PENGAWASAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN WEWENANG POLRI MENGADAKAN TINDAKAN LAIN MENURUT HUKUM YANG BERTANGGUNG JAWAB (DISKRESI)
on
JURNAL ILMIAH
PENGAWASAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN WEWENANG POLRI MENGADAKAN TINDAKAN LAIN MENURUT HUKUM YANG BERTANGGUNG JAWAB (DISKRESI)
I MADE SUTEJA
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
JURNAL ILMIAH
PENGAWASAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN WEWENANG POLRI MENGADAKAN TINDAKAN LAIN MENURUT HUKUM YANG BERTANGGUNG JAWAB (DISKRESI)
I MADE SUTEJA NIM : 089 056 1003
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
PENGAWASAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN WEWENANG POLRI MENGADAKAN TINDAKAN LAIN MENURUT HUKUM YANG BERTANGGUNG JAWAB (DISKRESI)
Oleh :
I MADE SUTEJA
ABSTRACT
Function of control and authority of the Police of the Republic of Indonesia related to the aspects of preemptive, preventive, and repressive. One of duties of the Police of the Republic of Indonesia as the state's instrument and law enforcer in maintain the law repressively to help the Department of Justice especially in the field of criminal law the Police as the investigator and investigating offrcer can carry out other action according to law which is responsible or discretion.
The formal legalistically arrangement about the police discretion in KUHAP (Article 5 subsection (1) letter a number 4 and Article 7 subsection (1) letter j) and the Law No.2 1n2002 about the Police of the Republic of Indonesia in Article 16 subsection (1) letter I and subsection (2) and Article 18 subsection (1) and subsection (2) which is written and implicated widely so it makes this become a blur norm of law, and it needs an interpretation in the application. The discretion arrangement seems to emerge the disharmonious of law norm. To avoid the deviation of the discretion implementation in the future the norm arrangement has to be harmonized through the law construction to the articles of the arrangement by reevaluating and reformulating them by the legislative institution.
The type ofresearch to be used to research the substance of discretion by the police in this scientific work is the normative law research or doctrinal law research. Police discretion needs an internal and extemal monitoring from the related institution including monitoring ftom the society especially the victim.
Deviation of discretion will emerge a risk due to law and law responsibility by the person who does the discretion. The law responsible can be a responsibility of criminal, civil Iaw and administration law. Deviation of discretion action as the result of the wide range of discretion scope and there is no measurement or criterion of discretion forms that can be done by the Police as a reference in action which is arranged in legislation.
The study and analysis of police discretion upon the problems presented is reviewed by the law principles, expertise doctrine, formal basic and law theories such as law system theory, law harmonious theory, progressive law theory, authority theory and monitoring theory. The theoretical perspective study is supported by empirical law materials and descriptive description of the writer.
Key words: control, discretion, police.
ABSTRAK
Fungsi pengawasan terhadap wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyangkut aspek preemtif, preventif dan represif. Salah satu tugas Kepolisian Negara RI selaku alat negara dan penegak hukum dalam menegakkan hukum secara represif dalam membantu tugas Departemen Kehakiman khususnya di bidang hukum pidana Polisi sebagai penyelidik dan penyidik dapat melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab atau diskresi.
Pengaturan secara legalistik formal tentang diskresi kepolisian dalam KUHAP (Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) serta Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tersurat dan tersirat demikian luas sehingga menampakkan norma hukum yang kabur, dan memerlukan interpretasi dalam penerapannya. Tampak pengaturan diskresi menimbulkan disharmonisasi norma hukum. Untuk menghindari penyimpangan pelaksanaan diskresi kedepannya norma pengaturannya perlu diharmonisasikan melalui konstruksi hukum terhadap pasal pengaturannya dengan cara reevaluasi dan reformulasi oleh lembaga legislatif.
Jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti substansi diskresi oleh kepolisian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Diskresi kepolisian memerlukan pengawasan secara internal dan eksternal dari institusi terkait termasuk pengawasan oleh masyarakat terutama korban.
Penyimpangan diskresi akan menimbulkan resiko akibat hukum dan pertanggung jawaban hukum oleh pelaku diskresi. Tanggung jawab hukum dapat berupa pertanggung jawaban pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Penyimpangan tindakan diskresi sebagai akibat luasnya lingkup diskresi dan tidak ada ukuran atau kriteria bentuk-bentuk diskresi yang dapat dilakukan oleh Kepolisian sebagai acuan dalam bertindak yang diatur dalam perundang-undangan.
Kajian dan analisis diskresi kepolisian atas permasalahan yang disajikan ditinjau atas asas-asas hukum, doktrin-doktrin para ahli, landasan formal beserta teori-teori hukum seperti teori sistem hukum, teori harmonisasi hukum, teori hukum progresif, teori kewenangan dan teori pengawasan. Kajian perspektif teoritik tersebut ditunjang bahan hukum empirik serta uraian deskriptif dari penulis.
Kata kunci : pengawasan, diskresi, kepolisian.
Legislator KUHAP dan UU
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI tidak secara
jelas memberikan pengertian atau definisi, begitu pula kriteria dari “tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab” atau tindakan diskresi tersebut.
Dalam ketentuan KUHAP Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 tersurat “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 a karena kewajibannya mempunyai wewenang : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP menyuratkan “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”.
Terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP dan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP khususnya terhadap kepolisian dalam melakukan tindakan penyidikan apalagi dalam lingkup tugas dan fungsi Polri secara represif tidak ada penjelasan terhadap pengertian atau batasan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab tersebut. Hanya dalam penjelasan KUHAP diberikan batasan makna / pengertian tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab dalam hal kepentingan kepolisian melakukan tindakan hukum secara prepentif di bidang penyelidikan. Hal dimaksud seperti tersurat dalam penjelasan KUHAP terhadap Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4, yakni : yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :
-
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
-
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan.
-
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.
-
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
-
e. Menghormati hak asasi manusia. Mencermati ketentuan Pasal
5 ayat (1) huruf a angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP tersebut di atas tampak adanya ketentuan norma yang kabur. Kata tindakan lain akan memberikan makna yang tidak jelas, jenis serta kualifikasi dari tindakan lain tersebut. Sehingga menimbulkan persepsi dan interpretasi ketidak
tepatan dan tidak memberikan kepastian apa yang dimaksud tindakan lain tersebut. Dalam tataran keharmonisan norma cenderung menimbulkan disharmonisasi norma hukum yang kabur (unclear of norm). Norma kabur cenderung menimbulkan interpretasi yang menyesatkan bagi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam menegakkan hukum pada tataran proses peradilan pidana.
Mengkritisi Undang-Undang Kepolisian Negara RI No. 2 Tahun 2002 khususnya Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 tersebut juga menampakkan ketentuan norma yang kabur dan luas tentang kata-kata “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Tindakan lain itu menurut versi UU No. 2 Tahun 2002 tersebut lebih luas ruang lingkupnya dibanding versi KUHAP. Dalam Undang-Undang Kepolisian tindakan lain yang dapat dilakukan oleh Kepolisian di bidang penyelidikan dan penyidikan. Keluasan cakupan tindakan lain yang dapat dilakukan kepolisian guna kepentingan umum dan
menggunakan penilaian sendiri oleh kepolisian.
Esensi norma dalam KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI menyangkut substansi makna dan maksud kata “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”, yang dapat dilakukan oleh kepolisian sebagai penyidik, secara interpretasi teoritik dapat disamakan maknanya dengan istilah “diskresi”. Sehingga Kepolisian Negara RI dalam melakukan fungsi dan wewenangnya memiliki kewenangan diskresi kepolisian. Tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut kepada Kepolisian Negara RI akan membawa korelasi dan konsekuensi akibat dan tanggung jawab secara hukum dalam praktek proses peradilan.
Mencermati fenomena hukum yang tertuang dalam ketentuan norma KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI menyangkut substansi tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab yang dapat dilakukan anggota Kepolisian Negara RI yang dalam
bahasa hukum atau istilah hukum singkatnya “diskresi” (diskresi kepolisian), maka penulis merumuskan dalam bentuk karya ilmiah dalam jurnal dengan judul “Akibat dan Tanggung Jawab Hukum Diskresi Kepolisian”. Dari judul yang disajikan tersebut akan ditampilkan permasalahannya untuk dikaji dan dianalisis berdasarkan temuan penelitian.
Dalam penulisan ini dipakai penelitian hukum normatif (normatif legal research), yaitu penelitian yang dilakukan atau mengetahui atas pasal-pasal aturan hukum untuk menentukan atau mengetahui disharmonisasi norma hukum yang terjadi, khususnya menyangkut diskresi kepolisian, seperti diatur dalam KUHAP maupun UU Kepolisian Negara RI.
Di samping meneliti norma hukum yang tersurat dalam perundang-undangan, juga dilakukan pengumpulan bahan hukum yang diperoleh di lapangan tentang penerapan diskresi oleh kepolisian.
Kajian atas substansi akibat dan tanggung jawab hukum dari tindakan diskresi kepolisian akan mengacu atas permasalahan yang disajikan dengan pesan analitis berdasarkan landasan teoritis menyangkut asas-asas hukum, dasar hukum, pendapat ahli hukum (doktrin), teori-teori hukum dalam mengkritisi serta memberi solusi hukum terhadap permasalahan tentang diskresi kepolisian, seperti terumus dalam masalah sebagai berikut :
-
1. Apa batasan pengertian dan kriteria sebagai ukuran bila Kepolisian Negara RI melakukan tindakan lain berdasarkan kewenangannya menurut hukum yang bertanggung jawab?
-
2. Bagaimana akibat dan tanggung jawab hukumnya bila anggota Kepolisian Negara RI melakukan penyimpangan dalam melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab tersebut?
Terhadap pembahasan, uraian serta kajian tentang diskresi kepolisian ini atas dasar penelitian
hukum secara normatif dengan ditunjang data empiris guna memperkuat analisis dan kebenaran tentang diskresi tersebut secara konseptual dalam teori serta aplikatifnya di lapangan. Analisis dan kajian dimaksud akan dijabarkan dalam uraian-uraian berikut.
Istilah “diskresi” berasal dari
bahasa asing “discretion”. Menurut kamus Black’s Law Dictionary, disebutkan bahwa :
“Discretion when applied to public functionaries, discretion means a power or right conferred upon them by law of acting officially in certain circumstances according to the dictates of their own judgment and conscience, uncontrolled by the judgment or conscience of others. As applied to public officer mean power to act in official capacity in a manner which appears to be just and proper wider the circumstance.1
Definisi Black’s tersebut di atas adalah sifatnya umum yang pada intinya menekankan pada wewenang pejabat publik untuk mengambil keputusan sendiri yang didasarkan
atas hukum dan perasaan/keyakinan pejabat publik itu sendiri.
Tidak jauh berbeda apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, bahwa “discretion is an authority conferred by law to act in certain conditions or situations in accordance with a official’s or an official agency’s own considered judgment and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twigh light zones between law and morals”.2
Secara singkat definisi yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tersebut pada intinya menyebutkan bahwa diskresi itu adalah idea moral yang berada dalam dua bidang yaitu antara hukum dan moral.
Oleh Thomas J. Aaron, disebutkan bahwa : “discretion is power authority confered by law to acton on the basic of judgement or conscience, and its use more an ideal of morals than law”.3 Yang dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya dan
lebih menekankan moral daripada pertimbangan hukum.
Namun oleh Sue Titus Reid, disebutkan bahwa “Discretion is an authority conferred by law to act in certain conditions of situations in accordance with an official’s or an official agency’s own considered judgement and conscience”.4 (Diskresi dalam hal ini pada intinya diartikan sebagai kekuasaan / wewenang yang diberikan menurut hukum untuk bertindak dalam situasi atau kondisi tertentu berdasarkan atas pertimbangan dan keputusan pejabat pemerintah).
Menunjuk beberapa pengertian diskresi tersebut diatas dapat disebutkan bahwa arti diskresi adalah “kekuasaan/wewenang yang diberikan oleh hukum kepada pejabat publik/pemerintah untuk melakukan tindakan dalam situasi atau kondisi tertentu berdasarkan atas keputusan dan keyakinan sendiri.”
Sehingga dari arti diskresi secara etimologi dan pendapat doktrin dapat diinterpretasikan esensinya sama atau mirip dengan arti dan makna istilah tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam kaitan tugas
Kepolisian (official agency), Harry
W. More menyebutkan bahwa :
Discretion is generally defined as being discreet; having the freedom or authority to make decisions and choices; and having the power to judge or act. This is readily seen in the police officer use the discretion to determine wether or not to arrest, or in the parole officer’s decision whether or not to revoke parole.5
Pengertian diskresi
Kepolisian (Police Discretion) juga dapat diketemukan pada Kamus Istilah Polri, yang diartikan sebagai berikut :
Diskresi kepolisian (Police
Discretion) adalah kebijaksanaan petugas kepolisian untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi masalah yang dihadapi dengan tetap berpegang pada peraturan-peraturan.6
Inti pengertian tersebut hamper sama dengan pendapat Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa diskresi sebenarnya
merupakan suatu kebebasan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
dengan tetap berpegang pada 7 peraturan-peraturan.
Diskresi dalam konteks tugas kepolisian oleh Sue Titus Reid diuraikan bahwa :
“Discretion is an inevitable part of policing. It impossible to eliminate it and police will always have discretion in deciding when to stop a person and whether to detain, frisk, arrest, or whatever.”8 Pengertian mana memberikan petunjuk bahwa Polisi dalam melaksanakan tugasnya tidak dapat terlepas dari adanya tindakan diskresi.
Secara universal tugas polisi, termasuk POLRI pada hakekatnya ada dua, yaitu menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban umum. Selanjutnva oleh Kunarto disebutkan bahwa tugas preventif atau tugas mengayomi adalah tugas yang sangat luas tanpa batas, boleh melakukan apa saja asal keamanan terpelihara dan tidak melanggar hukum itu sendiri. Dengan demikian asasnya adalah
asas oportunitas, utilitas dan kewajiban.9
Fungsi tersebut adalah sesuai dengan apa yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, bahwa fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai penegak hukum, pengayom dan pembimbing masyarakat. Untuk selanjutnya fungsi kepolisian ini dapat pula disebutkan sebagai fungsi represif, preventif dan premptif.
Letak diskresi dalam kaitan tugas kepolisian preventif dan represif, menurut M. Faal yaitu ada pada tugas kepolisian represif, karena pada saat Polisi melakukan tindakan represif itulah timbul kebijaksanaan diskresi itu.
Kebijaksanaan diskresi ini muncul sehubungan dengan adanya pelanggaran dan dalam hal ini Polisi akan dihadapkan pada 2 (dua) hal, yaitu apakah akan memperoses sesuai dengan tugas sebagai penegak hukum ataukah tidak melakukan tindakan alias mengenyampingkan perkara itu dalam arti mengambil tindakan diskresi kepolisian. Artinya
tidak melakukan tugas kewajibannya selaku penegak hukum pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mengingat akan hal tersebut menurut M. Faal disebutkan bahwa tindakan kepolisian yang berupa menindak (represif) yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan diskresi ini, disebut dengan tindakan Diskresi Kepolisian Aktif sedangkan keputusan kepolisian yang berupa sikap kepolisian yang umumnya mentolerir (mendiamkan) suatu tindak pidana atau pelanggaran hukum disebut diskresi pasif.10
Landasan diskresi kepolisian secara formal / legalistik formalnya tersurat dan tersirat dalam KUHAP dan UU Kepolisian Negara RI Tahun 2002.
Pakar hukum pidana menyatakan bahwa landasan atau dasar hukum dalam pelaksanaan kewenangan diskresi dilandasi oleh Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.11
Dimana dalam undang-undang ini dijelaskan sebagai berikut :
-
a. Pasal 5 ayat (1) a butir 4 :
Penyidik mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
-
b. Pasal 7 ayat (1) huruf j : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai
wewenang : mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Undang-Undang RI Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI menjelaskan sebagai berikut :
-
a. Pasal 16 ayat (1) huruf i yang menegaskan bahwa : dalam rangka menyelenggarakan tugas kepolisian di bidang proses pidana, Kepolisian Negara RI berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
-
b. Pasal 18 ayat (1) : untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Rumusan kewenangan
Kepolisian Negara RI dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 itu
merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids beginsel), yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau bertindak menurut penilaian sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.12
Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat beberapa ketentuan pasal yang memberikan kewenangan yang luas kepada kepolisian. kewenangan tersebut memberikan kebebasan kepada polisi untuk menentukan dan selanjutnya mengambil keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap masalah yang dihadapi yang didasarkan atas penilaian yang subyektif sifatnya.
Pasal yang berhubungan dengan tugas dan wewenangnya, bahwa kepolisian mempunyai wewenang untuk melakukan
tindakan lain dijumpai pada Pasal 5 ayat (1) a butir 4 jo Pasal 7 ayat (1) j “tindakan lain” yang dimaksud diterangkan dalam penjelasan Pasal 5 KUHAP sebagai tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :
-
1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
-
2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
-
3. Tindakan itu harus patut dan masuk di akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
-
4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa, dan;
-
5. Menghormati hak asasi manusia.
Kalau dicermati dari
ketentuan di atas, hanya
mensyaratkan bagi penyelidik kepolisian dalam melakukan
tindakan diskresi sebatas
menyangkut tindakan penyelidikan. Sedangkan untuk tindakan diskresi di bidang lingkup penyidikan belum tampak adanya batasan norma pengaturan, atau terjadi kekosongan norma hukum. perlu dicermati antara tindakan penyelidikan dengan penyidikan secara normatif diatur berbeda dalam KUHAP.
-
3. Asas-Asas Hukum Sebagai
Esensi Makna Diskresi Dalam
Menunjang Tugas dan
Wewenang Kepolisian RI
Khusus terhadap diskresi kepolisian dalam kaitan pelaksanaan tugas kepolisian di Indonesia terdapat beberapa asas yang melandasi mengenai tugas dan wewenang kepolisian sebagaimana yang tersirat dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu :
-
a. Asas Legalitas
Pemerintah dan setiap anggota masyarakat dilakukan atas landasan hukum, bermuara pada ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Aparat penegak hukum termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sendirinya harus
menganut asas legalitas.
-
b. Asas Kewajiban
Hukum tidak mungkin mengatur seluruh persoalan secara rinci dan di pihak lain hukum itu selalu ketinggalan dari
perkembangan yang terjadi
dalam tata kehidupan
masyarakat. Untuk mencegah tidak dilakukannya tindakan yang perlu oleh prajurit Kepolisian Negara Republik Indonesia akibat kekosongan dalam hukum dan atau terdapat lebih dari satu peraturan perundang-undangan
yang mengatur hal yang sama atau peraturan perundang-
undangan dalam keadaan tertentu tidak efektif, maka dalam pelaksanaan tugas dianut asas kewajiban atau plichtmatighcid yang dalam pelaksanaannya terlihat dalam bentuk diskresi.
Asas ini memberikan keleluasaan kepada prajurit Kepolisian
Negara Republik Indonesia
menurut pendapat dan
pertimbangan sendiri, untuk bertindak atau tidak mengambil tindakan, dan berdasarkan
kewajiban umum kepolisian untuk menjamin ketertiban dan ketentraman masyarakat guna terwujudnya Kamtibmas dengan memperhatikan syarat-syarat
sebagai berikut :
-
1) Tindakan tersebut harus secara obyektif.
-
2) Tindakan tersebut harus
lugas.
-
3) Tindakan tersebut harus
sesuai atau bisa mencapai sasaran (tepat dan benar).
-
4) Seimbang antara tindakan dengan berat ringannya gangguan, tidak berlebihan.
-
c. Asas Partisipasi
Partisipasi masyarakat dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat dalam
implementasinya diwujudkan berupa sistem Kamtibmas swakarsa sebagaimana telah disyaratkan dalam TAP MPR 1988. Penerapannya dapat dilihat dalam bentuk Satpam, Pos Kamling dan lain sebagainya.
-
d. Asas Preventif
Asas ini memberikan arahan dalam penggunaan metode pelaksanaan tugas Kepolisian
Republik Indonesia dan motivasi serta tolok ukur keberhasilan dalam pelaksanaan tugas atau efektivitas dan efesiensi dalam menekan laju Crime Total dan bukan semata-mata berdasarkan kemampuannya dalam menyelesaikan perkara kasus yang telah terjadi.
-
e. Asas Solidaritas
Yaitu asas yang memungkinkan Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengambil tindakan yang perlu dalam hal instansi yang berwenang tidak ada atau belum mengambil tindakan.13
Dari beberapa asas kepolisian tersebut, dapat disebutkan bahwa asas kewajiban sebagai salah satu asas yang patut diperhatikan dan juga sebagai prasyarat untuk dapat digunakannya wewenang diskresi kepolisian dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum dan atau dalam proses peradilan pidana. Dengan kata lain wewenang diskresi yang ada pada kepolisian tidak secara sewenang-wenang dapat dipergunakan melainkan berdasarkan atas adanya asas kewajiban (plichtmatigheid) dalam arti terikat pada batas-batas kewajibannya agar tindakan itu tetap terletak dalam lingkungan kewajibannya.
Akibat telah disiratkannya bahwa wewenang diskresi yang begitu luas, menyangkut dasar hukum dengan batasan-batasannya, tanggung jawab diskresi baik dari segi positif maupun segi negatifnya, unsur kekaburan pengaturan, maka terakhir yang perlu mendapat kejelasan adalah bagaimana pelaksanaan diskresi itu harus diawasi agar tidak menyimpang dari maksud dan tujuan yang dikehendaki, dan yang diatur oleh ketentuan hukum yang belum begitu jelas dan kebijaksanaan pimpinan yang diinstruksikan pada jajaran bawahannya dilingkungan kepolisian sebagai institusi penyelidik dan penyidik.
Pengawasan terhadap pelaksanaan diskresi dalam hal penghentian penyidikan ataupun penahanan dilakukan melalui pengawasan internal (pengawasan melekat) oleh atasannya langsung dengan mengacu kode etik kepolisian sebagaimana disebutkan pada Pasal 134 ayat (1) UU No. 2
Tahun 2002 yang menyebutkan : “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negera Republik Indonesia”.
Penulis melakukan pula penelitian lapangan guna mendapatkan bahan hukum penunjang melalui wawancara dengan narasumber, bahwa pelaksanaan pengawasan internal terhadap pelaksanaan diskresi oleh penyidik di Polresta Denpasar yang dilakukan oleh atasannya langsung yang dalam hal ini terlihat dari pengambilan kebijakan secara hirarki dan diketahui oleh atasan tertinggi, yakni dalam hal penyidik akan mengambil sutu langkah kebijakan, penyidik tersebut harus mendapat persetujuan dari Kepala Unit atau Kanit yang menjadi atasan dari penyidik tersebut. Dalam hal Kanit yang bersangkutan menganggap bahwa pengambilan kebijakan tersebut dapat berakibat luas atau dengan kata lain kebijakan tersebut berpengaruh terhadap penilaian masyarakat umum terhadap kinerja Kepolisian, maka pengambilan
kebijakan tersebut harus mendapat persetujuan baik dari Kasat dan atau Kapolresta. Pengambilan kebijakan yang diambil oleh Kapolresta tersebut kemudian dipertanggungjawabkan kepada Kapolda.
Pengawasan internal tersebut, selain dilakukan oleh atasannya langsung juga secara nyata diwujudkan dengan adanya Surat Perintah Pengawasan Penyidikan yang dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh penyidik di Polresta Denpasar dilakukan pengawasan oleh pengawas penyidikan dan Polda Bali, jadi dengan adanya pengawas tersebut, setiap tindakan yang dilakukan oleh penyidik dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghindari pelaksanaan diskresi yang sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang oleh penyidik yang bersangkutan.
Pengawasan internal terhadap pelaksanaan penyidikan juga dituangkan dalam Pasal 39 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana dalam pasal tersebut mengharuskan penyidik untuk menginformasikan perkembangan hasil penyidikan kepada pelapor dan atau korban suatu tindak pidana terkait hasil penyelidikan dan penyidikan setidaknya dalam jangka waktu satu kali dalam satu bulan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan atau SP2HP, sehingga pelapor dan atau korban mengetahui perkembangan kasus yang dihadapinya dan pelaksanaan penyidikan dapat berlangsung secara transparan.
Selain pengawasan internal juga terdapat pengawasan eksternal atas tindakan penahanan ataupun penghentian penyidikan, yakni dengan dilakukan melalui melalui mekanisme pra-peradilan sesuai ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP yang menyatakan : “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”
Selain mekanisme pengawasan eksternal lewat praperadilan, pengawasan eksternal dilakukan pula oleh masyarakat yang mengetahui atau mengalami adanya penyalahgunaan kewenangan atau diskresi yang dilakukan oleh penyidik dengan melaporkan penyidik yang bersangkutan kepada Unit Pelayanan, Pengaduan dan Penegakan Disiplin (P3D) yang salah satu tugasnya adalah, menerima saran dan pengaduan masyarakat mengenai kinerja kepolisian.
Selanjutnya adanya pengawasan yang dilakukan oleh instansi samping, terutama oleh kejaksaan dan pengadilan yang masing-masing dilakukan oleh Penuntut Umum dan Ketua
Pengadilan Negeri dalam rangka Sistem Peradilan Pidana yang berlaku di Indonesia. Hal ini
diwujudkan sebagai bentuk
koordinasi dan pengawasan
horisontal agar tidak terjadi
kesalahan-kesalahan dalam
menerapkan hukum acara pidana.
Bentuk pengawasan
horizontal tersebut antara lain tercermin dalam :
-
a. Pada waktu dimulainya
penyidikan, penyidik wajib memberitahukan kepada
penuntut umum. Sebagai diatur Pasa1 109 ayat 1 KUHAP : “dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”
-
b. Dalam hal ini penyidik menghentikan penyidikan,
penyidik memberitahukan
kepada penuntut umum, Pasa1 109 ayat KUHAP : “Dalam hal penyidik menghentikan
penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Pasal ini dimaksudkan agar apa yang telah disidik oleh polisi diketahui oleh kejaksaan sebagai salah satu anggota komponen fungsi dalam S.P.P. dan dapat memonitor bagaimana proses selanjutnya dan apabila ada penghentian penyidikan, apa alasannya, apakah dengan tindakan kebijaksanaan (diskresi) atau dengan alasan lain. Bila menurut pendapat jaksa penghentian itu tidak sesuai dengan ketentuan hukum, jaksa dapat melakukan pengawasan dalam bentuk praperadilan umpamanya sebagai ketentuan pasal 80 KUHAP.14
Pengawasan horisontal ini tercermin secara nyata pada proses awal penyidikan, dimana setelah penyidik menerbitkan dan mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP kepada Jaksa Penuntut Umum maka penyidik tidak akan memiliki ruang gerak untuk melakukan penyelewengan pada pelaksanaan diskresi terutama dalam menghentikan penyidikan, karena dengan diterbitkannya SPDP maka perkembangan penyidikan atas perkara tersebut akan terus diawasi oleh pihak Kejaksaan. Jadi selain dengan alasan dihentikan demi hukum tidak cukup bukti dan
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana maka penyidik tidak akan dapat melakukan penghentian penyidikan.
Mengingat wewenang
diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana demikian luasnya dan untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan wewenang diskresi tersebut, maka faktor pengawasan adalah sangat penting, sehingga pelaksanaan wewenang diskresi kepolisian ini tidak menyimpang dari maksud dan tujuan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Seperti
dikemukakan Abadinsky, bahwa : “Discretion in criminal justice system cannot be eliminated. Attempts to eliminate discretion merely diplace it into another part of the system. There ways, however, to control discretion and prevent the abuse of discretionary justice.”15 (Dalam sistem peradilan pidana, adanya tindakan diskresi tersebut mesti mendapat pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dari wewenang dalam tindakan diskresi tersebut).
-
4.1.1 Batasan diskresi dalam KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI sangat luas tanpa ada batas dan kriteria sebagai pedoman kepolisian dalam bertindak, sehingga cenderung menyiratkan ketentuan norma hukum yang kabur. Dalam aplikasinya melakukan
tindakan diskresi kepolisian memerlukan interpretasi dalam bertindak.
-
4.1.2 Tindakan diskresi yang menyimpang oleh kepolisian akan menimbulkan akibat dan tanggung jawab hukum secara hukum pidana, perdata dan administratif.
-
4.2 Saran
-
4.2.1 Agar legislator segera merevisi ketentuan pengaturan pasal-pasal diskresi dalam KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI demi adanya acuan, pedoman serta kepastian hukum dalam bertindak di lapangan.
-
4.2.2 Agar anggota Kepolisian Negara RI dalam bertindak di lapangan memerankan tugas dan wewenang diskresi kepolisian untuk bertindak
-
tepat, cepat, tanggap sasaran dan profesional guna terhindar dari penyimpangan serta akibat dan tanggung jawab hukum yang merugikan diri dari institusi Kepolisian Negara RI.
DAFTAR PUSTAKA
Abadiensky Howard, 1984,
Discretionary Justice An Introduction To Discretion In Criminal Justice, Sprigfield, Illionis, USA.
Faal M, 1990, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya
Paramita, Jakarta.
Hary Campbel Black, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publiching Co.
Harry W. More, 1979, The Principles and Procedures in the Administration of Justice, part one, USA.
Kunarto, 1997, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta.
Moeljatno, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana – UU No. 8 Tahun 1981, Aneka Ilmu, Semarang.
Momo Kelana, 1998, Memahami
Undang-Undang Kepolisian, UU No. 28 Tahun 1997,
PTIK, Jakarta.
Soerjono Soekanto, Diskresi
Kepolisian Penindak dan Pedoman, Harian Kompas, Tanggal 21 Maret 1983, Jakarta.
Sue Titus Reid, 1985, Crime and Criminology, Fourth Edition, CBS Publishing, USA.
Suhardi, SA, 2007, Kamus Populer Indonesia, Wira Raharja, Semarang.
Sutikno, HP, 1987, Kamus Istilah Polri, Mabes Polri, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Peraturan Disiplin Anggota Polri.
17
Discussion and feedback