Relevansi Mediasi Penal di Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
on

Relevansi Mediasi Penal di Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
I Wayan Didik Prayoga1, I Ketut Rai Setiabudi2
1Bagian Hukum Setda Kota Denpasar, E-mail : didikprayoga87@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : raisetiabudhi_fhunud@yahoo.com
Info Artikel
Masuk: 14 Juli 2021
Diterima: 29 Desember 2021
Terbit: 31 Desember 2021
Keywords:
Relevance; Penal Mediation;
Criminal Justice System;
Criminal Law Reform
Kata kunci:
Relevansi; Mediasi Penal;
Sistem Peradilan Pidana Indonesia; Pembaharuan Hukum Pidana
Corresponding Author:
I Wayan Didik Prayoga, e-mail : didikprayoga87@gmail.com
DOI:
10.24843/JMHU.2021.v10.i04. p13
Abstract
This study aims to describe and analyze the concepts of restorative justice and penal mediation which are linked to their existence and relevance to their application in the Indonesian criminal justice system in the perspective of criminal law reform. The research method used is a normative legal research method with the approach used is the statue approach, the concept approach, and the comparative approach. The results of this study, firstly, penal mediation is one form of the implementation of restorative justice which views crime as not only an act that violates the law, but more broadly as an act that violates the balance in society. Second, penal mediation is relevant to be applied in the Indonesian criminal justice system in the future, especially from the perspective of the urgency of criminal law reform, and to answer the problems faced by the Indonesian criminal justice system.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta menganalisis paradigma keadilan restoratif dan mediasi penal yang dikaitkan eksistensinya dan relevansi penerapanya dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam perspektif pembaharuan hukum pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini, pertama mediasi penal merupakan bagian dari pelaksanaan keadilan restoratif yang memandang kejahatan tidak hanya perbuatan yang melanggar undang-undang, melainkan lebih luas sebagai perbuatan yang melanggar keseimbangan dalam masyarakat. Kedua, mediasi penal relevan untuk diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia di masa depan khususnya ditinjau dari perspetif urgensi pembaharuan hukum pidana, dan untuk menjawab persoalan yang dihadapi sistem peradilan pidana Indonesia.
Van Bemmelen dan Van Hatum pernah mengungkapkan bahwa Het tegenwoordige strafrecht slechts een face is in een ontwikkelingsgang, waarvan het eindpunt zaker nog niet is bereikt yang pada intinya berarti hukum pidana saat ini sedang terus mengalami perkembangan, meskipun titik akhirnya itu sudah pasti belum tercapai.1 Ungkapan Van Bemmelen dan Van Hatum tersebut mengingatkan bahwa perkembangan hukum pidana akan terus bergulir, seiring perkembangan pemaknaan terhadap kejahatan. Perkembangan dalam hukum pidana dewasa ini yang terus dikaji dan diperdebatkan adalah keadilan restoratif dan mediasi penal, sebagai satu konsep penyelesaian perkara pidana, yang lahir dalam rentang tahun 1960-an. Keadilan restoratif secara konseptual mentikberatkan pada keterlibatan pelaku, korban, dan masyarakat secara bersama-sama dalam menyelesaikan satu sengketa tertentu.2
Setelah Indonesia merdeka dan terlepas dari belenggu penjajahan, timbul suatu keinginan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang sistem peradilan belanda dan berkomitmen untuk membangun sistem peradilan pidana karya anak bangsa. Pada tahun 1981, diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) sebagai kodifikasi dan unifikasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Secara substansi, KUHAP dibangun dengan semangat penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Semangat pembentukan KUHAP berlandaskan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan sebuah kemajuan, karena hukum acara pidana yang sebelumnya diatur dalam H. I.R. tidak memberi perhatian terhadap hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional. Namun seiring perjalanannya, KUHAP justru dikritik karena dipandang tidak memperhatikan kepentingan dan hak-hak korban dan masyarakat. KUHAP dianggap lebih banyak melindungi hak-hak pelaku, tersangka, atau terdakwa, daripada hak-hak korban. Kondsi ini sering melahirkan protes dari korban dan masyarakat karena “terabaikan” secara sistematis-legal.3
Beranjak dari permasalahan tersebut, maka wacana pembaharuan hukum acara pidana semakin menggema. Salah satu dasar semangat yang diusung adalah melahirkan sistem peradilan pidana Indonesia yang lebih mencerminkan nilai-nilai kebangsaan serta memperhatikan keseimbangan antara hak-hak korban dan hak-hak pelaku. Menurut Muladi sistem peradilan pidana Indonesia paling tepat menganut model keseimbangan dengan mengacu pada daad-dader strafrecht, yaitu satu model yang memperhitungkan perlindungan bagi seluruh unsur, khususnya keseimbangan perlindungan kepentingan pelaku dan kepentingan korban.4 Salah satu konsep yang berkaitan dengan model keseimbangan tersebut adalah mediasi penal. Secara konseptual, mediasi penal merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana berlandaskan falsafah keadilan restoratif yang menekankan pada perbaikan,
pemulihan, serta pencegahan daripada menjatuhkan pidana. Lebih jauh lagi, ternyata substansi hakiki yang menjadi landasan keadilan restoratif berasal dari nilai-nilai dan budaya dalam masyarakat tradisional seperti nilai-nilai keseimbangan, harmonisasi, serta kedamaian dalam masyarakat.5 Begitu pula dengan mediasi penal yang secara prinsip berangkat dari semangat kekeluargaan dengan mengutamakan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan suatu perakara pidana.
Dalam tataran praktis, secara faktual mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif telah dijadikan acuan dalam penyelesaian berbagai perkara pidana di Indonesia. Berdasarakan data dari Kejaksaan, sebagaimana disampaikan oleh Jaksa Agung, sampai tanggal 1 Agustus 2021 terdapat 304 perkara pidana yang berhasil diselesaikan dengan keadilan restoratif. Menurut Jaksa Agung tindak pidana yang mendominasi penyelesaian melalui mediasi penal dan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, tindak pidana pencurian, dan tindak pidana di bidang lalu lintas. Rata-rata setiap hari terdapat 1 kasus yang berhasil diselesaikan melalui mediasi penal dan keadilan restoratif.6 Pada institusi Kepolisian, ternyata penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif juga mendapat perhatian serius. Menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jendral Argo Yuwono, Polri telah berhasil menyelesaikan 1.864 kasus melalui pendekatan keadilan restoratif. Adapun perkara pidana yang mendominasi adalah perkara ringan yang bisa didiskresi oleh pihak kepolisian seperti kasus nenek mengambil kapas. Sehingga baik pelapor maupun terlapor dapat saling menerima penyelesaian secara damai diluar sistem peradilan pidana konvensional.7 Berdasarkan fakta-fakta tersebut, menunjukan bahwa saat ini kebijakan pemidanaan atau penal policy dari lembaga Kepolisian maupun Kejaksaan telah mengarah menuju paradigma keadilan restoratif dengan mengedepankan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi (mediasi penal).
Secara yuridis, penyelesaian perkara pidana dengan mediasi penal yang berlandaskan keadilan restoratif telah memperoleh pengaturan secara internal institusional. Adapun beberapa pengaturan tersebut adalah sebagai berikut:
-
a. Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Pasal 1 angka 27, dan Pasal 12 mengatur tentang keadilan restoratif beserta syarat suatu perkara dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif.
-
b. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
-
c. Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
-
d. Keputusan Dirjen Badilum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakukan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Meskipun telah diatur dalam peraturan masing-masing lembaga baik oleh Kepolisian, Kejaksaan, maupun Mahkamah Agung, namun pengaturan tersebut masih bersifat internal institusional, yang hanya mengikat ke dalam masing-masing lembaga yang menerbitkan peraturan tersebut. Sehingga kondisi demikian menimbulkan satu konsekuensi yakni adanya pengaturan standar dan syarat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:
Perkap 6 Tahun 2019 |
PerJA 15 Tahun 2020 SK Badilum |
Tidak mengatur secara sepsifik syarat ancaman hukuman |
Mengatur syarat ancaman Tidak mengatur secara hukuman yakni tidak spesifik syarat ancaman lebih dari 5 (lima) tahun hukuman penjara |
Tidak mengatur syarat minimal kerugian |
Mengatur syarat minimal Mengatur sama seperti kerugian yakni tidak lebih PerJA 15 Tahun 2020 dari Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) |
Tidak memungkinkan keadilan restoratif diterapkan dalam perkara narkotika |
Tidak memungkinkan Mengatur kemungkinan keadilan restoratif keadilan restoratif dalam diterapkan dalam perkara perkara narkotika narkotika |
Mencermati tabel tersebut, dapat dipahami bahwa pengaturan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif tidak cukup memadai untuk memberikan keadilan, kepastian, serta kemanfaatan hukum bagi para pihak yang bersengketa. Selain itu, pengaturan yang demikian juga bertentangan dengan prinsip dasar sistem peradilan pidana yang mengamanatkan pengaturan yang seragam dan sistematis, dalam rangka memberikan satu standar yang sama bagi seluruh lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka sepatutnya pengaturan sistem peradilan pidana khususnya berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif, diatur dengan undang-undang dibidang hukum acara pidana.
Permasalahannya dalam perspektif ius constitutum, hukum acara pidana di Indonesia saat ini yang diatur dalam KUHAP belum mengatur penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal berlandaskan pendekatan keadilan restoratif. Begitu pula dalam ius constituendum yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana belum memuat secara tegas penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal berlandaskan pendekatan keadilan restoratif. Padahal secara faktual penyelesaian
perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif telah dilaksanakan oleh Kepolisian maupun Kejaksaan, meskipun dengan disparitas pengaturan standar dan syarat, serta didominasi oleh kewenangan diskresi (discretionary power) dari penegak hukum. Disamping itu, perkembangan dunia internasional yang dimotori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah mendorong penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal berlandaskan keadilan restoratif. Semestinya Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional juga melakukan adaptasi dengan mengkaji kemungkinan penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif, yang dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan dan dinamika yang dihadapi oleh sistem peradilan pidana Indonesia saat ini. Berdasarkan uraian tersebut, maka menjadi menarik untuk dikaji secara komprehensif relevansi penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal di Indonesia perspektif pembaharuan hukum pidana.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta melakukan kajian secara mendalam terhadap konsep mediasi penal dan pendekatan keadilan restoratif yang dikaitkan eksistensinya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Selain itu, Selanjutnya Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji secara mendalam relevansi mediasi penal di Indonesia dalam perspektif pembaharuan hukum pidana.
Prihal state of the art. Di dalam proses penyusunan penelitian ini, ditemui beberapa penelitian terdahulu yang membahas persoalan hukum mengenai konsep keadilan restoratif dan mediasi penal. Pertama, jurnal dengan judul Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Conituendum di Indonesia, 8 dengan rumusan masalah yakni bagaimana dasar hukum mediasi penal dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia (ius constitutum), kedudukan ketentuan hukum yang berlaku (ius constitutum), dan perkembangan pengaturan mediasi penal dalam konteks hukum pada masa yang akan datang (ius constituendum) di Indonesia. Kedua, jurnal dengan judul Restoratif Justice dan Prospek Kebijakan Idealnya Dalam Hukum Pidana Indonesia9, dengan rumusan masalah konsep, gagasan, dan perkembangan restorative justice dalam konteks masyarakat global, dan Prospek kebijakan ideal restorative justice dalam Hukum Pidana Indonesia. Jika diperhatikan kedua penelitian tersebut, maka terdapat perbedaan elementer dengan penelitian ini, pertama dari sisi judul, kedua dari sisi rumusan masalah, dan ketiga dari sisi ruang lingkup pembahasan. Penelitian ini berjudul Relevansi Mediasi di Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana, dengan rumusan masalah bagaimana konsep keadilan restoratif dan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana, dan bagaimana relevansi mediasi penal di Indonesia jika ditinjau dari perspektif pembaharuan hukum pidana. Berkaitan dengan ruang lingkup pembahasan, Penelitian ini akan berfokus pada konsep pembaharuan hukum pidana, serta problem sosiologis yang dihadapi sistem peradilan pidana Indonesia saat ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif, dengan suatu pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statue
approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan-bahan hukum yang dikaji dalam tulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, RUU KUHP, RUU KUHAP, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Keputusan Dirjen Badilum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakukan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), serta bahan hukum sekunder yaitu kajian tentang keadilan restoratif, mediasi penal, sistem peradilan pidana, dan pembaharuan hukum pidana. Bahan hukum tersebut dianalisis dan disajikan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem penanggulangan kejahatan terus mengalami berbagai perkembangan. Paradigma awal penanggulangan kejahatan bersandar pada konsep keadilan retributif dengan tujuan pemberian efek jera kepada pelaku. Paradigma tersebut kemudian mengalami pergeseran tujuan yaitu dari pemberian efek jera kepada harmonisasi hubungan pelaku dan korban yang bersandar pada filosofi keadilan restoratif. Howard Zehr menggambarkan bagaimana keadilan restoratif memandang suatu kejahatan, yaitu kejahatan dipandang sebagai sebuah serangan terhadap orang dan satu hubungan antar individu, sehingga menjadi penting melihatkan korban, pelaku, dan komunitas masyarakat dalam rangka mencari solusi dengan harapan dapat memperbaiki, merekonsiliasi hubungan yang rusak tersebut.10 Secara konseptual, dalam pandangan Howard Zehr, keadilan restoratif melihat suatu kejahatan sebagai suatu perbuatan yang menyerang individu dan hubungan-hubungan dalam masyarakat. Dalam pemikiran yang demikian, korban utama daripada kejahatan bukanlah negara sebagaimana dikenal dalam peradilan pidana dewasa ini. Sehingga timbulnya kejahatan sekaligus melahirkan kewajiban untuk membenahi kembali hubungan yang telah rusak.11 Pendekatan yang digunakan oleh keadilan restoratif adalah dialog dengan melibatkan semua pihak yang terdampak oleh kejahatan termasuk korban, pelaku, para pendukungnya, dan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga secara kolektif mencari solusi penyelesaian yang adil setelah terjadinya kejahatan dan dampaknya di masa yang akan datang. Konsepsi yang sama dikemukakan oleh Tony F. Marshall yang menyatakan pada intinya bahwa keadilan restoratif merupakan suatu proses yang mana semua pihak secara bersama-sama bersepakat mencari solusi dengan memperhitungkan dampaknya dimasa depan.12
Kemunculan keadilan restoratif sebagai falsafah pemidanaan turut diikuti oleh kemunculan konsep baru dalam konteks penyelesaian perkara pidana yang dikenal dengan mediasi penal. Konsep ini dapat dikatakan merupakan antitesa terhadap peradilan pidana yang selama ini berlaku yang menempatkan lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak penegakan hukum. Mediasi penal sebagaimana keadilan restoratif berangkat dari pemahaman akan pentingnya peran korban dalam penanggulangan kejahatan. Mediasi penal dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan keadilan restoratif yang memandang kejahatan tidak hanya perbuatan yang melanggar undang-undang, melainkan lebih luas sebagai perbuatan yang melanggar keseimbangan dalam masyarakat. Konsep keadilan restoratif menuntut agar kepentingan korban diperhatikan semata-semata karena korban dipandang sebagai subjek yang dirugikan akibat dari kejahatan itu sendiri.
Barda Nawawi Arief mengartikan mediasi penal sebagai satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif dalam bidang hukum pidana. Secara teoritik, penyelesaian sengekta alternatif umumnya dikenal pada kasus-kasus yang bernuansa perdata, tidak untuk kasus-kasus yang bernuansa pidana13 Meskipun demikian, dalam tartaram empirik praktikal terdapat pula perakra pidana yang diselesaikan melalui proses di luar pengadilan dalam wujud diskresi pihak kepolisian atau kejaksaan atau melalui mekanisme perdamaian dalam masyarakat seperti musyawarah desa dan musyawarah adat. Namun hal tersebut tidak memiliki acuan yuridis yang memadai, sehingga dikotomi penegakan hukum, disatu sisi telah diselesaikan melalui perdamaian, namun proses hukum formal tetap diterapkan.14
Dalam Eueopean Forum for Vicim Service, mediasi penal digambarkan sebagai satu proses yang melibatkan korban dan pelaku, yang ditengahi oleh seorang mediator. Proses mediasi umumnya dianggap sebagai bagian dari masalah keadilan restoratif yang lebih luas. Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan kembali para pihak dengan cara mengubah mekanisme peradilan pidana yang memakan waktu cukup lama dengan satu model yang mengandung satu resolusi, sehingga dapat memperkuat kedudukan korban kejahatan serta mencari penghukuman alternatif bagi pelaku di luar pidana konvensional. Selain itu, mediasi penal juga berusaha mencari solusi dalam rangka meringankan beban yang berlebihan bagi sistem peradilan pidana.15
Di Indonesia, konsep Mediasi Penal telah dikenal melalui terminologi Diversi, namun hanya terbatas pada Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Sedangkan dalam sistem peradilan pidana umum tidak dikenal adanya Mediasi Penal. Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA, Diversi diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana, ke proses di luar peradilan pidana. Diversi wajib dilaksanakan pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat Penyidikan, Penuntutan, maupun Pemeriksaan Perkada di Pengadilan, yang bertujuan untuk:
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 10 No. 4 Desember 2021, 841-856
ISSN: 1978-1520
-
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
-
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
-
c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
-
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisapi; dan
-
e. Menanamkan rasa tanggungjawab kepada Anak
Secara konseptual, proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, dan pihak lain yang terkait berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa konsep Mediasi Penal yang diejawantahkan melalui terminology Diversi dilaksanakan melalui proses musyawarah, antara pelaku dan korban, serta pihak lain yang terkait melalui pendekatan keadilan restoratif. Tujuannya adalah untuk menghindari perampasan kemerdekaan dan menyelesaikan perkara pidana di luar proses peradilan.
-
3.2 Relevansi Mediasi Penal di Indonesia Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
3.2.1. Konsep Pembaharuan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana tidak hanya diartikan sebagai perubahan terhadap ketentuan atau pasal-pasal dari KUHP atau sering disebut sebagai tambal sulam, akan tetapi lebih jauh lagi erat hubungannya dengan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana baik aspek politis, filosofis dan kultural, maupun dari sisi pendekatan kebijakan yaitu kebijakan sosial, kriminal dan kebijakan penegakan hukum.16 Barda Nawawi Arief menjelaskan pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana Indonesia berarti suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana positif dilihat dari konsep-konsep nilai sentral bangsa Indonesia (aspek sosio-filosofis, aspek sosio-politik, aspek sosio-kultural) yang melandasi kebijakan sosial kebijakan kriminal, dan kebjakan penegakan hukum di Indonesia.17
Lebih jauh lagi secara konseptual landasan pembaharuan hukum pidana berpijak pada pendekatan yang berorientasi pada kebijakan, dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai. Hal ini karena hakikatnya pembaharuan hukum pidana bagian dari satu langkah kebijakan atau policy. Didalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. 18 Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dipahami makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:
-
1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:
-
a. Dari perspektif kebijakan sosial, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah upaya untuk mengatasi permasalahan sosial untuk mendukung tujuan nasional;
-
b. Dari perspektif kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana adalah upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat terutama upaya penanggulangan kejahatan;
-
c. Dalam dimensi penegakan hukum, dimaknai sebagai upaya memperbarui substansi hukum (legal substance), dalam rangka mencapai penegakan hukum yang efektif.
-
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai
Dalam perspektif pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana dimaknai sebagai upaya penemuan dan penilaian kembali nilai-nilai sosio-politik, nilai-nilai sosio-filosofis, dan nilai-nilai sosio-kultural. Bukan merupakan suatu pembaharuan hukum pidana jika orientasinya sama dengan yang terkandung dalam hukum pidana lama.19
Konsep keadilan restoratif berkaitan erat dengan sistem pemidanaan dalam hukum pidana. Sistem pemidanaan yang ada saat ini di Indonesia merupakan warisan dari Wetboek van Streafrecht voor Nederlandsch Indie yang kemudian dimuat dalam KUHP dengan beberapa penyesuaian. Meskipun kemudian dilakukan beberapa perubahan dan penyesuaian, namun sumber pokoknya tetap berasal dari KUHP Belanda. Secara normatif, sistem pemidanaan diatur dalam Pasal 10 KUHP tentang jenis pidana. Sistem pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP pada hakikatnya menganut paradigma retributif yaitu memberikan pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang bertujuan untuk memberikan efek jera (deterrent effect) agar pelaku tidak mengulangi lagi kejahatannya dan mencegah atau menangkal masyarakat melakukan kejahatan. 20 Ironisnya, paradigma retributive seringkali menyisakan ketidakadilan bagi korban khususnya dalam konteks memulihkan kerugian. Seringkali, kondisi psikis korban tidak dapat dikembalikan seperti semula meskipun pelaku telah dijatuhi pidana.21
Perkembangan saat ini, dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya disebut RUU KUHP) diatur tentang Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan. Dalam Pasal 51 RUU KUHP menjelaskan salah satu tujuan pemidanaan adalah menyelesaikan setiap perselisihan yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, mengembalikan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 54 ayat (1) huruf j menentukan pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya. Melalui dua ketentuan tersebut, dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa paradigma pemidanaan yang ingin dibangun dalam hukum pidana di masa yang akan datang salah satunya adalah pemidanaan yang berbasis keadilan restoratif. Dengan pergeseran paradigma
Indonesia,”
pemidanaan tersebut, maka seyogyanya terjadi pula pergeseran paradigma dalam sistem peradilan pidana, sekaligus diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perakra pidana di luar pengadilan.
Barda Nawawi Arif menjelaskan bahwa aspek sosio-politik, sosio-filosofis, sosiokultural merupakan landasan pembaharuan hukum pidana.22 Sebelumnya, Sudarto juga mengungkapkan bahwa salah satu alasan penting dilakukannya pembaharuan hukum pidana adalah alasan sosiologis yaitu hukum pidana harus berisi pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa. Alasan ini dirasa relevan apabila dikaitkan dengan pandangan para sarjana hukum adat seperti Van Vollenhoven dan Ter Har yang pada intinya mengkritik hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia sudah tidak cocok dengan nilai dan jiwa masyarakat Indonesia.23 Sehingga menggali kembali nilai yang sesuai sosio-filosofi, sosio kultural masyarakat Indonesia menjadi suatu keniscayaan.
Berkaitan dengan urgensi tersebut, maka mediasi penal sangat tepat apabila dimasukan sebagai bagian dari pembaharuan hukum pidana khususnya hukum pidana formil. Alasan mendasarnya adalah karena secara konseptual penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal sama seperti penyelesaian perkara delik adat dalam peradilan adat dimana penyelesaiannya selalu mengedepankan prinsip musyawarah dan mufakat antara pelaku dan korban serta bertujuan mengembalikan keseimbangan yang sebelumnya terganggu. Peradilan Adat merupakan suatu terminologi normatif, namun secara sosiologis memiliki penyebutan yang berbeda-beda. Istilah peradilan adat oleh beberapa kesatuan masyarakat hukum adat disebut dengan istilah yang beragam, seperti sidang adat, para-para adat, pokar adat, atau rapat adat, serta berbagai istilah lain menurut bahasa lokal setempat.24 Secara prosedural, peradilan adat di Indonesia dilaksanakan melalui mekanisme tradisional dalam forum musyawarah adat25
Menurut Van Ness, dalam proses peradilan adat, secara signifikan dapat dikualifikasikan sebagai bentuk peradilan restoratif, yang memiliki 3 (tiga) bentuk, yaitu: Pertama, adanya 2 (dua) ciri khas program peradilan restoratif yang merupakan adaptasi dari praktek-praktek adat yakni sistem konferensi dan sistem melingkar. Kedua, landasan filosofis dalam peradilan adat adalah sedapatkan mungkin memperbaiki satu tindakan dalam masyarakat yang melukai dan memberikan informasi tentang peradilan restoratif. Ketiga, terdapat konsep dan nilai peradlan adat
yang telah memperoleh tempat dalam mekanisme penegakan hukum formal.26 Eva Acjani Zulva menegaskan bahwa konsep peradilan adat merupakan akar dari keadilan restoratif, hal ini didasarkan pada pandangan Supomo tentang karakteristik hukum adat Indonesia. Adapun karakteristik hukum adat dan peradilan adat yang merupakan akar dari keadilan restoratif adalah:27
-
a. Corak religious yang menempatkan hukum adat sebagai muatan batin dari masyarakat dalam satu kesatuan (komunal).
-
b. Sifat komunal tersebut memposisikan individu sebagai orang yang tidak dapat lepas dari masyarakatnya, sehingga setiap individu memiliki keterbatasan dalam bertindak karena terikat akan norma-norma.
-
c. Tujuan dari norma-norma tersebut adalah memelihara keajegan hubungan antar individu, masyarakat, dan lingkungan.
-
d. Pelanggaran terhadap hukum adat merupakan pelanggaran terhadap ketertiban ruang yang lebih luas.
Bertolak dari sifat dan karakteristik tersebut, tujuan utama penyelesaian terhadap pelanggaran adat atau delik adat bukan bertumpu pada pandangan retributif (pembalasan), melainkan sebagai sarana penyelesaian konflik, menjaga kondisi harmoni diantara anggota masyarakat dan mempertahankan solidaritas.
Selain alasan diatas, alasan lain yang menjadi dasar pembaharuan hukum pidana adalah alasan adaptif. Dikutip dari orasi ilmiah Muladi yang disampaikan pada saat pengukuhan Guru Besar Universitas Diponogoro, bahwa pembaharuan hukum pidana selain beranjak dari alasan politis, sosiologis, dan praktis tetapi harus juga mengacu kepada alasan adaptif yang menginginkan hukum pidana modern senantiasa dapat menyesuaikan dengan perkembangan internasional. Perkembangan peradaban mempengaruhi perkembangan hukum. Dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, tidak terdapat pengaturan mengenai perlakuan terhadap korban kejahatan, khususnya memberikan ruang kepadanya untuk ikut terlibat dalam penyelesaian perkara pidana. Pemikiran yang selama ini berkembang menganggap kedudukan korban telah diwakili oleh negara melalui jaksa penuntut umum. Namun hal tersebut oleh sebagian ahli khususnya yang memiliki perhatian terhadap korban, memandang kedudukan korban yang diwakili oleh jaksa penuntut umum seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban. Sehingga muncul gagasan untuk menempatkan korban sebagai pihak yang secara langsung terlibat dalam penyelesaian perkara pidana.
Beberapa instrument internasional yang mengatur tentang pentingnya peran korban serta nilai keadilan restoratif dalam penanggulangan tindak pidana adalah sebagai berikut:
-
a. Konggres Perserikatan Bangsa -bangsa ke-/1995 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (dokumen A/CONF. 169/16) yang
diselenggarakan di Kairo, Mesir 19 April – 8 Mei 1995, dalam salah satu resolusinya menekankan pentingnya kerjasama antar negara dalam rangka menetapkan kebijakan dan mekanisme dengan tetap memperhatikan nilai tradisi masyarakat dan nilai agama. Selain itu, juga tetap mengacu pada normaa dan standar Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pencgeahan kejahatan dan peradlan pidana;
-
b. Konggres PBB ke-10 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang diselenggarakan di Vienna, 10-17 April 2000, dimunculkan ingatakan tentang pentingnya pendekatan restoratif dalam proses peradilan pidana dengan maksud menekan angka kejahatan dan memulihkan kondisi korban, pelaku, dan masyarakat. Dukungan terhadap keadilan restoratif secara expressive verbis termuat dalam Deklarasi nomor 28 yang menegaskan bahwa pengembangan kebijakan, prosedur, dan program keadian restoratif yang menjungjung tinggi kepentingan korban.
-
c. Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB yaitu ECOSOC Res. 2002/12, UN DOC. E/2002/INF/2/Add.2 yang menekankan bahwa keadilan restoratif sebagai bagian dari menumbuhkembangkan paradigma mengenai prinsip keharmonisan masyarakat melalui pemulihan kondisi korban.
Keberadaan beberapa instrumen internasional tersebut menunjukkan bahwa perkembangan internasional menaruh perhatian yang cukup serius terhadap korban kejahatan khususnya memberikan ruang keterlibatan korban dalam proses peradilan pidana. Mencermati hal tersebut maka mediasi penal sangat relevan apabila diterapkan dalam sistem peradilan pidana di masa yang akan datang, guna memberikan ruang bagi korban untuk memperjuangkan keadilan dan penyelesaian terbaik bagi dirinya serta pelaku kejahatan.
Tidak dapat dipungkiri sistem peradilan pidana Indonesia saat ini memiliki permasalahan yang sangat kompleks dan mendasar. Dari sekian banyak permasalahan yang menggerogoti, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni 1) penegakan hukum yang formal-positvistik, 2) kelebihan kapasitas pada Lembaga Pemasyarakatan 3) penumpukan perkara di pengadilan. Berkanaan dengan masalah yang pertama, dunia penegakan hukum beberapa kali digegerkan dengan potret penegakan hukum yang tidak memperhatikan sisi kemanusiaan dan keadilan. Pertama, seorang wanita lanjut usia bernama Mbok Minah dituntut 2,5 tahun karena mencuri tiga buah kakao. Mbok Minah dijatuhi pidana oleh hakim dengan pidana selama 1 bulan 15 hari, sehingga Mbok Minah secara factual tidak perlu menjalani hukuman tersebut karena dikurangi masa penahanan. 28 Selain itu, Nenek Asyani seorang wanita uzur berusia 63 tahun juga sempat menjalani persidangan karena mencuri tiga batang pohon jati. Nenek Asiani dijatuhi hukuman penjara satu tahun
dengan masa percobaan 15 bulan. Selain itu juta dikenai denda Rp 500 juta dengan subsider 1 hari kurungan.29
Secara khusus berkenaan dengan kelebihan kapastias lembaga pemasyarakatan, menurut Direktur Teknologi Informasi dan Kerja Sama Ditjen Pemasyarakatan, Data per 14 Februari tahun 2021 ini terdapat 252.384 orang warga binaan pemasyarakatan terdiri dari narapidana dan tahanan. Sedangkan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara saat ini hanya 135.704 orang.30 Data jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan seluruh Indonesia per 26 Mei 2021, jumlah penghuni sebanyak 264.885 orang, sedangkan kapasitasnya hanya sebesar 135.647 orang. Dari 525 UPT Lembaga Pemasyarakatan, hanya 115 UPT yang tidak kelebihan kapasitas, sedangkan 408 UPT mengalami kelebihan kapasitas. Dengan demikian, total rata-rata kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan seluruh Indonesia adalah 95%.31 Lebih jauh lagi, kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan digambarkan oleh Markus Priyo Gunarto bahwa permasalahan ini disebabkan salah satunya oleh legal culture yang tergambar dari paradigma penegak hukum. Para penegak hukum lebih bersikap untuk memidana (punitive attitude) tersangka/terdakwa daripada sikap untuk memperbaiki/memulihkan keseimbangan (reparative attitude/therapeutic attitude). 32 Markus Priyo Gunarto menekankan dari sisi Hukum Acara Pidana, kelebihan kapasitas dapat dicegah apabila undang-undang memberikan kemungkinan penyelesaian perkara pidana dilakukan di luar pengadilan berdasarkan program restorative justice atau mediasi penal. 33 Permasalahan terakhir dari sistem peradilan pidana adalah penumpukan perkara di Pengadilan. Permasalahan ini muncul akibat dari paradigma bahwa satu-satunya cara menyelesaikan perkara adalah dengan bersengketa di ruang persidangan. Namun paradigma tersebut tidak terlepas dari sistem yang belum menyediakan mekanisme penyelesaian lain yang mampu memberikan alternatif penyelesaian sengketa. Dengan diintrodusirnya konsep keadilan restoratif dan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka paradigma masyarakat dan aparat penegak hukum tentang penyelesaian perkara akan bergeser mengikuti sistem yang telah ditetapkan. Sebagaimana pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang kedudukan hukum sebagai sarana pembangunan, bahwasanya perubahan masyarakat, termasuk legal culture para penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, dan advokat dapat diraih melalui skema perubahan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian diatas, maka kebutuhan akan mediasi penal dirasa sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia. Dengan disediakannya kemungkinan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan maka akan diperoleh suatu proses penyelesaian yang tidak hanya mengandung kepastian hukum melainkan keadilan.
Prinsip ini diintrodusir dalam Pasal 51 ayat (2) RUU KUHP bahwa apabila dalam menegakan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Selain itu kelebihan kapasitas relatif akan dapat diatasi dengan penerapan mediasi penal, karena apabila perkara pidana telah diselesaikan secara kekeluargaan, maka konsekuensi logisnya adalah tidak ada proses peradilan pidana dan tahap pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan.
4. Kesimpulan
Mediasi penal sebagaimana keadilan restoratif berangkat dari pemahaman akan pentingnya peran korban dalam penanggulangan kejahatan. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan keadilan restoratif yang memandang kejahatan tidak hanya perbuatan yang melanggar undang-undang, melainkan lebih luas sebagai perbuatan yang melanggar keseimbangan dalam masyarakat. Relevansi mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, pertama dari perspektif konsep pembaharuan hukum pidana, dan perspektif problematic sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam perspektif pembaharuan hukum pidana, Mediasi penal relevan ketika dikaitkan dengan konsep dan urgensi pembaharuan hukum pidana, khususnya terkait alasan sosiologis yang menginginkan hukum pidana Indonesia kedepan mengadopsi nilai dan konsep hukum dalam masyarakat, dan alasan adaftif yang menekankan hukum pidana Indonesia kedepan menyesuaikan diri dengan perkembangan dalam dunia inernasional, khususnya terkait pentingnya peran korban dalam sistem peradilan pidana. Selanjutnya dalam perspektif problematik sosiologis, mediasi penal relevan sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan fundamental yang dihadapi sistem peradilan pidana, yakni 1) penegakan hukum yang legal 1) penegakan hukum yang formal-positvistik, 2) kelebihan kapasitas pada Lembaga Pemasyarakatan 3) penumpukan perkara di pengadilan. Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini sebagaimana telah dijabarkan diatas, maka penulis memberikan saran kepada pembentuk dan/atau penyusun Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana agar kedepan mediasi penal dapat dimuat sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Rahmat Hi. “URGENSI HUKUM ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL.” FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2016). https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no2.595.
Arief, Barda Nawawi. “Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana),” 1994.
Atalim, S. “KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI KRITIK INHEREN TERHADAP PENGADILAN LEGAL-KONVENSIONAL.” Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no. 2 (2013).
https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v2i2.155.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Prenadamedia, 2010.
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Media, 2016.
Diah Ratna Sari Hariyanto dan Pande Yogantara S. “Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum Dan Ius Constituendum Di Indonesia.” Kertha Wicaksana 13, no. 1 (2019): 26–37. https://doi.org/https://doi.org/10.22225/kw.13.1.920.26-37.
“Ditjen PAS: Warga Binaan 252.384 Orang, Kapasitas Lapas-Rutan Hanya 135.704.” Accessed December 25, 2021. https://news.detik.com/berita/d-5374503/ditjen-pas-warga-binaan-252384-orang-kapasitas-lapas-rutan-hanya-135704.
Gunarto, Marcus Priyo. “Restrukturisasi Peradilan Pidana Sebagai Upaya Mencegah Kelebihan Kapasitas Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan.” Text, 2013.
Hiariej, Eddy O S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka, 2016.
“Jaksa Agung: 304 Kasus Diselesaikan Lewat Keadilan Restoratif Sejak Diundangkan -News Liputan6. Com.” Accessed December 25, 2021.
Jiwa Utama, Tody Sasmitha, and Sandra Dini Febri Aristya. “KAJIAN TENTANG RELEVANSI PERADILAN ADAT TERHADAP SISTEM PERADILAN PERDATA INDONESIA.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 27, no. 1 (2015). https://doi.org/10.22146/jmh.15910.
“Mencuri 3 Buah Kakao, Nenek Minah Dihukum 1 Bulan 15 Hari.” Accessed December 25, 2021. https://news.detik.com/berita/d-1244955/mencuri-3-buah-kakao-
nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari.
“Nenek Asiani Dinyatakan Bersalah.” Accessed December 25, 2021.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150423151941-12-48782/nenek-asiani-dinyatakan-bersalah.
“Polri Selesaikan Seribu Kasus Lebih Melalui Pendekatan Restorative Justice - Nasional Tempo.Co.” Accessed December 25, 2021.
Rado, Rudini Hasyim, Barda Nawawi Arief, and Eko Soponyono. “Kebijakan Mediasi Penal Terhadao Penyelesaian Konflik Sara Di Kepulauan Kei Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.” LAW REFORM 12, no. 2 (2016): 267– 76. https://doi.org/10.14710/lr.v12i2.15879.
Rochaeti, Nur, and Rahmi Dwi Sutanti. “Kontribusi Peradilan Adat Dan Keadilan Restoratif Dakam Pembaruan Hukum Pidana Di Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum 47, no. 3 (2018): 198–214. https://doi.org/doi:
http://10.14710/mmh.47.3.2018.198-214.
Suartha, I Dewa Made. “Pergeseran Asas Legalitas Formal Ke Formal Dan Material Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.” Yustisia Jurnal Hukum 4, no. 1 (2015): 235–44. https://doi.org/10.20961/yustisia.v4i1.8640.
Sudantra, I Ketut, Tjok Istri Putra Astiti, and I Gusti Ngurah Dharma Laksana. “Sistem Peradilan Adat Dalam Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman Di Bali.” Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies) 7, no. 1 (2017). https://doi.org/10.24843/jkb.2017.v07.i01.p06.
Tongat. “Restorative Justice Dan Prospek Kebijakan Idealnya Dalam Hukum Pidana Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum 42, no. 4 (2013): 542–48.
https://doi.org/10.14710/mmh.42.4.2013.542-548.
Ubbe, Ahmad. “Peradilan Adat Dan Keadilan Restoratif.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no. 2 (2013): 161–75. https://doi.org/DOI:
http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v2i2.70.
Waluyo, Bambang. “Relevansi Doktrin Restorative Justice Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia.” Hasanuddin Law Review 1, no. 2 (2015): 210–66.
https://doi.org/10.20956/halrev.v1n2.80.
Zulfa, Eva Achjani. “Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia.”
Jurnal Kriminologi Indonesia 6, no. 2 (2010): 182–203.
———. “Keadilan Restoratif Di Indonesia: Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana.” Universitas Indonesia, 2009.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Dalam Pasal 12 diatur secara eksplisit penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan dengan memperhatikan syarat formil dan materiil.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restratif.
Surat Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tetang Pedoman Penerapan Restoratif Justice di Lingkungan Peradilan Umum.
856
Discussion and feedback