JMRT, Volume 3 No 1 Tahun 2020, Halaman: 25-29

JMRT


JOURNALrOF MARINEoRESEARCHoAND TECHNOLOGY

journal homepageq: https://ojs.unud.ac.id/index.php/JMRT

ISSNo: 2621-0096y(electronic); 42621-0088 (print)

Identifikasi Jenis dan Prevalensi Penyakit Karang pada Terumbu Karang di Perairan Pemuteran

Putu Hernanda Krishna Ariszandya, I Dewa Nyoman Nurweda Putraa, and Widiastutia*

  • aProgrampStudi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan danpPerikanan, UniversitasrUdayana, , Bali,, Indonesia

  • *Corresponding author, email: widiastutikarim@unud.ac.id

ARTICLEyINFO              ABSTRACTq

Articlephistory:

Received: November 12th 2019

Received in revised form: November 29th 2019

Accepted: January 13th 2020

Available online: February 28th 2020


Keywords:

identification of coral disease prevalence

pemuteran waters


Coral reef ecosystems play an important role in many aspects of human beings as one third of Indonesian population are living in coastal areas and depend their lives on this ecosystem. However, this ecosystem is threatened by various factors, one of them is coral disease. Increased sea water temperature, sedimentation, and pollutants can increase the growth of pathogenic microorganisms that cause coral disease. The data of coral diseases was collected byqpurposive samplingpmethod which was chosen based on the presence of coral reefs and coastal conditions at each station in a belt transect of 20 x2 m. Furthermore, coral diseases and coral species were identified based on identification books. The prevalence of coral disease was calculated by divided the total number of coral colonies with the total number of diseased coral then multiplied by 100%. Results showed that the highest coral disease prevalence were at site 3 and 4. Meanwhile, site 1 and 2 were lower than those sites. It was suggested that the coral disease prevalence is related to the domestic input from the coastal. As site 1 and 2 were relatively low populated than site 3 and 4.

2020 JMRT. Allerights reserved.

  • 1.    Pendahuluanq

Terumbuqtkarang adalahqsalah satu ekosistem yanggmemiliki produktivitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi (Amin, 2010). Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi sosial, ekonomi, ekologi, riset, karena hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal (Amin, 2010). Terumbu karang juga merupakan habitat berbagai biota laut untuk berkembang biak, mencari makan, dan sebagai tempat berlindung (Sadarun, 2006). Namun kelangsungan hidup ekosistem ini mengalami berbagai ancaman kerusakan akibat aktifitas antropogenik yaitu antara lain pencemaran limbah domestik dan industri serta aktifitas menangkap ikan yang merusak. Sedangkan secara alami kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan air laut (Sadarun, 2006).

Salah satu diantara berbagai penyebab kerusakan tersebut adalah penyakit karang. Meningkatnya suhu air laut, sedimentasi, dan polutan dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme penyebab penyakit karang. (Peters, 2012). Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, yaitu White band disease (WBD) yang menginfeksi Acropora palmata di Santa Croix, White plague (WP) yang menginfeksi Montastrea di Key Largo dan Dark spot yang menginfeksi Siderastrea sidereal di Karibia (Miller, 2010).

Perairan Pemuteran merupakanysalah satu pantaipwisata yang terdapat di Pulau Bali Bagian Barat. Tingkat wisata

bahari di Perairan Pemuteran meningkat dari tahun ke tahun khususnya wisata penyelaman terumbu karang. Desa Pemuteran dilewati oleh 4 sungai yang hanya mengalir pada musim hujan sedangkan musim kemarau sungai tersebut kering atau disebut sungai intermittent (Alif, 2017). Selain itu penggunaan bom untuk penangkapan ikan karang, lalu lintas kapal, dan tingginya sedimentasi juga berkontribusi terhadap kerusakan terumbu karang di perairan ini (Alif, 2017). Faktor – faktor tersebutpdiatas secarawlangsung maupun tidakrlangsung dapat meningkatkan infeksi penyakit karang. Tetapi, data mengenai jenis dan prevalensi penyakit karang di terumbu karang perairan pemuteran belum banyak dilaporkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan menghitung prevalensi penyakit karang di terumbu karang Perairan Pemuteran.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 21-26 Maret 2018 di Perairan Pemuteran (Gambar 1).

Gambar 1. PetarLokasiePenelitian di Pemuteran

  • 2.2    Pengambilan Data

    • 2.2.1    Parameter Lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan yaitu suhu, kecerahan, salinitas, pH di lakukan secara in situ pada kolom perairan diatas terumbu karang. Parameter perairan seperti nitrat dan zat organik diukur dilaboratorium kesehatan Provinsi Bali. Pengukuran ini dilakukan bersamaan dengan pengambilan data penyakit karang. Pengukuran data parameter lingkungan adalah suhu, kecerahan, pH, salinitas, nitrat dan zat organik.

  • 2.2.2    Pengamatan Jenis-Jenis Penyakit Karang

Datagpenyakitokarang diambil menggunakan metode sabuk transek dengan ukuran panjang 20 meter (lebar masing-masing 1 meter ke samping kanan dan kiri). Transek sabuk adalah metode survei denganharea yang ditentukanydimana semua karangedi dalamnya dihitung dan dideteksio keberadaan penyakitnya (Royhan, 2014). Pada setiap stasiun dilakukan pencatatan jumlah koloni yang terserang penyakit dan yang sehat setiap genus karang (Gambar 2).

Gambar 2. Transek Sabuk

Metode yang digunakane untuk pengambilanr persentaseq tutupanq karang adalahg metode liner intercept transectd (transek garis) sepanjang 20 meter. Metode transeks garist adalah metodeq pengamatanw ekosistem terumbue karangs yang menggunakanq transek berupa garis dengan prinsipe pencatatan bentuk pertumbuhan karang yangs smenyinggung transekf (English et al., 1994).

  • 2.3    AnalisisoData

    • 2.3.1    PenutupantKarangq

Perhitunganapenutupan karang diketahui dengan persamaaneberikut menurut Englishaet al. (1994).

  • 2.3.2    PenyakittKarang dan Prevalensi Penyakit Karang

Analisis data meliputi perhitungan jumlah koloni sehat, yang terserang jenis penyakit, dan jenis genus karang. Identifikasi jenis-jenis penyakit karang berdasarkan buku (Suharsono, 2008). Prevalensi merupakan persentase jumlah koloni yang terinfeksi penyakit dengan jumlah total koloni karang disuatu perairan. Prevalensi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Raymundo et al., 2008).

Jumlah koloni yang terinfeksi penyakit

Prevalensi -                                          X100%

total koloni karang

(2)

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 qKondisi Pesisir Stasiun Penelitian

Kondisi pesisir stasiun penelitian bervariasi. Berdasarkan pengamatan visual pada stasiun 1 tidak terdapat pemukiman penduduk dan tidak terdapat aliran sungai ke laut. Stasiun 2 merupakan stasiun yang wilayah pesisirnya relatif rendah pemukiman penduduk, sedangkan keadaan lingkungan pesisir pada stasiun 3 dan 4 terletak dekat dengan pemukiman padat penduduk, hotel, dan restoran. Khusus di stasiun 4 terdapat tambak yang memiliki saluran air menuju perairan laut.

Perbedaan kondisi pesisir di setiap stasiun penelitian dapat mengakibatkan adanya masukan limbah domestik yang berbeda-beda pula. Stasiun 1 dan 2 diduga tidak menyumbangkan limbah domestik yang berasal dari kondisi pesisir lingkungan maupun aktivitas manusia, karena di kedua stasiun ini tidak terdapat pemukiman yang padat penduduk sehingga tidak adanya aktifitas manusia yang dapat menyumbangkan limbah domestik yang dapat mengalir sampai ke perairan laut. Stasiun 3 dan 4 terdapat pemukiman yang padat penduduk, hotel maupun restoran dan khususnya di stasiun 4 terdapat tambak yang memiliki saluran air yang mengalir ke arah laut. Kondisi lingkungan pesisir seperti ini memungkinkan limbah domestik yang berasal dari aktivitassmanusia di pesisir dapat masuk keolingkungan perairan sehingga mencemari lingkungan terumbu karang.

  • 3.2    Parameter Kualitas Perairan

Data hasil pengukuran rata-rata parameter kualitas perairan Pemuteran ditunjukan pada Tabel 2. Suhu diperairan Pemuteran berkisar dantara 28-29˚C, hasil pengukuran suhu permukaan laut pada bulan Mei 2016 yaitu 30-31˚C (Alif, 2017) perbedaan hasil pengukuran suhu tersebut dapat dimungkinkan karena pada penelitian ini (akhir Maret 2018) masih terjadi hujan sehingga menyebabkan suhu permukaan laut di Pemuteran lebih rendah dari pada hasil pengukuran pada bulan Mei 2016 yang mulai memasuki musim kemarau.

gSuhu yang dibutuhkana untuk pembentukanq terumbu karang berkisarz antaraq 25-30˚Cq (Nontji, 1993). Kisarana suhu yangq optimal untukz pertumbuhan karang adalaha 26-32˚Cq (Riska et al, 2013), Jadi suhu diperairan Pemuteran masih dalam batas tolerir (baik) untuk ekosistem terumbu karang.

Persentase tutupan = ⅛l⅛^       100%

Panjan g tran sek (cm)


(1)


Tabel 2. Data rata-rata parameter kualitas perairan di perairan Pemuteran

Parameter

Satuan

Nilai

Stasiun

1

Stasiun

2

Stasiun

3

Stasiun

4

Suhu

°C

28

28

28

29

pH

-

6-7

6-7

6-7

6-7

Kecerahan

%

100

80

70

80

Salinitas

ppt

28

28

29

29

Nitrat

mg/L

<0,01

<0,01

<0,01

0,21

Zat Organik

mg/L

54,56

49,72

60,04

52,03

Nilaia derajat keasamanq (pH) qpada keempat stasiuno relatif sama berkisar diantaraj nilai 6-7. Zamani dan Maduppa (2011) menyatakan bahwa qkisaran nilaiw pH yang sesuai untuk terumbuq karang yaitu 07-8,5. Kecerahane tertinggi terdapatw pada stasiuns 1 dan kecerahand terendah terdapat pada stasiunq 3. Kecerahan terendah pada stasiunq 3 terjadi diduga karena sedimentasi yang tinggi akibat dari hujan deras pada malam hari sebelum pengambilan data. Kecerahan air sangat penting bagi zooxanthella yang bersimbiosis dengan karang untuk melakukan fotosintesis, berkurangnya intensitas cahaya matahari akan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis zooxanthella dan secara tidak langsung akan berpengaruh pada karang yaitu menghambat aliran nutrien dari zooxanthella ke karang (Siringoringo, 2013).

Nilai salinitasw padaykeempat stasiuna tidak memiliki perbedaanq nilai yang signifikan yaitu salinitas berkisaro antara k28-29 ppt. Pada penelitian Alif (2017) hasil pengukuran salinitas berkisar antara 31-32, nilai salinitas tersebut lebih tinggi daripada hasil pengukuran pada bulan ini yang diduga karena masih adanya hujan. Keadaan salinitas berpengaruh pada proses kalsifikasi karang. Konsentrasi nitrat diperairan pemuteran pada stasiun 1,2, dan 3 sama yaitu <0,01 mg/L. Konsentrasi nitrat pada stasiun 4 relatif tinggi yaitu 0,21 mg/l, hal tersebut diduga karena di stasiun 4 banyak terdapat aktifitas seperti wisata bahari, perkapalan disekitarnya dan juga ada banyak hotel di pesisirnya yang mempunyai pembuangan mengarah ke laut dan diduga mengandung nitrat. Pada penelitian Alif (2017) nilai nitrat di perairan pemuteranisebesar 0,21 mg/l hal itu menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan hasil konsentrasi nitrat pada penelitian ini.

Menurut Pangaribuan et al. (2013), konsentrasi kandungan zat organik dan nitrat disuatu perairan sangat menentukan tinggi rendahnya densitas zooxanthella yang terdapat pada koloni karang. Pengayaan dari nitrat dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada karang keras (Bruno et al., 2003). Sedangkan nilai zat organik di perairan pemuteran sangat bervariasi antara 49-60 mg/l, zat organik bisa juga berasal dari darat yaitu seperti aliran air dari pembuangan rumah tangga yang mengalir ke pesisir.

  • 3 ). Terdapatq 6 jenisd karangq yang ditemukand pada masing masingz stasiun yakniygenus Pocilloporaq, Porites, Acroporad, Fungia, Coleoseris dan Gonioporam. Sedangkan karang genus Galaxea hanyaoditemukanq pada stasiund 1.

Gambar 3. KelimpahanpKarang

Kelimpahanrkarang di PerairanrPemuteranq didominasia olehxkarang genus Porites. Hal iniydiduga karenaa karang genus Poritesomemiliki dayas tahanq lebih terhadaps lingkungan. Kemampuan Porites untuk dapat hidup dalam lingkungan yang tidak optimal juga ditunjukkan pada hasil penelitian Munasik dan Bengen (2004) yang menunjukkan bahwaq komunitast karang kerasq di perairan Pulau MarabatuanrKalimantan Selatan yang keruhq dan bersalinitas rendahqdidominasi karang Porites lutea serta kombinasir kelompokw Poritiida lainnyaw yang mampu beradaptasiq di lingkunganryang mengalamid tekanan kronisr, sebagaimanad terjadi di perairanq Jeparao(Munasik et al., 2000) dan Teluk Banteno(Meesters et al., 2002).

Jika dibandingkan dengan karangogenus Porites, karang genus Acropora lebiha sedikit kelimpahannya. tSiringoringo dan Triert(2013) menyebutkans karang genus Acroporae merupakanda karang yang rapuhes dan sangat sensitiff terhadap lingkungan yang tinggi aktifitasr bahari, perairan Pemuteran yang memiliki daya tarik wisata bahari yang tinggi menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya jenis karang genus Acropora.

Karang- karangl masif dikatagorikand sebagaip karangq yangg resistend terhadap perubahanq lingkunganf seperti karangy jenisd qPorites, Goniopora, Galaxeaq (Marshal dan Schuttenberg,q2006). PadaqPerairanaPemuteran juga ditemukan karang genus Coeloserisd, Goniopora dan Galaxear dengan kelimpahanq yang rendahq pada tiap stasiunnyas dibandingkant dengan karangtPoritesr

  • 3 .3.2 Persen Tutupan Karang

Persen tutupan pada masing-masing stasiun terdiri dari karang hidup, karang mati, biotik dan abiotik. Persen tutupan karang hidup tertinggiyterdapatppada stasiunt1. Selanjutnya persenrtutupankkarang hidupbtertinggipkedua terdapatqpada stasiun 3, dan stasiun 4. Persen tutupanqkarang mati tertinggi terdapatqpada stasiun 2. (Gambar 4).

  • 3.3    Kelimpahan dan Persen Tutupan Karang

    • 3.3.1    Pengamatan Jenis-Jenis Penyakit Karang

Kelimpahanq karangq yang terdapata padad lokasi penelitiand didominasiq oleh karang genus Poritesw (Gambar

Gambar 4. Persen Tutupan Karang


Gambar



Tabel 4. Jenis dan Deskripsi Penyakit


Deskripsi

Ulcerative White Spot (UWS)

Penyakit jenis ini terdapat lingkaranp– lingkaran kecil berwarna putih, dimana setiap lingkaran terpisah – pisah dan menyebarrpada permukaan koloni.

Tingginya persen tutupan karang hidupq di stasiun 1 dapat disebabkan karena kondisi wilayah pesisirnya tidak terdapat aktivitas manusia dan tidak ditemukan adanya aliran air tawar yang masuk dari daratan ke laut. Pada stasiun 2 persentase karang hidup sebesar 27% dan didominasi oleh coraltmassive. Persen tutupan karang hidupq pada stasiun ini merupakan yang terendah dibandingkanw dengan stasiun lainnya didugak karena pada stasiun 2 walaupun memilikiqwilayah pesisirtyang tidak padatrpenduduk tetapi terdapat aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan yang diduga merusak karang.

Stasiun 3 dan 4 memiliki persentase penutupan karang hidup kurang dari 50%. Kawasan pesisir kedua stasiun ini merupakan perairan yang wilayah pesisirnya padat dengan fasilitas pariwisata seperti hotel, selain itu juga terdapat pemukiman penduduk. Persentase tutupan karang hidup pada stasiun 3 juga didominasi oleh coral massive dengan presentase tutupan 47%, dan persentase karang mati 15%, khusus di stasiun 4 terdapat tambak penduduk.

  • 3.4    Jenis dan Prevalensi Penyakit Karang

Jenis dan prevalensi penyakit karang ditunjukkan pada tabel 4. Berdasarkan tabel 3, diketahui terdapat 2 jenis penyakit karang pada perairan Pemuteran yaitu Ulcreative White Spot (UWS) dan White Syndrome (WS). Penyakit Ulcreative White Spot (UWS) terdapat disetiap stasiun, sedangkan penyakit White Syndrome (WS) hanya berada pada stasiun 3 dan stasiun 4. Penyakit Ulcreative White Spot (WS) dicirikan dengan adanya perbedaan warna yang berbentuk bulat teratur berdiameter <1cm pada permukaan koloni karang. Sedangkan penyakit White Syndrome (WS) memiliki ciri-ciri adanya perbedaan warna pada koloni karang, biasanya berwarna putih pada bagian koloni karang (Tabel 4).

Nilai prevalensi penyakit Ulcreative White Spot (UWS) tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 0,9% dan prevalensi penyakit White Syndrome (WS) tertinggi pada stasiun 4 yaitu sebesar 1,9%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding dengan penemuan data prevalensi keseluruhan penyakit karang diperairan Indonesia yaitu antara lain, Nusa Tengara Timur yang mencapai 42%, perairan Pulau Panjang Jawa Tengah yaitu 73% (Sabdono, 2014).

Tabel 3. Data Jenis Penyakit dan Jumlah Koloni Karang Terinfeksi Penyakit

Stasiun

Penyakit Kaiang

Ulcreatrve W7hite Spot

WTiite Syndrome

Total Koloni

Jumlah

Koloni Berpenyakit

Prevalensi Penyakit %

Total

Koloni

Jumlah Koloni Berpenyakit

Prevalensi Penyakit %

1

278

1

=4 %

278

0

0

2

130

1

0:8 %

130

O

O

3

207

2

0z9 %

207

1

0i5 %

4

152

1

0,6%

152

3

li9%


White Syndrome (WS) Penyakit jenis ini terlihat dengan adanya jaringan karang yang hilang.

Tingginya nilai prevalensi penyakit karang yang terdapat pada stasiun 3 dan stasiun 4 diduga berhubungan dengan parameter kualitas perairan khususnya nitrat dan bahan organik. Kuatnya pengaruh nitrat dan bahan organik pada prevalensi penyakit UWS pada stasiun 3 dan 4 diduga berhubungan dengan kondisi pesisir kedua stasiun tersebut yaitu terdapat pemukiman warga dan hotel atau resort yang padat disepanjang pesisir pantai, dapat menghasilkan limbah domestik yang mengandung nitrat dan zat organik yang mengalir masuk ke perairan laut sekitarnya melalui aliran sungai atau runoff yang terdapat di kedua stasiun. Limbah domestik yang dihasilkan dapat berasal dari tambak ikan bandeng di stasiun 4 dapat menjadi salah satu penyumbang zat organik dan nitrat ke perairan laut sekitarnya yang berasal dari sisa-sisa makanan ikan pada tambak tersebut.

Raymundo (2006) konsentrasi nitrat dan zat organik yang tinggi dalam bentuk sedimen dapat menyebabkan ekosistem terumbu karang terancam karena kurangnya intensitas cahaya yang masuk dan dimana cahaya ini sangat diperlukan oleh Zooxanthelae yang sebagian besar menopang kehidupan karang. Jika intensitas cahaya berkurang dengan waktu yang lama akan menghambat proses fotosintesis dari Zooxanthelae ini sendiri dan karang akan mati karena tidak mendapatkan sumber makanan. Selain itu konsentrasi nitrat dan zat organik yang tinggi diperairan dapat pula menyebabkan meningkatnya jumlah makroalga yang akan menjadi kompetitor yang dapat mengakibatkan stres dan penyakit karang

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Jenis – jenis penyakit karang yang terdapat diperairan pemuteran yaitu teridentifikasi seperti Ulcreative White Spot dan White Syndrome yang ada disetiap stasiun. Nilai prevalensi tertinggi pada penyakit Ulcreative White Spot yaitu 0,9 % dan prevalensi tertinggi pada penyakit White Syndrome yaitu 1,9 %, nilai tersebut dikatakan rendah sehingga kualitas terumbu karang diperairan pemuteran dalam keadaan baik.

Daftar Pustaka

[KepMen] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2001. Nomor : 04 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.

Amin. 2009. Terumbu karang; aset yang terancam (akar masalah dan alternatif solusi penyelamatannya). Region Vol. I. No. 2. : 1 – 12.

Alif SA, Karang GA, Suteja Y. 2017 Analisi hubungan kondisi perairan dengan terumbu karang di Desa Pemuteran Buleleng Bali. Journal of marine and aquatic science Vol. 3(2), 142-153

Boyet HV. 2006. The ecology and microbiology of black band disease and brown band syndrome on the Great Barrier Reef. Master’s thesis, James Cook University, Townsville.

Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. LISPI, Jakarta. 146 hal.

Emor JW. 1993. Koresponden antara ekoregion dan pola sebara nkomunitas terumbu karang diBunaken [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

English SC, Wilkinson, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources 2nd Edition. Australia Institut of Marine Science. Townville

Fujioka SN. 2015. Pengaruh Sampah Anorganik terhadap Kondidi Karang Keras. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.

Harvel D ,Smith G, Azam F, Jordan E, Raymundo L, Weil, IE, Willis B. 2004. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building Management. Queensland: The University of Queensland.

Loya Y, Sakai K, Yamazato K, Nakano Y, Sambali H and Woesik R. van. 2001. Coral bleaching: the winners and the losers? Ecology Letters. 4: 122–131.

Miller MW. 1995. Growth Of A Temperate Coral: Effects Of Temperature, Light, Depth, And Heterotrophy. Marine Ecology Progress Series, 217-225.

Mulya M. Budi. 2006. Kondisi Terumbu Karang Hidup Berdasarkan Persen Tutupan di Pulau Karang Provinsi Sumatera Utara dan Hubungannya Dengan Kualitas Perairan. Jurnal Komunikasi Penelitian.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekata Ekologis. Diterjemahkan oleh H.M. Eidman, Koesobiono, D.G Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo. PT Gramedia. Jakarta

Odum EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah

Rani C. 2014. Ekologi Laut: Ekosistem Terumbu Karang. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Raymundo LJ, Couch CS and Harvell CD. 2008. Coral Disease Handbook : Guidelines for Assessment, Monitoring & Management. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program. The University of Queensland. Australia.

Ritchie KB. 2006. Regulation Of Microbial Populations By Coral Surface Mucus And Mucus-Associated Bacteria. Marine Ecology Progress Series, 322, 1-14.

Rositasari R. 1998. Aspek Geologi dan Sejarah Terbentuknya Terumbu Karang. Oseana, vol;XXIII, 1-9.

Sadarun, B. 2006. Pedoman Pelaksanaan Transplantasi Karang. Direktorat Konservasi

Suharsono. 2008. Jenis-Jenis Karang Yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Proyek Penelitian dan Pengembangan daerah Pantai. Jakarta

29