Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Elektronik Sebagai Alat Bukti: Urgensi Harmonisasi Kebijakan

Bella Kharisma1, I Gede Agus Kurniawan2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, [email protected] 2 Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 18 Februari 2022

Diterima: 26 Mei 2022

Terbit: 20 Juli 2022

Keywords:

The Power of Evidence, Electronic Deed, Land Deed

Official


Kata kunci:

Kekuatan Pembuktian, Akta Elektronik, Pejabat Pembuat Akta Tanah


Corresponding Author:

Bella Kharisma, E-mail:

[email protected]


Abstract

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i02. p07.

belum jelasnya akta-akta PPAT apa saja yang dibuat secara elektronik sehingga tidak memberikan kepastian hukum, serta kekuatan pembuktian akta yang dibuat secara elektronik tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selayaknya akta otentik serta tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan sehingga tidak dapat diberlakukan karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE. Oleh karenanya, urgen harmonisasi kebijakan yang terkait dengan akta elektronik.

  • 1.    Pendahuluan

Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh manusia sebagai pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Selanjutnya disebut UUPA). UUPA merupakan suatu landasan utama bagi pengaturan masalah agraria di Indonesia yang didalamnya mengatur mengenai masalah hak-hak atas tanah, hak atas air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA. Perlu ditekankan bahwa “bumi, air dan ruang angkasa sepenuhnya dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat dan untuk tercapainya hal tersebut diperlukan adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut”.1 Dalam rangka melaksanakan ketentuan pada UUPA tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997) sebagai bentuk aturan yang signifikan dalam menangani proses pendaftaran tanah di Indonesia. Ketentuan Pasal 6 PP 24/1997 menentukan bahwa:

  • 1)    Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain.

  • 2)    Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Atas ketentuan tersebut diatas maka Kantor Pertanahan dan Perjabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) memiliki peran penting disetiap kegiatan pendaftaran tanah. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut dengan PP

37/1998) menentukan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai peruatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”.

PPAT sebagai pejabat umum diberikan kewenangan oleh negara untuk menjalankan sebagian tugas terkait dengan pendaftaran tanah dengan cara pembuatan akta otentik untuk perbuatan hukum tertentu mengani hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang kemudian dijadikan dasar untuk melakukan proses pendaftaran atau perubahan data pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 yang menentukan bahwa "Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peran PPAT pada pendaftaran tanah juga diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP 37/1998 menentukan bahwa Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

  • a.   Jual Beli;

  • b.  Tukar Menukar;

  • c.  Hibah;

  • d.    Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (Inbreng);

  • e.  Pembagian Hak Bersama;

  • f.  Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik;

  • g.  Pemberian Hak Tanggungan;

  • h.  Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Atas ketentuan tersebut diatas maka PPAT memiiliki tugas dan kewajiban untuk membuatkan suatu akta otentik sebgaimana Pasal 2 ayat (2) PP 37/1998. PPAT menjalankan tugas dan kewajibannya salah satunya dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) yang terkait dengan pendafataran hak tanggungan. Secara umum Hak Tanggungan, memuat unsur-unsur pokok sebagai berikut:2

  • 1.    Memberi kewenangan pada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya;

  • 2.    Merupakan jaminan terhadappelunasan hutang;

  • 3.    Utang yang dijaminkan merupakan suatu utang tertentu;

  • 4.    Yang menjadi objek adalah hak atas tanah yang sesuai Dapat dibebankan atas tanahnyamaupun pada benda-benda lain diatas tanah tersebut yang menjadi kesatuan dengan tanah yang dijaminkan.

Berdasarkan Penjelasan angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap, yaitu:

  • 1.    Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;

  • 2.    Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.

Seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi, terutama di era 5.0 yaitu era internet of things, maka segala bentuk pemberian informasi dilakukan melalui media internet. Perubahan pemberian layanan informasi yang sebelumnya bersifat manual dan kini berubah menjadi bersifat elektronik. Jika ditelaah dari segi PP 37/1998 bahwasanya tentang akta elektronik yang dibuat oleh PPAT, saat ini masih menuai kontroversi, salah satunya dengan ketentuan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) yang dibuat secara elektronik dengan berlakunya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (selanjutnya disebut Permen ATR/KBPN No. 5 Tahun 2020). Permen ATR/KBPN No. 5 Tahun 2020 diharapkan pemerintah dapat memenuhi asas keterbukaan, kecepatan, ketepatan waktu, efektif dan efisien dalam pelaksanaan hak tanggungan sehingga seluru proses yang berkaitan dengan hak tanggungan dilakukan secara elektronik.

Berlakunya Permen ATR/KBPN No. 5 Tahun 2020 merubah sistem hak tanggungan yang semula mendatangi Kantor Pertanahan kini berubah menjadi sistem yang berbasis elektronik, sehingga seluruh dokumen-dokuen terkait dengan hak tanggungan di unggah secara elektronik. Salah satu dokumen yang diunggah yaitu APHT.  Pasal 102 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Permen ATR/KBPN 7/2019), menentukan bahwa:

  • 1)    Akta PPAT dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya.

  • 2)    Akta PPAT yang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Dokumen Elektronik.

  • 3)    Penyampaian akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Sistem Elektronik.

Berdasarkan ketentuan Pasal 102 tersebut diatas sejalan pula dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) serta ayat (2) Permen ATR/KBPN No. 5 Tahun 2020 yang menentukan bahwa:

  • 1.    Kreditor mengajukan permohonan pelayanan H T-El melalui Sistem HT-El yang disediakan oleh Kementerian.

  • 2.    Dalam hal permohonan pelayanan HT-El sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pendaftaran Hak Tanggungan Atau Peralihan Hak Tanggungan, Dokumen Kelengkapan Persyaratan Disampaikan oleh PPAT.

Atas ketentuan Pasal 102 Permen ATR/KBPN 7/2019 dan Permen ATR /KBPN No. 5 Tahun 2020 maka PPAT selaku pejabat umum berwenang membuat akta dalam hal ini APHT harus menyampaikan dalam bentuk elektronik pada Layanan Mitra Kerja guna pendafaran hak tanggungan yang dilakukan secara elektronik, serta asli lembar kedua.3

Selanjutnya, terdapat ketentuan baru mengenai produk hukum PPAT yakni akta otentik, pemerintah telah mengeluarkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 18/2021). Dasar berlakunya PP 18/2021 ini mengatur mengenai akta PPAT yang dapat dibuat secara elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 86 menentukan bahwa “pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat dilakukan secara elektronik”. Makna kata “dapat” pada peraturan tersebut tidak dijelaskan secara rinci apakah seluruh akta yang dibuat PPAT wajib dibuat dalam bentuk elektronik atau hanya akta-akta tertentu saja yang dapat dibuat secara elektronik mengingat Pasal 86 PP 18/2021 tersebut tidak mengatur lebih lanjut terkait akta PPAT apa saja yang dibuat secara elektronik dan bagaimana penerapannya.

Atas ketentuan tersebut maka akta PPAT yang dibuat secara elektronik salah satunya akta APHT dapat mengakibatkan kedudukan akta elektronik tersebut memiliki kekuatan hukum dalam pembukian dipengadilan sebagai akta otentik atau menjadi setara dengan akta di bawah tangan.4

Atas ketentuan Pasal 86 PP 18/2021 tersebut maka telah terjadi kekaburan norma, yang mana belum adanya penjelasan yang pasti mengenai akta-akta PPAT yang seperti apa yang dapat diberlakukan secara elektronik, sehingga perlu dilakukan suatu penelitian guna mendapatkan suatu kepastian hukum terhadap akta PPAT yang dapat dibuat dalam bentuk elektronik.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka dibuatlah penelitian dengan judul Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Secara Elektronik: Urgensi Harmonisasi Kebijakan Pada Perspektif Kekuatan Alat Bukti dengan 2 (dua) rumusan masalah yakni (1) bagaimanakah pengaturan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT dalam bentuk elektronik? (2) bagaimanakah kekuatan pembuktian akta PPAT yang dibuat secara elektronik? Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT dalam bentuk elektronik dan menganalisa kekuatan pembuktian akta PPAT yang dibuat secara elektronik.

State of art dari penulisan ini mengambil contoh dari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan mengenai akta yang dibuat secara elektronik, berikut penelitian yang dijadikan dasar dalam penulisan ini antara lain:

Penelitian pertama, dengan judul “Analisis Hukum Atas Penggunaan Dan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik”, oleh Tiska Sundani, dengan rumusan masalah: “(1) Bagaimana landasan hukum keberadaan akta notaris secara elektronik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku?, (2) Bagaimana substansi hukum penggunaan dan pembuatan akta notaris secara elektronik?, (3) Apakah hambatan dan upaya pemerintah dalam pembuatan akta notaris secara elektronik?”5, Penelitian ini memiliki permasalahan yang berbeda dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis, pada penelitian ini membahas mengenai akta notaris yang dibuat secara elektronik yang dijelaskan mengenai kreteria apasaja yang tergolong sebagai akta notaris yang dapat dibuat secara elektronik sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis membahas mengenai akta PPAT yang dapat dibuat secara elektronik.

Penelitian kedua, dengan judul “Analisis Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik”, Adrian Raka Wiranata, Universitas Surabaya, 2021, dengan rumusan masalah: “(1) bagaimanakah analisis sertifikasi transaksi yang dilakukan secara cyber notary yang sah sebagai akta otentik?”6 Penelitian ini memiliki permasalahan yang berbeda dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis, pada penelitian ini membahas mengenai akta notaris yang dibuat dimasa pandemic Covid-19 yang mengalami kendala bagi notaris untuk melakukan tatap muka langsung dengan penghadap, sehingga notaris dituntut untuk dapat menggunakan konsep cyber notary sedangkan penelitian yang diteliti oleh penulis membahas mengenai sejauh mana kekuatan APHT sebagai akta PPAT yang dapat dibuat secara elektronik.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji Pasal 86 PP 18/2021 yang mengalami kekaburan norma karena tidak jelasnya aturan mengenai frasa kata “dapat” pada Peraturan tersebut. Jenis Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (statutes approach) dan Pendekatan analisis (analytical approach). Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan terkait (PP 18/2021, PP 37/1998). Bahan hukum sekunder yaitu buku, artikel/jurnal hukum, dan bahan hukum tersier yaitu dari internet. Metode analisis bahan hukum yaitu tenik deskriptif yang menjelaskan mengenai peristiwa atau kondisi hukum.7

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Dibuat Oleh PPAT Dalam Bentuk Elektronik

PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai pejabat umum memiliki kewenangan untuk membuat suatu akta otentik. Kewenangan yang dimiliki oleh PPAT tersebut akan memiliki tanggung jawab hukum sehingga menuntut PPAT agar

mentaati setiap peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah, dan apabila PPAT melanggar peraturan tersebut maka akan dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata menentukan bahwa Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Berdasarkan pengertian akta otentik pada Pasal 1868 KUHPerdata, maka ada 3 (tiga) syarat akta otentik, yaitu:8

  • 1.    Akta harus dibuat dalam bentuk dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang.

  • 2.    Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.

  • 3.    Pejabat harus memiliki wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang yang dimiliki PPAT sebagai pejabat umum yakni membuat suatu akta otentik sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (4) PP 37/1998 yang menentukan bahwa “Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Dari kewenangan yang dimiliki oleh PPAT yakni kewenangan atribusi dikarenakan wewenang tersebut diberikan langsung oleh undang-undang untuk membuat akta otentik.9

Perkembangan era digital saat ini menuntut para PPAT untuk mengikuti era revolusi industri 4.0 bahkan pada saat ini telah memasuki era 5.0, sehingga beralihnya sistem yang semula manual kini menjadi sistem yang dibuat dalam bentuk digital berbasis elektronik. Beberapa prinsip yang aman dalam sistem komunikasi untuk melaksanakan transasksi elektronik yang memiliki validitas yaitu confidentiality, integrity, authorization, availability, authenticity, non-repudiation dan auditability. Kesemua itu menyangkut dalam sebuah sistem yang menyeluruh yang juga disebut dengan public key cryptosystem. Transasksi ini menjadi model atau tren di dalam melakukan traksaksi bisnis belakangan ini.10 Suatu keniscayaan dengan kecanggihan teknologi saat ini memberikan benefit yang tidak sedikit diantaranya dapat menghemat bahkan memberikan keudahan bagi para pemangku kepentingan terutama para pebisnis mengambil sebuah kepitusan walaupun dengan lokasi yang berjauhan.11

Pada revolusi ini PPAT dituntut untuk turut serta dalam pelaksananaan sistem elektronik, salah satunya dengan berlakunya sistem elektronik bagi pendaftaran hak tanggungan pada layanan Mitra Kerja. Ketentuan baru mengenai pendafatran hak tanggungan elektronik ini membuat pemyampaian APHT tidak lagi dilakukan dengan mendatangi Kantor Pertanahan melainkan mengunggah pada sistem layanan Mitra Kerja sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (4) Permen ATR/KBPN No. 5 Tahun 2020 yang menentukan bahwa “persyaratan permohonan pelayanan HT-el sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik”.

Keterlibatan PPAT pada proses pendaftaran Hak Tanggungan elektronik, menimbulkan tanggunga jawab secara hukum atas dokumen-dokumen yang diunggah secara elektronik termasuk APHT oleh PPAT, mengingat PPAT diwajibkan mengisi format “Surat Pernyataan Pertanggungjawaban Keabsahan dan Kebenaran Data Dokumen Elektronik yang dalam redaksional alinea kedua mencantumkan frasa Saya bertanggung jawab penuh atas keabsahan dan kebenaran isi dokumen secara formal maupun materiil”.12

Akta PPAT yakniAPHT, penyampaiannya wajib dilakukan dalam bentuk elektronik sehingga akta tersebut asli lembar pertama dan asli lembar kedua tetap disimpan sebagai warkah pada Kantor PPAT. Pada proses pendaftaran hak tanggungan elektronik, Kantor Pertanahan hanya menyimpan APHT dan warkah dalam bentuk dokumen elektronik, sehingga atas ketentuan baru tersebut maka PPAT memiliki kewenangan baru untuk menyimpan seluruh APHT baik asli lembar pertama dan kedua pada kantornya dan bertanggungan jawab untuk memeliharanya.13

Pemerintah saat ini mengeluarkan suatu aturan baru yakni akta PPAT dapat dibuat secara elektronik sebagaimana ketentuan yang ada pada Pasal 86 PP 18/2021. Akan teteapi ketentuan tersebut tidak memuat penjelasan mengenai akta apa saja yang dapat dibuat secara elektronik oleh PPAT. Sebagaimana yang diketahui bahwasanya PPAT dapat membuat akta-akta berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP 37/1998 yakni “akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (Inbreng), Pembagian Hak Bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan, Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”. Sebagaimana diketahui akta-akta tersebut dibuat secara manual dengan membuat draft terlebih dahulu kemudian diprint lalu ditandatangani dengan para penghadap di hadapan PPAT. Akan tetapi pada saat ini hanya APHT yang penyampaiannya dilakukan secara elektronik berdasarkan Permen ATR/KBPN No. 5 Tahun 2020.

Ketentuan mengenai akta-akta PPAT yang dapat dibuat secara elektronik sebagaimana Pasal 86 PP 18/2021 telah mengalami kekaburan norma mengingat belum jelasnya aturan tersebut, sehingga sangat bertentangan dengan prinsip Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo, yang bermakna bahwa “Notaris harus menjalankan tugasnya secara

tradisional”. 14 Tujuan dari asas tersebut yakni agar Notaris/PPAT dapat menjaga kebenaran secara formil terhadap akta otentik yang telah dibuatnya mengingat saat ini telah muncul istilah cybernotary dan akta elektronik sehingga hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap asas tersebut, akan tetapi pada prakteknya notaris/PPAT lebih cendrung mendukung untuk mempertahankan eksistensi asas tabellionis officium fideliter exercebo, dalam hal ini pada pembuatan akta otentik.15

Jika dilihat menurut pendapat Gustav Radbruch mengemukakan beberapa hal mendasar yang berkaitan dengan makna kepastian hukum, yaitu: “Hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan; hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan, Fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan serta hukum positif tidak boleh mudah diubah”. 16 Sehingga, dalam kesejatiannya keberadaan asas kepastian hukum dapat dimaknai bahwa sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan. 17

Berdasarkan hal tersebut maka ketentuan Pasal 86 PP 18/2021 belum dapat memberikan suatu kepastian hukum mengingat akta yang diibuat dalam bentuk elektronik belum terdapat penjelasan yang pasti mengenai makna kata “dapat” pada Pasal tersebut, sehingga masih terdapat kekaburan norma pada Pasal tersebut serta kreteria akta PPAT apa saja yang dapat dibuat secara elektronik.

  • 3.2    Kekuatan Pembuktian Akta PPAT Yang Dibuat Secara Elektronik

Pembuktian merupakan tahapan tahapan yang terpenting dan sentral bagi hakim pada proses persidangan guna memudakan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan di pengadilan. Tahap pembuktian ini adalah peristiwa –peristiwa yang menuju pada kebenaran yang relevan menurut hukum. Tujuan dari pembuktian yakni untuk memberikan penetapan bagi kedua belah pihak yang berperkara di pengadilan agar dapat memberikan rasa yakin bagi hakim atas alat bukti yang diberikan oleh para pihak yang berperkara guna hakim dapat mempertimbangkan atas putusan yang akan diberikan serta dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak tersebut.

Akta menurut bentuknya sebagaimana Pasal 1867 KUHPerdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) akta yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata menentukan bahwa Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat

umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”, sedangkan akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat umum, yang kemudian ditandatangani oleh para pihak dalam akta tersebut. Jika akta dibawah tangan tidak disangkal kebenarannya oleh para pihak dalam akta tersebut dan mengakui kiebenaran atas akta yang telah dibuatnya maka sesuai dengan pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan Akta Otentik. Demikian untuk kkekuatan pembuktian akta otentik, menurut Retnowulan Sutantio akta otentik dipahami mempunyai 3 (tiga) aspek yakni: 18

  • 1.    Kekuatan pembuktian formil, karena membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;

  • 2.    Kekuatan pembuktian materiil karena membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa tersebut dalam akta telah terjadi;

  • 3.    Kekuatan pembuktian keluar yang mengikat, karena keberlakuannya juga mengikat kepada pihak ketiga diluar para pihak.

Selain itu, GHS Lumban Tobing juga menyatakan bahwa akta otentik mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yakni: 19

  • 1.    Kekuatan pembuktian lahiriah karena akta itu sendiri mampu membuktikan sendiri keabsahannya

  • 2.    Kekuatan pembuktian formal karena akta tersebut dijamin kebenaran formalnya oleh pejabat sebagaimana yang telah diuraikannya dalam akta

  • 3.    Kekuatan pembuktian material karena akta tersebut memuat substansi/isi yang lengkap dan dianggap kebenaran (kepastian sebagai yang sebenarnya) untuk diberlakukan kepada setiap orang atau pihak ketiga.

Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sangat sempurna, jika dijadikan suatu alat bukti dalam persidangan maka kekuatan akta otentik tidak memerlukan alat bukti lainnya untuk membuktikan apakah akta otentik tersebut benar atau salah karena akta otentik memuat kebenaran formal yang telah sesuai dengan yang dituangkan oleh Notaris/PPAT dalam akta tersebut.20 Dengan demikian keberadaan dua teori keautentikan tersebut diatas, baik secara teknis maupun secara hukum saling melengkapi karena pada dasarnya suatu keautentikan secara materil dan formal harus didasarkan atas adanya jaminan proses untuk keautentikan itu sendiri. Dengan kata lain, secara teknis keautentikan atas informasi diatas media kertas tidak cukup dengan hanya pernyataan yang dituliskan oeh pejabat dalam aktanya, melainkan harus didukung oleh suatu bukti bahwa proses atau formalitas yang menjadi prasyaratnya harus dapat dibuktikan oleh pejabat tersebut.

Selanjutnya, terdapat ketentuan baru pada Pasal 86 PP 18/21 menentukan bahwa “pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat dilakukan secara elektronik”, atas ketentuan tersebut maka sesuai dengan Pasal 1 ayat (4) PP 37/1998 maka PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat suatu produk hukum yakni akta otentik. Terkait substansi hukum pembuatan akta secara elektronik oleh PPAT, Edmon Makarim menjelaskan bahwa:21

“Sebenarnya tidak ada larangan pembuatan salinan elektronik dalam undang-undang jabatan notaris, tetapi akan potensial muncul masalah karena adanya keharusan pembacaan dan penanda waktu yang menunjukkan tanggal dan/atau waktu di mana peristiwa tertentu terjadi (time stamping). Oleh karena itu para pihak yang bertransaksi dengan notaris terlebih dahulu menyepakati waktu yang akan dipakai dalam suatu transaksi elektronik”.

Akan tetapi, produk hukum PPAT yang saat ini dibuat secara elektronik dalam hal ini akta otentik, mengenai keabsahan dan kekuatan pembuktian ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menentukan bahwa:

  • 1)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

  • 2)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

  • 3)    Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini.

  • 4)    Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

  • a.    surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

  • b.    surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Bentuk dokumen elektronik dapat menjadi alat pembuktian yang asli dan original jika menggunakan sistem elektronik yang aman, andal, serta bertanggung jawab.22 Akan tetapi menurut hukum positif Indonesia, terkait dengan akta PPAT terhadap pemberlakuan pembuatan akta dapat dilakukan secara elektronik tersebut tidak diakui sebagai alat bukti elektronik. Hal tersebut dikarenakan terdapat Pasal yang melarangnya sebagaimana ketentuan pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE tersebut di atas

tidak berlaku bagi bagi surat yang dibuat dalam bentuk akta notariil/ akta yang dibuat pejabat pembuat akta sebagaimana Pasal 86 pp 18/2021 karena pembuatan akta otentik yang produk hukumnya akta PPAT merupakan alat bukti yang terkuat dan sempurna sehingga harus dibuat dengan ketetuan Perundang-Undangan yang berlaku serta tidak dapat dibuat secara elektronik karena tidak sesuai dengan ketentuan UU ITE.

Atas dasar ketentuan tersebut di atas, jika dilihat menggunakan Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norm yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky adalah:23

  • a.  Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945);

  • b.    Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.

  • c.  Formell gesetz: Undang-Undang.

  • d.    Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Dilihat dari struktur tata hukum di Indonesia maka kedudukan UU ITE memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada PP 18/21, sehingga ketentuan yang ada pada UU ITE didahulukan dikarenakan akta PPAT yang dibuat secara elektronik tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selayaknya akta otentik, hal ini dikarenakan akta PPAT yang dibuat secara elektronik tersebut tidak memenuhi syarat keotentikan suatu akta serta UU ITE belum pula mengakomodir mengenai akta PPAT yang dibuat dalam bentuk elektronik sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.

  • 4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT disampaikan dalam bentuk elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (4) Permen ATR/KBPN No. 5 Tahun 2020 yang memiliki keterkaitan dengan Pasal 86 PP 18/2021, namun ketentuan tersebut masih mengalami kekaburan norma karena belum jelas akta-akta PPAT apa saja yang dapat dibuat secara elektronik dan bagaimana tata cara pelaksaaannya sehingga aturan dimaksud tidak memberikan kepastian hukum bagi PPAT yang membuat akta secara elektronik. Dalam hal kekuatan pembuktian akta PPAT yang dibuat secara elektronik tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selayaknya akta otentik lainnya serta tidak dapat dijadikan suatu alat bukti yang sah di

pengadilan sebagaimana dalam Pasal 86 PP 18/2021 tidak dapat diberlakukan karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE.

Sehubungan dengan kesimpulan tersebut di atas, dapat disarankan bagi pemerintah untuk menyempurnakan aturan yang ada pada Pasal 86 PP 18/21 dan membuat suatu aturan baru yang tidak bertentangan dengan UU ITE sehingga akta yang dibuat secara elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan tidak bertentangan dengan UU yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Shirley Zerlinda, and Marwanto. “Kewenangan Dan Tanggung Jawab Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 5, no. 2 (2020): 261–73. https://doi.org/https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i02.p05.

Annalisa, Y, and Agus Trisaka. “Cyber Notary Realita Dan Idealita.” Palembang: Unsri Press, 2020.

Bayanullah, Muhammad. “Legalitas Akta Pemberian Hak Tanggungan Elektronik.” Jurnal Hukum Dan Kenotariatan 6, no. 1    (2022):    594–612.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33474/hukeno.v6i1.15049.

Coresy, Grace, and Moh Saleh. “Tanggung Gugat Atas Pelanggaran Prinsip Kerahasiaan Dalam Akta Elektronik Jika Dihubungkan Terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik.” Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, no. 1 (2020): 1–11. https://doi.org/https://doi.org/10.14421/sh.v9i1.2092.

Dharmawan, Ni Ketut Supasti. “Keberadaan Pemegang Saham Dalam RUPS Dengan Sistem Teleconference Terkait Jaringan Bermasalah Dalam Perspektif Cyber Law.” Jurnal Magister Hukum    Udayana 4, no.    1    (2015):    44188.

https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i01.p15.

Diantha, I Made Pasek, Ni Ketut Supasti Dharmawan, and I Gede Artha. “Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Disertasi.” Denpasar: Swastu Nulus, 2018.

Halilah, Siti, and Mhd Fakhrurrahman Arif. “Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli.” Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara 4, no. II (2021).

Julyano, Mario, and Aditya Yuli Sulistyawan. “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum.” Crepido 1, no. 1 (2019): 13–22. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/crepido.1.1.13-22.

Kharisma, Bella, and Made Gde Subha Karma Resen. “Pemberlakuan Asli Lembar Kedua Akta Pemberian Hak Tanggungan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 6, no. 02 (2021): 322–39. https://doi.org/https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p09.

Kuspratomo, Yudha Prio. “Pelaksanaan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris.” Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2020.

Maharani, I Gusti Ayu Agung Devi. “Kewenangan Notaris Dalam Transaksi Jual Beli Tanah Dan Bangunan: Studi Kasus Penahanan Sertipikat Hak Guna Bangunan.” Kertha        Patrika        40,        no.        2        (2018):        112–21.

https://doi.org/https://doi.org/10.24843/KP.2018.v40.i02.p05.

Makarim, Edmon. “Notaris Dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum Tentang Cybernotary Atau Electronic Notary.” Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Muhtadi, Muhtadi. “Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib Hukum Indonesia.” Fiat     Justisia:     Jurnal     Ilmu     Hukum     5,     no.     3     (2011).

https://doi.org/https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v5no3.75.

Ridwan Khairandy, S H. “Peran Notaris Dalam Perjanjian Melalui Media Elektronik Berdasar Undang-Undang ITE,” 2020.

Septianingsih, Komang Ayuk, I Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung Laksmi Dewi. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara Perdata.” Jurnal Analogi Hukum 2, no. 3    (2020):    336–40.

https://doi.org/https://doi.org/10.22225/ah.2.3.2020.336-340.

Setiadewi, Kadek, and I Made Hendra Wijaya. “Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Sebagai Akta Otentik.” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 6, no. 1 (2020): 126– 34. https://doi.org/https://doi.org/10.23887/jkh.v6i1.23446.

Sundani, Tiska. “Analisis Hukum Atas Penggunaan Dan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik.” Premise Law Jurnal 1 (2017).

Wiranata, Adrian Raka. “Analisis Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik.” Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial Dan Keagamaan 19, no. 1 (2021): 408–21.

Yasa, Putu Astika, and I Nyoman Bagiastra. “Kedudukan Sertipikat Hak Atas Tanah Terkait Berlakunya Sistem Publikasi Negatif Di Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 10, no. 4   (2021):   827–40.

https://doi.org/https://doi.org/10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p12.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696).

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893).

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6630).

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 722).

Peraturan Menteri Agraria dan TatazRuang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 349).

334