KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN NOMINEE DALAM PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH
on
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN NOMINEE DALAM PENGUASAAN
HAK MILIK ATAS TANAH
Oleh :
I Wayan Werasmana Sancaya
NIM. 0890561074
Program Studi ( S 2 ) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ABSTRAK
Perjanjian nominee atau trustee adalah perjanjian yang menggunakan kuasa yaitu perjanjian yang menggunakan nama warga negara Indonesia dan pihak warga negara Indonesia menyerahkan surat kuasa kepada warga negara asing untuk bebas melakukn perbuatan hukum terhadap tanah yang dimilikinya. Perjanjian nominee sering juga disebut dengan istilah perwakilan atau pinjam nama berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua belah pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebenarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut.
Keabsahan dan kekuatan mengikat perjanjian nominee tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Apabila perjanjian nominee sudah memperhatikan dan memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata dan berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, maka perjanjian nominee tersebut suda mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.
Berdasarkan asas pacta sund servanda bahwa perjanjian yang dibuat oleh para phak, termasuk perjanjian nominee mempunyai kekuatan mengikat seperti undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Kata kunci : Kekuatan mengikat, Perjanjian nominee, Penguasaan, Hak milik atas tanah.
ABSTACT:
Nominee Agreement or trustee is an agreement that use authority which is used the name of Indonesian residents name and the Indonesian residents give power of attorney to the foreigner to make them do an legal act towards their land. Nominee
agreement often called with representation or borrowed name,depend on the letter of statement or power of attorney that made by both of the side, foreigner borrow names from Indonesian to be written as the land’s owner on the certificate, but then the Indonesian depend on the deed of declaration they have made ignore that the real owner of the land and its authorization do or represented to that foreigner.
The validity and power of binding the nominee agreement is can’t be separated from clause 1320 and clause 1338 KUHPerdata. If the nominee agreement already notice ang fulfill the legitimate reguirement of the agreement based on clause 1320 KUHPerdata and based on 1338 KUHPerdata, so that nominee agreement already have the binding power to every sides.
Based on the principle of Pacta Sund Servanda, the agreement that is made by every sides, include nominee agreement has a binding power such as law for them who have made it.
Key Words : Binding Power, Nominee Agreement, Authorization,Land Rights
P E N D A H U L U A N
Perjanjian nominee merupakan suatu upaya untuk memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki hak milik atas tanah yang dilarang oleh Undang- Undang Pokok Agraria ( UU No. 5 Tahun 1960 ) selanjutnya disingkat UUPA adalah dengan jalan menggunakan kedok melakukan jual beli atas nama warga negara Indonesia, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahkan peraturan. Disamping itu, ddibuatkan suatu perjanjian antara warga negara Indonesia dan warga negara asing dengan cara pemberian kuasa, yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan memberikan kewenangan bagi penerima kuasa (warga negara asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak milik atas tanah tersebut.1
-
1 Maria SW.Sumarjono, 2006, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, kompas, Jakarta, h. 162.
Perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjiann notariil, telah menjadi penyelundupan hukum.2
Penyelundupan dalam bidang agraria ini sering terjadi di Indonesia, karena adanya penduduk Indonesia yang masih berstatus orang asing yang secara tidak langsung memperoleh hak milik atas tanah Indonesia, yaitu dengan cara menggunakan kedok yang disebut “strooman” dengan cara menggunakan hak milik atas tanah. Misalnya orang asing hendak membeli sebidang tanah , ia tidak membelinya secara langsung tetapi memakai nama “piaraannya” yang berkewarganegaraan Indonesia. Dan biasanya diikat dengan suatu perjanjian utang piutang yang jumlahnya meliputi harga tanah yang dijadikan jaminan utang strooman tersebut. Apabila hal ini diketahui oleh instansi-instansi yang diberi wewenang untuk mengatur dan
mengurus agraria, maka diputuskan untuk dinyatakan bahwa jual beli itu batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara. Jadi dilarang oleh Pasal 26 ayat (2) UUPA.3
Jika dilihat sepintas lalu, perjanjian nominee tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tidak dalam bentuk pemindahan hak melalui jual beli. Tetapi, apabila isi perjanjian tersebut ditelaah, secara tidak langsung dimaksudkan untuk mengalihkan atau memindahkan hak atas tanah (yang berupa hak milik) kepada warga negara asing.
Dari uraian tersebut diatas maka dapat diinterprestasikan bahwa perjanjian nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang
kosong/norma kosong, karena
perjanjian nominee dapat dikatagorikakan sebagai
penyelundupan hukum. Dengan adanya kekosongan pengaturan tersebut, maka permasalahannya adalah bagaimana kekuatan mengikat
dari perjanjian nominee tersebut terhadap penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing. Berdasarkan hal itu, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami kekuatan mengikat dari perjanjian nominee terhadap penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing.
-
2 Ibid, h. 17.
-
3 Bachtiar Mustafa, 1985, Hukum Agraria Dam Perspektif, Remaja Karya, Bandung, h. 11.
-
II. ISI MAKALAH
-
2.1. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.4 Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan – bahan hukum yang
lain. Sedangkan sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.5 Pada penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma terutama yang berkaitan dengan keberadaan perjanjian nominee dalam hukum perjanjian Indonesia. Karena itu, penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif dengan fokus penelitian terhadap bahan – bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang – undangan (The statue approach ), pendekatan fakta ( Fact approach ), dan pendekatan analisa konsep hukum ( lytical and conceptual approach ). Analisis terhadap bahan-bahan hukum yang telah diperoleh dilakukan dengan cara deskriptif, analisis, dan argumentatif.
-
2.2. HASIL DAN PEMBAHASAN
-
2.2.1. Sahnya Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan
-
Hak Milik Atas Tanh
Oleh Warga Negara Asing
Kata Perjanjian berasal dari Bahasa Inggris yakni contracts dan bahasa
Belanda yakni overeenkomest, serta diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yaitu: "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih."
Menurut Subekti dikutip dari bukunya Sutarno, bahwa Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan perikatan. Dimana hubungan antara perjanjian dengan perikatan bahwa perjanjian menerbitkan perikatan.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan karena perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu 6 perjanjian.
Perjanjian juga
merupakan sumber hukum tanah nasional selain peraturan-peraturan dan hukum adat serta hukum kebiasaan, dalam menyelesaikan kasus- kasus konkret, sudah barang tentu perjanjian yang diadakan oleh para pihak merupakan juga hukum bagi hubungan konkret yang bersangkutan (KUH Perdata Pasal 1338). Tetapi ada pembatasanya, yaitu khusus di bidang hukum tanah, sepanjang perjanjian yang diadakan itu tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan UUPA.
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
-
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
-
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
-
3. Suatu hal tertentu
-
4. Suatu sebab yang halal Dari 4 syarat tersebut, dapat dibedakan menjadi :
-
1) Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan, meliputi :7
-
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
-
6 Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta. Bandung, hal. 74.
-
7 Abdul Salim, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, hal. 42.
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataan karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Sepakat yang merupakan salah satu syarat yang amat penting yang dapat ditandai oleh penawaran dan
penerimaan dengan cara : tertulis, lisan, diam – diam, dan simbol –
simbol tertentu. Kesepakatan dengan |
dari akta dibawah tangan tersebut. |
tertulis, dapat |
Karena itu, pembuktian |
dilakukan dengan akta |
akta otentuik disebut |
otentik ataupun akta |
pembuktian kepalsuan, |
dibawah tangan. |
sedangkan pembuktian akta dibawah tangan |
Perbedaan khas dari akte |
adalah pembuktian |
otentik dengan akta dibawah tangan terletak |
keaslian.8 |
dalam beban pembuktiannya |
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan |
sebagimana diatur dalam |
Kecakapan bertindak |
pasal 1865 KUH |
adalah kecakapan atau |
Perdata,yaitu ; Apabila akta otentik dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pihak lawan harus |
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang |
membuktikan kepalsuan dari akta itu. |
melakukan perjanjian haruslah orang-orang |
Apabila akta dibawah |
yang cakap dan |
tangan dibantah oleh |
mempunyai wewenang |
pihak lawan, maka |
untuk |
yang mengajukan akta |
melakukan perbuatan |
dibawah tangan sebagai |
hukum sebagaimana |
yang telah ditentukan | |
bukti harus membuktikan ke- aslian |
oleh |
8 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
hal.154.
Undang-Undang. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah anak dibawah umur dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
-
2) Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjiannya batal demi hukum, meliputi :
-
a) Suatu hal tertentu
Objek perjanjian adalah prestasi (pokok
perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri dari memberikan sesuatu berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).
-
b) Suatu sebab yang halal9 Walaupun para pihak
dapat membuat perjanjian apa saja, namun ada pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan ketertiban umum, moral dan kesusilaan.
Di dalam hukum kontrak dikenal 5 asas penting yaitu :
-
1) . Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : A. Membuat atau tidak membuat perjanjian
-
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
-
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
hal. 10.
9 Jehani, Libertus, 2007, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian, Visimedia, Jakarta,
-
d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis dan lisan
-
2) Asas Konsensualisme
Pada pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
-
3) Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini sering juga disebut dengan kepastian hukum.
Asas ini berkaitan dengan akibat perjanjian dimana
hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oloh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : ''Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”
4) Asas Itikad Baik (Goede Trouw)
Dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata berbunyi "Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik." Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi yaitu orang memperhatikan sikap dan tingkah laku nyata dari subjek. Kedua itikad baik mutlak yaitu penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
-
5) Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 KUH Perdata yaitu : “pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.” Selanjutnya Pasal 1340 KUH Perdata bunyinya "Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya."
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada 10 asas perjanjian, yaitu: kebebasan mengadakan perjanjian, konsensualisme, kepercayaan, kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral, kepatutan, dan kebiasaan.10.
Dalam sistem hukum
Indonesia sama sekali tidak dikenal mengenai perjanjian nominee,
sehingga dengan demikian tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas mengenai perjanjian nominee ini.
Dalam kamus hukum atau Black’s Law Dictionary, arti dari nominee adalah : “One designated to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for another, in representation of another, or as the grantee of another.”11
Terjemahannya, seseorang ditunjuk bertindak atas pihak lain sebagai perwakilan dalam pengertian terbatas. Ini digunakan sewaktu-waktu untuk ditandatangani oleh agen atau orang kepercayaan. Tidak ada pengertian lain daripada hanya bertindak sebagai perwakilan pihak lain atau sebagai penjamin pihak lain.
Perjanjian nominee di bidang pertanahan dalam praktek adalah memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki tanah yang dilarang UUPA adalah dengan jalan ”Meminjam nama (Nominee)” warga negara Indonesia dalam melakukan jual beli, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi
peraturan.
-
10 Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUH Perdata Buku III, Alumni, Bandung, hal.108-120
-
11 Bryan A. Garner, Op. Cit, hal. 1072 Akan tetapi jika ditelaah lebih
lanjut mengenai pasal 1320 KUH Perdata mengenai sahnya suatu perjanjian ayat (4) yang menyatakan bahwa “suatu sebab yang terlarang” maka dilihat dari pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa :
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan- perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”.
Maka perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan sendirinya batal demi hukum dan sesuai dengan ketentuan pasal 26 UUPA tersebut maka tanahnya jatuh ketangan negara.
Sehubungan dengan
penguasaan tanah oleh warga negara asing, maka bentuk perjanjian yang
dibuat oleh Notaris/PPAT bagi warga negara asing dalam peralihan hak milik atas tanah adalah sebagai berikut12 :
-
a. Akta Jual Beli dengan meminjam nama seorang warga negara Indonesia. Melalui akta jual beli tersebut seolah-olah terjadinya kepemilikan semu atas tanah tersebut, karena nama warga negara Indonesia hanya dipinjam saja untuk di sertipikat, sedangkan sesungguhnya uang untuk membeli tanah tersebut berasal dari warga negara asing.
-
b. Akta Pengakuan Hutang. Melalui akta pengakuan hutang seolah-olah seseorang warga negara Indonesia yang namanya dipinjam itu mempunyai hutang kepada warga negara asing karena sumber dana atau uangnya berasal dari warga negara asing.
-
c. Akta Sewa Menyewa. Melalui akta sewa menyewa ini maka seorang warga negara asing akan bisa memanfaatkan tanah yang telah dikuasainya dengan jangka waktu sewa yang terus bisa diperpanjang dan diteruskan oleh ahli warisnya.
-
d. Akta Pemberian Hak Tanggungan. Melalui akta pengakuan hutang yang dibuat
sebelumnya oleh warga negara
Indonesia dengan warga negara asing, maka harus
-
12 Maria SW. Sumardjono I, Loc.Cit diikat dengan akta pemberian hak tanggungan, karena tanah yang atas nama warga negara indonesia sendiri dijadikan jaminan atas pelunasan hutang tersebut.
-
e. Pernyataan. Melalui pernyataan warga negara Indonesia memberikan pernyataan-
pernyataannya untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga negara asing dan akan melakukan perbuatan hukum apabila adanya perintah dan petunjuk dari seorang warga negara asing.
-
f. Kuasa. Dengan adanya kuasa maka tanah yang dikuasai dengan meminjam nama warga negara Indonesia nantinya dapat dialihkan atas permintaan warga negara asing. Dan dengan adanya kuasa mengelola maka warga negara asing dapat memanfaatkan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainya.
Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, menyatakan ”Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata
cara yang ditetapkan dalam undang- undang ini.” Selanjutnya Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa : ”Akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat-pejabat umum, yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”
Pasal 1868 KUH Perdata merupakan sumber untuk akta otentik Notaris, juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut
-
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang
Pejabat Umum.
-
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
-
c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat 13 akta tersebut.13
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi (Pasal 1320 KUH Perdata).
Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat
subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian
-
13 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris
Indonesia, Refika Aditama,
Bandung,(selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 127
dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orangorang tertentu atau yang berkepentingan. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.
Mengenai larangan dan ketidakwenangan Notaris untuk membuat akta, Pasal
52 ayat (1) dan Pasal 53 UUJN menegaskan dalam keadaan tertentu Notaris dilarang membuat akta, larangan ini hanya ada pada subjek hukum para penghadap, jika subjek hukumnya dilarang, maka substansi akta (perbuatannya) apapun tidak diperkenankan untuk dibuat.14
Akta Notaris
sebagai akta otentik mempunyai nilai pembuktian15 :
-
1. Lahiriah
Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris 12
bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. 2. Formal
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi, Notaris.
3. Materiil
Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.
-
14 Ibid, hal. 156
-
15 Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, Refika Aditama, Bandung,(selanjutnya disebut Habib Adjie II), hal. 72
Akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Sedangkan akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian, sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana akta otentik.16
Penguasaan tanah oleh warga negara asing saat ini sangat bervariasi. Ada perolehan penguasaan tanah yang sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun ada pula praktek penguasaan tanah yang pada dasarnya merupakan bentuk -bentuk penyelundupan hukum.
Adapun bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing
sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh pemerintah, dapat diidentifikasi sebagai berikut :
-
a. Penguasaan tanah dengan Hak Pakai (Pasal
42 UUPA)
-
b. Penguasaan tanah dengan Hak Sewa untuk bangunan (Pasal 45
UUPA)
-
c. Kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh warga negara asing diatas tanah Hak Pakai (PP No.41 Tahun 1 996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia)
Sedangkan cara penguasaan tanah yang mengindikasikan adanya penyelundupan hukum, adalah sebagai berikut.
-
a. Penguasaan tanah dengan cara menggunakan
”kedok/pinjamnama/n ominee”, praktek yang sering dilakukan berkaitan dengan model penguasaan
tanah dengan |
melakukan segala |
menggunakan kedok |
perbuatan hukum |
ini, misalnya |
berkenaan dengan hak |
melakukan jual beli |
atas tanah tersebut, |
atas nama seorang |
yang menurut |
warga negara |
hukum mestinya |
Indonesia dengan |
hanya dapat |
sumber uangnya dari |
dilakuka n oleh |
seorang warga |
pemegang hak (warga |
negara asing, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi |
negara Indonesia). b. Penguasaan tanah yang juga merupakan bentuk penguasaan tanah oleh |
16 HabibAdjie II,Ibid, hal. 48 peraturan. Namun, |
warga negara asing |
disamping itu |
secara terselubung |
dilakukan upaya |
adalah penguasaan |
pembuatan perjanjian |
tanah oleh pasangan |
antara warga negara |
kawin campur antara |
asing dengan warga |
warga negara asing |
negara Indonesia |
dengan warga negara |
tersebut dengan cara |
Indonesi a, yang tidak |
pemberian kuasa |
mempunyai perjanjian |
(yang menjadi kuasa |
kawin khususnya |
mutlak), yang |
mengenai pemisahan |
memberikan hak yang |
harta, dimana mereka |
t idak dapat ditarik |
membeli sebidang |
oleh pemberi kuasa |
tanah hak milik, yang |
(warga negara |
pada umumnya |
Indonesia) dan |
sumber dananya adalah |
memberi wewenang |
dari warga negara |
kepada penerima |
asing akan tetapi |
kuasa (warga negara |
mereka tidak |
asing) untuk |
memunculkan identitas |
perkawinannya, sehin gga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan, tetapi secara substansial terjadi penguasaan tanah (hak milik) oleh pasangan dengan
kewarganegaraan ganda yang tentunya sudah tidak memenuhi
syarat sebagai subjek hak milik.
-
c. Penguasaan tanah dengan modus
pemberian hak
tanggungan dengan kreditur warga negara asing, pemberian hak tanggungan dengan kreditur warga negara asing berpotensi menjadi pemindahan hak atas tanah (hak milik) secara
terselubung.
Pada praktek, warga negara asing lebih memilih menggunaka n instrumen perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah perjanjian nominee.
Mengenai arti dari istilah nominee dalam praktek
penguasaan tanah, menurut Maria SW. Sumardjono, yang dimaksud dengan nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa. Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah, perjanjian yang menggunakan nama WNI
dan pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan hukum apapun terhadap 17
tanah yang dimilikinya.17
Menurut Rosalia Marlina, SH dalam praktek istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertipikatnya, tetapi kemudian warga negara
Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau
diwakilkan kepada warga negara asing tersebut.
-
2.2.2. Kekuatan Mengikat Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas
Tanah Oleh Warga Negara Asing
Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian dapat ditemukan landasan hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata : ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”
Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang menyandarkannya pada Pasal 1320 KUH Perdata atau pada keduanya, Namun, apabila dicermati pasal ini khususnya ayat (1) atau alinea (1), sebenarnya ada tiga hal pokok (asas) yang terkandung di 18 dalamnya, yaitu :18
-
a. pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukan asas
kebebasan berkontrak;
-
b. pada kalimat ”berlaku sebagai undang – undang” menunjukkan asas
kekuatan mengikat atau yang orang sebut asas pacta sun servanda;
-
c. pada kalimat ”bagi
mereka yang membuatnya” menunjukkan asas
personalitas.
-
17 Maria SW. Sumardjono , Op.Cit, hal. 17
-
18 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 78.
Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipenggal – penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan diatas hanya untuk melihat kandungan dari pada pasal tersebut
Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan phak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan piohak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang – undang.
Ayat (3) alinea (2), ini merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.19
Juga perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnyan tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang – undang (Pasal 1339 KUH Perdata).
Pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang – undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah :
-
a. isi perjanjian;
-
b. kepatutan;
-
c. kebiasaan; dan
20
-
d. undang – undang.20 Selanjutnya, Pasal 1340 KUH Perdata menentuka bahwa perjanjian – perjanjian hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya.
Perjanjian perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak – pihak yang membuatnya, sehingga tidak bolehnya seseorang melakukan perjanjian yang
membebani pihak ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata.
Lebih lanjut Pasal 1341 KUH Perdata menentukan : Meskipun demikian, tiap orang kreditor boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur dengan nama apapun juga, yang merugikan orang – orang kreditor, asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik debitur maupun orang dengan atau untuk siapa debitur itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang – orang kreditor.
Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan – perbuatan yang dilakukan dengan cuma – cuma oleh debitur, cukuplah kreditor membuktikan bahwa debitur pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang yang menguntungkan padanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak.
Pasal ini memberikan hak kepada kreditor untuk meminta
pembatalan perjanjian atau tindakan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga, jika perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditor, asal dapat dibuktikan bahwa ketika itu baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui bahwa hal merugikan kreditor. Akan tetapi, pihak ketiga yang beritikad baik dalam memperoleh hak dari debitur, maka pihak ketiga itu dilindungi oleh undang – undang, kecuali kalau perolehan hak pihak ketiga itu hanya dengan cuma – cuma, maka walaupun dia beritikad baik tetap tidak dilindungi, jika debitur mengetahui bahwa perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditur. Hak
kreditor inilah yang populer dengan
21 nama Actio Pauliana.21
Di dalam ketentuan Pasal 6:248 (1) BW kita temukan pengunmgkapan dari asas kekuatan mengikat :
”Persetujuan – persetujuan tidak ( hanya ) mengikat
undang)”
-
21Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit. h. 80 – 81.
Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan, kontraktual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat mempercayai
perkataan orang lain. Ilmu
pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, kecuali bahwa kontrak memang mengkat karena merupakan suatu janji, serupa dengan undang – undang karena undang – undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat undang – undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal ini akan sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran (benda- jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ”kesetiaan pada janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akal-budi 22 alamiah”.22
Mengikatnya suatu perjanjian, juga sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1313 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat orang mengikat orang yang memnuat. Para pihak harus mentaati apa yang diperjanjikannya itu, keharusan mana lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata).
Pada hakekatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 jo Pasal 1917 KUH _Perdata). Namun demikian ketentuan Pasal 1341 KUH Perdata memberikan pengecualian yaitu perjanjian yang dibuat oleh siberutang yang merugikan kepentingan siberpiutang, maka siberpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja.
Kekuatan mengikat suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1339
KUH Perdata, bahwa: ” Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang – undang”
Menurut Herlian Budiono,
dikutip dari bukunya Johannes Ibrahim, prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah kewajiban hukum dan
bahwa ia terikat pada janji – janji kontraktualnya dan harus memenuhi janji – janji ini,
-
22Herlien Budiona, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia ( Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia) , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 100 – 101.
dipandang sebagai sesuatu yang sudah dengan sendirinya dan bahkan orang tidak lagi mempertanyakan mengapa hal itu demikian. Suatu pergaulan hidup hanya dimungkinkan antara lain bilamana seseorang dapat 23 mempercayai kata – kata orang lain.23
Janji terhadap kata yang diucapkan sendiri adalah mengikat. Persetujuan ini pada hakikatnya diletakkan oleh para pihak itu sendiri di atas pundak masing – masing dan menetapkan ruang lingkup dan dampaknya. Persetujuan mempunyai akibat hukum dan berlaku sebagai undang – undang bagi para pihak.24
Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang
terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penaatannya. Sejatinya istilah pacta memiliki makna yang sangat terbatas, yakni hanya merujuk pada kesepakatan penghapusan hutang atau penundaan pembayaran hutang; kesepakatan itu sendiri tidak dapat dipaksakan oleh hukum dengan menggunakan upaya hukum. Kesepakatan – kesepakatan demikian hanya berguna sebagai upaya bela diri (eksepsi) terhadap upaya hukum yang dijalankan dalam rangka menagih pembayaran hutang tersebut.25
Pada hakekatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga ( pasal 1340 yo. 1917 KUHPerdata). Namun demikian ketentuan psl. 1341 KUHPerdata memberikan pengecualian yaitu perjanjian yang dibuat oleh diberutang yang merugikan kepentingan diberpiutang, maka siberpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja (Actioi Pauliana )
-
III. SIMPULAN
Penggunaan perjanjian nominee dapat dibenarkan asalkan :
Keabsahan dan kekuatan mengikat dari perjanjian nominee, tidak
terlepas dari ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.
Perjanjian nominee dibuat sudah memenuhi syarat
23 Johannes Ibrahim, Lindawaty sewu, 2003,Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern,
Refika Aditama, Cet. Pertama, Bandung, h.97. 24 Ibid.
25 Herlien Budiono , Op.Cit, h. 102 – 103.
sahnya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Apabila perjanjian nominee sudah memperhatikan syarat keabsahan tersebut, dan berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata maka perjanjian nominee itu sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.
Berdasarkan asas Pacta Sund Servanda, bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak, termasuk perjanjian nominee mempunyai kekuatan mengikat sepertinya undang – undang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Salim, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta.
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta.
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Bachtiar Mustafa, 1985, Hukum Agraria Dam Perspektif, Remaja Karya, Bandung. Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
---------------, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung.
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia
(Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia ),PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Jehani, Libertus, 2007, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian, Visimedia, Jakarta.
Johannes Ibrahim, Lindawaty sewu, 2003,Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Refika Aditama, Cet. Pertama, BandunG.
Maria SW.Sumarjono, 2006, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, kompas, Jakarta.
Mariam Darus Badrulzaman,
2006, KUH Perdata Buku III,
Alumni, Bandung. Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum
Perkreditan pada Bank,
Alfabeta. Bandung.
Indonesia, Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960 Tentang Peratutan Dasar Pokok – Pokok Agraria, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor : 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 2043
Discussion and feedback