit berjauhan. Jarak antar polip tersebut disebabkan densitas polip yang rendah pada jenis karang lunak ini. Densitas polip yang rendah dapat menurunkan produksi mucus. Menurut Levinton (1982), polip karang mengasilkan mucus untuk melepaskan partikel yang mengendap pada permukaannya. Morfologi polip tersebut dapat menyebabkan kemampuan untuk menyingkirkan alga yang menempel dan partikel di permukaan tubuh juga rendah.

Rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak yang dibudidayakan di dalam teluk lebih tinggi diduga disebabkan karena adanya perbedaan kondisi lingkungan, khususnya kecepatan arus, dimana arus di luar teluk lebih tinggi (0,194 ± 0,13 m/s) dibandingkan di dalam teluk (0,028 ± 0,03 m/s). Metode budidaya yang digunakan yaitu metode gantung dipengaruhi oleh arus. Kecepatan arus yang kencang akan menyebabkan gerakan berlebih terhadap transplan karang lunak, sehingga dapat menyebabkan transplan karang lunak mengalami stress pada masa awal transplan. Stress tersebut dapat mengalihkan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sehingga menurunkan laju pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan transplan mati atau hilang/lepas dari tali seperti yang terjadi pada penelitian ini. Menurut Khalesi et al. (2007), kecepatan arus dapat mempengaruhi pertumbuhan karang lunak dimana kecepatan arus yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan menurun dikarenakan polip tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Namun, kecepatan arus yang rendah seperti yang terdapat di dalam teluk juga dapat menurunkan laju pertumbuhan yang disebabkan oleh tutupan alga pada permukaan polip. Alga yang lebih dominan berada pada dalam teluk disebabkan oleh kecepatan arus yang lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan arus yang ada di luar teluk serta nutrien yang tinggi. Menurut Ariani et al. (2017) perairan tenang akan memudahkan spora makroalga menempel pada suatu media atau substrat.

  • 3.3    Tingkat Kelangsungan Hidup Transplan Karang Lunak yang dibudidayakan di Dalam dan Luar Teluk Pegametan

Hasil uji log-rank menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan kelangsungan hidup transplan antar jenis karang lunak yang dibudidayakan pada lokasi budidaya tidak berbeda (x2 = 8,183, P = 0,146). Namun demikian, waktu kematian transplan karang lunak bervariasi antar jenis karang lunak dan lokasi budidaya. Transplan karang lunak S. polydac-tyla yang dibudidayakan di kedua lokasi budidaya tidak mengalami kematian hingga akhir penelitian (100%) (Gambar 5). Dengan demikian, kelangsungan hidup transplan karang lunak S. polydactyla pada kedua lokasi lebih dari 50%. Transplan karang lunak S. asterolobata yang dibudidayakan di luar teluk mulai mengalami kematian sebesar 50% pada minggu ke-6 sedangkan jenis yang sama dibudidayakan di dalam teluk mulai mengalami kematian pada minggu ke-10 (Gambar 5).

Survival Functions

Spesies

—ns. Polydactyla Dalam Teluk — ” S. polydacty la. Luar Teluk L-Strictum Dalsm Teluk L-Strictum Luar Teluk

-S.asteroloobata Dalam Telul

— “ S .SSteroIobata Luar Teluk

6

12

Minggu


Gambar 5. Kurva kelangsungan hidup transplan karang lunak S. polydactyla, L. strictum, dan S. asterolobata pada lokasi budidaya berbeda. Keterangan: censored = transplan karang lunak yang hidup sampai akhir durasi pengamatan

Kematian transplan karang lunak jenis L. strictum mulai terjadi pada minggu ke-4 yang terjadi di lokasi budidaya luar teluk, untuk jenis yang sama pada lokasi budidaya dalam teluk kematian mulai terjadi pada minggu yang berbeda yaitu minggu ke-6, tetapi kurang dari 50% karang lunak mampu bertahan sampai akhir pengamatan. Hal yang berbeda ditunjukkan pada jenis yang sama tetapi dibudidayakan di luar teluk dimana lebih dari 50% transplan dapat bertahan sampai minggu ke-12 (Gambar 5).

Rendahnya tingkat kelangsungan hidup umumnya disebabkan penutupan alga di permukaan koloni transplan karang lunak dan lepas/hilang. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup di luar teluk umumnya disebabkan oleh lepasnya/hilangnya transplan pada metode gantung akibat kecepatan arus yang lebih tinggi, sedangkan penyebab rendahnya tingkat kelangsungan hidup di dalam teluk umumnya akibat penutupan alga pada permukaan koloni transplan karang lunak. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Abdul (2001). Pertumbuhan alga yang cepat di dalam teluk dapat disebabkan oleh nutrien yang tinggi dan kecepatan arus yang rendah. Menurut Ariani et al. (2017), nutrien yang tinggi dan perairan tenang dapat meningkatkan intesitas alga yang dapat menganggu pertumbuhan karang lunak.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • 1.    Rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak yang dibudidayakan dengan metode gantung di dalam teluk secara signifikan lebih tinggi yaitu 4,53 cm2 daripada di luar teluk yaitu 1,64 cm2.

  • 2.    Rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak S. polydactyla signifikan lebih tinggi dibandingkan dua jenis karang lunak lainnya, yaitu 5,22 cm2, sedangkan rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak S. asterolobata dan L. strictum tidak berbeda signifikan yaitu masing-masing 2,33 cm2 dan 1,7 cm2.

  • 3.    Perbedaan lokasi budidaya dan jenis karang lunak Bersama-sama tidak memberikan perbedaan pada rata-rata laju pertumbuhan transplan karang lunak.

  • 4.    Tingkat kelangsungan hidup ketiga jenis transplan karang lunak yang dibudidayakan di dalam dan luar Teluk Pegametan tidak berbeda signifikan.

Daftar Pustaka

[MENKLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2008. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.jakarta

Abdul H. 2001. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Fragmentasi Buatan Karang Lunak (Octocoral-lia: Alcyonacca) Sarchophyton trocheliophorum VON MARENZELLER dan Lobophytum strictum TIXIER-DURIVAULT di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 105 hal.

Arafat D. 2009. Pertumbuhan Karang Lunak (Octocorallia: Al-cyonacea) Lobophytum strictum, Sinularia dura dan Perkembangan Gonad Sinularia dura Hasil Fragmentasi Buatan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta [Thesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 98 hal

Ariani, Nurgayah W, Afu LOA. 2017. Komposisi Dan Distribusi Makroalga Berdasarkan Tipe Substrat Di Perairan Desa Lalowaru Kecamatan Moramo Utara. Sapa Laut Vol. 2(1):25-30

Bayer FM, Grasshoff J, Verseveldt. 1983. Illustrated Trilingual Glossary of Morphological and Anatomical Terms Applied to Octocorallia. Netherlands: Brill Archive. 75 hal

Cunha LFDN. 2006. Propagation and Nutrition of the Soft Coral Sinularia sp. [Tesis]. Bangor: School of Ocean Sciences, University of Wales 64 hal.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Grame-dia Pustaka Utama. 412 hal.

Ellis S. 1999. Farming Soft Corals for the Marine Aquarium Trade. Center for Tropical and Subtropical Aquaculture Publication No. 140.

Gemilang WA, Rahmawan GA, Wisha UJ. Kualitas Perairan Teluk Ambon Dalam Berdasarkan Parameter Fisika Dan Kimia Pada Musim Peralihan I. EnviroScienteae Vol. 13 No. 1, April 2017 Halaman 79-90

Hadikusumah. (2008). Variabilitas suhu dan salinitas di Perairan Cisadane. Makara Sains. 12(2):82-88.

Haris A, Rani C. 2019. Karang Lunak Anthozoa: Octocorallia. Sleman: Penerbit Deepublish. 396 hal

Insafitri, Nugraha, Wahyu A. 2006. Laju Pertumbuhan Karang Porites lutea. Ilmu Kelautan. Maret 2006. Vol. 11 (1) : 50 – 53

Kabalmay AA, Pangemanan NPL, Undap SL. 2017. Pengaruh kualitas fisika kimia perairan terhadap usaha budidaya ikan di Danau Bulilin Kabupaten Minahasa Tenggara. Budidaya Perairan Mei 2017 Vol. 5 No.2: 15 – 26.

Kelli O, Kathryn L, Erich B, Joshua P. 2016. Evaluation of Staghorn Coral (Acropora Cervicornis, Lamarck 1816) Production Techniques in An Ocean-Based Nursery with Consideration of Coral Genotype. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology Vol. 487: 53– 58

Kenneth N, Kevin G, Stephanie R. 2011. Coral Tree Nursery©: An Innovative Approach to Growing Corals In An

Ocean-Based Field Nursery. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation. AACL Bioflux Vol. 4: 442446

Khalesi MK, Beeftink HH, Wijffels RH. 2007. Flow-dependent growth in the zooxanthellate soft coral Sinularia flexibilis. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 351: 106–113.

Levinton, J. S. 1982. Marine Ecology. Englewoods Cliffs. Prentice Hall. New Jersey 526 hal.

Manuputty AEW. 2008. Beberapa Aspek Ekologi Oktokoral. Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008: 33– 42.

McCook LJ, Jompa J, Pulido GD. 2001. Competition between corals and algae on coral reefs: a review of evidence and mechanisms. Coral Reefs 19: 400-417.

Mohammed TAA, Komi MME, Shokur FM, Arab MEE. 2017. Growth Rate Evaluation of the Alcyonacean Soft Coral Sinularia polydactyla (Ehrenberg, 1834) at Hurghada, Northern Red Sea, Egypt. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare. Vol.7, No.22, 2017.

Murniasih, Tutik. (2016). Laporan Akhir Kegiatan Penelitian "Bio-mining" Metabolit Sekunder Karang Lunak (Alcy-onacea) dan Evaluasi Aktivitas Farmakologinya. Jakarta. Indonesia: Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta

Nugroho SC. 2008. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Transplantasi Karang Lunak Sinularia dura dan Lobophytum strictum di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 76 hal.

Nybakken, J.W. 1998. Biologi laut: Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia, Jakarta. 458 hlm.

Prastiwi, D.I., Soedharma, D. & Subhan, B. 2012. Growth of transplanted soft corals Lobophytum strictum on recirculation system with different light conditions. Bo-norowo Wetlands, Vol 2(1):31- 39.

Priambodo SR, Susila KD, Soniari NN. 2019. Pengaruh Pupuk Hayati dan Pupuk Anorganik Terhadap Beberapa Sifat Kimia Tanah Serta Hasil Tanaman Bayam Cabut (Am-aranthus tricolor) di Tanah Inceptisol Desa Pedungan. E-jurnal Agroekoteknologi Tropika Vol. 8, No. 1.

Sahetapy D. 2016. Penzonasian dan Penatakelolaan Kawasan Konservasi Perairan Teluk Tuhaha Berbasis Ekosistem. Proposal Disertasi. Program Doktor (S3). Ambon: Program Studi Ilmu Kelautan, Pascasarjana Universitas Pat-timura Hal: 88-92

Siagian M. 2018. Pengaruh Budidaya Keramba Jaring Apung Terhadap Struktur Komunitas Perifiton pada Substrat yang Berbeda di Sekitar Dam Site Waduk Plta Koto Panjang Kampar Riau. Jurnal Akuatika Indonesia Vol. 3 No. 1/ Maret 2018 (26-35)

Sudinno D, Jubaedah I, Anas P. 2015. Kualitas Air dan Komuniatas Pada Tambak Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan dan Kelautan Vol 9 (1): 13-28.

Sumitro SEN, Yousif OM. 20106. Development of a coral nursery as a sustainable resource for reef restoration in

Abu Al Abyad Island, Abu Dhabi, United Arab Emirates, Arabian Gulf. Galaxea, Journal of Coral Reef Studies Vol. 18: 3-8.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di WilayahPesisir Tropis. Jakarta: PT Grame-dia Pustaka Utama. 156 hal.

Utomo A, Kushartanti BMW. Efektivitas massage frirage dan kombinasi back massage-stretching untuk penyembuhan nyeri pinggang. Jurnal Keolahragaan 7 (1), 2019, 43-56.

Villanueva RD, Baria MVB, Cruz DWD. 2012. Growth and survivorship of juvenile corals outplanted to degraded reef areas in Bolinao-Anda Reef Complex, Philippines. Marine Biology Research Vol 8: 877 – 884.

Yunus BH, Wijayanti DP, Sabdono A. 2013. Transplantasi Karang Acropora Aspera Dengan Metode Tali Di Perairan Teluk Awur, Jepara. Buletin Oseanografi Marina Juli 2013 Vol. 2:22 – 28.

55