Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase dalam Kontrak Bisnis dari Perspektif Hukum Perjanjian

Dewa Gde Rudy1, I Dewa Ayu Dwi Mayasari2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 20 April 2022

Diterima: 17 Juli 2022

Terbit: 20 Juli 2022

Keywords:

Binding Power, Arbitration Clause, Covenant Law.


Kata kunci:

Kekuatan Mengikat, Klausula Arbitrase, Hukum Perjanjian.

Corresponding Author:

Dewa Gde Rudy, E-mail:

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i02.

p14.


Abstract

Arbitration clauses in a business contract are essentially aimed at avoiding dispute resolution through the judiciary. This paper aims to have a deeper understanding of matters concerning the binding force of the Arbitration Clause. This contract also traces the competence of the judiciary and the cancellation of the arbitration agreement (Arbitration Clause) that has been agreed upon by the parties from the start. This research uses normative law research with legislation approach and legal concept analysis approach. The results of the study show that from the perspective of Covenant Law, in particular the principle of Pacta Sund Servanda contained in the provisions of Article 1338 paragraph

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 2 Juli 2022, 427-437

ISSN: 1978-1520

dibatalkan, kecuali dengan sepakat kedua belah pihak.

.

  • 1.    Pendahuluan

Dampak pandemi Covid-19 bagi segala aspek kehidupan, khususnya aspek ekonomi masih sangat dirasakan oleh masyarakat hingga saat ini. Demi mendukung majunya pemulihan perekonomian dan perdagangan, sudah selayaknya para pihak selaku pemangku kepentingan dalam kegiatan bisnis atau perdagangan harus mengutamakan asas kepercayaan dan itikad baik. Karena hal tersebutlah yang akan nantinya mudah memancing para investor untuk menanam modal di Indonesia. Aspek penanaman modal baik investor lokal maupun asing merupakan salah satu cara untuk memulihkan sistem perekonomian serta perdagangan di Indonesia.

Hanya saja, ketika dalam praktiknya dunia perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis tidak hanya memberikan dampak positif bagi pemulihan perekonomian, namun juga dapat memberikan dampak negatif yaitu timbulnya persaingan usaha yang berujung terjadinya perselisihan atau konflik antara para pihak. Hubungan bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis tidak tertutup kemungkinan adanya konflik atau sengketa yang terjadi diantara mereka. Konflik dapat terjadi dimanapun, kapanpun saja, dan seringkali tidak dapat dihindari.1 Konflik dalam bahasa hukum atau secara yuridis formal disebut dengan istilah sengketa.2

Sengketa yang terjadi harus dikelola dengan baik, dalam arti khusus diselesaikan agar tidak mengganggu hubungan bisnis yang sedang berlangsung. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Kepekaan memilah cara penyelesaian sengketa yang tepat sangat penting artinya. Ada banyak cara untuk menyelesaikan sengketa, namun semua itu tujuannya adalah agar sengketa bisa diselesaikan sesuai harapan para pihak.3

Di Indonesia dalam proses penyelesaian sengketa para pihak, ada beberapa cara yang biasanya dapat dipilih antara lain; melalui jalur litigasi (pengadilan) maupun jalur non litigasi (melalui mediasi, negosiasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian ahli, dan arbitrase)4 Dalam praktek bisnis, para pihak yang bersengketa dalam perkembangannya dewasa ini cenderung menyelesaikan sengketa bisnisnya melalui jalur non litigasi, khususnya melalui jalur Arbitrase. Arbitrase banyak dipergunakan oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaian perselisihan atau sengketa karena dianggap tidak memakan waktu serta

proses yang lama dan biaya yang dikeluarkan akan lebih murah jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (pengadilan).

Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 5 Arbitrase yang dipilih sebagai alternatif penyelesaian sengketa didasarkan pada pertimbangan atau alasan bahwa penyelesaian sengketa bisa diselesaikan lebih cepat dan lebih efisien, mengingat pemeriksaan perkara tidak bersifat formalistis, sidang Arbitrase bersifat tertutup, sehingga dijamin kerahasiaanya, serta sengketa diselesaikan oleh Arbiter yang ahli dibidangnya.

Selain itu, pemilihan Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa didasarkan pada anggapan sementara pihak penyelesaian sengketa melalui pengadilan seringkali mengecewakan para pencari keadilan. Ketidakpuasan terhadap lembaga peradilan dikarenakan sampai saat ini Hakim-hakim di Pengadilan rentan penyuapan putusannya sulit diterka atau diramalkan, dan bahkan acapkali putusannya memihak pada orang kaya dan penguasa.6

Sebagaimana dikemukakan Frans Hendra Winata, proses litigasi di pengadilan cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsive, time consuming proses perkaranya dan terbuka untuk umum. 7 Beny Riyanto juga menggambarkan ada kelemahan dari proses litigasi, dimana beban pengadilan terlalu berat (overloaded), waktu penyelesaian perkara lamban (waste of time), biaya mahal (very expensive), kurang tanggap terhadap kepentingan umum, serta dianggap terlalu formalistis.8

Keberadaan Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebetulnya sudah di kenal sejak lama, meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan reglement op de rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Buitengewesten (RBG). Tentang Arbitrase semula diatur dalam pasal 615 sampai 651 R.V. Ketentuan tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyerahan sengketa melalui Lembaga Arbitrase didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian Arbitrase. Perjanjian mana bisa dibuat

sebelum maupun setelah terjadinya sengketa. Perjanjian Arbitrase sebelum terjadinya sengketa disebut pactum de compromittendo atau klausula arbitrase. Sementara perjanjian Arbitrase setelah terjadinya sengketa disebut dengan acta compromite.

Pihak-pihak yang berselisih sebelumnya membuat kesepakatan yang pada intinya mereka sepakat menyerahkan sengketa yang terjadi kepada arbiter untuk diberikan keputusan. 9 Dengan demikian, Arbitrase tercipta dari kesepakatan yang mereka tuangkan dalam perjanjian yang sudah disetujui bersama, sehingga karenanya yang terlibat dalam perjanjian tersebut dapat menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan metode tersebut. Perjanjian Arbitrase tersebut pada dasarnya merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar peradilan umum.10

Pada suatu kontrak bisnis umumnya memuat suatu klausula penyelesaian sengketa yang terjadi diantara mereka. Para pihak menentukan pilihan cara penyelesaian sengketa yang terjadi berkaitan dengan pelaksanaan kontrak. Para pihak ada yang memilih dan mencantumkan dalam klausul kontrak bahwa bila terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak akan diselesaikan melalui Lembaga Arbitrase. Klausul ini yang disebut dengan Klausula Arbitrase. Jadi, dalam kontrak bisnisnya, para pihak memasukkan klausula tentang lembaga Arbitrase yang dipilih sebagai forum untuk nantinya apabila terjadi suatu perselisihan atau sengketa bisnis.

Pemilihan forum oleh para pihak dalam suatu kontrak bisnis merupakan bagian dari salah satu azas-azas perjanjian yaitu azas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak disini artinya para pihak bebas untuk menentukan substansi (isi) kontrak termasuk juga pilihan hukumnya. Dengan adanya azas kebebasan berkontrak menjadi dukungan bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk memasukkan klausula arbitrase tersebut karena dianggap memiliki kelebihan-kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa yang lainnya.

Sejatinya masalah arbitrase merupakan isu hukum yang menarik. Dalam dunia bisnis, penggunaan arbitrase sudah semakin popules dan meningkat jumlahnya. 11 Dalam kontrak bisnis, penggunaan dan pencantuman klausula arbitrase juga merupakan isu hukum yang banyak mendapat perhatian, terutama yang berkaitan dengan kekuatan mengikat dari klausula arbitrase tersebut dari perspektif hukum perjanjian.

Dengan adanya klausula arbitrase (arbitration clause) parah pihak sejak semula bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan menghindari penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan umum. Klausul arbitrase ini mengikat para pihak, dan apabila terjadi sengketa mereka tidak mengajukan sengketa ke pengadilanpun tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Namun

kenyataannya dalam praktek ada pengadilan yang tetap menerima dan memeriksa perkara yang sudah ada klausul arbitrasenya.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji menganalisis tentang kekuatan hukum mengikat klausula arbitrase, sebab dari aspek implementasi suatu klausul masih dihadapkan pada masalah kompetensinya dan kekuatan mengikatnya. Dalam konteks ini dibahas juga untuk memeriksa perkara yang diajukan pihak-pihak yang sudah ada klausula arbitrasenya. Masih terkait dengan arbitrase, dikaji juga tentang pembatalan klausula arbitrase. Berdasarkan azas itikad baik perjanjian arbitrase harus dilaksanakan dan tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan sepakat kedua belah pihak.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian kaitannya dengan tulisan ini termasuk katagori penelitian Hukum Normatif, yaitu penelitian yang memfokuskan pada Analisa norma hukum dan meletakkan norma hukum sebagai obyek penelitian. Dalam membahas permasalahan penelitian dipergunakan pendekatan Analisa konsep hukum (analytical conceptual approach). Kedua pendekatan tersebut dipergunakan sebagai sandaran bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum dalam rangka memecahkan permasalahan penelitian. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dan bahan hukum sekunder yang meliputi buku-buku, jurnal, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya. Bahan hukum penelitian dikumpulkan melalui studi dokumen, dalam mencari konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dianalisa secara kualitatif dan komperehensif. Setelah dianalisa, selanjutnya bahan hukum tersebut disajikan secara deskriptif analisis.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam Kontrak Bisnis

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan atau sengketa dalam dunia bisnis sesungguhnya sudah lama dikenal dan memang sudah lazim dipergunakan khususnya pada praktek perjanjian perdagangan. Secara eksplisit sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian yang dimaksud dibuat sebelum adanya sengketa (acta compromise).12

Hal tersebut sudah termuat berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan perjanjian arbitrase adalah suatu ksepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Ira Sumaya menyatakan kompromi (compromise) itu sendiri berarti a settlement of difference yang bertujuan menghindari penyelesaian melalui peradilan (to preventa lawsuit). Dengan demikian, akta kompromise ialah akta yang berisi aturan penyelesaian perselisihan yang telah timbul diantara orang berjanji.13

Sesungguhnya antara pactum de compromittendo dengan acta compromise dari segi perjanjian tidak ada bedanya, perbedaannya terletak pada saat pembuatan perjanjian. Kalau pactum de compromittendo atau yang dikenal dengan klausula arbitrase dibuat sebelum terjadinya sengketa, sedangkan acta compromise dibuat setelah terjadinya sengketa. Perjanjian arbitrase sebelum terjadinya sengketa atau lazim dikenal dengan Klausula Arbitrase merupakan perjanjian yang berdiri sendiri yang lahir dari perjanjian pokok. 14

Jadi dapat dikatakan bahwa letak perbedaan antara pactum de compromittendo dengan acta compromise adalah terletak pada waktu pembuatan perjanjian. Jika klausula arbitrase dibuat sebelum terjadinya sengketa dan dituangkan dalam perjanjian pokoknya ataupun dibuat akta terpisah, maka klausula arbitrase ini disebut dengan klausula arbitrase pactum de compromittendo. Kemudian jika dalam hal kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi setelah munculnya sengketa maka disebut dengan acta compromise. Tapi dari segi perjanjian, tidak ada perbedaan diantara keduanya.

Pada klausula arbitrase dicantumkan kesepekatan untuk menyelesaikan sengketa tidak melalui lembaga peradilan umum, melainkan melalui arbitrase. Rumusan klausul arbitrase umumnya sederhana, memuat choise of forum dan choise of law serta mekanisme pelaksanaannya. Klausul Arbitrase merupakan bagian dari suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tentang pemilihan dan cara-cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Sebagai perjanjian Klausula Arbitrase mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dipatuhi oleh pihak-pihak. Muhammad syaifuddin menjelaskan bahwa azas kekuatan mengikat kontrak mengharuskan para pihak memenuhi apa yang merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Azas hukum ini disebut juga azas pacta sund servanda yang secara kongkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang memuat ketentuan imperatif, yaitu; “semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” 15 Selanjutnya Herlien Budiono juga menyatakan, adagium pacta sunt servanda yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1), mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan.16

Azas kekuatan mengikat perjanjian yang telah ditanda tangani oleh para pihak ini harus dilaksanakan dengan itikad baik (good faith). Azas atau prinsip ini sudah diakui secara universal dan berbagai sistem hukum di dunia mengakui dan menghormati azas ini. Berdasarkan azas ini ketentuan choice of forum (klausul arbitrase) dalam kontrak mengikat dan harus dipatuhi oleh para pihak.17

Seperti dikutip dari Huala Adolf, Muskibah dan Lili Naili Hidayah menyatakan kewajiban dalam perjanjian sifatnya mutlak yang tersirat dan tersurat didalamnya adalah kewajiban untuk melaksanakan kesepakatan meskipun tidak menguntungkan atau dalam pelaksanaannya unconfertable/inconvenient. 18 Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum, menjadi hukum bagi mereka (cum nexum faciet mancipiumque, uti lingua mancuoassit, ita jus esto).19

Dasar kekuatan mengikat perjanjian arbitrase (klausula arbitrase) diletakkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Agar perjanjian tersebut mengikat, maka perjanjian itu harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu; 1) Ada kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3) Suatu hal tertentu, 4) suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif.

Oleh karena syarat pertama dan kedua menyangkut mengenai personal atau si pembuat perjanjian, jadi jika syarat subyektif dari suatu perjanjian tidak terpenuhi maka akibat hukum dari perjanjian tersebut adalah “dapat dibatalkan” (vernietigbaar). Dalam arti, perjanjian tersebut dapat dibatalkan ataupun tidak bergantung dari pihak yang berkepentingan. Kemudian karena syarat ketiga dan keempat menyangkut mengenai objek atau isi perjanjian (perihal yang diperjanjikan), jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka akibat hukum dari perjanjian tersebut adalah “batal demi hukum”. Hal tersebut berarti bahwa perjanjian yang sudah ada dianggap tidak pernah ada karena perjanjian tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Dengan dipenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) dari aspek keperdataan mempunyai daya mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. 20 Dengan demikian, dalam sistem hukum perjanjian di Indonesia, klausula arbitrase mempunyai kekuatan mengikat, dan harus di taati dan di hormati oleh institusi peradilan di Indonesia.

Adanya klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis, menimbulkan akibat hukum dimana sengketa yang terjadi bukan kewenangan Pengadilan Negeri untuk menyelesaikannya. Hal mana secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 3 jo Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Ketentuan Pasal 3 dari undang-undang tersebut mengatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) menegaskan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam penyelesaian suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

  • 3.2    Pembatalan Klausula Arbitrase dalam Kontrak Bisnis

Adanya suatu perjanjian didasarkan pada kehendak pihak-pihak, tanpa adanya hal itu tidak akan ada perjanjian, begitu juga halnya ketika perjanjian itu dibuat dengan Akta Notaris, dimana para pihak datang menghadap mengemukakan keinginannya untuk dibuatkan perjanjian. Apa yang dituangkan dalam Akta Notaris tersebut merupakan kehendak para pihak, dan bukan kehendak Notaris.21

Bila kehendak para pihak itu dirasakan tidak mencapai tujuan seperti yang diharapkan mengingat situasi dan kondisinya berubah, maka apa yang menjadi kehendak para pihak yang sudah dituangkan dalam bentuk kontrak tersebut dapat dibatalkan dengan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Bila perjanjiannya berbentuk Akta Notaris, maka para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuatkan akta pembatalan atas akta tersebut dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi bagi para pihak dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.22

Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan semula, yaitu keadaan sebelumnya para pihak dianggap tidak pernah melakukan atau mengadakan perjanjian diantara mereka. 23 Disini pembatalan perjanjian bermakna meniadakan apa yang sudah disepakati oleh para pihak sebelumnya.

Penyelesaian sengketa dalam bidang perdata melalui arbitrase didasarkan pada kesepakatan yang merupakan cetusan kehendak para pihak yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase,24 yang memiliki empat ciri hak yaitu;

  • 1)    Mereka berdaulat,

  • 2)    Mereka memiliki otoritas,

  • 3)    Mereka mempunyai yuridiksi terhadap sengketanya, dan

  • 4)    Masing-masing independent tidak bisa dipengaruhi pihak manapun tanpa kehendaknya.25

Perjanjian arbitrase (Klausul Arbitrase), apabila sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti diatur Pasal 1320 KUH Perdata, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) mempunyai kekuatan mengikat. Konsekuensi logisnya pernjanjian arbitrase tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pihak. Mengacu pada ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata, bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kecuali atas kesepakatan para pihak atau karena adanya alasan-alasan yang kuat untuk itu. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan kecuali dikehendaki oleh para pihak. Apabila ingin membatalkan perjanjian arbitrase, harus didasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Setiap pembatalan perjanjian arbitrase harus mendapatkan persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Selaras dengan yurisprudensi, yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 317K/Pdt/1984. Dalam yurisprudensi tersebut dinyatakan bahwa melepaskan perjanjian arbitrase (Klausul Arbitrase) harus dilakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.26

Begitu juga terkait dengan eksistensi perjanjian arbitrase berlaku suatu prinsip yaitu prinsip separability.27 Berdasarkan prinsip tersebut suatu perjanjian arbitrase (Klausul Arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhir atau batalnya perjanjian pokok. 28 Prinsip ini dapat ditemukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, atau berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. 29 Prinsip separability (Prinsip Pemisahan) ini mengatur bahwa suatu perjanjian yang memuat klausul Arbitrase merupakan dua perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokoknya.

Seperti ditegaskan oleh Moch. Faisal Salam, bahwa berdasarkan prinsip separabilitas, perjanjian atau Klausula Arbitrase berdiri sendiri dan terlepas sama sekali dari perjanjian pokoknya oleh sebab itu, jika karena alasan apapun perjanjian pokoknya cacat hukum atau tidak sah, perjanjian atau klausul arbitrase tetap dianggap sah dan mengikat.30

  • 4.    Kesimpulan

Penyelesaian sengketa bisnis diluar pengadilan melalui forum arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang berkembang dewasa ini. Dalam suatu kontrak bisnis umumnya memuat suatu klausul penyelesaian sengketa yang di sebut Klausula Arbitrase. Keberadaan perjanjian arbitrase (Klausul Arbitrase) ini

meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan. Berdasarkan azas pacta sunt servanda Klausul Arbitrase mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pihak, sehingga apabila terjadi sengketa berkaitan dengan pelaksanaan kontrak maka akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak. Dengan adanya Klausula Arbitrase, maka pengadilan tidak berwenang untuk mengambil sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata Perdata, perjanjian arbitrase mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang bagi para pihak dan tidak dapat ditarik dan dibatalkan, kecuali dengan sepakat kedua belah pihak. Adanya keinginan untuk membatalkan perjanjian arbitrase (Klausul Arbitrase) harus dilakukan secara tegas dalam bentuk persetujuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Daftar Pustaka

Adjie, Habib. Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2013.

Ariani, Nevey Varida. “Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 1, no. 2 (2012): 277–94. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v1i2.101.

Benny Riyanto. “Responsi Mediasi Dalam Permulaan Proses Di Pengadilan Negeri Indonesia, Kumpulan Paper Guru Besar Hukum Acara Perdata.” Konfrensi Nasional Hukum Acara Perdata V, 2018.

Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Citra Aditya Bakti, 2006.

Entriani, Anik. “Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di Indonesia.” IAIN Tulungagung Research       Collections        3,       no.        2        (2017):        277–93.

https://doi.org/https://doi.org/10.21274/an.2017.3.2.277-293.

Hamid, Adnan. “Arbitrase Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa Perburuhan.” JLR-Jurnal Legal Reasoning 3, no. 2   (2021):   116–36.

https://doi.org/https://doi.org/10.35814/jlr.v3i2.2410.

Harahap, Panusunan. “Eksekutabilitas Putusan Arbitrase Oleh Lembaga Peradilan/The Executability of Arbitration Award by Judicial Institutions.” Jurnal Hukum     Dan     Peradilan      7,     no.      1      (2018):      127–50.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.25216/jhp.7.1.2018.127-150.

Latumahina, Jeffry. “Hubungan Hukum Klausula Arbitrase Dengan Yurisdiksi Pengadilan Negeri.” Jurnal Ecodemica Jurnal Ekonomi Manajemen Dan Bisnis 4, no. 2 (2020): 283–93. https://doi.org/https://doi.org/10.31294/jeco.v4i2.8338.

Muskibah, Muskibah, and Lili Naili Hidayah. “Penyelesaian Sengketa Konstruksi Melalui Arbitrase Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.” Pandecta Research      Law      Journal      16,      no.      1      (2021):      14–26.

https://doi.org/https://doi.org/10.15294/pandecta.v16i1.25671.

Nurhidayati, Siti. “Akibat Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Bagi Hasil (Studi Putusan Nomor 873 PK/PDT/2017).” Universitas Sumatera Utara, 2020.

Prayitno, Edi, and Martin Roestamy. “Analisis Yuridis Konflik Kompetensi

Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase Dan Peradilan Umum Dalam Sengketa              Kepemilikan              Saham,”              n.d.

https://doi.org/https://doi.org/10.30997/jill.v9i1.1018.

Putra, Dewa Nyoman Rai Asmara, and I Putu Rasmadi Arsha Putra. “Akibat Hukum Pendaftaran Penyelesaian Sengketa Alternatif.” Adhaper: Jurnal Hukum Acara Perdata 6, no. 1 (2020): 73–86. https://doi.org/10.36913/jhaper.v6i1.102.

Salam, Faisal. Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional Dan Internasional. Vol. 442. Bandung: Mandar Maju, 2007.

Sari, Indah. “Keunggulan Arbitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 9, no. 2   (2019).

https://doi.org/https://doi.org/10.35968/jh.v9i2.354.

Sembiring, Jimmy Joses, and M SH. Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan. Visimedia, 2011.

Situmorang, Mosgan. “Pembatalan Putusan Arbitrase.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 20,                no.                4                (2020):                573–86.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.V20.573-586.

Sumardika, A A N Roy. “Integrasi Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Dalam Proses Acara Peradilan Perdata: Studi Tentang Putusan Pengadilan Yang Di Mediasi Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008.” Jurnal Magister Hukum Udayana           3,           no.           3           (n.d.):           44133.

https://doi.org/https://doi.org/10.24843/JMHU.2014.v03.i03.p11.

Sumaya, Ira. “Analisis Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam Perjanjian Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase.” Jurnal Ilmiah        Advokasi        1,        no.        2        (2013):        13–28.

https://doi.org/https://doi.org/10.36987/jiad.v1i2.451.

Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, Dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). CV. Mandar Maju, 2016.

Tampongangoy, Grace Henni. “Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Internasioanal.” Lex Et Societatis 3, no. 1 (2015). https://doi.org/https://doi.org/10.35796/les.v3i1.7081.

Widjaja, Gunawan, and Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Hukum Arbitrase. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia Dan Internasional. Sinar Grafika, 2022.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 317K/Pdt/1984

437