PERKEMBANGAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM ADBALI (Studi di Kota Denpasar)
on
rWMUU' ISSN: 2302-528X
Magister Hukum Udayana
Vol.6 No.2 2014
PERKEMBANGAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM ADAT WARIS BALI (Studi di Kota Denpasar)1
Oleh :
Ni Nyoman Sukerti ([email protected])
I Gusti Ayu Agung Ariani ([email protected]) 2
ABSTRACT
Women as citizens of the ancients is still received discriminatory treatment in some aspects of life, although the government has made some rules that provide protection to women evens have ratified CEDAW. The Constitution also been set in Article 27, paragraphs 1 and 2, but discrimination against women still exist, especially in the traditional law of Bali inheritance.
On the basis of the two problems posed namely 1). Against wealth whose position daughter suffered developments in traditional law of Bali heritance? and, 2). What factors influence the occurrence of the development of women position in traditional law of Bali heritance ?
Results of the research showed that inherited asset is generally daughter disposable property rich guna kaya. Varied forms of inherited property have fixed things as well as moving objects. Rights received largely daughter also vary greatly between the cases of the other cases, this depends of the economic condition of her parents. Daughter of position heirs are not burdened family responsibilities. So, the position of the daughter of experience in the development of traditional law of Bali heritance limited -use property rich guna kaya . Factors that influence the occurrence of the development of women position in traditional law of Bali heritance, the availability of legislation that gender perspective, there is a paradigm shift in attitude and behavior of the parents of the girls looked, viability of public education level and economy growing family.
Keywords : development, the position of women, traditional law of Bali heritance.
Perempuan sebagai warga negara dari dahulu hingga kini masih mendapat perlakuan yang diskriminatif dalam beberapa aspek kehidupan seperti dalam bidang politik, hukum, dan lain-lainnya, walaupun pemerintah sudah membuat beberapa peraturan yang memberikan perlindungan terhadap perempuan bahkan sudah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Form Discrimination Against) menjadi UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita/ perempuan. Dengan diundangkannya U U No. 7 Tahun 1984 tersebut secara normative pemerintah sudah memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Selain itu, jauh sebelum meratifikasi CEDAW, dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUDN RI 1945 dirumuskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Dalam ketentuan pasal tersebut tidak disebutkan secara tegas hukum tertulis atau hukum negara saja. Dengan demikian, ketentuan tersebut berlaku juga terhadap hukum yang tidak tertulis yang dalam hal ini hukum adat, khususnya hukum adat waris Bali.
Meskipun peraturan perundang-undangan sudah mengatur dengan tegas tetapi dalam kenyataannya diskriminasi terhadap perempuan masih tetap ada seperti dalam bidang hukum adat waris Bali. Hal itu dapat diketahui dari rumusan awig-awig (hukum adat) yang tidak memposisikan anak perempuan sebagai ahli waris, kecuali anak perempuan yang berkedudukan sentana rajeg. Anak perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta kekayaan orang tuanya selama ia belum kawin atau selama ia tidak kawin. Dalam hukum adat Bali dirumuskan yang berkedudukan ahli waris adalah anak laki-laki dan sentana rajeg. Namun seiringan dengan kemajuan jaman, ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan dan tentunya perkembangan masyarakat Bali umumnya dan masyarakat Kota Denpasar khususnya, kiranya telah terjadi perkembangan kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris, dari tidak berkedudukan menjadi berkedudukan ahli waris, sehingga hal itu mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender.
Penelitian ini sangat penting dilakukan, seperti sudah disinggung di atas di mana anak perempuan Bali masih mendapat perlakuan yang diskriminasi terutama dalam bidang hukum adat waris,
hal itu menunjukan adanya ketidakadilan gender. Selain itu, sangat tidak selaras dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berspektif gender seperti UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya HAM perempuan.
Masalah warisan sering dikaitkan dengan kewajiban, baik kewajiban keluarga (seperti pemeliharaan merajan/ sanggah, melanjutkan keturunan, pengabenan pewaris) maupun kewajiban kemasyarakatan (seperti menjadi anggota banjar dan desa pakraman), akan tetapi anak perempuan juga merupakan anak dari orang tuanya dan layak diperhitungkan hak-haknya, yaitu hak untuk mendapatkan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu dan juga atas bagian tertentu atau bagian anak perempuan tidaklah sama dengan bagian hak yang diterima anak laki-laki. Adanya hak anak perempuan atas harta kekayaan orang tuanya dengan memperhatikan batas-batas tertentu maka anak perempuan akan mempunyai nilai baik dalam keluarga maupun di masyarakat dimana selama ini anak perempuan Bali Hindu umumnya boleh dikatakan kurang dihargai atau dipandang tidak begitu penting dalam keluarga. Hal itu dapat diketahui dari ada istilah bahwa anak perempuan sebagai ”takilan pisaga”
(bekal tetangga). Dengan sebutan seperti itu seolah-olah anak perempuan diseting atau dirancang untuk pergi meninggalkan rumah orang tua dan keluarganya.
Mencermati kondisi tersebut maka menjadi sangat penting untuk melakukan penelitian mengingat adanya kemajuan jaman, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lainnya terutama adanya kemajuan dari masyarakat itu sendiri.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah seperti telah dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan dua pemasalahan sebagai berikut :
-
1. Terhadap harta kekayaan yang mana kedudukan anak perempuan
mengalami perkembangan dalam hukum adat waris Bali ?
-
2. Faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi terjadinya
perkembangan kedudukan anak
perempuan dalam hukum adat waris Bali ?
-
II. METODE PENELITIAN
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
nondoktrinal (socio-legal approach). Pendekatan ini dilakukan untuk memahami hukum dalam konteks, yaitu
konteks masyarakatnya3. Brian Z. Tamanaha mengungkapkan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut “The Law Society Framework” yang memiliki hubungan tertentu. Hubungan tersebut ditunjukan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama, terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan “social order”. Komponen kedua, terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent; morality/reason; dan positive law4.
Penelitian ini termasuk dalam tradisi penelitian kualitatif dengan perspektif perempuan5. Dalam penelitian ini diawali dengan data sekunder sebagai data awal kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Ini berarti penelitian hukum empiris tetap bertumpu pada premis normatif, dimana fokus kajiannya pada esensi hukum yang tertuang dalam bentuk norma-norma baik dalam bentuk peraturan perundang-
undangan maupun dalam bentuk hukum lainnya seperti hukum yang hidup di masyarakat yakni hukum adat, selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan di lapangan dewasa ini. Dalam kaitan ini Morris L. Chohen, Kent C. Olson mengemukakan “legal research is an essential component of legal practice. It is the process ofinding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law“6.
Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar, dengan dasar pertimbangan bahwa masyarakat Kota Denpasar khususnya yang beragama Hindu dengan sistem kekerabatan patrilinealnya kiranya sudah mengalami perkembangan dalam memahami hukum adat waris sehingga dapat merubah pandangan dalam memposisikan anak perempuan dalam hukum adat waris. Hal mana, mengingat masyarakat sudah jauh terbuka akibat perkembangan jaman, kemajuan di bidang pendidikan, ekonomi dan sudah adanya peraturan perundang-undang yang berperspektif gender.
Para informan yang dicari dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dipandang mengetahui tentang obyek penelitian. Adapun orang-orang dimaksud yaitu Kepala Desa Pakraman (Bendesa) sedangkan para responden yakni orangorang yang secara langsung maupun tidak langsung mengalami pewarisan. Dalam kaitan itu para informan dan responden ditentukan secara purposive.
Data penelitian ini digali dengan teknik wawancara dan dengan bantuan instrumen berupa interview guide atau pedoman pertanyaan untuk menggali data atau jawaban-jawaban yang selengkap mungkin baik dari informan maupun responden.
Data yang didapat diolah dan dinalisis secara kualitatif. Maksudnya dalam pengolahan dan analisis datanya tidak menggunakan analisis statistik atau dalam bentuk angka. Kemudian hasil analisis data disajikan secara deskriptif analitis.
-
1. Hukum Adat Waris Secara Umum.
Berbicara mengenai hukum adat waris Bali, dimana pembicaraan tidak dapat lepas dari hukum adat waris Indonesia. Oleh karena itu sebelum membahas hukum adat waris Bali maka terlebih dahulu perlu dikemukakan hukum adat waris Indonesia.
Sampai saat ini di Indonesia masih berlaku pluralisme hukum dalam bidang hukum waris. Hal tersebut dikarenakan bangsa Indonesia belum mempunyai hukum waris nasional yang berlaku untuk semua warga negara. Walaupun usaha-usaha ke arah itu sudah lama dilakukan, seperti diamanatkan oleh TAP MPRS Nomor II Tahun 1960. Dalam angka 402 huruf c sub 2 Ketetapan MPRS tersebut dinyatakan perlunya perundangan-undangan mengenai hukum warisan yang berlandaskan prinsip-prinsip kewarisan parental bilateral7. Pluralisme hukum dalam bidang hukum waris yaitu Hukum Barat, Hukum Islam dan Hukum adat. Dalam penelitian ini, ditekankan pembahasannya hanya mengenai hukum adat untuk membatasi pembahasan. Dalam hukum adatpun masih belum ada satu kesatuan hukum yang berlaku atau dengan
kata lain hukum adat yang berlaku dalam soal waris masih beragam. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan batasan hukum adat waris dari beberapa sarjana.
Ter Haar memberikan batasan mengenai hukum adat waris sebagai aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses, yang menarik perhatian dari abad ke abad yaitu proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan8. Hal senada juga dikatakan oleh Soepomo, bahwa hukum adat waris muat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immnateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya9.
Kedua batasan tentang hukum adat waris tersebut di atas dapat dilihat adanya satu prinsip bahwa pewarisan itu terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, akan tetapi apabila diperhatikan lebih jauh, prinsip tersebut mengalami perwujudan yang berbeda manakala dihubungan dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat.
Masalah waris erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan atau kekerabatan yang dianut masyarakat. Terkait hal itu, menurut Bushar Muhammad, di Indonesia dikenal tiga sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan matrilineal, sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan patrilinel yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki. Sistem kekerabatan matrilineal yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan dan sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garuis keturunan dari garis laki-laki dan perempuan10. Hal senada juga dikemukakan oleh Oemarsalim, bahwa di Indonesia terdapat beragam sistem kekerabatan yakni sifat kebapaan (patriarchaat). Sifat keibuan (matriarchaat), dan sifat ke bapak-ibuan (parental)11.
Pada sistem kekerabatan patrilineal, ditentukan bahwa yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki dengan sistem kewarisan individual dan kolektif tergantung obyek dari warisan tersebut.
Pada sistem kekerabatan matrilineal yang menjadi ahli waris adalah anak-anaknya dengan sistem kewarisan kolektif dan pada sistem kekerabatan parental, ahli warisnya adalah anak-anaknya dengan sistem kewarisan individual. Anak-anak disini dimaksudkan adalah anak laki-laki dan perempuan dengan prinsip sapikul sagendong, akan tetapi adakalanya dibeberapa daerah bagian anak laki-laki dan perempuan tidak diberbedakan. Dari ketiga sistem kekerabatan tersebut, masyarakat Bali Hindu menganut sistem kekerabatan patrinineal, yang memposisikan anak laki-laki sebagai ahli waris dan juga sentana rajeg. Perlu digaris bawahi bahwa ada beberapa daerah yang tidak mengenal lembaga sentana rajeg. Artinya tidak ada bentuk perwainan nyeburin yang memberi kedudukan sebagai sentana rajeg terhadap anak perempuan. Pada daerah tersebut peluang perempuan sebagai ahli waris sudah tertutup.
Dalam membahas masalah hukum waris sebenarnya terdapat tiga unsur penting yang mutlak ada yaitu pewaris, harta warisan dan ahli waris, untuk terjadinya proses pewarisan. Demikian juga halnya dalam hukum adat waris Bali. Hukum adat Bali tertuang dalam bentuk awig-awig baik tertulis maupun tidak
tertulis yang dimiliki oleh masing-masing desa adat, yang dengan Perda No.3 Tahun 2003 nama desa adat diganti menjadi desa pakraman. Tiap-tiap desa pakraman yang satu dengan desa pakraman yang lainnya dalam mengatur masalah pewarisan tidaklah sama bahkan ada awig-awig desa pakraman yang tidak mengatur masalah warisan seperti desa pakraman Tangeb, Badung.
Secara umum pewaris adalah orang yang meninggalkan warisan. Pada masyarakat Bali dengan sistem kekekuargaan patrilinealnya pewaris adalah ayah atau bapak. Berdasarkan hasil penelitian, pewaris tidak saja bapak tetapi ibupun juga sebagai pewaris karena ibu juga mempunyai peranan dalam pembentukan harta kekayaan keluarga yang berupa harta bersama (guna kaya) atau harta asal/bawaan (tadtadan)12. Mencermati hal itu dimana dari unsur pewaris sudah mengalami perkembangan karena pewaris selain ayah, ibu juga sebagai pewaris. Dalam unsur pewaris telah mencerminkan kesetaraan gender. Di samping pewaris, untuk dapat terjadinya proses pewarisan unsur harta warisan
merupakan hal yang sangat penting, karena harta warisan sering kali menjadi penyebab terjadi keretakan hubungan dalam keluarga. Harta warisan adalah harta yang yang ditinggalkan oleh pewaris. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa warisan adalah barang-barang berupa harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris13. Dalam hukum adat Bali, warisan tidak saja berupa barang berwujud seperti harta benda milik keluarga, melainkan juga berupa hak-hak kemasyarakat, seperti hak atas tanah karang desa yang melekat pada status seseorang sebagai anggota masyarakat desa (krama desa pakraman), hak memanfaatkan setra (kuburan milik desa), bersembahyang di Kahyangan desa, dan lain-lainnya14. Harta warisan yang berwujud harta keluarga dalam hukum adat Bali dapat digolongan menjadi:
-
1. Tetamian (harta pusaka) yaitu harta yang diperoleh karena pewarisan secara turun temurun. yang meliputi : a. tetamian yang tidak dapat dibagi, yaitu harta yang mempunyai nilai magis religius seperti tempat
persembahyangan keluarga
(sanggah/merajan), dan lai-lain.
-
b. tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta yang tidak mempunyai nilai magis religius, seperti sawah ladang, dan lain-lainnya.
-
2. Tetatadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ke dalam perkawinan dan harta bawaan ini dapat diperoleh karena usaha sendiri (sekaya) dan dapat pula karena pemberian orang tua. 3. Pegunakaya (guna kaya) yaitu harta yang didapat oleh suami istri selama perkawinan berlangsung15.
Terkait dengan harta bawaan atau tetatadan, umumnya yang membawa harta lebih ditekankan pada perempuan atau istri dan apabila terjadi perceraian harta bawaan tetap menjadi milik sang istri kecuali ia mewariskan kepada anak-anaknya itupun kalau dalam perkawinan mempunyai anak, manakala tidak ada anak, harta tersebut tetap menjadi milik sang istri.
Di samping unsur pewaris dan dan harta warisan, unsur alhi waris juga tidak kalah pentingnya dalam proses pewarisan, karena ketiadaan ahli waris dapat
menyebabkan batalnya proses pewarisan. Menurut hukum adat dikenal penggolongan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-golongan keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain. Garis pokok pengganti adalah garis huum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara kelompok keutamaan tertentu tampil sebagai ahli waris. Dalam menentukan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pengganti maka harus diperhatikan dengan seksama sistem kekeluargaan yang berlaku16. Dengan garis pokok keutamaan tadi, orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam kelompok-kelompok yaitu a). kelompok keutamaan pertama adalah ketutunan pewaris, b). kelompok keutamaan kedua adalah orang tua pewaris, c). kelompok keutamaan ketiga adalah saudara-saudara pewaris, dan keturunannya, d). Kelompok keutamaan keempat adalah kakek dan nenek pewaris.
Dalam hukum adat Bali dengan sistem kekeluargaan kepurusa, orangorang yang dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti para laki-laki dari kelaurga yang bersangkutan sepanjang tidak putus haknya sebagai ahli waris. Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris lurus ke bawah yaitu anak kandung laki-laki, atau anak perempuan yang ditingkatkan statusnya sebagai penerus keturunan (sentana rajeg), dan anak angkat (sentana peperasan)17.
-
2. Perkembangan Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Adat Waris Bali
Hukum adat sebagai hukum yang hidup (the living law) mempunyai beberapa sifat salah satunya bersifat dinamis. Bersifat dinamis artinya hukum adat mengikuti perkembangan
masyarakatnya. Manakala masyarakat mengalami perkembangan maka hukum adat yang sebagai konstruksi masyarakat adat juga mengalami perkembangan. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh Friedrich Carl von Savignya bahwa
hukum itu merupakan cerminan dari volkgeist (jiwa bangsa)18.
Mencermati sifat hukum adat tersebut termasuk hukum adat Bali terutama di bidang hukum waris juga bersifat dinamis dalam arti sedikit mengalami perkembangan. Terkait hal itu, berdasarkan laporan penelitian bahwa ada beberapa kasus dibeberapa tempat yang memposisikan anak perempuan sebagai ahli waris19. Laporan penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa ada keinginan beberapa keluarga memberikan waris kepada anak perempuannya walaupun anak itu sudah kawin ke luar20 Sehubungan dengan itu, berdasarkan data lapangan ada beberapa kasus dimana ada beberapa orang tua yang mewariskan beberapa harta kepada anak perempuanya. Disini responden tidak mau mengatakan secara tegas ”mewariskan” melainkan ”memberi” sedikit harta kepada anak perempuannya, dengan alasan ekonomi keluarga memungkinkan untuk itu. Harta
yang diberikan adalah ada berupa benda tetap dan juga bergerak (kendaraan). Harta-harta tersebut merupakan harta guna kaya (harta bersama). Sebagaimana yang dituturkan oleh Ketut Dana, dimana menurut responden (pewaris), sebenarnya ahli waris itu adalah anak laki-laki, tapi tidak ada salahnya memberikan kepada anak kepada anak perempuan sedikit harta kekayaan yang diperoleh dengan istrinya. Cara yang ditempuh oleh responden dalam hal ini adalah dengan cara membelikan sebidang tanah (dalam proses) dan kendaraan untuk anak perempuannya, serta tidak dibebani kewajiban keluarga (pengabenan orang tua, pemeliharaan merajan/sanggah).
Mencermati pendapat dari responden tersebut, nampaknya responden sangat memahami kondisi dan situasi dijaman sekarang dimana ia sudah mengalami perubahan paradigma dan prilaku dalam memandang anak perempuan dalam keluarga dan khususnya dalam hal waris. Hal ini, terbukti dimana ia menyimpangi aturan hukum adat yang hanya memposisikan anak laki-laki, sentana rajeg dan anak angkat sebagai ahli waris, dengan cara membelikan sebidang tanah (dalam proses) dan kendaraan untuk anak perempuannya. Jadi harta yang diberikan kepada anak perempuannya
terbatas terhadap harta guna kaya (harta bersama). Anak perempuan yang menerima hak waris tidak dibebani kewajiban keluarga.
Sementara itu, I Made Arya berpendapat bahwa pada prinsipnya anak perempuan dalam statusnya sebagai predana bukan ahli waris menurut hukum adat Bali akan tetapi apabila anak perempuan berstatus purusa, ia adalah sebagai ahli waris penuh dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki dalam menerima warisan. Selanjutnya dijelaskan bahwa dijaman sekarang tergantung pada kebijakan orang tua dan juga kondisi ekonominya, ia juga mengatakan bahwa anak perempuan juga diposisikan sebagai ahli waris tetapi dalam batas-batas tertentu dan terbatas pada harta-harta yang diperoleh dalam perkawinnya. Terhadap harta tetamian (warisan) tidak dapat diberikan kepada anak perempuan karena erat kaitannya dengan swadharma (kewajiban) keluarga seperti pengabenan orang tua, pemeliharaan merajan/sanggah (tempat persembah-yangan keluarga). Ia sudah memberi-kan sejumlah harta kepada anak perempuan berupa sebidang tanah tempat tinggal (pekarangan) dan sebuah sepeda motor, dengan tidak dibebani kewajiban sebagaimana kewajiban anak laki-lakinya.
Ia mempunyai tiga orang anak, satu orang perempuan dan dua orang laki-laki.
Responden lainnya mengatakan tidak jauh berbeda seperti yang dituturkan oleh Sg. Wiratni D. Dimana ia mewariskan (dalam proses) sejumlah harta baik harta tetap maupun harta bergerak kepada anak perempuannya karena kebetulan ia mempunyai seorang anak atau anak tunggal. Harta yang diwariskan kepada anaknya adalah semuanya merupakan harta yang diperolehnya dalam perkawinannya.
Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkap oleh I Ketut Muliadiarsa, I Made Pelaga, dan I Wayan Murdita. Pada dasarnya para responden tersebut mewariskan harta guna kaya secara merata kepada anak-anaknya, ini berarti baik anak laki-laki maupun anak perempuan mendapat bagian yang sama. Anak perempuan sebagai ahli waris tidak dituntut tanggung jawab sebagaimana anak laki-laki.
Seorang responden yang sangat ekstrim, I Made Ribeg Gunartha, menuturkan bahwa ia mewariskan harta pusaka kepada anak perempuannya yang telah kawin ke luar. Harta yang diwariskan berupa sebidang tanah dengan bangunan permanen di atasnya. Di samping itu ia juga mewariskan harta guna kaya kepada
anak perempuannya tersebut, karena responden adalah orang yang cukup berada sehingga memungkinkan mewariskan kepada anak perempuannya. Pendapat dan prilaku para responden tersebut dapat dikatakan sudah mencerminkan kesetaraan gender.
Sementara itu, para responden lainnya mempunyai pandangan yang berbeda dimana mereka masih sangat kuat mempertahankan aturan-aturan adat, seolah-olah hukum adat itu adalah benda sakral yang tidak dapat dirubah. Peneliti berpandangan, bukan hukum adatnya yang kaku, sebab hukum itu teks mati, tetapi masyarakat pendukung hukum itu umumnya memandang hukum adat itu sakral sehingga sangat sulit melakukan pembaharuan kearah yang mencermikan emansipatif. Hukum adat sebagai konstruksi masyarakat (laki-laki) dijaman lampau begitu ditaati oleh penerusnya sampai sekarang. Pada hal saat dikonstruksi dijaman lampau, kondisi masyarakat Bali jauh berbeda dibandingkan dengan dijaman kini, oleh karenannya adalah merupakan sebuah dilema dimana masyarakat berubah, hukumnya (waris) tetap ajeg. Dengan demikian hukum adat itu dapat dikatakan bersifat kaku, dimana sebagai hukum yang hidup tidaklah relevan dengan sifat hukum
adat yang dinamis. Di samping itu, sangat tidak selaras dengan teori F.C. von Savigny yang mengatakan bahwa hukum itu volkgeist bangsa.
Sementara itu, A.A.Putu Oka Suwetja mengatakan bahwa sebenarnya dalam prakteknya atau dalam kenyataannya aturan hukum adat Bali sudah mulai dikikis eksistensinya oleh beberapa anggota masyarakat dengan cara memberikan sejumlah harta kepada anak perempuannya. Hanya saja dalam pembagian harta warisan tidak dilakukan secara terang-terangan. Harta kekayaan yang diberikan kepada anak perempuan terbatas hanya terhadap harta guna kaya dan umumnya berupa benda bergerak tetapi ada juga berupa benda tetap, ini sangat tergantung pada kondisi ekonomi orang tua. Sementara mengenai harta pusaka dalam kaitan hak waris anak perempuan.
Sementara, I Made Sudarsana mengatakan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dituturkan oleh A.A.Putu Oka Suwetja, bahwa keberadaan hukum adat Bali dalam bidang waris sudah sedikit mengalami pergeseran, dimana sebelumnya anak perempuan sama sekali tidak mendapatkan apa-apa, terlebih setelah anak perempuan itu kawin ke luar, namun sekarang sudah ada beberapa orang
tua yang memberikan harta guna kaya-nya kepada anak perempuannya dan ini sangat tergantung dari kondisi ekonomi orang tuanya. Secara pribadi para informan juga berlaku tidak jauh berbeda dengan para responden.
Berdasarkan keterangan para informan dan responden tersebut di atas, kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris mengalami sedikit perkembangan yang mencerminkan pada kesetaraan gender, dimana anak perempuan dari tidak sebagai ahli waris dan hanya berhak menikmati, menjadi ahli waris terhadap harta kekayaan orang tuanya. Perkembangan kedudukan anak perempuan dalam mewaris sifatnya terbatas hanya pada harta guna kaya (harta bersama) orang tuanya dan haknyapun sangat variatif karena tidak ada ketentuan yang dipakai dasar untuk menentukan bagian berapa berbanding berapa dengan anak laki-laki, ini sangat tergantung dari kesadaran orang tua dalam memandang anak perempuannya.
Kondisi yang demikian itu, makakala dikaitkan dengan teorinya L.M. Friedman tentang Sistem Hukum, yang terdiri tiga unsur yaitu struktur hukum,
Vol.6 No.2 2014 substansi hukum dan budaya hukum21, dari ketiga unsur hukum tersebut, baru terbatas pada unsur budaya hukum yang mengalami sedikit perkembangan berupa kasus-kasus dalam bidang pewarisan kepada anak perempuan, sementara pada unsur lainya yakni unsur struktur dan substansinya masih tetap bertahan.
Terkait dengan budaya hukum, masyarakat Bali yang berdasarkan sistem kekerabatan patrlineal (kapurusa) sangat berjiwa patriarkhi, dimana memposisikan anak laki-laki begitu tinggi, ketiadaan anak laki-laki dalam keluarga batih dapat menimbulkan perbuatan hukum seperti pengangkatan anak, poligami dan yang paling patal dapat diceraikannya seorang istri. Namun sekarang hal tersbut tidak begitu mencolok dan bahkan anak perempuan sudah mulai diperhitungkan oleh beberapa orang tua dalam keluarga dan pewarisan, seperti beberapa kasus pewarisan yang sudah diungkapkan di atas.
Adanya beberapa kasus, dimana anak perempuan diposisikan sebagai ahli waris oleh orang tuanya walaupun umumnya terbatas pada harta guna kaya,
hal tersebut selarah dengan apa yang sudah dirumuskan dalam Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali tahun 2010, tanggal 15 Oktober. Pada pesamuhan tersebut dirumuskan drumuskan bahwa anak kandung laki-laki dan perempuan
berkedudukan ahli waris terhadap harta guna kaya (due tengah). Terkait dengan hasil Pesamuhan Agung III MUDP Bali tersebut semua responden mengatakan belum mengetahuinya. Oleh karena itu merupakan pekerjaan yang tidak ringan bagi MUDP Bali dan juga pemerhati perempuan untuk mensosialisasikan hasil pesamuhan tersebut kepada semua warga desa pakraman, agar tidak hal itu hanya merupakan teks mati.
-
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perkembangan Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Adat Waris Bali.
Masyarakat sebagai suatu tatanan manusia dalam hidupnya selalu mengalami perubahan baik perubahan itu cepat maupun lambat. Kata orang bijak, tidak ada satupun di dunia ini yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Globalisasi adalah sebuah era yang membawa perubahan kehidupan
masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali
Indonesia umumnya dan masyarakat Bali khususnya. Arus global merombak cara hidup secara besar-besaran dalam segala aspek kehidupan masyarakat, dan globalisasi dapat berdemensi politik, hukum, teknologi, budaya, ekonomi dan lain-lainnya.
Masyarakat Bali sebagai suatu masyarakat yang sangat taat akan adat dan budayanya tidak lepas dari pengaruh arus global tersebut. Dalam hal ini, ditekankan pada dimensi hukum. Meskipun masyarakat Bali taat pada hukum adat sebagai warisan leluhur, namun dengan adanya perkembangan jaman, ilmu pengetahuan, pendidikan, peraturan perundang-undangan yang berspektif gender, teknologi dan lain-lainnya dapat mengkikis keajegan hukum adat Bali dalam bidang waris. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa menurut hukum adat Bali ahli waris adalah anak laki-laki, sentana rajeg dan anak angkat, itu sudah diatur dalam ketentuan awig-awig hampir pada setiap desa adat/desa pakraman sudah mulai sedikit tergoyahkan eksistensinya.
Majunya tingkat pendidikan masyarakat dapat merubah paradigma dalam memandang suatu, dalam hal ini adalah dalam memandang anak perempuan di bidang waris. Di samping itu karena meningkatnya perekonomian dari keluarga
sehingga memungkinkan untuk
mewariskan kepada anak perempuannya, dan selain itu dijaman kini, orang-orang tidak mempunyai banyak anak.
Jadi faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya perkembangan kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris Bali antara lain: adanya
peraturan perundang-undangan yang berspektif gender, adanya perubahan paradigma, sikap dan prilaku dari para orang tua dalam memandang anak perempuan, majunya tingkat pendidikan masyarakat (orang tua), dan meningkatnya perekonomian keluarga.
-
IV. SIMPULAN DAN SARAN
Dari keseluruhan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
-
a. Mengenai kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris Bali berdasarkan kasus-kasus yang diteliti sudah mengalami sedikit
perkembangan. Perkembangan mana umumnya terbatas terhadap harta guna kaya orang tuannya baik dalam bentuk benda bergerak maupun benda tetap. Hak waris anak perempuan sangat variatif karena tidak ada katentuan yang dipakai acuan berapa berbanding berapa tetapi ada beberapa anak
perempuan yang mendapat hak sama dengan anak laki-laki (1:1). Ahli waris perempuan tidak dibebani kewajiban sebagaimana alhi laki-laki.
-
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris Bali antara lain: adanya peraturan
perundang-undangan yang berspektif gender, adanya perubahan paradigma, sikap dan prilaku dari para orang tua dalam memandang anak perempuan, majunya tingkat pendidikan
masyarakat (orang tua), dan meningkatnya perekonomian keluarga.
Kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris Bali sudah mengalami sedikit perkembangan berupa kasuistis. Terkait dengan itu disarankan kepada komponen masyarakat adat terutama orang tua yang belum responsif gender hendaknya responsif gender agar kesetaraan gender dapat terwujud secara maksimal. Selain itu, hendaknya MUDP Bali mensosialisasikan hasil Pesamuhan Agung III tahun 2010 tersebut kepada senua warga desa pakraman agar warga dapat mengetahui dan memahami dengan jelas tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris Bali.
daftar PUSTAKA
Chohen, Morris L & Kent C. Olson, 1992, Legal research, West Publising Company, St. Paul, Minn.
Friedman, L.M., 1977, Law and Society, An Introduction, Printice Hall, New Jersey.
Haar, Ter, 1974, Azas-Azasdan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Hadikusum, Hilman, 1990, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hazairin, 1982, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tirtamas, Jakarta.
Muhammad, Bushar, 2003, Asas-Asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Nasution,1996, Metode Penelitian
Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Bandung.
Oemarsalim, 2006, Dasar Hukum Waris di Indonesia, Renika Cipta, Jakarta.
Pudja, Gde, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. CV Kayumas, Denpasar.
Soekanto, Soerjono 1988, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, PT Bina Aksara, Jakarta.
.......................... 2002, Hukum Adat Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soepomo, R, 1986, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Tamanaha, Brian Z. 2006, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, New York.
Tanya, Bernard L, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV KITA, Surabaya.
Windia, Wayan P, dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.
Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1988, ”Pengaruh Hukum Adat Wawis Bali terhadap Pola NKKBS”, Laporan Penelitian, Denpasar.
Griadhi, I Ketut Wirta 1990, ”Sikap Masyarakat Bali Terhadap
Kemungkinan Terwujudnya Sistem Hukum Waris Bilateral
Individual”, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum, Universitas
Udayana, Denpasar.
Mahendra, A.A.Oka, et. al., 1996, “Perkembangan hukum Waris Janda dan Anak Perempuan dalam Masyarakat Bali”, Laporan Penelitian, Kerjasama FH Unud dan BPHN.
UUDN RI 1945, hasil amandemen kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
UU RI No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Kovensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Kantor mentri Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, 1993.
UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
258
Discussion and feedback