Perlindungan Motif Tato Suku Dayak dalam Dimensi Hukum Hak Cipta di Indonesia

Putu Prashanti Vahini Kumara1, I Ketut Westra2

1Bagia’s & Partners Law Firm, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 30 Juli 2021

Diterima: 25 September 2021

Terbit: 30 September 2021


Keywords:

Legal protection; Motif; Tattoo; Copyrights


Kata kunci:

Perlindungan hukum; Motif; Tato;

Hak cipta


Corresponding Author:

Putu PrashantiVahini Kumara, Email: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2021.v10.i03.p16


Abstract

Dayak tattoos are works of art with tattoo motifs created by the Dayak people from generation to generation so that they can be referred to as Traditional Cultural Expressions, but now these tattoo motifs are widely used by modern society and are considered as art. The purpose of this paper is to identify, analyze and elaborate the legal protection arrangements for modern tattoos based on the provisions of the copyright law in Indonesia, as well as the protection of Dayak tattoos from a copyright perspective. This paper is a normative legal research with descriptive analysis technique. The results show that tattoos are one of the objects of copyright protection in the form of images that receive automatic protection as stipulated in Article 40 letter f UUHC. Regarding the tattoo motif of the Dayak Tribe, it should be protected as one of the Traditional Cultural Expressions as stipulated in Article 38 paragraph (1) UUHC. Protection is given considering that the tattoo motif of the Dayak Tribe is closely related to the values that live in the community that bears it, including customs, customary law norms, and other noble norms that are upheld by the Dayak community. Therefore, the State is obliged to carry out an inventory, maintain and preserve the existence of the tattoo motif of the Dayak Tribe.

Abstrak

Tato Suku Dayak merupakan karya seni motif tato yang diciptakan oleh masyarakat suku Dayak secara turun-menurun sehingga dapat disebut sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, namun kini motif tato tersebut banyak digunakan oleh masyarakat modern dan dianggap sebagai hal yang seni. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengelaborasi pengaturan perlindungan hukum terhadap tato modern berdasarkan ketentuan undang-undang hak cipta di Indonesia, serta perlindungan terhadap tato Suku Dayak dalam perspektif hak cipta. Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan tehnik deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tato merupakan salah satu objek perlindungan hak cipta berupa gambar mendapat perlindungan secara otomatis atau automatically protection sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 huruf f UUHC. Berkaitan motif tato Suku Dayak sepatutnya dilindungi sebagai salah satu Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) UUHC. Perlindungan diberikan mengingat motif tato Suku Dayak memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat pengembannya, antara lain adat-istiadat, norma hukum adat, dan norma-norma luhur lain yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Suku Dayak. Maka dari itu, Negara wajib untuk melakukan inventarisasi, menjaga dan melestarikan keberadaan motif tato Suku Dayak.

  • I.    Pendahuluan

Tato merupakan gambar atau simbol yang umumnya dibuat atau dirajah pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis baru.1 Gambar atau simbol tersebut sering kali dihias dengan menggunakan pigmen warna-warni. Secara etimologi, istilah tato merupakan kata serapan dari bahasa Inggris “tattoo” yang berarti lukisan permanen pada tubuh.2 Pembuatan tato yang dilakukan oleh masyarakat dipandang sebagai bentuk ekspresi dan aktualisasi dirinya sendiri. 3 Permbuatan tato tersebut dapat dilakukan secara permanen atau semipermanent yang dilakukan secara sengaja. Tato bukanlah praktek yang baru di masyarakat. Pada mulanya, tato diterapkan di Cina sebagai bentuk tanda untuk menentukan karakter seseorang dari populasi tertentu.4 Di Cina, Tato juga pernah diterapkan sebagai bentuk hukuman dan perbudakan.5 Selain iut, tato juga digunakan sebagai perhiasan wajah, tato dalam dunia militer dan tato figurative dan contextual.6

Sekitar abad ke-17, sejarah mencatat bahwa tato dibawa pertama kali oleh James Cook dan pasukannya dari Inggris dalam penjelajahannya saat berlabuh di Polinesia.7 Sejak itu, penggunaan istilah “tato” dikenal dan berasal dari bahasa Tahiti, yaitu “tatau.8 Praktek tato yang dilakukan oleh James Cook dan pasukannya memiliki kemiripan dengan sejarah rajah tubuh di Indonesia. Salah satu daerah yang terkenal dengan tato adalah Suku Dayak. Seni tato bahkan menjadi identitas bagi sebagian besar masyarakat Suku Dayak di Kalimantan. Bagi masyarakat Suku Dayak, keberadaan tato adalah hal yang tidak terpisahkan dari tubuh mereka. Tato merupakan hal sakral dan memiliki hubungan yang erat dengan berbagai kejadian dan tujuan yang sudah dianggap sebagai bentuk kebudayaan di Kalimantan.

Bagi Suku Dayak, Tato dianggap sebagai simbol yang melambangkan kedewasaan dan merupakan jalan kebenaran. 9 Walaupun demikian, tidak semua suku Dayak mempunyai tato, tidak semua dari suku tersebut memiliki tato yang sama, karena terdapat modifikasi dari setiap tato yang dirajah ke tubuh masyarakat Suku Dayak. Dalam Suku Dayak, istilah tato dikenal dengan sebutan “tutang”.10 Tutang memiliki berbagai bentuk motif yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan ini juga memberikan arti yang berbeda. Peletakan dan pembuatan tutang tidak dapat dilakukan sembarangan. Proses pembuatan tutang pun berbeda apabila dibandingkan dengan pembuatan tato modern pada umumnya. Suku Dayak menggunakan alat tradisional yaitu duri pohon jeruk atau salah sebagai mata jarum dengan mencampurkan jelaga yang dicampu madu lebah liar sebagai bahan utama pembuatan tintanya. Masyarakat Suku Dayak percaya bahwa tutang yang dibuat dengan menggunakan tinta hitam akan berubah menjadi warna emas. Tutang kemudian akan menjadi penerang menuju keabadian setelah mereka meninggal dunia dan sudah melalui upacara Tiwah.

Tutang yang ada di Suku Dayak memiliki beberapa fungsi antara lain:11

  • 1.    Penanda bahwa pemilik tato merupakan keturunan asli dari Suku Dayak;

  • 2.    Menjauhkan pengaruh roh jahat dari pemilik tato;

  • 3.    Penanda bahwa pemilik tutang telah lulus Kinyah, yaitu seni bela diri menggunakan Mandau;

  • 4.    Penghargaan atas jasa karena telah sering menolong atau mengobati;

  • 5.    Bentuk penghargaan atas keberanian di medan pertempuran (pemenggal kepala);

  • 6.    Tanda bahwa pemilik tato telah merantau ke berbagai suku;

  • 7.    Penanda perbedaan status sosial;

  • 8.    Bagi wanita, tutang adalah tanda bahwa ia sudah siap menikah.

Pada Suku Dayak Kayaan, tradisi tato juga dikenal dengan istilah tedak.12 Kebiasaan ini telah dikenal oleh Suku Dayak Kayaan sejak ratusan tahun yang lalu dan masih diwariskan secara turun-temurun pada generasi muda Dayak Kayaan (Tekna’ Lawe).13 Kebiasaan tato pada Suku Dayak Kayaan yang mendiami Sungai Mendalam Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat – Indonesia ini sangat identik dengan kaum perempuan.14 Bagi kaum perempuan, tato ini dianggap sebagai usaha untuk mempercantik diri. Bagi Suku Dayak Kayaan, perempuan yang tidak memiliki tato akan dipandang hina di depan pria.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, penting untuk dilakukan kajian secara mendalam berkaitan dengan isu hukum perlindungan atas tato. Kajian dilakukan

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 10 No. 3 September 2021, 655-665

ISSN: 1978-1520

terkait dengan bentuk perlindungan terhadap tato secara umum dalam perspektif hak cipta dan bentuk perlindungan tato Suku Dayak dalam dimensi hak cipta. Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mengelaborasi pengaturan perlindungan hukum terhadap tato modern berdasarkan ketentuan undang-undang hak cipta di Indonesia, serta perlindungan terhadap tato Suku Dayak dalam perspektif hak cipta. Untuk mewujudkan tujuan penulisan, tulisan akan membahas substansi yang relevan secara terstruktur dan sistematis. Pertama, disajikan mengenai pengaturan perlindungan terhadap tato modern dalam perspektif hak cipta. Kedua, disajikan mengenai pengaturan perlindungan terhadap tato Suku Dayak dalam perspektif hak cipta.

Penelitian ini jika dibandingkan dengan beberapa penelitian terdahulu memiliki kesamaan pada sisi topik, yaitu mengenai tato, khususnya tato Suku Dayak. Pada tahun 2020, Bonfolio Yosafat Hartono mengkaji mengenai “Penciptaan Fotografi Dokumenter Tato Perempuan Generasi Terakhir Suku Dayak Kenyah”.15 Fokus kajian pada penelitian ini adalah mengenai penciptaan fotografi dokumenter berupa struktur penyusunan narasi visual dari tato perempuan generasi terakhir di Suku Dayak Kenyah sesuai dengan strata sosialnya, termasuk pula motif-motif tato perempuan Suku Dayak Kenyah dengan mengkaji sejarah dari kebudayaan tato sebagai bagian dari catatan ilmu pengatahuan atas kebudayaan Indonesia. Pada tahun 2019, penelitian dilakukan oleh Elok Feni Sia dan Taufik Akbar Rizky Yunanto yang mengkaji mengenai “Pemaknaan dan Konsekuensi Budaya Tato Pada Suku Dayak”. 16 Fokus kajian pada penelitian ini adalah berkaitan dengan identitas tato pada Suku Dayak, Kondisi yang menyebabkan Suku Dayak melakukan kegiatan tato dan kondisi perkembangan budaya tato di zaman modern.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach) dengan menggunakan tehnik deskriptif analisis. Merujuk pada pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif dilakukan untuk menjawab permasalahan hukum yang terjadi dan dihadapi dengan menggali aturan-aturan hukum, prinsip hukum, ataupun doktrin hukum.17

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Bentuk Pengaturan Perlindungan Tato dalam Perspektif Hak Cipta

Merujuk pada Cambridge Dictionary, konsep tato diartikan sebagai “a permanent picture, pattern, or word on the surface of the skin, created using needles to put colors under the skin”.18 Pengertian yang dijabarkan dalam Cambridge Dictionary memberikan penegasan bahwa tato merupakan gambar, pola atau kata pada permukaan kulit yang dibuat dengan menggunakan jarum yang berfungsi untuk memberikan pigmen warna. Tato merupakan gambar yang dirajah pada kulit manusia dengan memanfaatkan pigmen warna-warni dan merupakan wujud nyata dari kreativitas dan aktivitas kemampuan manusia untuk berpikir dan menghasilkan suatu karya. Tato sebagai bentuk hasil karya kreativitas dan aktivitas kemampuan intelektual manusia dapat dikategorikan sebagai kekayaan intelektual yang patut dilindungi dalam rezim hak cipta.

Perlindungan karya dalam rezim hak cipta dilindungi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya UUHC). Merujuk pada ketentuan dalam UUHC, terdapat beberapa objek perlindungan hak cipta meliputi beberapa bidang, antara lain bidang seni, sastra serta ilmu pengetahuan. Perlindungan terhadap hak cipta diberikan dengan merujuk pada adanya prinsip orisinalitas, yaitu keaslian dari ide yang diwujudkan oleh Pencipta dan bukan karena plagiarisme.19 Perlindungan terhadap tato yang dikategorikan sebagai gambar mendapat perlindungan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 40 huruf f UUHC sebagai salah satu objek hak cipta, yaitu berupa karya seni rupa, seperti gambar. Merujuk pada penjelasan Pasal 40 huruf f ditentukan bahwa “yang dimaksud dengan “gambar” antara lain motif, diagram, sketsa, logo, unsur-unsur warna dan bentuk huruf indah”. Penjelasan ini kembali menegaskan perlindungan terhadap tato, termasuk juga motif, sketsa, dan unsur-unsur warna.

Dalam kaitannya dengan perlindungan hak cipta, tato dapat dilindungi secara langsung atau automatically protected selama telah diwujudkan dalam bentuk nyata yang dapat dinikmati oleh panca indera (expressed work). Hal ini senada dengan konsep Hak Cipta yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHC, yaitu;

“Hak Cipta adalah hak eksklusif Pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu Ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Konsep perlindungan secara otomatis atau automatically protection dengan merujuk pada prinsip deklaratif merupakan adopsi dari Berne Convention.20 Konsep pemberian perlindungan terhadap objek hak cipta ini tidak memberikan kewajiban bagi Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta untuk mencatatkan Ciptaannya. Pencatatan sebagaimana ditentukan dalam UUHC bukanlah hal yang wajib untuk dilakukan oleh

Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta.21 Merujuk pada penjelasan Pasal 64 ayat (2) UUHC ditentukan bahwa:

“Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait. Perlindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena Pencatatan. Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi.”

Bentuk perlindungan terhadap Ciptaan kembali dipertegas dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait (selanjutnya PP Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait).22 PP yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta pada 26 Februari 2020 kembali menegaskan bahwa bentuk perlindungan atas Hak Cipta atau Hak Terkait adalah automatically protection.

Perlindungan hak cipta menganut asas firs to use, 23 sehingga perlindungan akan diberikan pada suatu karya secara otomatis sejak ide tersebut pertama kali dituangkan atau diimplementasikan dalam bentuk nyata dan dapat dinikmati melalui panca indera. Hal ini dapat dipahami bahwa Hak Cipta atau Hak Terkait, baik yang dicatatkan maupun yang tidak dicatatkan mendapatkan perlindungan yang sama. Konsep perlindungan pada rezim hak cipta merupakan hasil adopsi dari Berne Convention yang merupakan prinsip hak dasar yang berawal dari hak cipta Prancis. Pada mulanya, hak cipta Prancis memprioritaskan hak-hak ilmiah sebagai hak yang lahir secara alamiah dan melekat pada individu. 24 Pemahaman ini beranjak dari pemikiran mahzab hukum alam yang meyakini bahwa hak cipta bukan pemberian dari orang lain, tetapi lahir secara alamiah dari individu. Hal senada juga dipahami dari pemikiran John Locke yang pada intinya kembali menegaskan bahwa berdasarkan teori hukum alam, “suatu hak secara natural akan lahir pada ciptaan yang berasal dari investasi individu, sehingga kekayaan intelektual termasuk hak cipta didalamnya dipandang sebagai hak individu yang dimiliki oleh Pencipta”.25

Perlindungan terhadap tato yang dikategorikan sebagai gambar memiliki hubungan erat dengan teori perlindungan kekayaan intelektual yang dicetuskan oleh Robert M. Sherwood.26 Merujuk pada pemikiran Sherwood, perlindungan terhadap hak cipta diberikan berdasarkan pada teori penghargaan (reward theory), teori pemulihan

(recovery theory), teori resiko (risk theory), teori insentif (incentive theory), dan teori economic stimulus growth. 27 Merujuk pada pemikiran Sherwood tersebut, dapat dipahami bahwa perlindungan terhadap tato diberikan pada Pencipta sebagai bentuk penghargaan atas Ciptaan yang dihasilkan olehnya. 28 Implementasi teori dari Sherwood tampak pada ketentuan Pasal 4 UUHC yang pada pokoknya memberikan perlindungan berupa hak eksklusif yang terdiri atas “hak moral dan hak ekonomi”. Hak moral yang diatur dalam UUHC dipahami sebagai “hak yang melekat secara pribadi pada diri Pencipta dan tetap diakui dan dihormati dan tetap melekat walaupun Pencipta meninggal dunia”. Perlindungan atas hak moral diberikan tanpa batas waktu.29 Adapun batasan mengenai hak moral ditentukan dalam Pasal 5 UUHC yang pada intinya memberikan Pencipta hak untuk:

  • a.    “Tetap menggunakan atau tidak mencantumkan namanya pada Salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

  • b.    Menggunakan nama aliasnya atau nama samarannya;

  • c.    Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

  • d.    Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan

  • e.    Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya”.

Bertolak dari pemikiran Sherwood mengenai teori perlindungan hak cipta, khususnya berkaitan dengan teori insentif (incentive theory), UUHC juga mengatur mengenai ketentuan berkaitan denagn perlindungan terhadap hak ekonomi yang melekat pada suatu Ciptaan dan dapat dinikmati oleh Pencipta dan Pemegang Hak Cipta sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHC. Merujuk pada Pasal 9 ayat (1) UUHC dipahami bahwa “Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukkan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan dan penyewaan ciptaan”.

Pelakanaan hak ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta harus berdasarkan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini secara eksplisit diatur yaitu pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) UUHC kemudian menegaskan bahwa “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.” Pasal 9 ayat (3) UUHC secara tegas melarang adanya penggunaan secara komersial Ciptaan tanpa adanya izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak cipta, UUHC mengatur secara eksplisit mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta atas gambar. Merujuk pada ketentuan Pasal 58 ayat (1) UUHC diketahui bahwa

perlindungan terhadap gambar berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa tato sebagai salah satu objek perlindungan hak cipta berupa gambar mendapat perlindungan secara otomatis atau automatically protection. Hak cipta yang berkaitan dengan tato terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Dengan demikian, Pencipta motif tato dapat terus mendapatkan perlindungan atas Ciptaannya berupa motif tato selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.

  • 3.2.    Bentuk Perlindungan terhadap Motif Tato Suku Dayak dalam Perspektif Hak Cipta di Indonesia

Secara umum, motif tato dipandang sebagai gambar dan diberikan perlindungan berdasarkan rezim hak cipta melalui UUHC. Berkaitan dengan motif Tato Suku Dayak, perlindungan diberikan dalam bentuk perlindungan atas Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya EBT).

Perlindungan terhadap EBT secara eksplisit diatur dalam ketentuan Pasal 38 UUHC. Merujuk pada ketentuan Pasal 38 ayat (1) dapat dipahami bahwa hak Cipta terhadap EBT dipegang oleh Negara. Kewenangan Negara atas EBT melahirkan kewajiban Negara untuk melakukan inventarisasi, menjaga serta memelihara EBT tersebut. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan Pemerintah akan suatu EBT dan mencegah terjadinya pengakuan atas EBT oleh negara lain yang akhir-akhir ini sering terjadi dan menjadi suatu polemik yang dapat mempengaruhi hubungan diplomatik antar negara.

Konsep dan batasan pengertian EBT dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUHC yang menentukan bahwa:

“Yang dimaksud dengan “ekspresi budaya tradisional” mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut:

  • a.    Verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif;

  • b.    Musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;

  • c.    Gerak, mencakup antara lain, tarian;

  • d.    Teater, mencakup antara lain pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;

  • e.    Seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bamboo, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan

  • f.    Upacara adat.”

Selain hal-hal tersebut di atas, perlindungan terhadap EBT memiliki hubungan yang sangat kental dan erat dengan “nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya”. Hal ini berarti “adat-istiadat, norma hukum adat, norma kebiasaan, norma sosial, dan norma-norma luhur lain yang dijunjung tinggi oleh masyarakat

tempat asal, yang memelihara, mengembangkan, dan melestarikan ekspresi budaya tradisional”, sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (3) UUHC.

Perlindungan terhadap EBT diberikan dalam rezim hak cipta mengingat bahwa dalam penciptaan suatu EBT berkaitan erat dengan adanya kreativitas yang bersumber dari intelektualitas manusia dalam bidang pengetahuan, sastra dan seni yang kemudian diwujudkan dalam bentuk nyata, sehingga dapat dilihat, dibaca, didengar dan sebagainya.30 Perlindungan terhadap EBT merupakan peluang bagi masyarakat adat di seluruh Indonesia untuk melestarikan karya intelektual yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. 31 EBT penting untuk dilindungi mengingat keberadaan EBT memiliki nilai adat-istiadat, norma-norma luhur dan kebudayaan yang kental yang tumbuh, hidup, berkembang dan dipercaya oleh masyarakat setempat.

Dengan demikian, motif tato Suku Dayak sepatutnya dilindungi sebagai salah satu Ekspresi Budaya Tradisional. Perlindungan diberikan mengingat motif tato Suku Dayak memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya, antara lain adat-istiadat, norma hukum adat, dan norma-norma luhur lain yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Suku Dayak. Maka dari itu, Negara wajib untuk melakukan inventarisasi, menjaga dan melestarikan keberadaan motif tato Suku Dayak sebagai salah satu Ekspresi Budaya Tradisional yang dimiliki oleh Indonesia.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa tato sebagai salah satu objek perlindungan hak cipta berupa gambar mendapat perlindungan secara otomatis atau automatically protection sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 huruf f UUHC. Hak cipta yang berkaitan dengan tato terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Dengan demikian, Pencipta motif tato dapat terus mendapatkan perlindungan atas Ciptaannya berupa motif tato selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Berkaitan motif tato Suku Dayak sepatutnya dilindungi sebagai salah satu Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) UUHC. Perlindungan diberikan mengingat motif tato Suku Dayak memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya, antara lain adat-istiadat, norma hukum adat, dan norma-norma luhur lain yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Suku Dayak. Maka dari itu, Negara wajib untuk melakukan inventarisasi, menjaga dan melestarikan keberadaan motif tato Suku Dayak sebagai salah satu Ekspresi Budaya Tradisional yang dimiliki oleh Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Dharmawan, Ni Ketut Supasti. Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia. Swasta Nulus, 2018.

Mukti Fajar, ND, and Y Achmad. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Jurnal

Carducci, David R. “Georgia State University Law Review Copyright Registration : Why the U . S . Should Berne the Registration Requirement SHOULD BERNE THE REGISTRATION REQUIREMENT” 36, no. 3 (2020).

Diantoro, Yopi Nur, and S H Inayah. “Implementasi Terhadap Perlindungan Hukum Hak Cipta Motif Batik Tulis Kliwonan (Studi Kasus Di Desa Kliwonan Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen).” Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2020.

Dwijayanthi, Putri Triari, and Ni Ketut Supasti Dharmawan. “The Responsibilities of Influencers in Promoting Tie-Dye Motif Products Based on Copyright Law.” Substantive Justice International Journal of Law 3, no. 2  (2020):  167–79.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33096/substantivejustice.v3i2.90.

Gumilar, Gumgum. “Makna Komunikasi Simbolik Di Kalangan Pengguna Tato Kota Bandung.” Mediator: Jurnal Komunikasi 9, no. 1 (2008): 51–62.

Handoko, Cons. “Perkembangan Motif, Makna, Dan Fungsi Tato Di Kalangan Narapidana Dan Tahanan Di Yogyakarta.” Makara Human Behavior Studies in Asia 14, no. 2 (December 1, 2010): 107–16. https://doi.org/10.7454/mssh.v14i2.668.

Hartono, Bonfilio Yosafat. “Penciptaan Fotografi Dokumenter Tato Perempuan Generasi Terakhir Suku Dayak Kenyah.” Specta: Journal of Photography, Arts, and Media      4,      no.      1      (December      16,      2020):      63–74.

https://doi.org/10.24821/SPECTA.V4I1.4034.

Maharani, Rizka Adelia. “Pengalaman Dan Pemaknaan Individu Dengan Tato Mengenai Visibilitas Tato,” July 15, 2020. http://lib.unair.ac.id.

“Mengenal Tato Suku Dayak Kalimantan Indonesia.” Accessed September 17, 2021. https://www.getborneo.com/mengenal-tato-suku-dayak-kalimantan/.

“Motif Tato Suku Dayak, Dari Simbol Kekuatan Hingga Kematian.” Accessed September 17, 2021. https://kaltim.idntimes.com/news/kaltim/sri-wibisono/6-motif-tato-suku-dayak-dari-simbol-kekuatan-hingga-kematian.

Muis, Lidya Shery, Ari Purwadi, and Dwi Tatak Subagiyo. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Fesyen Terhadap Ekonomi Kreatif Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.” Perspektif           22,           no.           2           (2017):           172–79.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30742/perspektif.v22i2.618.

Nurdahniar, Inda. “Analisis Penerapan Prinsip Perlindungan Langsung Dalam Penyelenggaraan Pencatatan Ciptaan.” Veritas et Justitia 2, no. 1 (2016): 231–52. https://doi.org/https://doi.org/10.25123/vej.v2i1.2073.

Reed, Carrie E. “Tattoo in Early China.” Journal of the American Oriental Society 120, no.

3 (July 2000): 360. https://doi.org/10.2307/606008.

Ridwan, Abdullah. “Tinjauan Hukum Terhadap Plagiarisme Karya Cipta Di Bidang Seni Musik Serta Kaitannya Dengan Prinsip Orisinalitas Berdasarkan Hukum Internasional Dan Nasional,” June 17, 2020.

Saputra, M Febry. “Hak Cipta Dance Challenge Yang Diunggah Ke Aplikasi Tiktok.” Jurnal Penegakan Hukum Indonesia 2, no. 1    (2021):    69–91.

https://doi.org/https://doi.org/10.51749/jphi.v2i1.16.

Sia, Elok Feni, and Taufik Akbar Rizky Yunanto. “Pemaknaan Dan Konsekuensi Budaya Tato Pada Suku Dayak.” Insight : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi      15,      no.      2      (October      30,      2019):      213–19.

https://doi.org/10.32528/INS.V15I2.1849.

Sukendar, Markus Utomo, S Sos, and M I Kom. “Tato Dan Media Sosial.” Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 Nomor 4 (2015): 85–94.

Supasti, Ni Ketut. “Relevansi Hak Kekayaan Intelektual Dengan Hak Asasi Manusia Generasi Kedua.” Jurnal Dinamika Hukum 14, no. 3 (September 15, 2014): 518–27. https://doi.org/10.20884/1.JDH.2014.14.3.323.

“Tatto,” n.d.

“TATTOO | Meaning in the Cambridge English Dictionary.” Accessed September 17, 2021. https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tattoo.

Widyanti, Yenny Eta. “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia Dalam Sistem Yang Sui Generis.” Arena Hukum 13, no. 3 (December 31, 2020): 388–415. https://doi.org/10.21776/UB.ARENAHUKUM.2020.01303.1.

665