Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Secara Musyawarah Mufakat
on

Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Secara Musyawarah Mufakat
Made Indra Suma Wijaya1, A.A.Istri Eka Krisna Yanti2
-
1 Wiguna and Partners Law Office, E-mail: [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 31 Desember 2022
Diterima: 22 Desember 2023
Terbit: 30 Desember 2023
Keywords:
Election of Traditional Village
Heads; Deliberation;
Traditional Village in Bali.
Kata kunci:
Pemilihan Bandesa Adat;
Musyawarah Mufakat; Desa Adat di Bali.
Corresponding Author: Made Indra Suma Wijaya, E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
4.p12
Abstract
After the formation of the Bali Provincial Regional Regulation Number 4 of 2019, there were regulations regarding the mechanism for selecting Traditional Village Heads, which had never previously been regulated in previous regional regulations. This article aims to examine and analyze the Arrangements for the Election of Traditional Village Villages by Deliberation and Consensus After the Establishment of Bali Province Regional Regulation Number 4 of 2019. This article uses normative legal research methods as a type of research, which is studied through a statutory approach, analysis of legal concepts, and also history. The results of the study show that the Arrangements for the Election of Traditional Bandesas After the Establishment of Bali Provincial Regulation Number 4 of 2019, which were carried out through a deliberation and consensus mechanism, resulted in legal uncertainty in the regulation of the election of Traditional Bandesas, because there were no strict sanctions or strict provisions prohibiting the election mechanism for Traditional Bandesas. not through consensus deliberation.
Abstrak
Pasca terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019, terdapat pengaturan mengenai mekanisme pemilihan Bandesa Adat, yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam perda sebelumnya. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Secara Musyawarah Mufakat Pasca Terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019. Artikel ini memakai metode penelitian hukum normative sebagai jenis penelitian, yang dikaji melalui pendekatan perundang-undangan, analisis konsep hukum, dan juga sejarah. Hasil studi menunjukkan bahwa Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 yang dimana dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat, mengakitbatkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan pemilihan Bandesa Adat, oleh karena tidak terdapat sanksi tegas ataupun ketentuan tegas yang melarang mekanisme pemilihan Bandesa Adat tidak melalui musyawarah mufakat.
-
I. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dijelaskan bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu tujuan desa adalah melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya, sehingga tujuan desa untuk melestarikan dam memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat bisa terwujud.1
Di wilayah Bali yang seluas 5.636,66 km2, saat ini terdapat 1.493 Desa Adat tersebar di keseluruhan 9 (sembilan) Kabupaten/Kota di Bali. Kesatuan masyarakat hukum adat di Bali ini merupakan suatu ikatan sosial religius. Untuk dapat dikualifikasikan sebagai Desa Adat, harus memenuhi berbagai persyaratan sosio-kultural religius, antara lain: memiliki satu kesatuan wilayah (Wewidangan, Palemahan), satu kesatuan warga (Krama, Pawongan), satu kesatuan pemerintahan adat, dan terikat dalam satu-kesatuan kosmologi Kahyangan Desa atau Tri Kahyangan/Kahyangan Tiga.
Desa Adat yang tumbuh berkembang selama berabad-abad di Bali serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah terbukti memberikan kontribusi sangat besar terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Desa Adat juga telah terbukti sangat besar peranannya dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan Negara, sehingga perlu diayomi, dilindungi, dibina, dikembangkan, dan diberdayakan. Pengayoman, perlindungan, pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan ini sangat diperlukan sebagai penguatan Desa Adat secara utuh guna mewujudkan kehidupan Krama Bali yang sesuai dengan prinsip Trisakti yang disampaikan oleh Ir. Soekarno, sebagai pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1964, yaitu: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan.
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.” Ini berarti bahwa keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga Pasal 28I ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 menegaskan, bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Pengakuan dan jaminan terhadap keberlangsungan hidup kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagai kearifan lokal Bali harus dikuatkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 236 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal, dan sebaliknya, Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Peraturan Daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan jelas bahwa meskipun disadari dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Dahulu Desa Adat atau Desa Pakraman di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003, oleh karena saat ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum saat ini sehingga dibentuklah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali.
Seseorang yang memegang peranan untuk menjalankan roda pemerintahan di Desa Adat di Bali adalah Bandesa Adat. Pengertian Bandesa adat sebagaimana Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, yakni: “Bandesa Adat atau Kubayan atau dengan sebutan lain adalah Pucuk Pengurus Desa Adat”. Untuk dapat menjadi seorang Bandesa Adat, tentunya mekanisme-mekanismenya, dan sejak dahulu, tiap desa adat di Bali memiliki mekanisme-mekanisme pemilihan Bandesanya sendiri, seperti: ditunjuk berdasarkan garis keturunan, berdasarkan musyawarah mufakat, dan belakangan banyak yang menganut mekanisme voting dalam pemilihan Bandesa Adat.
Pasca terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, terdapat pengaturan mengenai mekanisme pemilihan Bandesa Adat, yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam perda sebelumnya. Pasal 29 (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali menyebutkan bahwa: “Bandesa adat atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipilih oleh Krama Desa secara musyawarah mufakat.” Dengan diaturnya mekanisme pemilihan Bandesa Adat dalam Perda, tentu hal tersebut seyogyanya diikuti oleh seluruh Desa Adat di Bali, namun mengingat Desa Adat mempunyai otonomi dan peraturannya sendiri yakni Awig-Awig/Perarem, bagaimana apabila terdapat Desa
Adat yang tidak mau merubah Awig-Awig/Peraremnya terkait mekanisme pemilihan Bandesa Adat? Adakah akibat hukumnya?
Adapun contoh Desa Adat yang pemilihan Bandesa Adatnya tidak melalui musyawarah mufakat pasca terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali yakni Pemilihan Bendesa Desa Pakraman Kerthajaya, Kelurahan Pendem, Jembrana pada 6 September 20202, dan Pemilihan Bendesa Adat Desa Adat Pengastulan, Kecamatan Seririt, Buleleng, pada 15 Mei 2021. 3 Adapun dampak dari pemilihan tersebut yakni Bendesa terpilih terancam tak dikukuhkan atau dilantik oleh Majelis Desa Adat, dampak lain yakni terdapat perpecahan masyarakat pasca pemilihan seperti di Desa Adat Pengastulan, Pjs Bendesa Adat Pengastulan Jro Mangku Nyoman Sukarsa maupun Kertha Desa Gusti Putu Danendra Yasa menolak recana pengukuhan bendesa terpilih karena dianggap cacat hukum. Namun yang menjadi pertanyaan apakah sanksi tidak dilantik tersebut tertulis dalam Perda? dan bagaimana dampak apabila Bandesa terpilih tersebut tidak dilantik oleh MDA?
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal ini dan melakukan penelitian dalam bentuk artikel yang berjudul: “Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Secara Musyawarah Mufakat Pasca Terbentuknya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali.” Permsalahan dalam artikel ini dirumuskan dengan, Bagaimana Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019, dan Bagaimana Akibat Hukum Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019. Adapun artikel ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Secara Musyawarah Mufakat Pasca Terbentuknya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali.
Judul dan pembahasan pada artikel ini merupakan karya ilmiah yang memiliki unsur pembaharuan, sehingga tidak ada unsur plagiat didalamnya. Namun, sebagai perbandingan, maka akan disandingkan tulisan sebelumnya yang sekiranya menyerupai tulisan ini, yaitu:
-
1) Jurnal yang ditulis oleh I Gede Suka Widyantara, I Ketut Sukadana, dan Diah Gayatri Sudibya, pada tahun 2020, dengan judul: "Peranan Bendesa dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Waris di Desa Adat Buduk". Permasalahan yang diangkat adalah Bagaimana pengaturan warisan di Desa Pakraman Buduk, dan Bagaimana peranan Bendesa dalam penyelesaian sengketa tanah waris di Desa Pakraman Buduk.4
-
2) Jurnal yang ditulis oleh Kadek Tedy Mandala Putra, I Nyoman Yoga Segara, dan Ida Ayu Tary Puspa, pada tahun 2021, dengan judul: “Pengaruh Gaya Komunikasi Dan Gaya Kepemimpinan Asta Brata Terhadap Kinerja Bendesa Adat Di Desa Adat
Buleleng Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng”. Permasalahan yang diangkat adalah Bagaimana materi konstruksijargon politik dengan mengunakan agama dan budaya sebagai komunikasi politik dalam Pilgub 2018, Bagaimana persepsi pemilih terhadap penggunaan agama dan budaya sebagai jargon politik dalam Pilgub Bali 2018, dan Bagaimana model komunikasi politik dengan menggunakan agama dan budaya dalam Pilgub Bali 2018.5
Dari jurnal yang terdahulu pernah dibuat dan kemudian dilakukan pembandingan, maka dapat dipastikan tulisan ini memiliki unsur pembaharuan untuk dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia, dan tidak ada tindakan plagiat didalam penulisan ini.
Penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang digunakan pada artikel ini. Dalam penelitian hukum normatif, peraturan perundang-undangan yang mana Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali menjadi sumber bahan hukum yang utama dalam melakukan penelitian ini, atau dapat dikatakan law in books. 6 Selanjutnya penulis menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, analisis konsep hukum, serta pendekatan sejarah untuk mengkaji artikel ini.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019
-
Pasca terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, terdapat beberapa pengaturan-pengaturan baru yang diatur dibandingkan Perda sebelumnya, salah satunya mengenai Bandesa Adat. Pengertian Bandesa adat sebagaimana Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, yakni: “Bandesa Adat atau Kubayan atau dengan sebutan lain adalah Pucuk Pengurus Desa Adat”.
Adapun Bandesa Adat tersebut merupakan bagian dari Prajuru Adat sebagaimana Pasal 29 (1) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali yang menyebutkan bahwa:
“ Prajuru Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a paling sedikit terdiri atas:
-
a. Bandesa Adat atau sebutan lain;
-
b. patajuh Bandesa Adat atau pangliman atau sebutan lain;
-
c. panyarikan atau juru tulis atau sebutan lain; dan
-
d. patengen atau juru raksa atau sebutan lain.”
Berdasarkan hal diatas, terlihat bahwa Bandesa Adat memiliki peran penting yakni sebagai pucuk pengurus desa adat, yang dimana apabila dikaitkan dengan pemerintahan pada umumnya, Bendesa Adat ini merupakan pimpinan Eksekutif dari suatu Desa Adat, yang menjalankan dan memimpin roda pemerintahan di Desa Adat. Adapun hal menarik yang terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali terkait Bandesa Adat, yakni terdapat pengaturan mengenai pemilihan Bandesa Adat, yang dimana hal tersebut tidak diatur dalam Perda sebelumnya. Pengaturan mengenai pemilihan Bandesa Adat yang dimaksud yakni sebagai berikut: Pasal 29 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali menyebutkan bahwa: “Bandesa adat atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipilih oleh Krama Desa secara musyawarah mufakat.”
Berdasarkan ketentuan diatas, terlihat jelas bahwa pemilihan Bandesa Adat telah diatur secara tegas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, namun disisi lain pemilihan Bandesa Adat tersebut juga dikatakan diatur dalam awig-awig dan/atau Perarem, sebagaimana Pasal 29 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, yang menyebutkan bahwa: “Pemilihan Bandesa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penunjukan Prajuru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Awig-Awig dan/atau Pararem.”
Selanjutnya, pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan Bandesa Adat diatur melalui Peraturan Pelaksana, yakni Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali. Dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, pengaturan pelaksana terkait Bandesa Adat dan Pemilihan Bandesa Adat diatur dalam Pasal 52 dan 53, yang menyebutkan bahwa:
-
- Pasal 52 Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali:
-
(1) Bandesa Adat atau sebutan lain dipilih oleh Krama Desa Adat secara musyawarah mufakat.
-
(2) Musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui Paruman Desa Adat manut Dresta.
-
- Pasal 53 Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali:
-
(1) Tata cara pemilihan Bandesa Adat atau sebutan lain secara musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 berdasarkan pedoman Ngadegang Bandesa Adat atau sebutan lain Desa Adat di Bali.
-
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh MDA tingkat Provinsi dan difasilitasi oleh Dinas.
Berdasarkan pengaturan dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali diatas, terlihat bahwa terkait pemilihan Bandesa Adat telah diatur secara tegas oleh Pemerintah yakni melalui musyawarah mufakat. Selain itu, terdapat Lembaga yang
diikutkan dalam proses pemilihannya, yakni Majelis Desa Adat, yang disebutkan memiliki peran untuk menyusun pedoman Tata Cara Pemilihan Bandesa Adat. Namun melihat fenomena yang dimana masih terdapat Desa Adat yang melakukan pemilihan Bandesa Adat melaui voting atau pemilihan secara langsung, tentunya pengaturan ini menimbulkan kontroversi dalam masyarakat adat di Bali yang selama ini pemilihan Bandesa biasanya berpedoman dengan Awig Awig/Perarem, bukanlah Perda, Pergub, ataupun Pedoman dari Majelis Desa Adat.
Dalam pemilihan Bandesa Adat di Bali harus dilaksanakan secara musyawarah mufakat. Akan tetapi adanya contoh kasus Desa Adat yang pemilihan Bandesa Adatnya tidak melalui musyawarah mufakat yakni Pemilihan Bendesa Desa Pakraman Kerthajaya, Kelurahan Pendem, Jembrana. Melihat kasus ini tidak efektifnya peraturan yang khususnya pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali. Teori Efektivitas Hukum erat kaitanya dengan keberhasilan suatu tugas atau kebijakan. Persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum.7 Berjalan tidaknya suatu implementasi hukum tergantung dari prosesnya dan hasil merupakan suatu yang didapatkan setelah suatu program dilaksanakan. Sehingga dari kasus yang sudah ada belum melahirkan efektivitas hukum mengenai pemilihan Bandesa Adat di Bali secara musyawarah mufakat.
3.2 Akibat Hukum Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019
Sebagaimana telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, yakni terkait pemilihan Bandesa Adat telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali dan juga Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali. Adapun mekanisme yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut adalah pemilihan Bandesa Adat harus melalui Musyawarah Mufakat.
Selain itu, Musyawarah mufakat yang dimaksudkan dalam perda dan pergub tersebut juga dapat ditafsirkan serta dituangkan dalam Awig-Awig dan /atau Pararem sebagaimana Pasal 29 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, serta harus berdasarkan pedoman Ngadegang Bandesa Adat yang disusun oleh Majelis Desa Adat sebagaimana Pasal 53 Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali.
Masalahpun terjadi apabila Awig-Awig dan /atau Pararem suatu Desa Adat tidak menggunakan mekanisme pemilihan melalui musyawarah mufakat dan menggunakan mekanisme pemilihan melalui voting atau pemulihan langsung, yang manakah diikuti oleh krama adat? Apakah Awig-Awig dan /atau Pararem atau hukum positif?
Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, yang artinya Desa adat diikat oleh adat istiadat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Hukum adat yang lebih dikenal dengan awig-awig adalah merupakan pedoman dasar dari desa adat dalam pemerintahannya.8 Awig-awig digunakan untuk acuan bertindak untuk warga desa dan berisikan kewajiban serta larangan yang mengikat semua warga desa.9 Dengan diaturnya pemilihan Bandesa Adat di hukum positif namun dalam kebiasaannya krama adat selalu berpedoman pada Awig-Awig dan /atau Pararem, hal ini tentunya menimbulkan polemik dalam masyarakat, terlebih lagi Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali masih membuka ruang untuk melaksanakan pemilihan Bandesa berdasarkan awig-awig/perarem, sebagaimana Pasal 29 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, yang menyebutkan bahwa: “Pemilihan Bandesa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penunjukan Prajuru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Awig-Awig dan /atau Pararem.” Polemik terjadi apabila dalam awig-awig/perarem suatu desa tidak menganut sistem pemilihan Bandesa Adat melalui musyawarah mufakat.
Selain mengakibatkan polemik dalam masyarakat apabila ternyata dalam awig-awig/perarem suatu desa adat tidak menggunakan mekanisme musyawarah mufakat dalam pemilihan Bandesa Adat, pengaturan terkait pemilihan Bandesa Adat yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali dan juga Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali juga menurut penulis mengakibatkan ketidakpastian hukum karena tidak terdapat sanksi tegas dan larangan yang tegas apabila suatu Desa Adat tidak menggunakan mekanisme musyawarah mufakat dalam pemilihan Bandesa Adat.
Ajaran Cita Hukum (Idee des Recht) menyebutkan adanya tiga unsur cita hukum yang harus ada secara proporsional, yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan (gerechtig- keit) dan kemanfaatan (zweckmasigkeit). Sekiranya dikaitkan dengan teori penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Rad-bruch dalam idee des recht yaitu penegakan hukum harus memenuhi ketiga asas tersebut.10
Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini. Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan
terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. 11 Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dankonsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.12
Berdasarkan pernyataan para ahli terkait kepastian hukum diatas, dapat diihat bahwa pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali dan juga Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali yang dimana dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat mengakitbatkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan pemilihan Bandesa Adat, oleh karena tidak terdapat sanksi tegas ataupun ketentuan tegas yang melarang mekanisme pemilihan Bandesa Adat tidak melalui musyawarah mufakat, hal ini berdampak pada diindahkannya pengaturan tersebut oleh Desa Adat, apabila suatu Desa Adat memilih mekanisme pemilihan Bandesa Adat melalui voting atau pemilihan langsung atas dasar Awig-Awig dan/atau Perarem yang dimiliki oleh suatu Desa Adat tersebut.
Mengutip dari pandangan John Austin yang memberikan pandangan bahwa tujuan hukum merupakan semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.13 Berdasarkan teori kepastian hukum, pemilihan Bandesa Adat telah diatur secara tegas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali serta Peraturan Pelaksana, yakni Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali yang mana diatur Bandesa Adat dipilih oleh Krama Desa yakni melalui musyawarah mufakat. Akan tetapi tidak terdapatnya sanksi dan larangan yang tegas apabila suatu Desa Adat tidak menggunakan mekanisme musyawarah mufakat dalam pemilihan Bandesa Adat akan melahirkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan ini. Sehingga akan berdampak pada diindahkannya pengaturan tersebut oleh Desa Adat, kemudian Desa Adat lebih memilih mekanisme pemilihan melalui voting atau pemilihan langsung atas dasar Awig-Awig dan/atau Perarem yang dimiliki oleh suatu Desa Adat tersebut. Tujuan hukum hanyalah semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty), yang mempresepsikannya hanya sebagai kepastian undang-undang, padahal realitasnya diluar perundang-undangan masih ada hukum yang lain, seperti halnya yaitu hukum kebiasaan (country law).14
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, adapun kesimpulan dari penulisan artikel ini yakni: Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 pada pokoknya dilaksanakan melalui mekanisme Musyawarah Mufakat, yang dimana Tata cara pemilihan Bandesa Adat secara musyawarah mufakat tersebut harus diatur dalam Awig-Awig dan/atau Perarem dan harus berdasarkan pedoman Ngadegang Bandesa Adat yang disusun oleh MDA. Pengaturan Pemilihan Bandesa Adat Pasca Terbentuknya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali yang dimana dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat, mengakitbatkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan pemilihan Bandesa Adat, oleh karena tidak terdapat sanksi tegas ataupun ketentuan tegas yang melarang mekanisme pemilihan Bandesa Adat tidak melalui musyawarah mufakat, hal ini berdampak pada diindahkannya pengaturan tersebut oleh Desa Adat, apabila suatu Desa Adat memilih mekanisme pemilihan Bandesa Adat melalui voting atau pemilihan langsung atas dasar Awig-Awig dan/atau Perarem yang dimiliki oleh suatu Desa Adat tersebut.
Daftar Pustaka
Acmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). (Jakarta: Prenadamedia Group. 2015).
Amirudin dan Asikin, Z. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2012).
baliberkarya.com. (2020). Diduga Pemilihan Melalui Voting, Bendesa Kerthajaya Terancam Tak Dikukuhkan. URL : https://www.baliberkarya.com/read/diduga-pemilihan-melalui-voting-bendesa-kerthajaya-terancam-tak-dikukuhkan
Halilah, Siti, and Mhd Fakhrurrahman Arif. "Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli." Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara 4.2 (2021): 61. URL :
http://www.ejournal.an-nadwah.ac.id/index.php/Siyasah/article/view/334
Julyano, Mario, and Aditya Yuli Sulistyawan. "Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum." Crepido 1.1 (2019): 13-22. URL : https://doi.org/10.14710/crepido.1.1.13-22
Mandira, Made Chandra, and Cokorda Krisna Yudha. "Peran Desa Adat Bali Dalam Melancarkan Kebijakan Penanggulangan Pandemi Covid-19." Journal Publicuho 4.1 (2021): 1-18. URL : http://dx.doi.org/10.35817/jpu.v4i1.15993
Novita, Ria Ayu, and Suparno Agung Basuki Prasetyo. "Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian (Tanah Kering) di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo." Diponegoro Law Journal 6.2 (2017): 1-12. URL :
https://doi.org/10.14710/dlj.2017.16975
Prathama, Anak Agung Gede Agung Indra. "Hakekat Hukum Desa Adat Bali Sebagai Subjek Hukum dalam Pengelolaan Pariwisata Budaya." Jurnal Meta-Yuridis 5.2 (2022): 30-41. URL : https://doi.org/10.26877/m-y.v5i2.12854
patrolipost.com. (2021). MDA Buleleng: Konflik Pemilihan Bendesa Adat Pangastulan Bukan antara MDA dengan Desa Adat. URL :
https://www.patrolipost.com/mda-buleleng-konflik-pemilihan-bendesa-adat-pangastulan-bukan-antara-mda-dengan-desa-adat/
Putri, Ni Made Melly Deni Kiara, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, and Luh Putu Suryani. "Sinergitas Desa Dinas dengan Desa Adat dalam Penanganan Pandemi Covid-19 di Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung." Jurnal Analogi Hukum 3.3 (2021): 398-404. URL :
https://doi.org/10.22225/ah.3.3.2021.398-404
Segara, I. Nyoman Yoga, and Ida Ayu Tary Puspa. "Pengaruh Gaya Komunikasi dan Gaya Kepemimpinan Asta Brata Terhadap Kinerja Bendesa Adat di Desa Adat Buleleng Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng." ANUBHAVA: Jurnal Ilmu Komunikasi Hindu 1.2 (2021): 105-116. URL :
https://doi.org/10.25078/anubhava.v1i2.1073
Wantu, Fence M. "Antinomi dalam penegakan hukum oleh hakim." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 19.3 (2007): 388. URL :
https://journal.ugm.ac.id/jmh/article/download/19070/12335
Widyantara, I. Gede Suka, I. Ketut Sukadana, and Diah Gayatri Sudibya. "Peranan Bendesa dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Waris di Desa Adat Buduk." Jurnal Analogi Hukum 2.1 (2020): 32-36. URL : https://doi.org/10.22225/ah.2.1.2020.32-36
Wijayanta, Tata. "Asas Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga." Jurnal Dinamika Hukum 14.2 (2014): 216-226. URL : http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2014.14.2.291
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4 ; Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4).
Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2020 Nomor 4).
932
Discussion and feedback