Tindak Pidana Korupsi oleh Pejabat Negara Perspektif Hukum Pidana Politik


Anton Jaksa Trisakti1, Pujiyono2


1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: [email protected]


Info Artikel

Masuk: 18 Mei 2022

Diterima: 12 Oktober 2022

Terbit: 20 Desember 2022


Keywords:

Corruption Crime, State Officials, Political Criminal Law


Kata kunci:

Tindak Pidana Korupsi, Pejabat Negara, Hukum Pidana Politik


Corresponding Author:

Anton Jaksa Trisakti, E-mail: antonjaksasihombing@gmail .com


DOI:


10.24843/JMHU.2022.v11.i04.


p06.


Abstract

Political crimes or political criminal law in Indonesia are known in the Criminal Code, namely crimes against state security in Book Two of Chapter I. Meanwhile, the notion of political crime in Indonesia has not been explicitly defined in the legislation, giving rise to a wide understanding of the forms of political crimes. Corruption is a white-collar crime, it is necessary to study from the perspective of political criminal law whether corruption by state officials is a political crime. The purpose of this paper is to see whether a criminal act of corruption is a political crime and how is the punishment of criminal acts of corruption by state officials in the perspective of political criminal law. Normative juridical writing method with a conceptual approach. This study found that corruption by state officials is a political crime according to the categorization of the concept of political crime proposed by Dionysios Spinellis, namely crimes committed by power holders in accordance with Law Number 31 of 1999 concerning Corruption Crimes (UUTPK) Article 3 which states that the crime of corruption is a criminal act committed by a person who with the authority of his position or position is detrimental to state finances or the state economy. The punishment of a state official who commits a political crime, in this case a criminal act of corruption, may be subject to the provisions of Article 3 of the Corruption Crime Act in the form of imprisonment and/or a fine.

Abstrak

Kejahatan politik atau hukum pidana politik di Indonesia dikenal dalam KUHP yaitu tindak pidana terhadap keemanan negara pada Buku Kedua Bab I. Sedangkan pengertian kejahatan politik di Indonesia belum didefiniskan secara eksplisit dalam perundang-undangan sehingga menimbulkan pemahaman yang begitu banyak mengenai bentuk dari kejahatan politik. Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan kerah putih, maka perlu dikaji dari perspektif hukum pidana politik apakah kejatan korupsi oleh pejabat negara merupakn kejahatan politik. Tujuan penulisan ini untuk melihat apakah suatu tindak pidana korupsi merupakan kejahatan politik dan bagaimana pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi oleh pejabat negara dalam perspektif hukum pidana politik. Metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan konseptual. Penelitian ini menemukan bahwa korupsi oleh pejabat negara merupakan


kejahatan politik sesuai ketegorisasi konsep kejahatan politik yang dikemukan Dionysios Spinellis, yaitu kejahatan dilakukan pemegang kekuasaan sesuai dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) Pasal 3 yang berbunyi bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang dengan kewenangan jabatan atau kedudukannya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pemidanaan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana politik dalam hal ini tindak pidana korupsi dapat dikenakan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi berupa pidana penjara dan/atau pidana denda.

  • 1.    Pendahuluan

Sejarah abad kedua puluh kontemporer menunjukan perubahan paling besar yang ditemukan adalah politik. Naik turunnya kerajaan, pemimpin karismatik, ras, kelas dan sistem sosial telah menjadi ciri dominan dari perubahan ini, dan hampir tanpa kecuali perubahan ini melibatkan kejahatan politik. Ketika kejahatan politik menjadi sesuatu yang topikal, dapat dirasakan bahwa terjadi kegelisahan karena mengalami begitu banyak revolusi, pergolakan dan gerakan sosial untuk membangun struktur politik baru.1

Menurut Stephen schafler, mengatakan semua kejahatan dalam pengertian yang sangat luas adalah “kejahatan politik” karena semua larangan-larangan dengan sanksi pidana sebenarnya menunjukkan/melambangkan bentuk perlindungan terhadap sistem nilai atau moralitas tertentu yang ada di dalam masyarakat. 2 Ketentuan-ketentuan hukum pidana dibuat untuk menjaga dan melindungi berbagai nilai ideologi-kemasyarakatan yang oleh negara sebagai suatu kekuatan politik ingin diwujudkan di dalam masyarakat.3

Kejahatan politik/tindak pidana politik dikenal juga dengan istilah Hukum Pidana Politik. Hukum pidana politik sebenarnya bukanlah istilah yuridis namun merupakan istilah keilmuan (Scientific Term) atau istilah-istilah umum (Public Term). Menurut Barda Nawawi Arief diruang publik maupun akdemisi masih belum ada kesepahaman mengenai apa yang dimaksud kejatahan politik dan ruang lingkupnya. Barda mengatakan bahwa belum adanya kesamaan tersebut merupakan kewajaran karena orang dapat memberikan arti bermacam-macam terhadap kejahatan politik.4

Dalam menentukan suatu kejahatan sebagai kejahatan politik tentu harus dilihat latar belakang tindakan yang bersangkutan. Akan tetapi permasalahan adalah bahwa instrument hukum pidana saat ini tidak secara eksplisit mengatur bilamana suatu

kejahatan disebut sebagai kejahatan politik.5 Sebagaimana dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupis dalam ketentuan Pasal 2 maupun Pasal 3 tidak menjelaskan bahwa suatu perbuatan korupsi yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan sebagai kejahatan politik. Dionysios Spinellis dalam konsepnya mengkategorisasikan sebuah kejahatan politik menjadi dua yaitu, kejahatan dilakukan oleh pemegang kekuasaan/pejabat/politisi atau dikenal juga dengan kejahatan/tindak pidana jabatan; dan kejahatan terhadap sistem kekuasaan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Maka dari pada itu, kejahatan politik sampai saat ini masih belum ada pemahaman yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan politik dan apa yang menjadi ruang lingkup kejahatan politik.

Berlatar pada permasalahan yang telah diuraikan tersebut, akan dikaji secara lebih lanjut melalui penulisan penelitian yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi oleh Pejabat Negara Perspektif Hukum Pidana Politik”. Penelitian ini berfokus pada dua rumusan masalah yang akan dikaji secara lebih lanjut yaitu pertama apakah suatu tindak pidana korupsi merupakan kejahatan politik? dan kedua, Bagaimana pertanggungjawaban atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dalam perspektif hukum pidana politik?

Perihal state of the art. Di dalam proses penyusunan penelitian ini, ditemui beberapa penelitian terdahulu yang membahas persoalan hukum mengenai hukum pidana politik. Pertama, jurnal dengan judul Reformasi Hukum Pidana Politik, 6 dengan rumusan masalah yakni bagaimana ide dan gagasan seputar reformasi hukum pidana politik. Kedua, jurnal dengan judul Penanggulangan Kejahatan Pidana Politik Dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu), 7 dengan rumusan masalah penanggulangan kejahatan pidana politik dalam undang-undang pemilihan umum. Jika diperhatikan kedua penelitian tersebut, maka terdapat perbedaan elementer dengan penilitian ini, pertama dari sisi judul, kedua dari sisi rumusan masalah, ketiga dari sisi ruang lingkup pembahasan. Penelitian ini berjudul Tindak Pidana Korupsi oleh Pejabat Negara Perspektif Hukum Pidana Politik, dengan rumusan masalah apakah suatu tindak pidana korupsi merupakan kejahatan politik dan bagaimana pertanggungjawaban atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dalam perspektif hukum pidana politik. Berkaitan dengan ruang lingkup pembahasan, penelitian ini akan berfokus pada tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat negara yang dilihat dari sudut pandang hukum pidana politik.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif yang fokus kajian mengenai tindak pidana korupsi oleh pejabat negara dalam undang-undang pemberantasan

tindak pidana korupsi dilihat dari sudut pandang hukum pidana poltik, penulisan ini menggunakan sumber hukum primer yang diambil dari peraturan perundang-undangan seperti KUHP, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan bahan hukum sekunder dari buku dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan penulisan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach), penulisan ini bersifat deskriptif analitis.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Tindak Pidana Korupsi Oleh Pejabat Negara

Setiap negara tentunya membutuhkan organ atau lembaga negara untuk menjalankan struktur pemerintahan guna mencapai tujuan negara tersebut. Kelembagaan negara sendiri dibentuk dalam sejumlah bagian berdasarkan fungsi dan tanggung jawab yang berbeda-beda selama menjalankan tugasnya.

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.8

Menurut Hans Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).9

Negara dibentuk sebagai kesepakatan bersama seluruh masyarakat yang memiliki tujuan negara yaitu untuk menciptakan keamanan dan kesejahteraan. Dalam menjalankan tujuannya, negara tidak dapat bergerak oleh karena negara bukan merupakan individu yang dapat bergerak oleh karena itu negara membutuhkan organ atau lembaga yang mana didalamnya terdapat individu-individu yang bergerak dalam rangka menjalankan tujuan negara. Individu-individu dalam organ atau Lembaga negara dapat dikenal juga sebagai pejabat negara atau orang yang yang menduduki jabatan dan kewenangan tertentu yang merupakan represntasi dari negara.

Kewenangan yang dimiliki oleh para pejabat dalam menjalani jabatannya, terdapat wewenang untuk menggunakanya sepanjang melekat pada dirinya itu. Ketika seorang

pejabat telah melakukan pelanggaran pidana dengan menyalahgunakan kewenangannya dengan melawan hukum demi menguntungkan diri sendiri, dapat dikatakan semenjak itulah terjadinya korupsi dan perbuatan itu dilakukan hanya untuk keuntungan sepihak demi kemakuran diri sendiri maupun orang lain, maka dari itu pelanggaran tersebut dikategorikan masuk kepada kejahatan korupsi. Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian pada keuangan hingga perekonomian Negara, itulah korupsi yang merupakan penyalahgunaan wewenang.10

Tentunya akan menjadi masalah, jika kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan yang difokuskan untuk kepentingan pribadi, golongan, kerabat, kelompoknya, maupun partai. Pembagian kewenangan secara demokratis juga memberikan pemerataan terhadap korupsi oleh karena, desentarlisasi kekuasaan menciptakan desentarlisasi korupsi; untuk daerah yang mendapatkan dana otonomi khusus sangat besar justru keadaan daerah termiskin; korupsi potensial terjadi di infrastruktur; program-program dana desa di seluruh Indonesia potensial menjadi ladang korupsi. Hal tersebut terjadi karena penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara.11

Kewenangan jabatan sebagaimana yang diberikan kepada pejabat negara menjadi sangat menarik dilihat oleh karena akan banyak sekali indikasi terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan jabatan yang dapat menguntungkan pribadi tetapi merugikan negara seperti tindak pidana korupsi yang begitu banyak bentuknya sebagai contoh penyuapan terhadap pejabat negara menjadi permasalahan yang begitu banyak ditemukan dimasyarakat.

  • 3.2.    Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Politik

Kejahatan (apapun namanya menurut definisi hukum) merupakan suatu hubungan hukum antara negara dan anggota masyarakatnya. 12 Hubungan hukum ini pada dasarnya merupakan hubungan poltik (political relationship) atau hubungan kemasyarakatan yang bersifat ideologis (ideological-societal relationship). Kejahatan politik menurut konsep Dionysios Spinellis dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu Kejahatan dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan Kejahatan terhadap sistem kekuasaan.13

Kejahatan oleh pemegang kekuasaan yang mana kejahatan ini sering disebut berbagai istilah “kejahatan/tindak pidana jabatan”, “crimes of the powerful”, “abuses of public and political power”, “crimes by government”, “crimes of politicians in office”, “top hat crimes”, “white collar crimes”. Kejahatan pada kategori ini dilakukan oleh

pejabat/penguasa/politisi. 14 Menurut Dionysios Spinellis bahwa konsep kejahatan oleh pemegang kekuasaan terdiri dari :15

  • a.    Pelanggaran terhadap aturan dasar/aturan pokok mengenai perjuangan kekuasaan dan permainan politik. Termasuk kelompok ini antara lain penghianatan kepada negara (high treason), pelanggaran terhadap konstitusi negara (violations of the constitution of the country), delik-delik pemilu, manipulasi dan intervensi illegal dalam pemilu, mata-mata politik.

  • b.    Pelanggaran HAM warga masyarakat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politik, antara lain :

  • 1)    Political assassinations (political murder);

  • 2)    Disappearances (termasuk juga abduction/penculikan);

  • 3)  Torture;

  • 4)    Police brutality;

  • 5)    Unlawful arrests.

  • c.    Delik-delik yang biasa disebut sebagai korupsi dan skandal ekonomi. Termasuk antara lain:

  • 1)    Penggelapan kekayaann publik;

  • 2)    Penyuapan;

  • 3)    Favoritisme (pilih kasih) dalam pelelangan public dan seleksi karyawan;

  • 4)    Penyalahgunaan informasi orang dalam;

  • 5)    Pemalsuan dokumen public.

  • d.    Delik-delik lainnya yang dilakukan politisi/pejabat dalam melakukan tugasnya.

Terhadap kejahatan politik yang merupakan kejahatan oleh pemegang kekuasaan “crimes of politicians in office” memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang menurut Dionysios Spinellis bermacam-macam sebagai berikut :16

  • a.    Mengandung unsur penyalahgunaan jabatan public (the abuse of political office)

  • b.    Mengandung unsur pelanggaran kepercayaan (violation of trust) atau penyalahgunaan kepercayaan (abuse of confidence)

  • c.  Berkaitan dengan kepentingan hukum masyarakat yang sangat serius

  • d.    Biasanya dilakukan dengan bantuan karyawan sipil atau karyawan partai sebagai kaki tangan atau sebagai pelaku utama (sementara si politisi sebagai penganjur atau pelaku tidak langsung)

  • e.    Sulitnya tindak pidana ini dideteksi dan dibuktikan

  • f.    Munculnya fenomena kembar berupa “penalisasi politik” (penalization of politics) dan “politisasi proses peradilan pidana” (the politicising of the criminal procedings).

Kemudian kategori yang kedua dari konsep kejahatan politik menurut Dionysios Spinellis yaitu kejahatan terhadap sistem kekuasaan. Kejahatan terhadap kekuasaan ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap sistem

kekuasaan. Kejahatan terhadap sistem kekuasaan ini dapat meliputi bermacam-macam tindak pidana :17

  • a.    Tindak Pidana terhadap keamanan negara

  • b.    Tindak Pidana terhadap kepala negara

  • c.    Tindak Pidana terhadap pejabat dan lembaga negara atau lembaga keadulatan rakyat

  • d.    Tindak Pidana terhadap konstitusi dan lambing negara

  • e.    Tindak Pidana terhadap kewajiban dan hak konstirusional/kenegaraan

  • f.    Tindak Pidana terhadap ketertiban umum

  • g.    Tindak Pidana terhadap sistem peradilan

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa menurut Dionysios Spinellis konsep kejahatan politik dapat dikategorikan menjadi dua yaitu, kejahatan oleh pemegang kekuasaan dan kejahatan terhadap kekuasaan. Kejahatan oleh pemegang kekuasaan ini identik dilakukan oleh pejabat negara, sedangkan kejahatan terhadap kekuasaan dilakukan oleh warga masyarakat terhadap kekuasaan.

Kemudian jika melihat tindak pidana korupsi yang pada hakikatnya adalah kejahatan yang diidentikan kepada jabatan/kedudukan, maka dapat terlihat bahwa tindak pidana korupsi merupakan sebuah tindak pidana/kejahatan politik sebagaimana yang dikategorisasikan oleh Dionysios Spinellis sebelumnya. Mendudukan pemahaman bahwa tindak pidana korupsi sebagai kejahatan politik haruslah dipahami dengan melihat rumusan dari tindak pidana korupsi itu sendiri dalam Undang-Undang No.31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang dapat dilihat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai berikut :

Pasal 2

  • (1)    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Bentuk dari kejahatan politik yang dimaksud dalam pasal 2 ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap sistem kekuasaan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Karena setiap orang yang dimaksud dalam pasal ini adalah masyarakat pada umumnya bukan yang memegang kekuasaan/kewenangan jabatan. Kemudian kejahatan yang dimaksud pada pasal 2 ayat (1) ini dilakukan terhadap sistem kekuasaan dapat dilihat dari frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang berarti perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan terhadap kekuasaan negara.

Kemudian pemahaman bahwa tindak pidana korupsi sebagai kejahatan politik menurut konsep Dionysios Spinellis dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No 32 Tahun 1999 sebagai berikut :

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Bentuk dari kejahatan politik yang dimaksud dalam pasal 3 ini dapat dikategorikan sebagai Kejahatan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan/pejabat/politisi. Karena setiap orang yang dimaksud dalam pasal ini adalah orang yang menyalahgunakan kewenangan jabatan atau kedudukan sebagaimana frasa “karena jabatan atau kedudukan”, maka jelas bahwa kejahatan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan/pejabat. Kemudian kejahatan yang dimaksud pada pasal 3 ini di dapat dilihat dari frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep Dyionysios Spinellis bahwa konsep kejahatan politik dilakukan oleh pemegang kekuasaan/pejabat terhadap sistem kekuasaan yang dimaksud disini adalah kerugian negara.

  • 3.3.    Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Korupsi Oleh Pejabat Negara Dalam Perspektif Hukum Pidana Politik

Tindak pidana korupsi bukan hanya masalah hukum tetapi telah menjadi persoalan ekonomi, budaya dan politik. Meningkatnya tindak pidana korupsi telah membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya, tetapi juga dapat menimbulkan berbagai kelemahan kehidupan generasi yang akan datang.18Menurut Transparency Internasional korupsi adalah perilaku pejabat negara, mau politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.19

Perbuatan korupsi yang berkembang dilingkungan Lembaga pemerintah dan jajaran aparatur pemerintah telah diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Warga masyarakat juga mengetahui ragam dan jenis kegiatan korupsi yang dilakukan oleh para pelakunya. Perbuatan korupsi yang juga dilakukan oleh anggota masyarakat dan oleh para pelaku usaha dan perdagangan telah diketahuij uga oleh sebagian warga masyarakat. Warga masyarakat dipedesaan dan diperkotaan tidak berbeda pengetahunnya tentang berkembang dan meluasnya korupsi.20

Sebagaimana dipahami bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk dari kejahatan politik khususnya yang dilakukan oleh pejabat negara, dapat dilihat dari konsep yang di sampaikan oleh Dionysios Spinellis bahwa kejahatan politik dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kejahatan oleh pemegang kekuasaan dan kejahatan

yang dilakukan terhadap system kekuasaan. Bahwa tindak pidana korupsi khususnya yang dilakukan oleh pejbaat negara dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan.

Pemidanaa merupakan upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan sanksi pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri”.21 Dalam pemidanaan terdapat teori absolut yang menjelaskan bahwa sesuatu yang harus ada sebagai konsekuensi dilakukakannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum. Menurut Leo Polak, hukuman harus memnuhi 3 syarat :22

  • a.    Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar etiak)

  • b.    Tidak boleh dengan maksud prevensi (melanggara etika)

  • c.    Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik.

Dalam pemidanaan bahwa pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana, karena pidana juga berfungsi sebagai pranata social dalam hal ini mengatur system hubungan social pada masyarakat. Bahwa pengenaan pidana pada seseorang haruslah dilihat dari rumusan pasal dalam undamg-undang, sebagaimana pengenaan sanksi pidana dapat dilihat pengaturan lebih jelas mengenai tindak pidana korupsi oleh pejabat negara sebagai kejahatan politik kategori oleh pemegang kekuasaan dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berikut sanksi dan jenis pidana yang dapat dijatuhi kepada pejabat negara sebagai pertanggungjawabannya :23

  • a.    Jika Pejabat yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

  • 1)    Pidana Mati

Setiap orang yang terbukti melakukan perbuatan guna keuntungan untuk memperkaya diri atau orang lain dengan cara melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian baik bagi keuangan ataupun perekonomian Negara dapat dijatuhi pidana mati yang mana dilakukan dalam keadaan tertentu, bahwa ketentuannya dapat ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

  • 2)    Pidana Penjara

Pidana penjara seumur hidup atau sesingkat-singkatnya 4 (empat) hingga 20 (dua puluh) tahun serta denda sedikitnya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) hingga Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dijatuhi kepada setiap orang yang melakukan perbuatan seperti di atas, dengan ketentuan yang dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1).

  • b.    Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sesingkat-singkatnya 1 (satu) tahun dan/  atau denda  setidaknya sebesar Rp. 50.000.000,00 hingga

  • 1 .000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

  • c.    Pidana penjara dan/atau denda berturut-turut sesingkatnya 3 hingga 12 tahun sedangkan denda Rp. 150.000.000,00 - Rp. 600.000.000,00 dijatuhi kepada siapapun yang secara sengaja melakukan pencegahan, atau berupaya menggagalkan secara langsung maupun tidak setiap penyidikan yang dilakukan hingga pemeriksaan di sidang baik terhadap para tersangka hingga saksi perkara kasus yang terjadi merupakan ketentuan pada Pasal 21.

  • d.    Pidana penjara dan/atau denda berturut-turut 3-12 tahun dengan atau serta denda Rp. 150.000.000,0 -Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) sebagaimana ketentuan pada Pasal 18, 29, 35, serta 36 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mana berlaku untuk siapapun.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara merupakan kejahatan politik dalam kategori kejahatan politik oleh pemegang kekuasaan, maka dari pada itu penerapan sanksi pidana terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi yang paling tepat dikenakan adalah ketentuan Pasal 3 mengingat bahwa hanya didalam Pasal 3 saja yang mengatur penjatuhan sanksi pidana terhadap/karena jabatan dan kedudukan yaitu berupa pidana penjara dan/atau pidana denda.

  • 4. Kesimpulan

Terhadap tindak pidana korupsi dapatlah diartikan tindak pidana/kejahatan politik, sesuai dengan kategorisasi kejahatan yang dibagi oleh Dionyisios Spenellis yaitu kejahatan oleh pemegang kekuasaan dan kejahatan terhadap pemegang kekuasaan. Dalam rumusan undang-undang tindak pidana korupsi pada Pasal 2 dapat dilihat bahwa suatu tindak korupsi dilakukan oleh seseorang untuk memperkaya diri yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, rumusan ini memperlihatkan bahwa terjadi kejahatan terhadap pemegang kekuasan yang dimaksud adalah kerugian keuangan negara atau pereknomian negara. Kemudian pada pasal 3 dapat dilihat bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang yang dengan kewenangan jabatan atau kedudukanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, rumusan ini memperlihatkan bahwa terjadi kejahatan oleh pemagang kekuasaan/pejabat/politisi. Oleh karena tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara sebagai representasi negara merupakan kejahatan politik dalam kategori kejahatan politik oleh pemegang kekuasaan, maka dari pada itu pertanggungjawaban terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi yang paling tepat dikenakan adalah ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengingat bahwa hanya didalam ketentuan Pasal 3 saja yang mengatur penjatuhan sanksi pidana korupsi terhadap/karena jabatan dan kedudukan yaitu berupa pidana penjara dan/atau pidana denda.

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 4 Desember 2022, 786-796

Daftar Pustaka

Abustan, “Penataan Lembaga Negara Refleksi Penguatan Sistem Presidensial.” Ai’Adi. 9, no. 2 (2017).

Agustian, Rio Armanda. “Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara Dalam Perspektif Delik Politik Di Indonesia.” Jurnal Masalah-Masalah Hukum 40 no. 3 (2011)

Amrullah, M. Arief. “Sumbangan Dana Kampanye Pemilu dan Kejahatan Korporasi.” Jurnal Hukum 11 no. 26. (2004).

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung : Citra Aditya Bakti. (2001).

Hamzah,Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.

Jakarta : Raja Grafindo Persada. (2006).

Komisi Pemberantasan Korupsi. Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi Pahami Dulu Baru Lawan. Jakarta : KPK. (2009).

Maria, Bondan dan Aditya. “Penegakan Hukum Korupsi Politik.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 21 no. 4. (2019).

Sayogaramasatya, I Gede; I Made Minggu Widyantara dan Ida Ayu PutuWidiati. “Sanksi Pidana Terhadap Pejabat Negara Yang Melakukan Korupsi Atas Penyalahgunaan Wewenang.” Jurnal Interpretasi Hukum 2 no. 4. (2021).

Soemanto, Sudarto dan Sudarsana. “Pemahaman Masyarakat Tentang Korupsi.” Jurnal Yustisia 3 no. 1. (2014).

Suhariyanto, Budi. “Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Dalam Perkara Korupsi Politik.” Jurnal Yudisial 12 no. 1. (2019).

Schafer, Stephen. The Political Criminal : The Problem of Morality and Crime, (New

York : The Free Press, (1973).

Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Depok : Sinar Grafika. (2004).

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 tahun 20001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

796