Disfungsi Dispensasi Kawin dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Anak
on

Disfungsi Dispensasi Kawin dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Anak
Irma Suryanti1, Dewa Gde Rudy2
1Irma Law Firm, E-mail: irmalawfirm@gmail.com 2Fakultas hukum Universitas Udayana , Email : dewarudy1959@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 18 Maret 2021
Diterima: 26 Desember 2021
Terbit: 31 Desember 2021
Keywords:
Marriage Dispensation; Child
Marriage; Legal Protection
Kata kunci:
Dispensasi Kawin; Perkawinan Anak; Perlindungan Hukum
Corresponding Author:
Irma Suryanti, E-mail: suryantiirma.law@gmail.com
DOI:
10.24843/JMHU.2021.v10.i04.
p09
Abstract
This legal research purposes to examine the dysfunction of marriage dispensation to prevent child marriage. This scientific article uses a socio-legal research method which combine doctrinal legal research methods and empirical legal research methods through statutory approach, conceptual approach, and facts approach. This study results indicate that Law 16/2019 has not been able to prevent child marriage. The court was expected as last effort in preventing child marriage, but in the end failed to carry out its function. The lack of judge’s courage in legal finding efforts causes judges to prioritize legal benefits, however judges neglect to consider the child marriage negative impact, so that the majority of marriage dispensation applications were granted. The urgency of standardizing the marriage dispensation regulation and ratification needed of the Draft Law on the Religious Courts which regulates criminal sanctions and fines for perpetrators of child marriage and the party carrying out child marriage. The demand for the government role as a policy maker to prevent child marriage needs to be maximized, so that society can obey the law in order to avoid the impact of child marriage which will harm children a lot. Apart from the roles of various parties, the role of parents is the main role in preventing child marriage in the child protection update as mandated by Law 23/2002 in conjunction with Law 35/2014.
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji disfungsi dispensasi kawin dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Artikel ilmiah ini menggunakan metode penelitian sosio-legal yang menggabungkan metode penelitian hukum doktrinal dan metode penelitian hukum empiris melalui pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan fakta. Hasil penelitian ini menunjukkan UU 16/2019 belum dapat mencegah perkawinan anak. Pengadilan yang diharapkan sebagai upaya terakhir dalam pencegahan perkawinan anak, namun pada akhirnya gagal menjalankan fungsinya. Minimnya keberanian hakim dalam upaya penemuan hukum menyebabkan penetapan hakim lebih mengutamakan kemanfaatan hukum, namun hakim lalai untuk mempertimbangkan dampak negatif dari perkawinan anak sehingga mayoritas permohonan dispensasi kawin dikabulkan. Urgensi standarisasi regulasi dispensasi kawin dan perlunya pengesahan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama yang mengatur sanksi pidana dan sanksi denda bagi pelaku
perkawinan anak dan pihak yang melangsungkan perkawinan anak tersebut. Tuntutan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan upaya pencegahan perkawinan anak perlu dimaksimalkaan, sehingga masyarakat dapat patuh dan taat pada hukum guna menghindari dampak perkawinan anak yang akan banyak merugikan anak. Terlepas dari peran berbagai pihak, maka peran orang tua adalah peran yang utama untuk mencegah terjadinya perkawinan anak dalam upaya perlindungan anak sebagaimana diamanatkan oleh UU 23/2002 jo UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Jaminan terhadap hak-hak anak di Indonesia telah diatur didalam konstitusi yang berisi anak memiliki hak untuk hidup, berkembang dan hak dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Jaminan ini kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dimana anak “seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dampak negatif perkawinan anak menyebabkan terganggunya tumbuh kembang anak sehingga hak dasar anak tidak terpenuhi. Hal-hal inilah yang kemudian melatarbelakangi terbitnya UU No. 16 Tahun 2019 yang merubah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai batas minimum usia perkawinan perempuan ditingkatkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Bahwa perubahan norma UU Perkawinan yang membatasi usia perkawinan bertujuan untuk penghapusan diskriminasi dalam hak untuk membentuk keluarga dan perlindungan hak anak. Batas usia 19 tahun pada UU 16/2019 dianggap usia matang untuk melakukan perkawinan yang kekal tanpa terjadinya perceraian, demi mendapatkan anak yang sehat sehingga dapat menurunkan risiko kematian ibu dan anak. UU 16/2019 diharapkan dapat memenuhi hak dasar anak untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya serta mendapatkan pendidikan setinggi mungkin dengan pendampingan yang baik dari kedua orang tuanya. Dengan kata lain UU 16/2019 diterbitkan untuk upaya pencegahan lonjakan angka perkawinan anak dan mencegah praktik perkawinan anak.
Faktanya angka perkawinan anak di Indonesia masih menjadi peringkat dua dari seluruh negara anggota ASEAN. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, “BPS mencatat perempuan berstatus kawin sebelum mencapai usia 19 tahun adalah sebesar 11,21% dari total jumlah anak di Indonesia dengan angka perkawinan anak mencapai angka 1,2 juta kejadian”. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa satu dari sembilan perempuan di Indonesia menikah saat usia mereka dikategorikan usia anak. Perkawinan anak tertinggi ditemukan di Kalimantan Selatan sebesar 27,82%. Oleh karena itu Presiden Joko Widodo mengeluarkan mandat untuk upaya pencegahan perkawinan anak dengan target angka penurunan menjadi 8,74% dari semula 11,21%.1
UU 16/2019 belum sepenuhnya dapat mencegah praktik perkawinan anak, bahkan dispensasi kawin telah memberikan peluang untuk menyimpangi batas usia minimum perkawinan melalui ketentuan permohonan dispensasi kawin pada Pengadilan. Dispensasi kawin kemudian dijadikan celah hukum untuk melegalkan perkawinan anak. Adanya ketidaksesuaian fungsi dispensasi kawin dalam undang-undang perkawinan perlu dikaji lebih jauh secara mendetil, mengingat urgensi pencegahan praktik perkawinan anak. Kajian tentang perkawinan anak dapat ditemukan dalam jurnal yang ditulis oleh I Ketut Sudantra dan I Gusti Ngurah Dharma Laksana dengan judul “Di Balik Prevalensi Perkawinan Usia Anak Yang Menggelisahkan : Hukum Negara Versus Hukum Adat”2 dan jurnal yang ditulis oleh Titania Elisa Ginting dan I Ketut Westra dengan judul “Perkawinan Anak Di Bawah Umur Di Lihat Dari Perspektif Hukum Pidana”3. Merujuk hal tersebut, pembahasan dua kajian tersebut tidak mengkaji disfungsi dispensasi kawin mengenai dalam upaya pencegahan perkawinan. Oleh karena itu kajian ini akan membahas lebih lanjut mengenai:
-
a) Bagaimana pengaturan hukum dari praktik perkawinan anak di Indonesia?
-
b) Bagaimana disfungsi dispensasi kawin dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Indonesia?
Bahwa tulisan ini diharapkan dapat memperkaya analisis mengenai problematika pencegahan perkawinan anak ditinjau dari segi hukum Perkawinan dan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Diharapkan tulisan ini dapat mengubah pandangan masyarakat mengenai perkawinan anak dan menjadi landasan untuk pengambilan kebijakan maupun strategi upaya pencegahan perkawinan anak.
Penulisan artikel ilmiah ini menggunakan metode penelitian sosio-legal yang merupakan kombinasi metode penelitian hukum doktrinal dengan metode penelitian hukum empiris dengan meminjam metode ilmu sosial4, melalui pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan fakta (fact approach). Dalam penelitian hukum ini, fokus kajian dan bahasan terdapat pada disfungsi pelaksanaan dispensasi kawin dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Bahan hukum primer meliputi UU 16/2019 jo UU 1/1974 tentang Perkawinan, UU 23/20002 jo UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, dan KHI yaitu Kompilasi Hukum Islam. Bahan sekunder berupa literatur hukum yang relevan. Bahan hukum penunjang adalah bahan-bahan non hukum berupa statistik untuk mengetahui kondisi perkawinan anak dan jurnal dibidang sosial ekonomi budaya yang membahas tentang dampak perkawinan anak. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik penelusuran literatur di perpustakaan dan internet. Bahan-bahan penelitian yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan teknik penalaran dan argumentasi hukum.
Definisi anak berdasarkan UU Perlindungan Anak “seseorang yang belum berusia 18 tahun, dan anak dalam kandungan”. Pasal 7 UU 16/2019 mengatur batas usia perkawinan pria dan wanita yang diijinkan adalah minimal 19 tahun. Oleh karena itu apabila ada calon mempelai pria dan wanita yang usianya belum mencapai batas usia tersebut, maka orang tua calon mempelai wajib meminta dispensasi kawin kepada Pengadilan terlebih dahulu.
Disisi lain Pasal 6 UU Perkawinan menyatakan bahwa ijin orang tua dibutuhkan bagi yang ingin menikah namun usianya belum 21 tahun, dan jika salah satu orang tua sudah meninggal/dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak ijin diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Didalam Hukum Islam hal ini diatur didalam Kompilasi Hukum Islam “kumpulan kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis yang berisi wawasan hakim Peradilan Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah yang diajukan kepada mereka5. KHI mengatur bahwa perkawinan boleh dilangsungkan jika calon mempelai pria dan wanita berumur 19 tahun, dan bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin.
Ketentuan ini secara acontrario dapat diartikan bahwa calon yang ingin menikah belum mencapai berusia 21 tahun tidak diijinkan melangsungkan perkawinan kecuali mendapatkan izin orang tua6, sehingga dapat dimaknai bahwa sesungguhnya usia dewasa seseorang untuk melangsungkan perkawinan tanpa perlu ijin dari orang tua adalah minimal berusia 21 tahun. Namun mengingat adanya UU 16/2019, maka konsep perkawinan anak dalam penelitian ini adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai yang belum menginjak usia 19 tahun.
Faktor penyebab dari perkawinan anak ada bermacam-macam. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Lampung, Semarang, Banyuwangi, Sukabumi, NTB, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara pada 15 Juni- 4 Juli 2014 telah ditemukan faktor yang mempengaruhi perkawinan anak adalah pendidikan, kurangnya pendidikan seks dan reproduksi remaja, kemiskinan, adat istiadat dan perjodohan7 . Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Bangli – Bali, ditemukan fakta bahwa faktor ekonomi keluarga bukan alasan utama terjadinya perkawinan anak, namun faktor pendidikan, status bekerja dan pendapatan juga menentukan. Pelaku perkawinan anak, terutama perempuan biasanya tidak memiliki
penghasilan setelah menyelesaikan pendidikannya, sehingga mereka memilih untuk menikah dini dengan harapan mereka tidak menjadi beban didalam keluarga8.
Apabila ditinjau dari perspektif HAM, maka perkawinan anak khususnya bagi perempuan merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manuasia karena akibatnya anak tidak selesai menempuh pendidikannya, tidak sempurna tumbuh kembang fisik dan mental, adanya kehamilan dan kelahiran di usia muda, serta peningkatan resiko kekerasan seksual. Perkawinan anak juga membatasi akses anak perempuan didalam perekonomian yang membawa dampak perempuan rentan atas kekerasan dalam rumah tangga9.
Apabila ditinjau dari perspektif Hukum Perlindungan Anak, UU 23/2020 jo UU 35/2014 menyatakan tanggung jawab ada pada orang tua untuk mencegah terjadi pernikahan di usia dini. Oleh karena itu seharusnya perkawinan anak dapat dicegah apabila orang tua melakukan perannya dengan baik. Mengingat dampak perkawinan anak pasti membawa akibat hukum, pendidikan, kesehatan, psikologis, perilaku seksual dan dampak sosial yaitu10 : (1) akibat hukum : pelanggaran terhadap UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, (2) dampak pendidikan : menghambat proses pendidikan dan pembelajaran, (3) dampak kesehatan : ketidaksiapan organ reproduksi anak sehingga dapat membahayakan kesehatan anak, (4) dampak psikologis : emosi labil dan pola pikir yang belum matang dapat mengurangi harmonisasi rumah tangga sehingga memicu tingginya risiko perceraian dini, (5) dampak sosial : elemen sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan rawan kekerasan terhadap perempuan.
Meskipun masyarakat telah mengetahui dampak dari perkawinan anak namun pada praktiknya perkawinan anak ini tidak dapat dicegah, terbukti dari banyaknya kasus perkawinan anak yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu terbitlah pengaturan batas usia perkawinan yang hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas tahun) berdasarkan Pasal 7 (1) UU 16/2019. Perubahan norma UU Perkawinan yang membatasi usia perkawinan ini bertujuan untuk penghapusan diskriminasi dalam hak untuk membentuk keluarga sekaligus upaya perlindungan hak anak. Selanjutnya upaya pencegahan dan perlindungan hukum terhadap penyimpangan batas usia bagi anak yang akan melakukan perkawinan diwujudkan melalui aturan permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan sebagaimana diatur didalam Pasal 7 (2) UU 16/2019.
Bahwa permohonan dispensasi kawin bertujuan untuk penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang anak, penghargaan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan
gender, persamaan di hadapan hukum, serta keadilan, kemanfaaatan dan kepastian hukum. Selain itu tujuan dispensasi kawin adalah untuk menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak, meningkatkan tanggungjawab orang tua dalam rangka pencegahan perkawinan anak, bentuk identifikasi mengenai adanya faktor paksaan atau tidak yang melatarbelakangi pengajuan permohonan dispensasi kawin dan untuk mewujudkan standardisasi proses mengadili permohonan dispensasi kawin di Pengadilan. Oleh karena itu aturan dispensasi kawin ini sejatinya adalah bentuk upaya terakhir dari lembaga pengadilan untuk melakukan upaya pencegahan praktik perkawinan anak di Indonesia.
Berdasarkan definisi dari Perma 5/2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, dispensasi kawin adalah pemberian ijin kawin bagi calon mempelai pria / wanita yang tidak genap berusia 19 tahun oleh Pengadilan untuk melakukan perkawinan. Permohonan ijin kawin ini dilakukan oleh orang tua/wali sesuai peraturan perundang-undangan. Permohonan dispensasi kawin diajukan melalui Pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, sesuai dengan agama anak yang akan melangsungkan perkawinan. Dalam hal calon suami dan istri berusia dibawah 19 tahun, maka permohonan tersebut harus didaftarkan kedua calon mempelai pria dan wanita ke pengadilan yang sama dengan domisili salah satu orang tua/wali dari calon mempelai wanita atau pria.
Pengajuan dispensasi kawin harus didasari alasan mendesak dilengkapi dengan bukti pendukung yang relevan. Dalam hal ini alasan mendesak adalah keadaan tanpa pilihan lain menyebabkan terpaksa dilangsungkannya perkawinan. Bukti pendukung yang relevan dan cukup berupa surat keterangan usia calon mempelai pria dan/atau wanita yang masih berada dibawah 19 tahun dan surat keterangan tenaga kesehatan untuk melengkapi pernyataan orang tua sehingga dapat membuktikan perkawinan itu sangat mendesak. Syarat administrasi dari pengajuan dispensasi kawin meliputi surat permohonan, identitas dari kedua orang tua, identitas dari calon mempelai pria dan wanita, serta ijazah pendidikan atau surat keterangan masih sekolah dari sekolah anak.
Pada dasarnya perubahan regulasi UU Perkawinan ditujukan untuk upaya pencegahan atas tingginya angka perkawinan anak yang telah mencapai kondisi darurat di Indonesia. Namun pasca revisi UU 16/2019 ternyata justru menimbulkan peningkatan signifikan angka permohonan dispensasi kawin. Oleh karena itu UU 16/2019 tidak dapat mengatasi tingginya angka perkawinan anak meskipun UU telah menaikkan batas usia calon mempelai pria dan wanita menjadi berusia 19 tahun.
Berdasarkan aplikasi Sistem Informasi Penelusuran (SIPP) Pengadilan Agama, data dispensasi kawin pada beberapa provinsi di Indonesia pada periode Januari-Juni 2020 maka Provinsi Jawa Barat dengan Kabupaten Tasikmalaya mengalami peningkatan dengan menerima permohonan dispensasi sebanyak 396, kemudian disusul Provinsi Jawa Tengah dengan Kota Semarang menerima permohonan dispensasi sebanyak 100, dan Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Kediri menerima permohonan dispensasi sebanyak 82. Peningkatan usia minimum untuk menikah sebagai bentuk upaya meminimalisir hingga penghapusan perkawinan anak menjadi tidak efektif bagai
rumah tanpa pondasi yang kokoh, karena pada fakta pelaksanaannya berdasarkan data tersebut menunjukkan angka permintaan dispensasi kawin yang semakin tinggi dibandingkan sebelum keluarnya UU 16/2019. Ketentuan perubahan batas usia perkawinan menjadi sia-sia dengan adanya aturan penyimpangannya melalui dispensasi kawin yang tetap dimungkinkan menurut undang-undang11.
Fakta diatas menunjukkan bahwa revisi UU Perkawinan ini tidak dapat menggugah kesadaran hukum di Indonesia. Dengan mengamati berbagai penelitian yang ada maka ditemukan berbagai permohonan dispensasi kawin tanpa alasan yang relevan atau tidak ditemukannya urgensi alasan mendesak untuk melakukan perkawinan anak. Masih banyak masyarakat berpikiran bahwa dispensasi kawin merupakan celah untuk dapat melangsungkan perkawinan anak. Dari berbagai putusan atas permohonan dispensasi kawin di laman Mahkamah Agung, dasar alasan pengajuannya sebagian besar sama. Sebagian besar dasar alasan dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin antara lain12: (1) faktor internal anak, seperti anak putus sehingga tidak bersekolah, terjadinya seks dini diluar nikah, dan/atau kehamilan diluar nikah, (2) faktor eksternal anak, seperti khawatir terjadinya maksiat dan/atau pelanggaran ajaran agama, faktor ekonomi, dan faktor budaya atau adat setempat. Selain itu dapat diambil kesimpulan bahwa pengajuan permohonan dispensasi kawin pada Pengadilan Agama sebagian besar disebabkan orang tua yang tidak mau anaknya melanggar aturan agama dan faktor upaya penyembuhan bagi anak yang telah hamil diluar nikah sehingga dikhawatirkan dapat menjadi aib bagi keluarga.
Didalam Perma No.5/2019 permohonan dispensasi kawin diadili oleh hakim dilandasi dasar kepentingan terbaik bagi anak. Hakim harus mendasarkan putusannya pada dasar pembebasan diskriminasi, kesetaraan gender, equality before the laws, keadilan, kemanfaaatan dan kepastian hukum. Hakim dalam persidangan harus memberikan nasihat kepada pemohon, anak, calon mempelai pria atau wanita, dan orang tua calon mempelai suami atau istri. Nasihat yang disampaikan hakim adalah untuk memastikan orang tua, anak, calon mempelai pria atau wanita, dan orang tua calon mempelai pria atau wanita memahami risiko perkawinan anak yaitu adanya kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak, keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun, belum siapnya organ reproduksi anak, berbagai potensi dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak hingga potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga. Nasihat yang disampaikan oleh hakim ini wajib dijabarkan sebagai pertimbangan hakim dalam penetapan. Bahwa apabila hakim tidak memberikan nasihat tersebut dapat mengakibatkan penetapan dispensasi kawin batal demi hukum.
Dari berbagai putusan Majelis Hakim yang diambil secara acak di direktori putusan Mahkamah Agung, dapat diambil empat dasar pertimbangan hakim atas permohonan dispensasi kawin antara lain : Pertama penelitian hakim mengenai berhak atau tidaknya pemohon yang mengajukan dispensasi kawin, Kedua hakim menilai dasar
alasan pada persidangan dimana hakim menanyakan alasan anak kemudian hakim meneliti alasan anak dalam permohonan dispensasi anak untuk menemukan adanya persamaan atau tidak, Ketiga hakim akan menilai adanya halangan atau tidak pada calon suami dan istri sebagaimana diatur didalam UU Perkawinan, Keempat kemaslahatan dan kemudharatan yaitu rata-rata hakim akan mengabulkan permohonan dispensasi kawin apabila terjadi hubungan suami istri diluar perkawinan sehingga menyebabkan kehamilan, dengan pertimbangan apabila tidak dikabulkan maka ada kekhawatiran dosa dan terjadinya perkawinan “siri” sehingga mengacaukan hak hukum anak yang dilahirkannya.
Pertimbangan hakim dalam memutus permohonan dispensasi kawin terbagi menjadi dua yaitu:
-
1) Pertimbangan hukum : bahwa hakim harus menyesuaikan dalil permohonan dan bukti hukum yang ada seperti surat dan pernyataan saksi yang dihadirkan dalam persidangan.
-
2) Pertimbangan Keadilan Masyarakat : bahwa mayoritas hakim berpendapat bahwa pernikahan adalah pilihan solusi terbaik untuk penyelesaian problematika sosial dengan menikahkan anak hamil diluar nikah demi menghindari aib keluarga. Pandangan hakim yang khawatir dengan adanya aib keluarga dan sanksi sosial masyarakat kepada perempuan yang hamil tanpa suami seperti dikucilkan atau dihina. Selain itu hakim ingin memberikan perlindungan hukum kepada bayi tidak berdosa sehingga anak yang akan dilahirkan nanti dapat mendapatkan pengakuan sah secara hukum yang mempunyai hak-hak penuh.
Keabsahan perkawinan anak dimata hukum dan masyarakat dapat terwujud melalui pemberian dispensasi kawin oleh Pengadilan. Faktor kekhawatiran hakim apabila dispensasi kawin ditolak maka terjadi masalah sosial yang lain. Oleh karena itu terjadilah disfungsi pelaksanaan dispensasi kawin dalam upaya pencegahan perkawinan anak, dimana seharusnya Pengadilan sebagai lembaga upaya terakhir yang diharapkan dapat mencegah terjadinya perkawinan anak. Namun pada akhirnya dispensasi perkawinan dijadikan celah hukum dalam melegalkan perkawinan anak di Indonesia. Hal ini dibuktikan dari penemuan data Child Protection Officer UNICEF Indonesia yang membuktikan bahwa mayoritas 90% permohohan dispensasi kawin mendapatkan penetapan di pengadilan di Indonesia.13
Sudah sepatutnya hakim dalam memutus suatu perkara tidak hanya menggunakan perundang-undangan saja sebagai pertimbangan hukum, namun hakim harus mempertimbangkan kultur hukum sebagai dasar hukum dalam putusannya. Hal ini sesuai dengan teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat hukum atau budaya hukum. Bahwa kultur hukum masyarakat Indonesia memandang hubungan suami istri sebelum menikah adalah hal tabu dan tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu ketika sebagian besar permohonan dispensasi kawin dikabulkan maka hal tersebut dianggap bertentangan dengan kultur hukum yang ada dan dikhawatirkan lama kelamaan nilai yang ada pada kultur tersebut bisa
hilang. Oleh karena itu dispensasi kawin sudah sepatutnya ditolak untuk melindungi kultur yang hidup di masyarakat.
Penetapan hakim yang mengabulkan permohonan dispensasi kawin lebih mengutamakan kemanfaatan hukum, namun hakim lalai untuk mempertimbangkan dampak negatif dari perkawinan anak yang dapat memicu tingginya angka perceraian akibat perkawinan anak. Bahwa sudah sepatutnya apabila penetapan hakim harus mengandung tiga unsur yaitu kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Bahwa dengan adanya penolakan permohonan dispensasi kawin yang calon istrinya sudah hamil dapat menjadi pelajaran dan hikmah bagi masyarakat luas sehingga tidak melakukan hal serupa, demi usaha memutus mata rantai kasus permohonan dispensasi kawin dengan alasan kehamilan diluar kawin.
Berdasarkan paradigma hukum progresif yang digagas oleh Prof Dr. Satjipto Rahardjo, maka hakim harus dapat melakukan penafsiran hukum agar hakim tidak terperangkap dengan positivisme hukum dalam penegakan hukum. Sebuah putusan hukum yang dibuat oleh hakim harus mengandung cita hukum yang dapat diwujudkan dalam realita kenyataan di masyarakat. Salah satu hakim yang berani melakukan penemuan hukum baru contohnya adalah perkara permohonan dengan nomor: 0168/Pdt.P/2018/PA.TA., dengan pertimbangan hukumnya antara lain : (1) kekhawatiran ketidakmampuan calon mempelai pria sebagai seorang ayah dan suami, (2) perkawinan bukanlah mengenai pertanggungjawaban atas kehamilan calon mempelai perempuan saja, namun perkawinan merupakan janji atau ikatan yang sangat kuat dan mengandung tugas, kewajiban, hak serta tanggung jawab yang harus ditanggung oleh calon mempelai pria dan wanita untuk mencapai tujuan perkawinan, (3) pelaksanaan perkawinan memerlukan kematangan pola pikir dan tanggung jawab lahir dan batin. Oleh karena itu hakim berpandangan apabila dispensasi perkawinan anak dikabulkan maka hanya akan menimbulkan madharat (celaka) yang lebih besar bagi anak dan istrinya kelak. Dapat disimpulkan bahwa dasar putusan penolakan permohonan tersebut adalah faktor kematangan kedua mempelai baik secara fisik, jasmani dan rohaninya. Selain itu metode penemuan hukum yang paling kuat adalah ketidaksesuaian tujuan perkawinan berdasarkan undang-undang perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penafsiran hukum oleh majelis hakim dengan mempertimbangkan berbagai aspek ini tidak lain adalah berdasarkan pada semangat dan latar belakang dari lahirnya suatu peraturan perundang-undangan yaitu demi mewujudkan suatu kemanfaatan dan keadilan untuk masyarakat dan demi terciptanya masyarakat yang lebih baik. Bahwa dengan adanya penolakan dispensasi kawin tersebut kemudian terjadi penurunan kasus dispensasi kawin yang signifikan dengan dasar alasan hamil diluar kawin. Secara tidak langsung hakim memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa dasar alasan hamil diluar kawin bukanlah alasan mendesak bagi dikabulkannya permohonan dispensasi kawin. Kemanfaatan dengan adanya penolakan hakim atas permohonan dispensasi kawin tersebut adalah masyarakat lebih berhati-hati terhadap pengawasan anak-anaknya.
Sesuai teori hukum progresif sebagaimana dijelaskan diatas, maka putusan pengadilan yang dibuat oleh hakim memiliki peran besar dalam mengubah perilaku dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Terjadinya disfungsi dispensasi kawin
dalam upaya pencegahan perkawinan anak disebabkan oleh mayoritas permohonan dispensasi kawin dikabulkan dan ditetapkan oleh hakim berdasarkan alasan mendesak yang sama. Masyarakat yang berharap untuk mendapatkan izin penetapan pengadilan untuk melakukan perkawinan anak, kemudian menggunakan dasar alasan yang sama seperti penetapan-penetapan yang telah ada sebelumnya. Fakta inilah yang sudah sepatutnya menjadi dasar hakim dalam memberikan penetapan dispensasi kawin.
Kenaikan angka dispensasi kawin ini dipicu oleh permohonan dispensasi kawin yang mayoritas dikabulkan oleh hakim. Tidak adanya standar pertimbangan yang jelas tentang permohonan dispensasi baik dalam UU 16/2019 maupun dalam Perma 5/2019 menyebabkan terjadinya perkawinan anak yang dilegalkan melalui lembaga peradilan. Tidak ada penjelasan tentang alasan yang mendesak dan bukti-bukti yang cukup. mengakibatkan dispensasi kawin dapat dimaknai secara luas dengan berbagai alasan dan latar belakang. Disisi lain pertimbangan hakim adalah satu-satunya penentu terhadap ditolak atau dikabulkannya permohonan bagi anak yang belum mencapai usia perkawinan. Oleh karena itu perlu ada standardisasi dispensasi kawin melalui pembatasan dalam jenis alasan yang diajukan dalam perkara permohonan dispensasi kawin. Dengan adanya pembatasan dasar alasan mendesak tersebut, maka Pengadilan dapat memperketat penetapan dispensasi kawin dan dapat menekan angka permohonan dispensasi kawin serta menekan lonjakan angka perkawinan anak di Indonesia.14 Selain itu dengan adanya aturan dan standar pertimbangan hukum atas dispensasi kawin, maka kepastian hukum dapat dicapai dan hakim mempunyai landasan hukum yang jelas dalam memutus perkara dispensasi kawin. Pengaturan tersebut juga dapat menghasilkan keseragaman pendapat dan pertimbangan hukum yang jelas bagi para hakim di Pengadilan.
Perkawinan anak diindikasi melanggar beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak dan Pasal 288 KUHP. Walaupun sudah ditemukan indikasi pelanggaran pidana namun sampai saat ini belum ada peraturan yang tegas, jelas, tertulis tentang sanksi bagi pelaku perkawinan anak, melainkan dampak perkawinan anak yang dapat dikenakan sanksi pidana.15 Atas perlunya upaya pencegahan perkawinan anak, maka Departemen Agama sedang merancang RUU Hukum Terapan Peradilan Agama dengan sanksi denda mencapai 6 juta rupiah kepada pelaku perkawinan anak dibawah umur dan sanksi pidana berupa kurungan selama 3 bulan dan sanksi denda sebesar 12 juta rupiah bagi penghulu yang melangsungkan perkawinan anak tanpa adanya penetapan dispensasi kawin dari Pengadilan.
Pada dasarnya perumusan regulasi mengenai UU perkawinan dan dispensasi kawin yang disertai sanksi pidana dan sanksi denda bagi pelaku perkawinan anak bukanlah solusi utama untuk menekan tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. Namun permasalahan utama dalam masyarakat adalah moralitas dan seks menyimpang pada remaja akibat kurangnya pendidikan kesehatan seksual. Selain itu masalah kemiskinan
adalah masalah klasik terjadinya perkawinan anak di Indonesia, sehingga masalah tingginya perkawinan anak bukan hanya menjadi tugas para aparat penegak hukum saja melainkan tugas pemerintah yang membuat kebijakan dan penanganan pencegahan perkawinan anak, dan peran serta masyarakat dalam kepatuhan dan ketaatan terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya menghindari dampak perkawinan anak yang tentunya akan lebih banyak merugikan anak. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan perkawinan anak yaitu : (1) perlunya pendidikan kesehatan dan reproduksi seksual untuk remaja yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang tepat kepada remaja akan pilihan seks diluar kawin, (2) perlunya sinergi masyarakat, lembaga pemerintah seperti BKKBN, Puskesmas dll, dan organisasi kemasyarakatan dan agama seperti Paguyuban Gereja, Pengajian, PKK, Komite Sekolah, Asosiasi Perawat/Bidan untuk gencar melakukan sosialisasi pendidikan kesehatan dan reproduksi seksual untuk remaja, (3) penguatan peran tokoh adat dan agama dalam upaya pencegahan perkawinan anak, (4) memberikan pemahaman pada remaja akan pentingnya legalitas perkawinan untuk jangka panjang untuk menghindari adanya perceraian dini.
Meninjau kembali isi pasal 26 UU 35/2014 tegas menyatakan bahwa setiap orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memelihara, mendidik, melindungi anak, serta menumbuhkembangkan anak sesuai kemampuan dan bakatnya. Setiap orang tua juga wajib mencegah perkawinan anak melalui pendidikan karakter dan penanaman budi pekerti pada anak. Pada ketentuan UU tersebut, pihak yang memiliki peran utama terhadap anaknya adalah orang tua sehingga orang tua harus sadar akan kewajiban dan upaya pencegahan perkawinan di usia anak. Pihak yang berperan penting dalam menanamkan nilai budi pekerti pada anak sejak kecil adalah orang tua sehingga anak memiliki karakter yang baik dan dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Orang tua wajib menanamkan budi pekerti dan akhlak yang baik kepada anak-anaknya sejak kecil supaya anak dapat mempunyai kendali atas dirinya sendiri untuk tidak melakukan hal terlarang dan melanggar hukum. Oleh karena itu sudah sepatutnya orang tua berperan dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Indonesia.
Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia melatarbelakangi lahirnya UU 16/2016 yang merubah ketentuan batas minimum usia perkawinan perempuan ditingkatkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Perubahan norma dalam UU Perkawinan ini bertujuan untuk penghapusan diskrimininasi dalam hak untuk membentuk keluarga sekaligus sebagai upaya perlindungan hak anak. Terbitnya aturan dispensasi kawin ke Pengadilan sebagai bentuk upaya terakhir dari lembaga pengadilan dalam upaya pencegahan praktik perkawinan anak di Indonesia. Pada kenyataannya, berdasarkan hasil penelitian ini telah terjadi disfungsi pelaksanaan dispensasi kawin yang ditandai dengan kenaikan angka dispensasi kawin. Banyaknya penetapan hakim yang mengabulkan permohonan dispensasi kawin dikarenakan hakim lebih mengutamakan kemanfaatan hukum, namun hakim lalai untuk mempertimbangkan dampak negatif dari perkawinan anak. Berdasarkan paradigma hukum progresif, sudah sepatutnya hakim harus dapat melakukan penafsiran hukum agar hakim tidak terperangkap dalam positivisme hukum dalam penegakan hukum. Sebuah putusan hukum yang dibuat oleh hakim harus mengandung cita hukum yang dapat
diwujudkan dalam realita kenyataan di masyarakat. Tidak adanya standar pertimbangan yang jelas tentang permohonan dispensasi baik dalam UU 16/2019 maupun dalam Perma 5/2019 menyebabkan terjadinya perkawinan anak yang dilegalkan melalui lembaga peradilan. Oleh karena itu perlu ada standardisasi dispensasi kawin melalui pembatasan dalam jenis alasan yang diajukan dalam perkara permohonan dispensasi kawin. Melalui adanya aturan dan standar pertimbangan hukum atas dispensasi kawin, maka kepastian hukum dapat dicapai dan hakim mempunyai landasan hukum yang jelas dalam memutus perkara dispensasi kawin. Pengaturan tersebut juga dapat menghasilkan keseragaman pendapat dan pertimbangan hukum yang jelas bagi para hakim di Pengadilan.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia.” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Ginting, Titania Elisa, and I Ketut Westra. “Perkawinan Anak Di Bawah Umur Di Lihat Dari Perspektif Hukum Pidana.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, 2018, 1–15.
Ilma, Mughniatul. “Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia Kawin Bagi Anak Pasca Lahirnya UU No. 16 Tahun 2019.” AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam 2, no. 2 (2020): 133–66.
Irianto, Sulistyowati. “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal.” Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.
Judiasih, Sonny Dewi, Susilowati Suparto Dajaan, and Bambang Daru Nugroho. “KONTRADIKSI ANTARA DISPENSASI KAWIN DENGAN UPAYA
MEMINIMALISIR PERKAWINAN BAWAH UMUR DI INDONESIA.” ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 3, no. 2 (2020): 203–22.
Kartikawati, Reni. “Dampak Perkawinan Anak Di Indonesia.” Jurnal Studi Pemuda 3, no. 1 (2014): 1–16.
“KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK.” Accessed December 25, 2021.
https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2569/stop-perkawinan-anak-kita-mulai-sekarang.
Khoiruddin, Nasution. “Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim.” Yogyakarta: Academia-Tazzafa, 2009.
Satria, Rio. “Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Pasca Revisi Undang-Undang Perkawinan.” Mahkamah Agung Republik Indonesia: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Last Modified, 2019.
Sudantra, I Ketut, and I Gusti Ngurah Dharma Laksana. “Di Balik Prevalensi Perkawinan Usia Anak Yang Menggelisahkan: Hukum Negara Versus Hukum Adat.” Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan 7, no. 1 (2019): 56–72.
Wenagama, I Wayan, and Dwi Kartika. “Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Usia Kawin Pertama Wanita Di Kecamatan Bangli.” E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana 5, no. 3 (2016): 44603.
Wildana, Dina Tsalist, and Irham Bashori Hasba. “Perkawinan Anak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” EGALITA 11, no. 1 (2016).
Zulfiani, Zulfiani. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.” Jurnal Hukum Samudra Keadilan 12, no. 2 (2017): 211–22.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin
794
Discussion and feedback