Kewenangan BPK dan BPKP dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara pada Perkara Korupsi


I Made Fajar Pradnyana1, I Wayan Parsa2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail:fajarpradnyana@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: wayan.parsa@yahoo.co.id


Info Artikel

Masuk: 31 Maret 2021

Diterima: 21 Juli 2021

Terbit: 31 Juli 2021

Keyword:

Corruption; Supreme Audit

Agency; Financial and

Development Supervisory Agency


Kata Kunci

Korupsi; BPK; BPKP


Corresponding Author:

I Made Fajar Pradnyana;

E-mail:

fajarpradnyana@gmail.com


DOI:


10.24843/JMHU.2021.v10.i02.p11


Abstract

The purpose of this research is to describe the related authority possessed by the BPK and BPKP in determining state financial losses so that the judges who handle cases of corruption can use calculations from the institutions that have been mandated by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in determining state financial losses in order to achieve legal certainty. The dualism of institutions in determining state financial losses results in overlapping powers which have an impact on the credibility of these institutions. This certainly affects practice in the field, one of which is legal certainty that is not guaranteed in implementing law enforcement against corruption, it is very possible that every agency that calculates losses incurred by the state uses different calculation techniques, and in the end, the reports given are also different. so that it can affect the performance of law enforcement agencies in dealing with allegations of corruption. The author uses the normative legal method in this research, through two kinds of approaches, namely statutory and conceptual. The results showed that the BPK authority as an independent institution to measure and determine state losses, whether committed by individuals or legal entities, while the BPKP authority as an institution under the president has the duty to ensure that the management of government state finances in the sense of the executive is good, so that the panel of judges handling criminal acts of corruption uses calculations from the national institution, namely the BPK which is mandated by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk Menjabarkan terkait kewenangan yang dimiliki BPK dan BPKP dalam menentukan kerugian keuangan negara sehingga majelis hakim yang menangani kasus tindak pidana korupsi dapat menggunakan perhitungan dari Lembaga yang telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945 dalam menentukan kerugian keuangan negara agar tercapainya kepastian hukum. Dualisme institusi dalam menentukan kerugian keuangan negara menghasilkan kekuasaan yang tumpang tindih yang berdampak pada kredibilitas institusi ini. Hal ini tentu mempengaruhi praktek di lapangan, salah satunya kepastian hukum yang tidak terjamin dalam menerapkan


penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, sangat memungkinkan bahwa setiap lembaga yang menghitung kerugian yang ditimbulkan negara menggunakan teknik penghitungan tidak sama, dan pada akhirnya, laporan yang diberikan juga berbeda sehingga dapat mempengaruhi kinerja lembaga penegak hukum dalam menangani tuduhan korupsi. Metode hukum normatif digunakan penulis dalam riset ini, melalui dua macam pendekatan yaitu perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

otoritas BPK selaku lembaga bersifat independen untuk mengukur dan menentukan kerugian negara baik yang dilakukan oleh seseorang ataupun badan hukum, sementara otoritas BPKP sebagai institusi yang berada di bawah presiden yang bertugas untuk memastikan bahwa pengelolaan keuangan negara pemerintah dalam arti eksekutif sudah baik, sehingga majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi menggunakan perhitungan dari Lembaga nasional yaitu BPK yang diberikan amanat dari UUD NRI 1945.

  • I.    Pendahuluan

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah dan birokrasinya memberikan pelayanan. Kekuasaan dalam era modern saat ini adalah perwujudan dari rakyat yang berdaulat, sebenarnya adalah kewenangan yang diberikan rakyat kepada pemangku kekuasaan harus dijalankan sesuai dengan cita hukum rakyat, akan tetapi proses implementasinya, sering terjadi pelanggaran dan penyimpangan yang mudah berujung pada korupsi.1 Korupsi dikategorikan dalam bentuk kejahatan luar biasa yang sampai saat ini masih menghantui Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyaknya peraturan perundang-undangan telah dibentuk untuk mengurangi angka korupsi, tidak dapat dipungkiri pada realitanya dapat dikatakan bahwa korupsi masih merajarela dan penanganannya pun kian kompleks karena perkembangan dari praktek korupsi itu sendiri. Praktek korupsi di Indonesia sudah ada sejak 5 tahun kemerdekaan Indonesia. Banyak pihak menyebutkan korupsi bagaikan darah daging di Indonesia terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan.2

Berdasarkan perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun yang merajarela hingga sampai saat ini, dibutuhkan strategi dan rencana yang baik oleh para penegak hukum untuk menemukan para pelaku tindak kejahatan yang luar biasa ini, karena dalam perkembangannya membuktikan adanya suatu tindak pidana korupsi bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat bagaimana kompleksitas dari modus operasinya dan bagaimana cara melakukan transaksinya terlebih lagi yang melakukan tindakan ini adalah yang professional yang mengetahui celah-celah hukum yang berlaku.

Kerugian keuangan negara memiliki definisi yang kompleks, yang dimana banyak PERUU yang menjelaskan definisi terhadap kerugian negara.3

Melihat Pasal 2 dan 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001 menjelaskan seseorang/badan hukum bisa dipidana meskipun belum sampai pada tahap menyebabkan negara mengalami kerugian, tetapi apabila memenuhi unsur “perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil”, maka seseorang/badan hukum tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana korupsi. Lembaga yang berwenang secara konstitusional untuk mengaudit dan memastikan apakah timbul kerugian atau tidak adalah Badan Pemeriksa Keuangan seterusnya disingkat BPK, dapat dijumpai/ditemui dalam ketentuan UUD NRI 1945 Pasal 23 E ayat (1) intinya menjelaskan BPK adalah lembaga bebas yang mandiri dalam mengawasi keuangan negara. Pengaturan tentang BPK lebih lanjut pada UU 15/2006.4

BPK dalam menentukan jumlah besarnya kerugian harus dipertanggungjawabkan secara hukum, dalam hal ini BPK mengacu Pasal 10 ayat(1) UU 15/2006, yaitu :

  • 1)    BPK mengevaluasi dan / atau menentukan besarnya kerugian negara yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN / BUMD, dan instansi lain yang mengelola keuangan negara.

  • 2)    Penilaian kerugian keuangan negara dan / atau penetapan pihak yang wajib membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh BPK.

Dalam menjalankan tugasnya menilai berapa jumlah kerugian keuangan yang dialami oleh negara, BPK mengeluarkan hasil yang berbentuk laporan yang biasanya disebut sebagai Laporan Hasil Pemeriksaan. Menurut Peraturan BPK 1/2007 (butir 3 Lampiran VI) tentang standar audit keuangan nasional, peran LHP adalah:

  • 1.    Mengkomunikasikan hasil inspeksi kepada otoritas:

  • 2.    Menjauhkan ketidaksepehaman tentang hasil audit;

  • 3.    Menggunakan hasil inspeksi sebagai dasar bagi instansi terkait untuk mengambil tindakan korektif, dan;

  • 4.    Promosikan tindakan korektif yang harus diambil. Persyaratan akuntabilitas untuk rencana tersebut mengharuskan laporan inspeksi disediakan dalam format yang mudah diakses.5

Berdasarkan fungsi-fungsi penting dari LHP diatas, BPK dapat mengetahui instansi-instansi mana saja yang akan melakukan/ sudah melakukan penyelewangan sehingga

mengakibatkan kerugian bagi negara. Meskipun telah memiliki landasan konstitusional dalam menentukan besarnya kerugian dialami negara, BPK pada prakteknya saat ini tidak menjadi lembaga yang satu-satunya/tunggal dalam menilai keuangan negara. Dibentuknya “Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan” disingkat BPKP membuat keberadaan BPK saat ini tidak lagi “tunggal” dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara karena tugas dan fungsi dari BPKP menyerupai BPK.

Terbentuknya BPKP merujuk PP 60/2008 yang realisasinya terlihat ketika Perpres 192/2014 mulai terbentuk, hal ini menjadikan BPKP sebagai bagian dari Aparatur Pengawas Intern Pemerintahan (APIP) sehingga dapat melakukan tugas yang sama dengan BPK yaitu melakukan perhitungan jumlah kerugian keuangan negara akan tetapi dalam konteks intern pemerintah saja.6

Implikasi dari terbentuknya BPKP selain menghilangnya kredibilitas peran BPK sebagai wadah/lembaga “tunggal” juga berdampak pada munculnya dualisme dalam menetapkan jumlah kerugian yang dialami oleh negara sehingga dapat menimbulkan polemik dan menjadi masalah yang serius dalam penanganan kasus korupsi, karena pada dasarnya bahwa memberantas korupsi tidak sebatas hukuman pidana kepada para koruptor yang memberi efek jera, akan tetapi pengembalian kerugian keuangan negara juga merupakan tujuan yang utama dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Dualisme lembaga ini juga menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan menimbulkan kerancuan dalam menilai seberapa besar kerugian dialami oleh negara, in casu majelis hakim yang menangani kasus tindak pidana korupsi terkadang menggunakan hasil perhitungan dari BPKP atau BPK, maka dari itu rumusan masalah dari artikel ini yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah Pengaturan kewenangan mengenai BPK dan BPKP dalam menentukan kerugian keuangan negara dalam peraturan perundang-undangan?

  • 2.    Lembaga manakah yang berwenang dalam penentuan kerugian keuangan negara agar hakim dapat menggunakannya sebagai pedoman dalam memberikan pertimbangan dalam kasus tindak pidana korupsi?

Tujuan dari riset ini yaitu untuk Menjabarkan terkait kewenangan yang dimiliki BPK dan BPKP dalam menentukan kerugian keuangan negara sehingga majelis hakim yang menangani kasus tindak pidana korupsi dapat menggunakan perhitungan dari Lembaga yang telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945 dalam menentukan kerugian keuangan negara agar tercapainya kepastian hukum.

Dari hasil penelusuran yang telah penulis lakukan, penulisan artikel yang berjudul Kewenangan BPK dan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara Pada Perkara Korupsi ini dapat dikatakan baru dan belum ada yang mengkaji sebelumnya. Sehingga artikel ini memiliki unsur pembaharuan dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia. Meski tulisan ini telah memiliki pembaharuan dan tidak memuat unsur plagiarisme didalamnya, sebagai

unsur pembanding maka berikut akan diuraikan tulisan yang membahas permasalahan serupa yaitu:

  • 1.    Jurnal dengan penulis Karel Antonius Paeh pada tahun 2017 yang merupakan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako dengan judul Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berdasarkan Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hubungan Dengan Unsur Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. 7 Jurnal ini mengangkat permasalahan yaitu: pembuktian kerugian keuangan negara berdasarkan Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan di Provinsi Sulawesi Tengah serta Masalah yang dihadapi penyidik dalam pembuktian kerugian keuangan negara berdasarkan Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan di Provinsi Sulawesi Tengah.

Berdasarkan pengamatan judul dan permasalahan jurnal oleh Karel Antonius Paeh, memfokuskan pada pembuktian kerugian keuangan negara berdasarkan Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan di Provinsi Sulawesi Tengah, sedangkan karya tulis Kewenangan BPK dan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara Pada Perkara Korupsi memfokuskan pada penjabaran terkait kewenangan yang dimiliki BPK dan BPKP dalam menentukan kerugian keuangan negara sehingga majelis hakim yang menangani kasus tindak pidana korupsi dapat menggunakan perhitungan dari Lembaga yang telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945 dalam menentukan kerugian keuangan negara agar tercapainya kepastian hukum. Maka dari itu dipastikan bahwa tulisan ini tidak memiliki unsur plagiat dan mempunyai unsur pembaharuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan artikel ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Topik yang menjadi focus kajian dan bahasan terdapat pada kekaburan norma suatu peraturan perundang-undangan. Beberapa penelitian ini yaitu: Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan secara analisis konseptual atau yang sering disebut the analytical & conceptual approach.8 Lebih lanjut, teknik penelusuran bahan hukum sebagai pedoman bagi penulis jurnal ini mengkaji peraturan-peraturan tentang BPK dan BPKP serta menganalisis beberapa putusan hakim yang berkaitan dengan korupsi yang menggunakan acuan perhitungan dari BPK ataupun putusan hakim yang menggunakan perhitungan dari BPKP. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskripsi serta kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan mengenai Kewenangan BPK dan BPKP

Membahas kewenangan sebuah lembaga negara tentunya tidak lepas dari pemahaman tentang sistem ketatanegaraan yang dianut oleh suatu negara. Sistem ketatanegaraan NKRI yang tertuang dalam UUD NRI 1945 merupakan alas penyelenggaraan Negara. Dimana, fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga negara di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip atau pemikiran mengenai pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu, yaitu kekuasaan terpisah (dikenal dengan konsep Trias Politica) yaitu legislative, ekskutif dan yudikatif.9

Ketiga cabang kekuasaan yang dijelaskan Montesqiue diatas, dilaksanakan menurut konsep pembagian kekuasaan lembaga atau lembaga negara Indonesia, yaitu:

  • I.     Kekuasaan Legislatif yang dilaksanakan oleh DPR, DPD dan Presiden.

Presiden mengamprah RUU (klausul) dalam RUU tersebut dan mendapatkan persetujuan DPR. Menjadi hukum.

  • II.    Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif dengan bantuan Wakil

Presiden dan Menteri serta lembaga negara lainnya di bawah kepemimpinan Presiden.

  • III.    Kekuasaan kehakiman, dilaksanakan oleh MA dan MK.

Ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan berdasarkan tugas dan kewenangannya masing-masing, namun dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dilaksanakan berdasarkan mekanisme hubungan kerja yang dinamis antar lembaga negara (known as asas check and balances). Ketiga Kekuasaan tersebut, semuanya di bawah prinsip “check and balances”. Melalui prinsip “check and balances”, kekuasaan Negara tidak bebas karena sangat dibatasi bahkan dikendalikan secara tepat, sehingga dapat mencegah dan memaksimalkan pencegahan dan pengelolaan Negara tidak sesuai hokum berlaku.10

Hadirnya lembaga bersifat independen berfungsi untuk memeriksa keuangan negara, yaitu BPK didirikan dengan alas Pasal 23E UUD NRI 1945 mengatur bahwa “untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bebas dan independen”, yang tugasnya dan kewenangan diatur lebih lanjut dalam UU BPK. UU BPK Pasal 1 angka 1 mengatur “BPK adalah lembaga nasional yang bertanggung jawab untuk mengkaji pengelolaan keuangan nasional dan sistem pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Munculnya BPK sebagai Lembaga pemeriksa keuangan negara, dapat dipahami bahwa Indonesia tidak sepenuhnya menganut trias politica Montesquie.11 Perlunya lembaga yang benar-benar independen, tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun

termasuk pengaruh dari tiga kekuasaan legislative dan eksekutif, yudikatif. Jika dilihat lebih dekat, keberadaan BPK memegang peranan penting dalam penerapannya asas “check and balances” antar kewenangan lembaga negara, khususnya mengenai pemeriksaan pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif.

Keluarnya TAP MPR VI / MPR / 2002 juga semakin memperkuat posisi BPK. Perintah tersebut secara khusus menegaskan kembali statusnya sebagai wadah tunggal dalam audit keuangan bersifat independen tanpa intervensi. BPK adalah organisasi yang bertujuan untuk “memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara”. Fungsi tersebut tidak diragukan lagi merupakan fungsi vital dalam sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, dalam mengkaji pengelolaan negara hanya organisasi independensi berhak melakukannya. Penerapan lembaga negara yang merdeka berarti diharapkan BPK tidak dapat diganggu oleh kekuasaan manapun dalam menjalankan wewenang yang dimilikinya. Beranjak dari hal itu, diharapkan hasil pemeriksaan benar-benar objektif dan dapat dijadikan tolak ukur penyelenggaraan negara yang baik.12

Berkembangnya sistem pemerintahan nasional Republik Indonesia, lahir dari suatu Lembaga yang memiliki tupoksi yang sejenis dengan BPK, yaitu BPKP. BPKP dibentuk berdasarkan Pasal 49 PP 60/2008 yaitu sebagai internal pengawas pertanggungjawaban keuangan negara yang tugas dan kewenangannya diatur berdasarkan Perpres BPKP. Pasal 1 angka 4 PP 60/2008 juncto Pasal 1 angka 1 Perpres BPKP dijelaskan bahwa “BPKP merupakan aparat pengawas internal pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden”. Oleh karena itu, BPKP bukanlah lembaga negara yang bebas atau independen tetapi berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif (di bawah Presiden atau dibentuk dengan Peraturan Pemerintah) yang mempunyai tugas dan kewenangan mengawasi pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif).13

Dilihat dari sistem ketatanegaraan ditinjau dari ruang lingkup tugas dan wewenang lembaga negara, tentu ruang lingkup tugas dan wewenang BPK lebih luas dari pada BPKP. “BPK merupakan lembaga indenpenden berwenang secara konstitusional untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, melakukan audit terhadap seluruh unsur keuangan Negara” lihat Pasal 3 ayat (1) UUKN dengan mekanisme kerja wajib. (menelaah seluruh aspek penggunaan keuangan negara). 14 Hasil audit tersebut dicek oleh DPR, DPD serta DPRD, berdasarkan wewenang masing-masing salah satunya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh lembaga eksekutif. Berbeda dengan BPKP sebagai lembaga non independen, intern dibawah naungan eksekutif, misi BPKP adalah melakukan audit intern saja terhadap pertanggungjawaban fiskal negara, antara lain: (a) kegiatan lintas sektoral; Menteri Keuangan menetapkan status bendahara negara dan memutuskan kegiatan perbendaharaan negara; (c) kegiatan lain

yang dilaksanakan sesuai dengan tugas presiden. Laporan pengawasan BPKP secara berkala disampaikan kepada presiden.15

Berdasarkan kewenangan BPKP, dapat dimaklumi bahwa ruang lingkup tanggung jawab dan wewenang BPKP hanyalah pengawasan internal pemerintah terhadap pengelolaan keuangan negara, Menurut Pasal 1 ayat 3 PP 60/2008 pengawasan internal diartikan sebagai proses kegiatan pengawasan. Terkait pelaksanaan tanggung jawab dan fungsi organisasi pemerintahan (eksekutif), agar sepenuhnya memastikan bahwa pengelolaan telah efektif berdasarkan kepentingan pimpinan untuk mencapai tujuan pemerintahan yang baik. Di sisi lain, BPK berhak melakukan pemeriksaan keuangan terhadap semua entitas yang menggunakan dana negara.16

Mengacu dengan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa BPK merupakan Lembaga nasional yang mengkaji mengenai pengelolaan keuangan negara serta pertanggungjawabannya sebagaimana yang telah diamanatkan UUD NRI 1945, sedangkan BPKP merupakan Lembaga internal yang dibentuk Presiden guna mengawasi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh pemerintah saja (eksekutif) berdasarkan ketentuan PP 60/2008.

  • 3.2    Lembaga Yang Berwenang Menentukan Kerugian Keuangan Negara dalam Perkara Korupsi

Pasal 1 angka 22 UU 30/2014 menerangkan atribusi merupakan wewenang yang diperoleh berdasarkan UU, yang merupakan kewenangan itu merupakan kewenangan baru atau yang sebelumnya tidak ada (Pasal 12 UUAP). Lebih lanjut, Pasal 1 angka 23 menjelaskan bahwa “pendelegasian adalah penyerahan kewenangan dari instansi yang lebih tinggi dan / atau Pejabat Pemerintah kepada Badan yang lebih rendah dan/atau Pejabat Pemerintah, dengan tanggung jawab dan pertanggungjawaban diserahkan sepenuhnya kepada penerima limpahan”. Sedangkan pengertian amanah diatur dalam Pasal 1 angka 24, yaitu penyerahan Wewenang dari Instansi yang lebih tinggi ke rendah disebut mandat.

BPK adalah badan atau lembaga negara yang kewenangannya bersumber dari Pasal 23E-23G UUD 1945 diteruskan melalui UU BPK. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kewenangan BPK dalam menjalankan tugas untuk memeriksa mendapat wewenang atributif yaitu dari UU/UUD serta BPK merupakan lembaga yang independen tidak masuk dalam cabang kekuasaan, akan tetapi di sisi lain, kewenangan BPKP bersumber dari Pasal 49 PP 60/2008, yakni sebagai pengawas internal pertanggungjawaban keuangan negara yang tugas dan kewenangannya diatur lebih lanjut dalam Perpres BPKP. Kewenangan BPKP dalam melakukan pengawasan internal keuangan negara merupakan kewenangan pendelegasian, yaitu kewenangan yang dilimpahkan (melalui Keputusan Presiden BPKP) oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif). Oleh karena itu, BPKP tidak dapat melakukan pengawasan terhadap keuangan negara yang melebihi kewenangan

eksekutif. BPKP tidak dapat dikatakan sebagai pengawas independen karena dalam lingkup kekuasaan eksekutif saja. Kewenangan BPKP hanya terbatas pada pengawasan keuangan negara. yang pengelolaannya bersifat internal pemerintah, yang sebatas mengawasi pengelolaan keuangan negara terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan (eksekutif).

Berbeda dengan BPK sebagai lembaga pengawas bersifat independen tidak berada dibawah naungan eksekutif, dan tidak dapat di intervensi. Mengenai kewenangan BPK dalam menilai dan menentukan besarnya kerugian yang Negara alami, secara khusus diatur pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU BPK:

ayat (1), “BPK menilai dan / atau menentukan besarnya kerugian negara yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN (Badan Usaha Milik Negara) / BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), dan organ atau lembaga yang mengelola keuangan negara. "

ayat (2), "Penilaian kerugian keuangan negara dan / atau penetapan pihak yang wajib membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK."

Dalam perkara korupsi, BPK berhak memeriksa seluruh aspek keuangan negara untuk menentukan ada tidaknya kerugian, dan apakah ada tanda-tanda korupsi yang berbeda dengan yang diatur pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) dan UU BPK. "Pasal 8 (3) dan (4). Kewenangan BPK juga tercermin dalam ruang lingkup BPK yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU BPK, yang mengatur bahwa “analisa BPK mencakup analisa untuk tujuan tertentu”. Merujuk pada Pasal 6 ayat (2) UU BPK, penafsiran khusus mengacu pada Pasal 4 UU PPTJKN, yaitu saat menafsirkan Pasal 4 ayat (4) UU PPTJKN dijelaskan bahwa” spesifik Tujuan audit antara lain: mereview hal-hal lain di sektor keuangan, investigasi dan review, serta review terhadap sistem pengendalian intern pemerintah.”

Selain itu, terkait penyidikan dan peninjauan kembali, Pasal 13 UU PPTJKN mengatur bahwa “BPK sebagai pemeriksa dapat melakukan penyidikan dan peninjauan kembali untuk menemukan tanda-tanda kerugian negara/daerah dan/ atau tindak pidana yang dimaknai kurang”. Kerugian Negara dalam jumlah tertentu yang dihasilkan karena kesengajaan atau kelalaian yang melanggar hukum (Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Nasional). Selain itu, Pasal 14 mengatur bahwa jika ditemukan pidana saat audit, BPK wajib segera melaporkan ke penyidik.

Oleh karena itu, menurut UUD 1945 BPK, UU BPK dan UU BPPTJKN tentang tanggung jawab dan kewenangan BPK, berarti BPK-lah yang berhak memutuskan kerugian finansial negara untuk menentukan adanya korupsi. Selain itu, Pasal 10 (1) dan (2) "UU BPK" secara jelas mengatur bahwa dalam kasus kerugian fiskal nasional, bank umum tidak hanya berhak menilai kerugian, tetapi juga untuk menentukan keputusan kerugian nasional aktual dan ditentukan. Berdasarkan teori perolehan kekuasaan, kewenangan BPK untuk menganalisa dan mengaudit sampai pada perkara korupsi merupakan wewenang secara atributif, dari UUD 1945 berlanjut ke UU mengatur BPK.

Melihat Pasal 2 Perpres BPKP yang mengatur, “BPKP mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara / daerah dan pembangunan nasional”. Pasal 3 huruf e menjelaskan BPKP berfungsi:

  • e.    Pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan / atau kegiatan yang dapat menghambat kelangsungan pembangunan audit penyesuaian harga, pemeriksaan gugatan, pemeriksaan penyidikan kasus penyimpangan yang berindikasi kerugian keuangan negara / daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya untuk mencegah korupsi; "

Dalam ketentuan ini diatur bahwa BPKP menjalankan fungsi yang salah satunya adalah melakukan penyidikan terkait penyimpangan berpotensi merugikan negara. Teknis pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1314 / K / D6 / 2012 yang berisi:

  • I.     Pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka penghitungan kerugian

keuangan nasional merupakan pemeriksaan bertujuan khusus, yang bertujuan untuk memberikan pendapat tentang nilai kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh pelanggaran dan untuk mendukung tindakan litigasi;

  • II.    Menurut ketentuan Laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Nasional

(LHPKKN), auditor khusus menganalisa atas besarnya kerugian, hasil pemeriksaan merupakan pendapat pengetahuan profesional.

  • III.    LHPKKN akan menyerahkan surat pengantar (SP) yang ditandatangani oleh unit kerja dengan kode SR (surat rahasia) kepada penanggung jawab lembaga review.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan, BPK dan BPKP memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara. Adanya kemiripan kewenangan tersebut menyiratkan adanya benturan kewenangan antara BPK dan BPKP dalam melakukan penilaian atau pemeriksaan atas kerugian negara dalam perkara korupsi, yang menimbulkan ketidakpastian dalam hal laporan dari instansi mana yang dijadikan dasar pemeriksaan. kerugian keuangan negara yang diduga. Solusi untuk menyelesaikan konflik kewenangan antara BPK dan BPKP, salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan terkait posisi lembaga dalam sistem ketatanegaraan negara dan sumber kewenangan masing-masing lembaga untuk menjawab lembaga mana yang diberi kewenangan atau dimiliki. kewenangan yang lebih besar untuk menilai dan menentukan kerugian.

Penilaian dan penetapan kerugian Negara pada persidangan oleh majelis hakim tipikor yang merupakan ruang lingkup kekuasaan kehakiman, Dimana dalam memeriksa suatu perkara di pengadilan wajib untuk mengedepankan dan mengedepankan objektivitas (persidangan bebas dari intervensi kekuasaan lain) untuk menghasilkan putusan yang seadil-adilnya. Berdasarkan hal tersebut, LHP BPK sebagai lembaga pemeriksa independen harus lebih diutamakan daripada LHP BPKP sebagai lembaga non independen. BPK adalah satu-satunya lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk mengaudit keuangan Negara bersifat independen, mandiri dan tanpa intervensi. Oleh karena itu, BPK yang memiliki kewenangan lebih untuk menilai dan menentukan kerugian Negara, agar hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya karena menggunakan laporan dari organ independen itu sendiri tanpa dipengaruhi atau intervensi pihak berkepentingan.

Hal ini terkait dengan pendapat Dian Puji Simatupang dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 31 / PUU-X / Ahli Uji materi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam uji materi UU 30/2002 pada tahun 2012. saksi konsisten. Jelaskan bahwa BPKP tidak lagi berhak menghitung kerugian negara. Menurut dia, BPK berhak menghitung dan mengaudit kerugian negara. Hal ini dibenarkan oleh "UU BPK". Dia mengatakan, selama presiden dan menteri memiliki izin, BJP bisa melakukan audit. Ia mengatakan, jika BPK dan lembaga lain mengeluarkan hasil audit secara bersamaan, aparat penegak hokum berpedoman pada perhitungan BPK tersebut. Pasalnya, lembaga berhak menghitung dan meninjau kerugian status. Melihat kembali kewenangan BPKP dalam Pasal 3 huruf e Perpres BPKP dan Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1314 / K / D6 / 2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Penyidikan, sebenarnya BPKP itu Wewenangnya hanya sebatas memeriksa atau mengaudit perhitungan kerugian keuangan negara sebagai indikasi adanya penyimpangan. penipuan yang merugikan keuangan negara, dan tidak berwenang. Kewenangan menilai dan menentukan adanya kerugian keuangan negara melalui Keputusan BPK hanya dimiliki oleh BPK berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU BPK. Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) UU BPK, laporan kerugian keuangan negara yang tertuang dalam Keputusan BPK menjadi dasar bagi penyidik untuk memeriksa.

Konflik kewenangan antara BPK dan BPKP mengenai penilaian dan penetapan kerugian keuangan Negara kasus korupsi merupakan wewenang hakim untuk menganalisa di persidangan, untuk menilai dan memutus hasil laporan lembaga mana. Kemudian digunakan untuk menjadi dasar pemeriksaan dalam kasus perkara korupsi. Menanggapi permasalahan tersebut, MA mengeluarkan Sema 4/2016 Pokoknya lihat angka 6 menerangkan “Lembaga yang berwenang menyatakan kerugian keuangan negara adalah BPK yang mempunyai kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lain seperti BPKP / Inspektorat / Satuan Kerja Perangkat Daerah masih berwenang untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan pemeriksaan keuangan negara tetapi tidak berwenang menyatakan kerugian keuangan negara.Dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan jumlah kerugian negara ”.

  • 4.    Kesimpulan

BPK merupakan lembaga independen yang memiliki wewenang untuk menilai dan menentukan kerugian keuangan negara merupakan kewenangan atributif yang bersumber dari Pasal 23E-23G UUD NRI 1945 dan diteruskan UU BPK. BPKP merupakan kewenangan yang dilimpahkan yang bersumber dari Pasal 49 PP 60/2008 yang tugas dan kewenangannya diatur lebih lanjut dalam Perpres BPKP. Merujuk pada hal tersebut, BPK memiliki kewenangan lebih dalam menilai dan menentukan kerugian dalam kasus korupsi, dimana BPK sebagai lembaga independen tentu akan menghasilkan laporan obyektif kerugian keuangan negara, yang kemudian dijadikan acuan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor. Berdasarkan SEMA 4/2016, terlihat dari kewenangan BPK dan BPKP dalam peraturan perundang-undangan. BPKP hanya berwenang memeriksa atau mengaudit perhitungan kerugian keuangan negara sebagai indikasi adanya penyimpangan yang merugikan keuangan negara, sedangkan kewenangan menilai dan menentukan adanya kerugian keuangan negara melalui Keputusan BPK hanya dimiliki oleh BPK. Bahwa berdasarkan hal tersebut diharapkan untuk Majelis Hakim yang menangani kasus tindak pidana korupsi menggunakan

hasil perhitungan dari lembaga nasional yaitu BPK yang memperoleh amanat UUD NRI 1945.

Ucapan Terima Kasih (Acknowledgments)

Terima kasih kepada Dosen Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum. karena telah membantu sumbangsih pemikiran dan nasihat tentang bidang pada makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Daftar Pustaka

Buku

Diantha, I Made Pasek, and M S SH. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2016.

Hadjon, Philipus M, and Titiek Sri Djatmayati. “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta.” Gadjah Mada University Press, 2011.

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Jurnal

Amania, Nila. “Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.” Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum 2,                no.                02                (2016):                311–24.

https://doi.org/https://doi.org/10.32699/syariati.v2i02.1136.

Bardawansyah, Aditya. “The Role Of The Lampung Provincial Financial Audit Agency In Determining State Losses.” Administrative and Environmental Law Review 1, no. 2 (2020): 65–74. https://doi.org/https://doi.org/10.25041/aelr.v1i2.2141.

Ferdian, R Bayu, Mohd Din, and M Gaussyah. “Penetapan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.” Syiah Kuala Law Journal 2, no. 3 (2018): 320–37. https://doi.org/https://doi.org/10.24815/sklj.v2i3.11648.

Koswara, Indra Yudha, and M H SH. “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Perhitungan Potensi Kerugian Keuangan Negara.” Jurnal Ilmiah Hukum DE’JURE: Kajian      Ilmiah      Hukum      4,      no.      1      (2019):      45–62.

https://doi.org/https://doi.org/10.35706/dejure.v4i1.1858.

Paeh, Karel Antonius. “Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berdasarkan Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hubungan Dengan Unsur Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi.” Katalogis 5, no. 2 (2017).

Purwita, Intan Yunasri. “Unsur Kerugian Keuangan Negara Akibat Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 686K/Pid. Sus/2007 a/n Hi. Amir Piola Isa).” Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 2014.

Ramadani, Rizki. “Lembaga Negara Independen Di Indonesia Dalam Perspektif Konsep Independent Regulatory Agencies.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 27, no. 1                                   (2020):                                   169–92.

https://doi.org/https://doi.org/10.20885/iustum.vol27.iss1.art9.

Safitri, Nur Wahyu, Muh Sabaruddin Sinapoy, and Kamaruddin Jafar. “Penetapan Kerugian Keuangan Negara Merupakan Kewenangan BPK Atau BPKP.” Halu Oleo      Legal      Research       1,       no.       2      (n. d.):       219–31.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33772/holresch.v1i2.6179.g4940.

Setiawan, Adam. “Eksistensi Lembaga Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara.” Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 2   (2019):    265–78.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2002.

Sunarto, Sunarto. “Prinsip Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum 45, no. 2 (2016): 157–63.

Yasir, Runi, Faisal A Rani, and Mohd Din. “Kewenangan Menetapkan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.” Syiah Kuala Law Journal           3,           no.           2           (2019):           281–95.

https://doi.org/https://doi.org/10.24815/sklj.v3i2.12167.

Yulistyowati, Efi, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani. “Penerapan Konsep TRIAS POLITICA Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif Atas Undang–Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.” Jurnal Dinamika Sosial Budaya 18, no. 2 (August 9,  2017):  328–38.

https://doi.org/10.26623/JDSB.V18I2.580.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Oleh Presiden, DPA,DPR,BPK,MA Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawsan Keuangan dan Pembangunan

356