WEWENANG KEPOLISIAN MENGADAKAN TINDAKAN LAIN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
on
WEWENANG KEPOLISIAN MENGADAKAN
TINDAKAN LAIN DALAM MEMBERIKAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
MENURUT
UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
I WAYAN JUWAHYUDHI
NIM : 1090561015
HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
WEWENANG KEPOLISIAN MENGADAKAN TINDAKAN LAIN DALAM
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
MENURUT UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK
Oleh :
I Wayan Juwahyudhi, SH
ABSTRACT
One of the police authorities is a discretionary action, where the action can also be done at the time of the investigation in dealing the juvenile offenders to protect children’s right to get justice and maximum legal protection. In the Law Number 11 of 2012 on the Juvenile Criminal Justice System stipulate about the investigator authority to carry out action of diversion, but this only applies to children under sentence of less than 7 years in prison and does not apply in children who are subject to punishments of more than 7 years in prison. This is contrary to the 1945 Constitution and the Law Number 23 of 2002 which emphasizes the protection of children before the law an the efforts to avoid imprisonment of the juvenile offenders.
The thesis describes the police authority and the legal mechanisms and policies by the investigator in protecting the right on the juvenile offenders that puts the principles of legal protection. In order to avoid negative effects on children, therefore the police discretion is needed to avoid restrictions on freedom of the children’s right. The method used is a normative legal research method, where the normative or library legal research method is done by examining existing library materials.
The writer suggested to the government to be more serious in dealing with the problems of children, especially for the juvenile offenders so that the welfare and right of children are protected and to avoid restrictions on freedom and minimize for juvenile offenders.
Keyword : Police Authority, Police Discretion, Legal Protection for Juvenile Offenders.
Banyak kejadian yang menarik perhatian masyarakat pada saat ini, dimana semakin meningkatnya perbuatan-perbuatan pidana, dengan perkembangan dan perubahan struktur
masyarakat sebagai akibat pembangunan ikut menjadi faktor pendorong timbulnya kejahatan dan anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Marisa, staf pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas
Padjajaran, ada dua perilaku kenakalan pada anak atau remaja. Pertama, kenakalan anak yang masih normal. Kenakalan ini terlihat sebagai tindakan yang konyol, bahkan bisa jadi bahan tertawaan serta hiburan bagi yang melihat. Kedua, kenakalan yang negative, ketika perilaku nakalnya sudah mulai mengganggu atau merugikan lingkungan sosialnya.1
Seorang anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup baik untuk membedakan hal-hal baik dan buruk. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Poses penghukuman yang diberikan terhadap anak melalui pidana formal dengan memenjarakan anak ternyata tidak berhasil membuat jera dan pribadi
yang baik malah seringkali membuat anak semakin professional dalam melakukan kejahataan.2
Solusi yang tepat dalam menangani perkara anak dengan melakukan pendekatan restorative justice, dimana penyidik dapat melakukan dengan jalan diskresi. Hal tersebut merupakan penyelesaian perkara di luar system peradilan pidana. Pada dasarnya suatu penegakan hukum akan berhasil dan berjalan maksimal jika tidak terlepas dari tiga pilar yang saling mempengaruhi, yakni memenuhi struktur (structure), substansi (substance), dan kultur 3 hukum (legal culture).3
Ada beberapa jenis kejahatan berat yang terkaddang diolakukan oleh anak di bawah umur, diantaranya pembunuhan, perkosaan, penganiayaan berat yang mengakibatkan meninggal dunia, hingga peredaran narkoba yang dapat menjerat anak dengan hukuman hingga lebih dari 7 tahun penjara. Dalam Undang-Undang No.11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tindakan diversi hanya diberikan kepada anak yang terrancam hukuman di bawah 7 tahun penjara, hal tersebut tercantum dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf a yang menyebutkan bahwa diversi dapat dilaksanakan pada anak yang mendapat anacaaman hukuman dibawah 7 tahun. Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.4 Sedangkan yang terancam hukuman diatas 7 tahun tetap diproses pidana. Hal tersebut membuat perlindungan hukum terhadap anak masih belum maksimal.
Polisi sebagai penegak hukum yang mempunyai wewenang menyidik, mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk menjalankan tugasnya sehingga antara tugas dan wewenang dapat bersinergi. Sesuai dengan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri. Dalam pelaksanaan di lapangan penegakan hukum yang dilakukan oleh polri senantiasa terdapat 2 pilihan
dimana pertama penegakan hukum sesuai dengan undang-undang yang mempunyai upaya paksa untuk menegakkan hukum sesuai dengan UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan kedua tindakan yang mengedepankan keyakinan dan penilaian personal anggota polri untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Hal tersebut dikenal dengan tindakan Diskresi yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 dan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri yang memberikan kebebasan yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan berdasarkan penialian sendiri. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Pasal 7 ayat (1) huruf j menyebutkan bahwa Penyidik Kepolisian yang mempunyai kewenangan dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, hal ini juga diperkuat dalam Undang Undang No.2 Tahun 2002 Pasal 16 Ayat (1) huruf l. Dalam hal ini difokuskan untuk melindungi kepentingan anak yang berkonflik dengan hukum.
Dasar pemikiran dari penyusunan tulisan ini adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Pasal 7 ayat
(1) huruf j menyebutkan bahwa Penyidik Kepolisian yang mempunyai kewenangan dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, hal ini juga diperkuat dalam Undang Undang No.2 Tahun 2002 Pasal 16 Ayat (1) huruf l dan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 7 Ayat (2) huruf a yang menyebutkan bahwa diversi dapat dilaksanakan pada anak yang mendapat ancaman hukuman dibawah 7 tahun, tanpa memberikan aturan terhadap ancaman hukuman terhadap anak yang lebih dari 7 tahun dimana anak yang terancam hukuman diatas 7 tahun pun tentunya juga memerlukan perlindungan hukum, dimana spririt undang-undang yang seharusnya menghindarkan anak dari pemidanaan. Dalam hal ini tidak adanya norma yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadaap anak yang terancam hukuman diatas 7 tahun membuat kabur makna dari semangat undang-undang terutama UUD 1945 dipertegas dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengedepankan asas perlindungan hukum terhadap anak.
Bertolak dari pemaparan tersebut diperlukan adanya ide perlindungan hukum dalam diskresi kepolisian terutama oleh penyidik untuk melingdungi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum demi mendapatkan suatu perlindungan dan keadilan dalam hukum. Hal inilah yang menarik penulis untuuk merumuskan permasalahan yaitu:
-
1) Bagaimana pengaturan diskresi kepolisian terhadap penanganan anak yang berkonflik dengan hukum?
-
2) Bagaimanakah mekanisme
pelaksanaan diskresi kepolisian terhadap penanganan anak yang berkonflik dengan hukum?
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigm science as a process (ilmu sebagai proses). Terutama dalam bidang proses penyidikan terkait upaya perlindungan hukum dalam diskresi Kepolisian dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah analisis terhadap pengaturan serta perlindungan hukum yang dapat
dilakukan dalam diskresi kepolisian terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penulisan memakai metode jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atas pasal-pasal aturan hukum untuk menentukan asas-asas hukum, mengetahui
sinkronisasi vertical / horizontal, mengetahui aspek sejarah hukum dan mengetahui perbandingan antara system-sistem hukum. 5
Dalam melakukan tindakan diskresi kepolisian tidak terlepas dari adanya wewenang yang melekat pada institusi polri yang diberikan oleh undang-undang. Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai Legal
power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.6 Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik. “Bevoegdheid” dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah “wewenang” dan “bevoegdheid”. Istilah “bevoegdheid” digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan “wewenang” selalu digunakan dalam konsep hukum publik.7
Secara teoritik wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh dari tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandate. Menurut H.D. Van Wijk / Willem Konijnennbelt yang dikutip Ridwan, H.R. definisi wewenang tersebut pada intinya, sebagai berikut:
-
a. atribusi merupakan pemberian wewenang oleh undang-undang
-
b. delegasi merupakan pemberian wewenang dari organ sederajat kepada organ lainnya.
-
c. Mandat merupakan wewenang yang diberikan oleh organ yang mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lainnya atas namanya.8
Wewenang kepolisian dalam melakukan tindakan diskresi diperoleh secara atributif karena polisi dapat melakukan tindakan diskresi diberikan oleh undang-undang menurut
penilaiannya sendiri untuk mengambil tindakan lain yang bertanggungjawab dalam menangani suatu perkara.
Ada beberapa peraturan yang terkait dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum yang seluruhnya menekankan adanya perlindungan terhadap anak di depan hukum. Adapun peraturan yang dimaksus adalah :
Konvensi hak anak pasal 37 menegaskan beberapa hal, intinya penghapusan terhadap segala penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dirampas
kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang dan perlakuan secara manusiawi dan dihormati martabat
kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan manusia seusianya. Juga mengatur tentang bantuan hukum yang layak bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
-
b. The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules)
Peraturan ini menegaskan beberapa hal, yang pada intinya perlindungan hukum terhadap anak pada saat penangkapan,
penanganan, pendidikan bagi
penegak hukum, penahanan serta peradilan khusus bagi anak.9
Secara umum perlindungan dan hak-hak anak dijamain oleh UUD 1945 pada Pasal 28 D ayat 2 yang yang intinya melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi.
-
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal-pasal khusus yang
mengatur tentang hak- hak anak adalah pasal 52, dan yang berkaitan dengan jaminan perlakuan
terhadapanak-anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam pasal 66. Ketentuan ini secara khusus mengatur tentang hak asai anak.
-
e. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Perlindungan dan hak-hak yang bermasalah dengan hukum juga dikemukakan dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Pada Pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa perlindungan anak
merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada Pasal 2 dikatakan bahwa penyelenggaraan
perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
-
f. Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam undang – undang ini ada beberapa substansi yang cukup krusial, diantaranya ;
-
1. Usia pertanggungjawaban anak (12-18 tahun), serta batasan usia anak yang bisa dikenakan penahanan (14-18 tahun). (pasal 1 butir 3)
-
2. Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana
ke proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 butir 7)
-
3. Syarat, tata cara, dan jangka waktu penangkapan dan penahanan, diatur dalam BAB III pasal 30 – 40
-
4. Jenis pemidanaan, dan tindakan pemidanaan
Dari pembahasan peraturan-peraturan yang terkait dengan perlindungan anak dapat dijadikan dasar acuan oleh polisi untuk mengadakan tindakan lain / diskresi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum terutama yang terancam hukuman diatas 7 tahun penjara. Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 dimana penyidik diwajibkan melakukan tindakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, namun dengan batasan umur serta ancaman hukuman maksimal 7 tahun. Sedangkan yang diatas 7 tahun diperlakukan pidana biasa. Dalam undang-undang tersebut sudah dibuatkan aturan mengenai aturan hukum yang memberikan
kewenangan penyidik kepolisian untuk mengambil suatu tindakan
diversi, namun itu hanya berbatas pada tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 7 tahun. Bagaimana dengan ancaman diatas 7 tahun?
Menurut Satjipto Rahardjo : “Memelihara dan mencegah tersebut membutuhkan kreativitas. Pada gilirannya kreativitas itu membutuhkan kelonggaran dan kebebasan dalam bertindak dan itu berarti tugas polisi tidak bisa diatur dan dibatasi atau dalam istilah ilmunya dibutuhkan suatu diskresi untuk bisa melaksanakan tugas tersebut.10 Berdasarkan pandangan diatas maka tindakan polisi yang memaafkan atau dalam istilah ilmunya melaksanakan wewenang diskresi atas pertimbangan bahwa kepentingan umum tidak terganggu.
-
2. Mekanisme Penyidikan Kepolisian Terhadap Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya11, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai Penyidikan diatur di dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.
Penyidikan terhadap anak tersebut haruslah dalam suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA yang pada intinya menyebutkan bahwa dalam menangani perkara anak, pejabat yang berwenang wajib memperhatikan kepentingan bagi anak dalam suasana kekeluargaan. Penyidikpun wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan sesuai dengan Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012. Kentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Pada waktu pemeriksaan tersangka, penyidik tidak memakai pakaian seragam. Ketentuan Pasal 18 ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana
kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya.
Pasal 27 ayat 1 dan 65 ayat 1 UU No. 11 tahun 2012, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik dibantu pembimbing kemasyarakatan dengan membuat laporan penelitian
kemasyarakatan. Proses penyidikan anak nakal juga wajib dirahasiakan sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012. Terhadap anak yang belum berumur 12 tahun juga dapat dilakukan penyidikan agar dapat diketahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri atau ada orang lain yang terlibat. Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak berseragam dinas dan melakukan pendekatan secara simpatik.
Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan pada intinya ada dua yaitu ;
-
1. Untuk menegakan prinsip penegakan hukum yang cepat,
tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum.
-
2. Agar terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkara tidak cukup bukti.
Jika berkas perkara dirasa kurang lengkap oleh penuntut umum, penyidik wajib melengkapi disertai petunjuk untuk melengkapi lanjut penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan.
Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu
tersebut, dengan sendirinya menurut hokum penyerahan berkas perkara
sudah sah dan sempurna, beralih
kepada penuntut umum tanpa
memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum. Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita. Dari uraian tersebut sangat jelas terlihat penyidikan polisi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih berpatokan pada perundang-undangan, terutama terhadap anak yang terancam hukuman lebih dari 7 tahun, dimana akan diproses sesuai aturan yang berlaku tanpa adanya pelaksanaan diversi, karena dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 diversi hanya diatur terhadap anak yang terancam hukuman dibawah 7 tahun penjara. Di dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa Polri dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri demi kepentingan umum. Pertimbangan demi kepentingan umum tersebut adalah diantara alternative berbagai macam pertimbangan yang diyakini oleh anggota polisi tersebut.
Wewenang diskresi yang dimiliki oleh kepolisian dalam mengambil tindakan lain adalah salah satu solusi yang tepat, adapaun beberapa alasan penghentian
penyidikan yang dapat dijadikan acuan adalah adalah :
-
1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan;
perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;
-
2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak tersebut
dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
-
3. Adanya pengakuan dari pelaku;
-
4. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana;
-
5. Tindak pidana yang dilakukan atas dasar tekanan dari orang lain/dewasa;
-
6. Dalam tindak pidana berat adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui muyawarah;
-
7. Tidak adanya korban dalam tindak pidana yang dilakukan.
-
IV. SIMPULAN DAN SARAN
-
1. Bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur mengenai upaya diversi masih adanya kelemahan terutama dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang terancam hukuman diatas 7 tahun penjara sehingga menimbulkan kekosongan norma dimana dalam UUD 1945 pada Pasal 28 B ayat 2, yang dipertegas dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Pasal 17 sangat menekankan
pentingnya perlindungan hukum terhadap anak.
-
2. Wewenang diskresi yang dimiliki kepolisian sangat diperlukan dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum agar terciptanya keadilan hukum dan perlindungan terhhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
-
1. Perlu adanya penyempurnaan undang-uandang mengenai
ssstem peradilan pidana anak untuk memberikan perlindungan hukum maksimal terhadap anak agar sesuai dengan prinsip
peradilan anak yang dicita-citakan dalam penyusunan untuk mencapai tujuannya.
-
2. Hendaknya dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan dengan lebih cermat oleh pihak penyidik kepolisian yang berpedoman kepada undang-undang agar tercipta keadilan dan
perlindungan hukum serta mengedepankan asas praduga tidak bersalah dengan
mengupayakan tindakan diskresi secara maksimal dalam
melakukan penyidikan terutama penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, PT. Ghalian Indonesia, Jakarta
Black, Henry Campbell, Black’S Law Dictionary, West Publishing, 1990
Hamzah, Andi, 2006, Pengantar Hukum Acara Pidana
Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika, 2006, Jakarta
Joni, M. dan Tanamas, Zulchaina Z., 1995, Aspek Hukum
Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999
Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing Rules)
Rahardjo, Satjipto dan Tabah, Anton, 1993, Polisi : Pelaku dan Pemikir, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Ridwan, H.R., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2009, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Jurnal
Hadjon, Phillipus M., 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des
Situs Internet
Jalu, Bukan Kejahatan Anak, Tapi Kenakalan, Available from : URL : http:/www.pikiran-rakyat.com/cetak/0204/hikmah/ lainnya05.htm diakses pada 01 Juni 2013
http:// doktormarlina.htm Marlina,Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, diakses hari Sabtu 01 Juni 2013, 18.00 wib.
BIODATA PENULIS
Nama : I Wayan Juwahyudhi,SH
Tempat Bekerja : Kepolisian Resor Kota Denpasar - Bali
Discussion and feedback