KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP PENIRUAN TAMPILAN WEBSITE DI INDONESIA

Policy Formulation of The Imitation of Presentation On Website In Indonesia

Ajeng Widya Paramita

Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

ABSTRACK

One of the implications of information technology to which attention is currently paid is its impact on the existence of Intellectual Property Right. One of the crimes committed to the right of intellectual property is the illegal imitation of presentation on web page of sites belonging to others popularly known as Offense against Intellectual Property. Based on the background above, the problems discussed in this study are the formulation of criminal act and the policy of formulation in the future system of sanction imposed upon the imitation of presentation of website in Indonesia. Normative method based on the regulations of laws related to the crime of the imitation of presentation of website in Indonesia was used in the present study. The results of the study showed that the elements of the formulation of criminal act of the imitation of presentation of website in Indonesia are subjective and objective ones. The policy of the formulation of the system of criminal sanction imposed upon the limitation of presentation of website in Indonesia applies the type of cumulative criminal threaten which includes two types of punishment. The formulation is a 2 (two) year imprisonment and/or a maximum spesific fine of Rp. 150.000.000,00 (one hundred fifty thousand rupiahs), based on Article 72 Clause (6) jo Article 24 of the Criminal Law.

(Keywords : Policy of Formulation, Imitation of Presentation of Website in Indonesia)

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi ilmu pengetahuan, khususnya teknologi elektronik menimbulkan pengaruh hampir dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Berbagai media yang dapat digunakan sebagai sarana pertukaran proses berkomunikasi, yang salah satunya adalah jaringan

komputer yang memiliki akses internet. Menurut Samudra Prasetyo (Gematel Juni 1996), cara mengakses ke internet dapat dilakukan melalui tiga bentuk sambungan yaitu; pertama, melalui komputer PC (pribadi) LAN (Local Area Network) mempunyai host yang tersambung ke

internet, kedua melalui komputer PC ke host internet menggunakan SLIP/PPP (Serial line Internet Protocol/Point to Point Protocol). Bentuk akses yang dilakukan melalui bentuk a dan b sering pula disebut dengan ‘sambungan langsung’, sedangkan bentuk sambungan c disebut sambungan tidak langsung.1

Penggabungan komputer dengan telekomunikasi melahirkan suatu fenomena mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional, dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi ketiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris (biasa disebut hard reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (dipadankan dengan sebutan soft reality), maka dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual reality) yang melahirkan suatu format dalam masyarakat.2 Perkembangan yang

pesat dalam teknologi internet turut menyebabkan kejahatan-kejahatan baru di bidang tersebut muncul. Eksistensi teknologi informasi menyebabkan muncul kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk cybercrime. Kejahatan mayantara (cybercrime) telah menunjukan tampilan riilnya dalam jagat teknologi canggih. Melalui media internet beberapa jenis tindak pidana semakin mudah untuk dilakukan. Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang diharapkan mampu menjadi payung hukum terkait aktivitas-aktivitas teknologi informasi.

Kejahatan cyber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional karena berbicara mengenai kejahatan tidak dapat dilepaskan dari lima faktor yang saling kait mengait yaitu pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan dan hukum.3 Cyberlaw adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari cyberspace law, dimana meliputi setiap aspek yang ruang lingkupnya berhubungan dengan

orang perorangan atau subjek hukum pengguna atau orang yang menggunakan serta memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat memulai online. Kata online tersebut merupakan padanan istilah dalam Bahasa Indonesia berarti terhubung, tersambung, atau daring (bahasa Inggris: online) dalam bidang pendidikan dan teknologi informasi. Panduan pembakuan istilah, Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001 tentang Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia dan memasuki dunia cyber atau maya.4

Salah satu implikasi teknologi informasi yang saat ini menjadi perhatian adalah pengaruhnya terhadap eksistensi Hak Kekayaan Intelektual, di samping terhadap bidang-bidang lain seperti transaksi bisnis (elektronik), kegiatan e-goverment, dan lain-lain. Istilah hak kekayaan intelektual sebagai terjemahan dari kata intellectual property rights. Dalam kerangka

hukum siber, Hak Kekayaan Intelektual memiliki kedudukan yang sangat khusus mengingat kegiatan siber sangat lekat dengan pemanfaatan teknologi informasi yang berbasis pada perlindungan rezim hukum Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Desain Industri dan lain-lain.5

Salah satu isu yang tak kalah menarik yakni terkait hak cipta di internet. Cybercrime atas hak cipta (hak milik) dimana kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan hasil karya seseorang adapun terkait dengan motif menggandakan serta memasarkan kemudian mengubah hasil karya tersebut dengan tujuan yakni untuk kepentingan pribadi atau umum ataupun demi materi/non materi.

Hak atas kekayaan intelektual merupakan terjemahan daripada Intellectual Property Right.6 Kejahatan yang ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual, salah satunya ialah peniruan tampilan web page pada suatu situs atau website milik pihak lain secara ilegal atau

penyiaran terkait informasi-informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang milik pihak lain atau yang lazim dikenal dengan Offense against Intellectual Property.

Hukum hak cipta berbicara mengenai perlindungan atas berbagai karya-karya cipta yakni dalam bidang seni, sastra maupun ilmu pengetahuan yang sifatnya telah diwujudkan secara nyata dan memiliki orisinalitas. Perwujudan karya dalam konteks sekarang tidak saja dituangkan dalam medium konvensional, yang dapat dilihat dan diraba secara kasat mata, tetapi perwujudan ini dapat juga diekspresikan melalui medium digital seperti internet.

Hak cipta melindungi hal-hal terkait dengan tampilan-tampilan seperti homepage, rezim hukum hak cipta mendapat tantangan baru setelah adanya teknologi internet. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta apabila dikaitkan dengan perlindungan homepage memiliki persoalan yang cukup prinsipil karena menganut prinsip konstitutif yang sangat ketat. Pengaturan website secara khusus di

dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 belum dipaparkan. Apakah website termaksud dalam ruang lingkup yakni informasi elektronik ataukah dokumen elektronik. Hal ini kemudian memunculkan interpretasi adanya norma yang kosong dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena tidak ditemukan definisi dari website itu sendiri beserta pengaturannya. Kompleksitas pengaturan ini, melahirkan permasalahan hukum. Jadi segala informasi yang terdapat dalam sebuah website yang terpublikasikan, dan akibat terpublikasikan tersebut sesungguhnya telah menimbulkan permasalahan hukum dalam ruang hukum hak cipta. Adapun di dalam Undang-Undang Hak Cipta website diatur sebagai ciptaan. Jadi dalam sebuah website, terdapat beberapa hak cipta yakni7 selain hak atas tulisan artikel di website itu, juga terdapat hak cipta atas program komputer (website adalah program komputer, program komputer

merupakan hasil daripada pemikiran intelektual dari pencipta atau pembuatan program yakni diakui sebagai suatu karya cipta yang merupakan karya dari perwujudan cipta rasa dan karsanya), hak cipta atas desain dalam website, dan juga hak cipta atas typographical arrangment website tersebut.8 Hak cipta sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual merupakan persoalan yang menarik dari beragamnya aktivitas di internet.

  • 1.2    Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan yakni mengenai pengaturan perumusan tindak pidana peniruan tampilan website dan kebijakan formulasi dalam sistem sanksi di masa mendatang terhadap peniruan tampilan website di Indonesia.

  • II.    Tujuan Penelitian

  • 1.    Tujuan Umum Secara umum Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu terkait dengan pengaturan perumusan tentang tindak pidana peniruan tampilan website

yang berkaitan dengan kejahatan di dalam ruang lingkup hak cipta, dan untuk pengembangan konsep ilmu hukum pidana secara umum serta pemahaman yang tidak hanya terpaku pada dogmatik hukum tetapi juga pengembangan asas serta teori hukum pidana.

  • 2.    Tujuan khusus yakni mendalami hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan masalah penelitian yakni, untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang pengaturan perumusan tindak pidana peniruan tampilan website di Indonesia dan untuk menganalisis kebijakan formulasi hukum pidana dalam perumusan sistem sanksi di masa mendatang terhadap peniruan tampilan website di Indonesia.

  • III.    Metode Penelitian

    • 3.1    Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal, yang disebut juga sebagai penelitian kepustakaan. Dengan titik tolak adanya kekosongan norma dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 3.2 Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai yakni beberapa metode dalam penelitian hukum normatif, yaitu metode pendekatan terhadap perundang-undangan (the statute approach), pendekatan kasus (the case approach),9 pendekatan secara faktual (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach), pendekatan melalui rumusan atau frase (word and pharase approach) dan pendekatan sejarah (historical approach).10 Keenam pendekatan tersebut akan digabungkan dengan pendekatan yang biasa dipergunakan dalam hukum pidana, yang disebut dengan pendekatan kebijakan. Pendekatan kebijakan yang meliputi pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan dan nilai.11

  • 3.3    Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum atau data yang diperlukan adalah bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang telah penulis uraikan dalam rumusan masalah yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

  • 3.4    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan atau library research dengan membuat catatan-catatan yang diperoleh dari literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan. Pengumpulan bahan hukum tersebut difokuskan pada materi-materi hukum yang berhubungan langsung dengan objek permasalahan. Adapun pencatatan dilakukan dengan menggunakan sistem kartu (card system). Lazimnya dikenal dua macam kartu yang diperlukan untuk mencatat bahan hukum, yakni kartu kutipan guna mengumpulkan data 12 kepustakaan.12

  • 3.5    Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang dikumpulkan kemudian diklasifikasikan dan disusun menggunakan analisis

  • 12    Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op Cit, h. 53.

deskriptif, evaluatif, argumentatif dan sistematisasi.

  • IV.    Hasil dan Pembahasan

  • 4.1    Perumusan Tindak Pidana Terhadap Peniruan Tampilan Website di Indonesia

Kebutuhan untuk melindungi barang dan atau jasa dari beberapa kemungkinan seperti pemalsuan, pembajakan, plagiat maupun peniruan atau persaingan tidak wajar (curang) juga berarti kebutuhan untuk melindungi hak kekayaan intelektual yang digunakan pada proses pembuatan produk yang bersangkutan.13 Mengenai peniruan terhadap tampilan halaman (home page) sebuah situs atau website di dunia maya terdapat dalam Pasal 72 Ayat (6) jo Pasal 24 Ayat (1) dan (2) tersebut dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

  • a.    Unsur      subjektif,      yakni

Kesalahan; Dengan sengaja.

  • b.    Unsur      objektif,      yakni

Pembuatnya; Pemegang hak cipta; dengan melawan hukum; serta tanpa hak; perbuatannya yakni;

  • 1)    Tidak mencantumkan nama pencipta dalam ciptaannya;

  • 2)    Mengubah ciptaan yang hak ciptanya    telah

diserahkan         pada

pemegang hak cipta; serta dengan

  • 3)    Objek yakni ciptaan.14

Unsur-unsur tersebut yang dapat diuraikan sebagaimana penjelasan di atas yakni :

  • 1.    Kesalahan : Dengan sengaja Berdasarkan rumusan tindak pidana Pasal 72 ayat (6) jo Pasal 24 ayat (1) dan (2), kesengajaan pemegang hak cipta (pembuat) atau disebut pelaku harus ditujukan pada unsur-unsur “tanpa hak”, perbuatan “tidak mencantumkan” (pasif) dan “mengubah” ciptaan yang hak ciptannya telah diserahkan pada pemegang hak cipta, beserta objek suatu “ciptaan”. Artinya diuraikan sebagai berikut :

  • a.    Pemegang hak cipta (pembuat) menghendaki untuk melakukan perbuatan tersebut “tidak mencantumkan” nama pencipta dalam ciptaannya dan atau

perbuatan “mengubah” ciptaan yang disadarinya hak cipta telah diserahkan kepadanya.

  • b.    Pembuat menyadari bahwa tidak mencantumkan nama pencipta dan mengubah isi ciptaan pencipta    tersebut    sebagai

melawan    hukum,    karena

disadarinya kelakuannya itu tanpa mendapat persetujuan dari pencipta atau ahli warisnya.

  • c.    Pembuat mengerti bahwa tidak mencantumkan nama pencipta dan atau mengubah ciptaan dilakukan pada suatu ciptaan tertentu.15

Sebagai orang normal kesadaran itu dipastikan ada. Sementara itu, kesadaran atas dirinya sebagai pemegang hak cipta tidak diperlukan karena letak unsur kualitas pemegang hak cipta diletakkan sebelum kata sengaja dalam kalimat rumusan Pasal 24. Atau, dalam kalimat rumusan tindak pidana gabungan Pasal 72 Ayat (6) dan Pasal 24 dalam suatu naskah tersebut.16

  • 2.    Pembuatannya : Pemegang hak cipta.

Pencipta adalah pemegang hak cipta. Pencipta dapat mengalihkan atau menyerahkan hak cipta tersebut pada orang atau pihak lain. Pihak lain ini juga pemegang hak cipta dan

pemegang hak cipta yang bukan pencipta itulah yang dimaksud sebagai subjek hukum tindak pidana menurut Pasal 72 Ayat (6) jo Pasal 24.

Perlu diketahui bahwa hak cipta berisi hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan ekonomi atas suatu ciptaan serta produk dari hak terkait (neighboring right) tidak ada perbedaan yang tajam antara hak cipta (copy rights) dengan neighboring rights. Sebuah karya pertunjukan atau karya seni lainnya yang disiarkan oleh lembaga penyiaran, di dalamnya terdapat perlindungan hukum kedua hak tersebut. Copy rights berada di tangan pencipta atau produsernya, sedangkan neighboring rights dipegang oleh lembaga penyiaran yang mengumandangkan siaran tersebut,17 seperti hak eksklusif yang ada pada pelaku, produser rekaman, lembaga penyiaran. Sementara itu,

hak moral adalah hak yang melekat pada pribadi penciptanya yang menurut sifatnya tidak dapat dialihkan dan dilenyapkan dengan cara apapun.

Pasal 3 yang menyebutkan bahwa hak cipta yang dapat dialihkan adalah hak ekonomi dalam hak cipta, sedangkan hak moral tidak. Hak moral itulah yang dilindungi oleh norma tindak pidana Pasal 72 Ayat (6) jo Pasal 24. Walaupun hak ekonomi dalam hak cipta telah dialihkan tetapi pencipta atau ahli warisnya tetap mempunyai hak moral dalam hak cipta. Dengan demikian, Pasal 24 melindungi agar nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya dan melindungi keaslian ciptaannya (Ayat 2). Tindak pidana Pasal 72 Ayat (6) jo Pasal 24 secara tegas melindungi kepentingan hukum pencipta atas hak moral. Bahkan perlindungan hukum tersebut sampai kepada ahli warisnya. Untuk perlindungan hak moral itu oleh UHC Indonesia telah dicantumkan ketentuan dalam pasal 56 yang menyatakan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada orang atau badan lain tidak

mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat seseorang tanpa persetujuannya :

  • a.    Meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan itu;

  • b.    Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;

  • c.    Mengganti atau mengubah judul ciptaan itu;

18

  • d.    Mengubah isi ciptaan itu.18

  • 3.    Melawan hukum : Tanpa hak

Dicantumkannya unsur melawan hukum (wederrechtelijk) dalam rumusan beberapa tindak pidana adalah untuk menghadapi kemungkinan jangan sampai orang yang sebenarnya menggunakan haknya dalam melakukan perbuatan itu akan dapat dipidana.19 Sifat melawan hukum tertulis “tanpa hak”. Pembuat tidak berhak untuk “tidak mencantumkan” nama penciptanya. Tidak berhak untuk “mengubah ciptaan”. Letak tidak berhaknya pemegang hak cipta untuk berbuat demikian karena tidak mendapat persetujuan atau izin dari pencipta, atau jika telah meninggal oleh ahli warisnya.

Jika sudah meninggal, apakah cukup persetujuan dari salah satu atau sebagian ahli waris, agar “tidak mencantumkan” nama pencipta atau “mengubah” ciptaan menjadi perbuatan hukum. Berdasarkan hak yang sama dalam hal mewarisi terhadap budel waris, dimana hak cipta adalah juga budel maka persetujuan wajib dimintakan pada semua ahli waris.

Sifat melawan hukum perbuatan yang demikian termaksud melawan hukum objektif. Walaupun sifat objektif dari melawan hukum yang demikian sangat jelas dan terang. Namun jika dilihat dari hubungan unsur sifat melawan hukum dengan unsur kesengajaan, maka diperlukan kesadaran si pembuat bahwa perbuatan “tanpa mencantumkan” nama pencipta atau “mengubah” ciptaan tiada persetujuan dari pencipta atau ahli warisnya sebagai tercela atau melawan hukum. Oleh karena itu, sikap yang demikian menjadi sifat melawan hukum subjektif. Kesimpulannya, dasar sifat melawan hukum perbuatan adalah objektif (melawan hukum objektif)

dan sifat itu perlu disadari oleh si pembuat (melawan hukum subjektif). 4. Perbuatan : Tidak mencantumkan nama pencipta dan mengubah ciptaan

Pembuat dalam tindak pidana ini ialah pemegang hak cipta yang bukan pencipta tetapi pemegang hak cipta yang diperoleh dari pencipta. Perbuatan yang dilarang adalah dua. Pertama, “tidak mencantumkan” nama pencipta pada ciptaannya. Kedua, “mengubah” ciptaan yang hak ciptanya telah dialihkan pada 20 pemegang hak cipta.20

Perbuatan “tidak mencantumkan” merupakan perbuatan pasif, yakni tidak melakukan perbuatan yang menurut hukum wajib dilakukan oleh seseorang. Jadi, dalam setiap perbuatan pasif dipastikan ada suatu kewajiban hukum yang dilanggar yakni untuk melakukan suatu. Kewajiban hukum pemegang hak cipta adalah kewajiban hukum untuk mencantumkan nama pencipta dalam ciptaannya. Ada dua modus perbuatan “tidak mencantumkan” nama pencipta. Pertama, tidak mencantumkan nama siapa pun atau “anonim”. Kedua, mencantumkan

nama lain bukan nama pencipta. Keduanya masuk dalam kategori “tidak mencantumkan” nama penciptanya.21 Perbuatan kedua “mengubah” ciptaan harus diartikan terhadap semua yang terdapat pada ciptaan. Misalnya, sebuah karangan ilmiah yang dibukukan, bisa pada judul dan isi karangan, termasuk sistematika karangan. “Mengubah” artinya melakukan suatu perbuatan terhadap suatu ciptaan dengan wujud dan cara apa pun sehingga apa yang diubah menjadi lain atau berbeda dari keadaan semula atau lain dari yang asli. Caranya bisa dengan menambah, menghilangkan, dan sebagainya atas bagian tertentu dari ciptaan. Pasal 24 ayat (3)22 memberi keterangan yang mengatakan bahwa “ketentuan ayat (2) (in casu “mengubah”) berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul ciptaan, pencantuman nama, dan perubahan nama atau nama samaran pencipta. Kalimat tersebut memperluas pengertian “mengubah” ciptaan. Jika perbuatan “mengubah” dilakukan pada ciptaan yang

wujudnya tulisan maka perbuatan ini sama artinya dengan memalsu (vervalsen) pada kejahatan pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP). Tidak ada perbedaan yang prinsip antara memalsu surat dengan memalsu ciptaan. Sama-sama mengenai isinya, yakni isinya surat dan isi ciptaan menurut Pasal 72 ayat (6) jo Pasal 24. Memalsu surat adalah mengubah dengan wujud dan cara apa pun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang mengakibatkan sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan surat semula. Perbuatan mengubah terhadap objek suatu ciptaan sama artinya dengan memalsu adalah mengubah dengan wujud dan cara apa pun atas bagian-bagian tertentu suatu ciptaan oleh orang yang tidak berhak (tanpa izin pencipta) sehingga pada bagian tersebut berbeda dengan ciptaan semula.

  • 5.    Objek : Ciptaan23

Objek tindak pidana ini ialah suatu ciptaan, jadi bendanya terletak

pada wujud (misalnya suatu karangan) bukan hak yang melekat pada benda, seperti hak ekonomi dalam hak cipta. Pasal 1 angka 3 secara singkat memberikan batasan otentik mengenai apa yang dimaksud ciptaan. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Pencipta adalah seorang ataupun beberapa orang bersama-sama atas ide ataupun inspirasinya melahirkan suatu karya ciptaan yang berdasarkan kemampuan pikiran maupun imajinasinya, keterampilan, keahlian atau kecekatannya yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas serta memiliki keaslian (orisinalitas) dan bersifat pribadi. Dari definisi ciptaan dan pencipta yang dikutip tersebut maka suatu ciptaan memenuhi unsur berikut :

  • a.    Merupakan hasil karya inspirasi yang berdasarkan kemampuan buah pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian seseorang atau beberapa orang.

  • b.    Dalam lapangan     ilmu

pengetahuan, seni, dan sastra.

  • c.    Yang     dituangkan     (ada

kesengajaan) ke dalam bentuk yang khas.

  • d.    Yang menunjukkan keasliannya.

  • e.    Yang hasil inspirasi dalam bentuknya yang khas tersebut bersifat pribadi.24

Terciptanya suatu ciptaan hanya bisa dihasilkan dengan menggunakan pikiran, gagasan, ide, kecekatan, keterampilan, atau keahlian berdasarkan kemampuan seseorang atau beberapa orang. Oleh karena itu, dalam hak cipta bukan sekedar terdapat hak moral tetapi juga hak ekonomi. Suatu penghargaan yang sangat tinggi terhadap ciptaan, terutama oleh sebab adanya hak moral dalam hak cipta yang melekat dan mengikuti pribadi pencipta dan tidak dapat dialihkan dan dihapus dengan cara apa pun. Pasal 12 dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta merinci tiga bidang objek ciptaan (ilmu pengetahuan, seni dan sastra) yang mendapat perlindungan hak cipta. adalah sebagai berikut :

  • a.    Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

  • b.    Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu.

  • c.    Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

  • d.    Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

  • e.    Drama atau drama musikal, tari, koreografi, perwayangan, dan pantomim.

  • f.    Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

  • g.    Arsitektur;

  • h.    Peta;

  • i.    Seni batik;

  • j.    Fotografi;

  • k.    Sinematografi;

  • l.    Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

  • 4.2 Kebijakan Formulasi dalam Sistem Sanksi Terhadap Peniruan Tampilan Website di Indonesia

Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam bentuk delik, walaupun ada juga yang dirumuskan terpisah dalam pasal (ketentuan khusus) lainnya. Jenis pidana yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola KUHP ialah pidana pokok dengan menggunakan 9 (sembilan) bentuk perumusan, yaitu :

  • a.    diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana tertentu;

  • b.    diancam dengan penjara seumur hidup atau penjara tertentu;

  • c.    diancam dengan pidana penjara tertentu;

  • d.    diancam dengan pidana penjara atau kurungan;

  • e.    diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;

  • f.    diancam dengan pidana penjara atau denda;

  • g.    diancam    dengan    pidana

kurungan;

  • h.    diancam    dengan    pidana

kurungan atau denda;

  • i.    diancam dengan denda.25

Dari 9 (sembilan) bentuk perumusan di atas, dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut :

  • 1.    KUHP hanya menganut 2 (dua) sistem perumusan, yaitu :

  • a.    Perumusan tunggal yaitu hanya diancam 1 (satu) pidana pokok;

  • b.    Perumusan alternatif.

  • 2.    Pidana pokok yang diancamkan atau dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal.

  • 3.    Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai yang paling ringan.26

Di dalam KUHP disebutkan bahwa sanksi pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok adalah pidana yang berdiri sendiri artinya merupakan

jenis pidana yang dapat dijatuhkan tanpa bergantung pada sanksi pidana lainnya, sedangkan pidana tambahan merupakan sanksi pidana yang tidak bisa berdiri sendiri artinya tidak dapat dijatuhkan sendiri akan tetapi bergantung pada pidana pokok, jadi hukuman pidana tambahan hanya sebagai penyerta bagi pidana pokok.

Menurut hukum pidana positif (KUHP dan di luar KUHP) jenis pidana menurut KUHP, seperti terdapat dalam pasal 10 adalah sebagai berikut, hukuman-hukuman ialah :

  • 1.    Pidana Pokok

  • a.    Pidana Mati;

  • b.    Pidana Penjara;

  • c.    Pidana Kurungan;

  • d.    Pidana Denda;

  • e.    Pidana Tutupan;

  • 2.    Pidana Tambahan

  • a.    Pencabutan hak-hak tertentu;

  • b.    Perampasan barang-barang tertentu;

  • c.    Pengumuman putusan hakim.27

Umumnya, hak cipta dilanggar jika materi hak cipta tersebut digunakan tanpa ijin dengan cara yang eksklusif dimiliki oleh

pemegang hak cipta, kecuali jika ada pengecualian terhadap bentuk pelanggaran hak cipta tersebut. Untuk pelanggaran yang terjadi, harus ada kesamaan antara dua karya yang ada. Hak cipta tidak dilanggar jika karya-karya sejenis diproduksi secara independen, dalam hal ini kepada masing-masing pencipta akan memperoleh hak cipta atas hasil karya mereka.28 Hak cipta juga dilanggar jika seluruh atau bagian substansial dari sesuatu yang memperoleh perlindungan hak cipta dikopi. Mengacu pada penjelasan di atas ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka dapat diuraikan :

Pasal 72 ayat (1) yang menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing minimum khusus 1 (satu) bulan dan/atau denda minimum khusus Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara maksimal khusus 7 (tujuh)

tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara minimum khusus 1 (satu) bulan dan/atau pidana denda minimum khusus Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara maksimal khusus 7 (tujuh) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan terhadap tindak pidana mengumumkan atau memperbanyak ciptaan orang lain (Pasal 2 ayat (1)), dan tindak pidana membuat, memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan (Pasal 49 ayat (1)) dan tindak pidana yang diketahui tanpa izin memperbanyak dan/atau menyewakan rekaman suara atau rekaman bunyi (Pasal 49 ayat (2)) mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal 2 jenis ancaman pidana. Penggabungan sistem ancaman

tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (2) yang menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda maksimal khusus Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal 2 jenis pidana. Penggabungan sistem ancaman pidana tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2

hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (3) yang menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan atau/atau denda maksimal khusus Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal 2 jenis pidana. Penggabungan sistem ancaman pidana tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (4) menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan terhadap tindak pidana dengan sengaja mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang agama, pertahanan, dan keamanan negara, kesusilaan, serta ketertiban umum (Pasal 17) mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal 2 jenis pidana. Penggabungan sistem ancaman pidana tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (5) menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan terhadap tindak pidana dengan sengaja memperbanyak atau mengumumkan potret tanpa izin pemiliknya atau ahli warisnya (pasal 19), tindak pidana dengan sengaja mengumumkan potret orang yang dibuat tanpa persetujuan orang yang dipotret apabila bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret (Pasal 20), dan tindak pidana dengan sengaja membuat, memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siaran melalui transmisi (Pasal 49 (ayat 3)) mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal dua jenis pidana.

Penggabungan sistem ancaman tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (6) menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan terhadap tindak pidana pemegang hak cipta sengaja dan tanpa hak tidak mencantumkan nama pencipta dan mengubah ciptaan (Pasal 24) dan tindak pidana hak cipta sengaja dan tanpa hak meniadakan nama pencipta, mencantumkan nama pencipta, mengganti atau mengubah judul atau isi ciptaan (Pasal 55) mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif

kumulatif adalah sistem yang mengenal dua jenis pidana. Penggabungan sistem ancaman tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (7) menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan tehadap tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak meniadakan atau mengubah informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta (Pasal 25) mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal dua jenis pidana. Penggabungan sistem ancaman tersebut terletak pada kata “dan/atau”

sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (8) menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan terhadap tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak merusak, meniadakan, atau dibuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi sebagai pengaman hak pencipta (Pasal 27) mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal dua jenis pidana. Penggabungan sistem ancaman tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut.

Pasal 72 ayat (9) menyatakan :

“Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Pemidanaanya pada pasal tersebut menjatuhkan pidana penjara maksimal khusus 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal khusus Rp 1.500.000.00,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Berarti dalam pasal tersebut pemidanaan yang dijatuhkan terhadap tindak pidana dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan (Pasal 28) mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif. Maksud dari sistem ancaman pidana alternatif kumulatif adalah sistem yang mengenal dua jenis pidana. Penggabungan sistem ancaman tersebut terletak pada kata “dan/atau” sehingga ditafsirkan ada 2 hal atau bagian yang dapat dipilih dan dapat digabungkan kedua hal tersebut. V. Penutup 5.1 Kesimpulan

  • 1.    Perumusan tindak pidana terhadap peniruan tampilan website

dirumuskan bahwa memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif. Adapun unsur subjektif yakni adanya kesalahan dengan sengaja. Bahwa kesengajaan pemegang hak cipta (pembuat) atau disebut pelaku menghendaki atau menyadari untuk melakukan perbuatan tersebut. Kemudian memenuhi unsur objektif yakni pembuatnya pemegang hak cipta dengan melawan hukum dan tanpa hak, perbuatannya tidak mencantumkan nama pencipta dalam ciptaannya tersebut dan mengubah ciptaan yang diartikan terhadap semua yang terdapat dalam ciptaan, yang hak ciptanya telah diserahkan pada pemegang hak cipta dan dengan objek tindak pidananya adalah ciptaan. Bendanya terletak pada wujud bukan hak yang melekat pada benda.

  • 2.    Berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa sistem pemidaaan pelaku peniruan tampilan website termaksud kedalam pidana pokok yakni pidana penjara dan denda. Mengacu pada Pasal 72 Ayat (6) jo Pasal 24 dengan rumusan “Pemegang hak cipta dengan sengaja dan tanpa hak tidak mencantumkan

nama pencipta dalam ciptaannya atau mengubah suatu ciptaan yang hak ciptanya telah diserahkan pada pemegang hak cipta dipidana dengan pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Di dalam pasal tersebut mengenal sistem ancaman pidana alternatif kumulatif, yang dimaksudkan yakni sistem yang mengenal dua jenis pidana.

  • 5.2 Saran

  • 1.    Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Informasi dan Transaksi   Elektronik,   namun

pengaturan   tampilan   website

belum diatur. Dibutuhkan adanya kajian lebih lengkap untuk menciptakan atau membuat perundang-undangan khusus yang dapat menjerat para pelaku

kejahatan di bidang komputer, khususnya kejahatan peniruan tampilan website agar terciptanya pengaturan hukum yang jelas mengenai kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan komputer dan hak kekayaan intelektual di internet.

  • 2.    Bagi pengelola dan pemilik website untuk dapat menjaga atau mengantisipasi websitenya dari tindakan peniruan, adapun sebaiknya melakukan langkah-langkah preventif seperti, mengatur akses, menutup layanan yang tidak diperlukan, memasang proteksi, menggunakan fire wall untuk menjaga akses keluar masuk bagi yang tidak memiliki ijin untuk mengaksesnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang.

Chazawi, Adami, 2007, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Kepemilikan dan Penggunaan Hak Atas Kekayaan Intelektual, Bayumedia Publishing, Malang.

Maramis, Frans, 2012, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Margono, Suyud, dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual (Aspek Hukum Bisnis), PT. Gramedia Widiasarana, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

OK, Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ramli, M. Ahmad, 2004, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung.

Saydam, Gauzali, 2005, Teknologi Telekomunikasi (Perkembangan dan Aplikasi), CV. Alfabeta, Bandung.

Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta.

Wahid, Abdul, dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), PT. Refika Aditama, Bandung.

UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008.

________________, Undang-Undang Tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002.