Hak Subrogasi Penanggung dalam Borgtocht

Luh Made Asri Dwi Lestari1, Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 21 Pebruari 2021

Diterima: 25 September 2021 Terbit: 30 September 2021

Keywords:

Authentic Deed; Subrogation Right; Coverage Agreement; Borgtocht.


Kata kunci:

Akta Otentik; Hak Subrogasi; Perjanjian Penanggungan;

Borgtocht.

Corresponding Author:

Luh Made Asri Dwi Lestari, Email: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2021.v10.i03.p09


Abstract

The guarantee agreement (borgtocht) creates legal consequences such as subrogation rights for the guarantor who has borne debtor's debt to creditor. The provisions of Article 1820 of Civil Code and other articles related to borgtocht in other laws and regulations relating to guarantees show that there are no regulations for the protection of subrogation rights that the guarantor obtained in the guarantee agreement in a written agreement, resulting in a vacuum of norm against this matter. The purpose of this reseach is to determine the guarantor’s legal standing in guarantee agreement according to the Indonesian guarantee legal system and the subrogation rights of guarantor in borgtocht. This research uses the normative judicial research method by carrying out legal construction through the argumentum per analogiam method to solve the vacuum of norms, implemented by expanding the meaning of statutory provisions on similar issues and the existence of community interests that demand the same assessment. This research shows that the legal standing of guarantor are implicitly regulated in Articles 1831-1843 Civil Code and based on the argumentum per analogiam method the provisions of the authentic deed formulation in subrogation that occur because the meaning of the agreement is expanded to be applied to this issue, therefore the third parties obtain legal protection for the rights of subrogation that arise, after bearing repayment of debtor's debt.

Abstrak

Perjanjian penanggungan (borgtocht) menimbulkan akibat hukum berupa hak subrogasi bagi penanggung yang telah melakukan penanggungan utang debitur terhadap kreditur. Ketentuan Pasal 1820 KUH Perdata dan pasal-pasal lainnya terkait dengan penanggungan serta pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan lainnya terkait dengan jaminan tidak terdapat pengaturan perumusan hak subrogasi yang diperoleh penanggung dalam perjanjian penanggungan dalam suatu perjanjian tertulis, sehingga terjadi suatu kekosongan norma (vacuum of norm) terhadap persoalan ini. Tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui kedudukan hukum penanggung dalam perjanjian penanggungan menurut sistem hukum jaminan Indonesia dan hak subrogasi penanggung dalam borgtocht. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan konstruksi hukum melalui metode argumentum per analogiam untuk mengatasi kekosongan norma, yaitu perluasan makna ketentuan perundang-undangan terhadap persoalan yang mirip serta adanya kepentingan masyarakat yang

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 10 No. 3 September 2021, 549-562

menuntut penilaian sama. Hasil penelitian menunjukan kedudukan hukum bagi penanggung diatur secara implisit pada Pasal 1831-1843 KUH Perdara serta berdasarkan metode argumentum per analogiam ketentuan perumusan akta otentik pada peristiwa subrogasi yang terjadi karena persetujuan diperluas maknanya untuk diterapkan pada persoalan ini, sehingga pihak ketiga memperoleh perlindungan hukum atas hak subrogasinya yang timbul setelah dilakukannya penanggungan utang.

  • I.    Pendahuluan

Jaminan merupakan sesuatu yang diserahkan debitur selaku pihak yang berutang kepada kreditur selaku pihak yang berpiutang sebagai akibat dari perikatan yang dapat dinilai dengan uang dengan tujuan untuk meyakinkan kreditur terkait pelunasan piutangnya oleh debitur.1 Keberadaan jaminan dalam praktik pembiayaan atau perjanjian utang piutang berperan penting dalam menjamin pelunasan utang debitur terhadap kreditur, sebab keberadaan jaminan dapat memberikan keyakinan dan kepercayaan bagi kreditur untuk menyalurkan pinjaman kepada debitur. Hal ini juga diterapkan dalam lembaga pembiayaan bank dalam kedudukannya sebagai kreditur, sebagaimana yang diatur pada Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998(selanjutnya disebut UU Perbankan), yang menjadikan jaminan sebagai prinsip kehati-hatian bank ketika akan menyaurkan kreditnya.2 Penerapan jaminan pada lembaga pembiayaan maupun pada lembaga keuangan, umumnya berperan sebagai syarat administratif yang sifatnya prefentif terhadap risiko yang dapat terjadi dari penyaluran dana yang akan dilakukan.3

Sistem hukum di Indonesia mengatur adanya dua jenis jaminan yaitu pertama, jaminan kebendaan yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia untuk jaminan benda bergerak dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan untuk jaminan benda tidak bergerak. Selain itu terdapat juga jaminan kebendaan lainnya berupa jaminan gadai yang diatur dalam ketentuan Bab XX tentang Gadai khususnya Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUH Perdata serta hipotek yang diatur dalam Bab XXI tentang Hipotek Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata. Kedua, yaitu jaminan perorangan yang diatur dalam ketentuan Bab XVII tentang Penanggung Utang khususnya pada Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Jaminan kebendaan menurut sistem hukum jaminan di Indonesia disebut juga dengan jaminan materiil, sementara itu jaminan perorangan juga dikenal sebagai jaminan immateriil. 4 Hal ini dikarenakan, jaminan kebendaan ditandai dengan adanya suatu benda yang secara khusus ditunjuk untuk

dijadikan jaminan.5 Di lain sisi, jaminan perorangan juga dikenal dengan jaminan immateriil karena ditandai dengan adanya pihak ketiga sebagai penjamin dalam memenuhi kewajiban debitur selaku pihak yang berutang terhadap kreditur.6

Perjanjian penanggungan yang dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah borgtocht, ditandai dengan adanya pihak ketiga sebagai penanggung (borg) atas pelunasan utang debitur terhadap kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata. Pada pelaksanaannya, perjanjian penanggungan (borgtocht) menimbulkan akibat hukum hak subrogasi bagi penanggung (borg) setelah dilakukannya penanggungan atas utang debitur terhadap kreditur yang diatur dalam Pasal 1840 KUH Perdata. Berdasarkan kriteria yang termuat dalam pasal tersebut hak subrogasi yang lahir akibat perjanjian penanggungan tergolong sebagai peristiwa subrogasi yang timbul karena ketentuan undang-undang, yang diatur pada Pasal 1402 Sub (3) KUH Perdata. Ketentuan pasal ini mengatur bahwa subrogasi yang timbul karena undang-undang ditandai dengan beberapa keadaan, salah satunya yaitu adanya seseorang (pihak ketiga) yang terikat dan berkepentingan untuk melunasi utang orang lain.

Hak subrogasi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian penanggungan tersebut oleh karena tergolong sebagai subrogasi yang timbul karena ketentuan undang-undang, berdasarkan Pasal 1402 KUH Perdata dan pasal-pasal terkait lainnya tidak terdapat pengaturan yang mewajibkan para pihak untuk merumuskan peristiwa tersebut dalam suatu perjanjian tertulis baik melalui akta otentik maupun dalam suatu tulisan di bawah tangan. Berbeda dengan ketentuan Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata yang mewajibkan para pihak untuk merumuskan peristiwa subrogasi yang terjadi karena persetujuan tersebut dalam suatu akta otentik, meskipun pada kedua hal ini terdapat keadaan yang serupa dan kepentingan yang sama, yaitu untuk melindungi hak subrogasi penanggung. Hal ini dapat merugikan pihak penanggung (borg) apabila debitur kembali melakukan wanprestasi terhadap penanggung (borg) dengan tidak adanya bukti yang kuat yang dimiliki oleh penanggung untuk melakukan penuntutan. Mengingat bahwa keberadaan alat bukti tulisan baik berupa akta otentik maupun tulisan di bawah tangan dalam suatu perkara perdata merupakan alat bukti yang utama. Keadaan ini menunjukkan terdapat suatu kekosongan norma terhadap pengaturan peristiwa subrogasi yang terjadi akibat perjanjian penanggungan (borgtocht) pada suatu perjanjian tertulis dalam menjamin terpenuhinya hak subrogasi yang diperoleh penanggung.

Berlatar pada permasalahan yang telah diuraikan tersebut, akan dikaji secara lebih lanjut melalui penulisan penelitian yang berjudul “Hak Subrogasi Penanggung dalam Borgtocht. Penelitian ini berfokus pada dua rumusan masalah yang akan dikaji secara lebih lanjut yaitu pertama, bagaimana kedudukan hukum pihak ketiga dalam perjanjian penanggungan (borgtocht) menurut sistem hukum jaminan di Indonesia dan kedua, bagaimana hak subrogasi yang dimiliki oleh penanggung dalam borgtocht. Penyusunan karya tulis ini tidak lain memiliki tujuan untuk dapat mengetahui serta memahami kedudukan hukum pihak ketiga dalam perjanjian penanggungan (borgtocht) menurut sistem hukum jaminan di Indonesia dan hak subrogasi yang dimiliki oleh penanggung dalam borgtocht.

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 10 No. 3 September 2021, 549-562

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah penulis lakukan, judul dan pembahasan yang termuat dalam tulisan ini memiliki unsur pembaharuan, dengan demikian tidak termuat unsur plagiat didalamnya. Sementara itu, sebagai unsur pembanding terhadap tulisan ini walaupun pada dasarnya tulisan ini telah memiliki pembaharuan dan tidak memuat unsur plagiarisme didalamnya, berikut diuraikan beberapa tulisan yang membahas persoalan serupa.

  • 1.    Jurnal oleh Putra, A.A., Winarno, B., & Kusumadara, A. pada tahun 2014, dengan judul: Perlindungan Hukum Bagi Penjamin Dalam Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) Di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Permasalahan yang dibahas dalam jurnal ini yaitu, pelaksanaan perjanjian penanggungan (Borgtocht) di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Jombang serta bentuk perlindungan hukum bagi penjamin pada perjanjian penanggungan (Borgtocht) di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Jombang.7

  • 2.    Jurnal oleh Pamungkas, P.Y. pada tahun 2012, dengan judul: Perlindungan Hukum Bagi Penjamin Dalam Perjanjian Jaminan Perorangan (Borgtocht) Pada PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk Cabang Samarinda. Pernasalahan yang dibahas dalam jurnal ini ialah terkait dengan perlindungan Hukum Bagi Penjamin Dalam Perjanjian Jaminan Perorangan (Borgtocht) Pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang Samarinda.8

Berdasarkan judul dan permasalahan yang dibahas dalam kedua jurnal tersebut, dapat dipahami bahwa karya tulis ini memiliki unsur pembaharuan, yaitu memfokuskan pada hak subrogasi yang diperoleh penanggung (borg) setelah melakukan penanggungan utang debitur dalam borgtocht. Sementara itu, pada jurnal-jurnal tersebut penelitian di fokuskan pada pengenyampingan hak-hak istimewa penanggung (borg) dalam suatu perjanjian penanggungan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa tulisan ini tidak memiliki unsur plagiat serta terdapat unsur pembaharuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pada bidang pendidikan Ilmu Hukum di Indonesia.

  • 2.    metode penelitian

Permasalahan yang dikaji pada jurnal hukum ini menerapkan jenis penelitian hukum normatif, dengan berfokus terhadap kaidah dan norma yang berlaku dengan obyek penetitian yang dapat berupa asas-asas dan sistematik hukum, serta taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.9 Jenis penelitian ini digunakan karena terdapat kekosongan norma pada pengaturan perumusan peristiwa subrogasi yang terjadi pada perjanjian penanggungan (borgtocht) dalam suatu perjanjian tertulis untuk melindungi hak subrogasi yang diperoleh penanggung (borg). Penelitian ini menggunakan metode

pendekatan statute approach yaitu melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian penanggungan dan peristiwa subrogasi serta conseptual approach melalui konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan permasalahan. Sumber bahan hukum primer pada tulisan ini yaitu peraturan perundang-undangan sesuai dengan topic bahasan yaitu, perjanjian penanggungan serta peristiwa subrogasi, dan bahan hukum sekunder seperti jurnal hukum, karya tulis hukum, buku-buku serta sumber internet yang berkaitan dengan permahasalan dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Metode bola salju (snow ball method) dalam jurnal ini diterapkan sebagai teknik untuk mengumpulkan bahan hukum yang digunakan untuk menunjang penelitian baik primer maupun sekunder. Bahan hukum primer, diterapkan dengan melakukan telaah secara hierarki terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan topik penelitian, kemudian dianalisis untuk diterapkan dalam penyelesaian permasalahan pada penelitian. Pada bahan hukum sekunder metode ini diterapkan melalui pengumpulan bahan hukum sekunder yang termuat dalam literatur yang digunakan dalam penelitian ini kemudian dikaji untuk digunakan sebagai bahan hukum peneiltian ini. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian dianalisis melalui teknik konstruksi melalui metode argumentum per analogiam untuk menemukan dasar hukum dalam menyelesaikan persoalan kekosongan norma pada persoalan ini.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kedudukan Hukum Penanggung dalam Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) Menurut Sistem Hukum Jaminan di Indonesia

Jaminan pada dasarnya bertujuan untuk memberikan suatu keadaan yang lebih baik bagi kreditur.10 Pada suatu perjanjian utang piutang apabila kreditur dan debitur terikat hanya pada jaminan kebendaan sesuai Pasal 1131 juncto Pasal 1132 KUH Perdata, belum dapat memberikan kedudukan yang lebih baik bagi kreditur terkait dengan pelunasan piutangnya. Ketentuan jaminan kebendaan pada Pasal 1131 juncto Pasal 1132 KUH Perdata menunjukan harta debitur pada suatu waktu dapat habis, sementara itu jumlah kreditur yang banyak menimbulkan kemungkinan bahwa tidak seluruh kreditur dapat terpenuhi pelunasan piutangnya oleh debitur. Hal inilah yang mengakibatkan jaminan kebendaan belum sepenuhnya dapat memberikan kedudukan yang lebih baik bagi kreditur.

Sebagaimana yang dikutip dari The Journal of Entrepreneurial Finance dijelaskan bahwa, “…To avoid or minimize any loss due to default, lenders often require both collateral (if available) and a personal guarantee....”.11 Pernyataan tersebut pada intinya memiliki pengertian, untuk menghindari atau mengurangi berbagai kerugian karena gagal bayar, pemberi pinjaman (kreditur) pada umumnya meminta jaminan (jika tersedia) dan jaminan pribadi (perorangan). Maka dari itu, pada umumnya kreditur selaku pihak yang berpiutang meminta untuk diberikan jaminan khusus untuk memberikan

kedudukan yang lebih baik bagi kreditur dalam pelunasan piutangnya, melaui jaminan perorangan (borgtocht) yang juga disebut sebagai personal guarantee.12

Borgtocht merupakan istilah Belanda, dengan kata borg artinya pihak ketiga. Borgtocht (perjanjian penanggungan) sebagai sebuah perjanjian, memiliki perumusan tertentu yang menjadi ciri khasnya yaitu adanya pihak ketiga sebagai penanggung pelunasan utang dari debitur terhadap kreditur. Perjanjian penanggungan (borgtocht) ini berlaku apabila pihak yang berutang yaitu debitur, tidak memenuhi prestasinya terhadap kreditur atau telah dinyatakan wanprestasi. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 1820 KUH Perdata yang memuat unsur-unsur penting dalam perumusan perjanjian penanggungan, yaitu penanggungan merupakan sebuah perjanjian, adanya pihak ketiga (borg) sebagai penanggung, penanggungan dilakukan untuk kepentingan dari pihak kreditur, pihak ketiga (borg) mengikatkan diri dalam memenuhi prestasi dari pihak debitur terhadap kreditur, dan debitur wanprestasi.

  • a.    Penanggungan merupakan sebuah perjanjian

Ketentuan Pasal 1820 KUH Perdata yang mengatur bahwa penanggungan ditandai dengan adanya persetujuan dari pihak ketiga (borg) untuk terikat demi kepentingan kreditur dalam memenuhi perikatan debitur yang wanprestasi terhadap kreditur, menunjukkan bahwa penanggungan merupakan suatu perjanjian. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa peristiwa penanggungan terjadi dengan didahului oleh suatu perjanjian pokok yang mengakibatkan debitur wanprestasi yaitu perjanjian utang piutang, sehingga perjanjian penanggunggan (borgtocht) tergolong dalam perjanjian tambahan (accesoir) dari perjanjian utang piutang.13 Sebagai perjanjian tambahan (accesoir), maka keberadan perjanjian penanggungan (borgtocht) sangat bergantung pada sahnya perjanjian pokok.14

  • b.    Adanya pihak ketiga (borg) sebagai penanggung

Pada perjanjian penanggungan, terjadi dua hubungan hukum yaitu pada perjanjian utang-piutang yang terjadi diantara pihak debitur dan juga kreditur sebagai perjanjian pokok serta tambahannya (perjanjian accesoir) yaitu perjanjian penanggungan dalam menjamin pelunasan utang debitur terhadap kreditur. 15 Pada perjanjian tambahan (accesoir) yaitu perjajian penanggungan (borgtocht), terdapat pihak ketiga (borg) yang berkedudukan sebagai penanggung atas pelunasan piutang kreditur, apabila debitur wanprestasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka hubungan hukum dalam perjanjian penanggungan (borgtocht) terjadi antara kreditur dengan pihak ketiga (borg) yang dalam hal ini pihak ketiga dapat berupa orang perorangan ataupun badan hukum.16

  • c.    Perikatan dilakukan demi kepentingan kreditur

Berdasarkan pemahaman ketentuan Pasal 1820 KUH Perdata tersebut, maka kehadiran pihak ketiga yang terikat dalam menanggung peluasan piutang kreditur ditujukan demi kepentingan dari pihak kreditur. Pada sisi lainnya keberadaan pihak ketiga (borg) sebagai penanggung pelunasan piutang kreditur yang wanprestasi tidak hanya demi kepentingan pihak kreditur namun juga demi kepentingan debitur. Hal ini dikarenakan utang dari debitur berhasil terlunasi dengan adanya penanggungan atas pelunasan utang debitur terhadap kreditur yang dilakukan oleh borg, sementara itu kepentingan kreditur pun juga menjadi terpenuhi dengan adanya borg yang menanggung pelunasan piutang kreditur.

  • d.    Pihak ketiga (borg) mengikatkan diri dalam memenuhi prestasi debitur terhadap kreditur

Ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata pada intinya mengatur bahwa prestasi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini menandakan bahwa prestasi debitur terhadap kreditur dalam perjanjian penanggungan juga dapat berupa perbuatan sebagaimana yang termuat pada pasal tersebut. Prestasi debitur berupa “tidak melakukan sesuatu” sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, tidak dapat ditanggung atau digantikan oleh penanggung (borg). Prestasi debitur dalam perjanjian pokok yang secara pasti dapat dipenuhu pihak ketiga dalam perjanjian penanggungan ialah apabila kewajiban tersebut berupa menyerahkan sejumlah uang tertentu.17

  • e.    Debitur wanprestasi

Pada ketentuan Pasal 1820 KUH Perdata secara implisit diatur bahwa peranan penanggung (borg) dalam perjanjian penanggungan baru terlihat apabila debitur terlah dinyatakan wanprestasi. Penanggung (borg) dalam hal ini selain berkewajiban untuk memenuhi perikatan debitur, juga berkewajiban untuk menanggung ganti rugi yang timbul akibat wanprestasi debitur utama pada perjanjian pokok tersebut.18

Kedudukan penanggung dalam perjanjian penanggungan berkaitan dengan hak, kewajiban, dan perlindungan hukum yang diperoleh penanggung dalam perjajian penanggungan. Kewajiban penanggung dalam perjanjian penanggungan ini tertulis dalam Pasal 1820 KUH Perdata yaitu untuk menanggung pelunasan utang debitur yang wanprestasi, sementara itu hak penanggung dalam perjanjian penanggungan juga berkaitan dengan adanya perlindungan hukum yang diperoleh penanggung dalam perjanjian penanggungan.

Bentuk-bentuk perlindungan hukum pihak ketiga selaku penanggung (borg) pada perjanjian penanggungan (borgtocht) diatur secara implisit pada ketentuan Pasal 1831 – 1843 KUH Perdata yang mengatur tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari perjanjian penanggungan. Beberapa bentuk perlindungan hukum penanggung dalam sistem hukum jaminan di Indonesia secara garis besar meliputi perlindungan bagi penanggung untuk tidak ditagih terlebih dahulu, perlindungan untuk menagih kepada debitur atas apa yang telah ditanggungnya dari debitur, serta perlindungan untuk menuntut ganti rugi dan pembebasan penanggungan utang.

Ketentuan Pasal 1831-1834 KUH Perdata pada intinya memberikan pengaturan secara implisit terkait perlindungan hukum bagi penanggung dalam perjanjian penanggungan untuk tidak ditagih terlebih dahulu. Pasla 1831 KUH Perdata tidak mewajibkan penanggung untuk melakukan penanggungan kecuali debitur telah melakukan wanprestasi. Ketentuan pasal tersebut juga memberikan perlindungan bagi penanggung dengan adanya hak istimewa bagi penanggung sebelum melakukan penanggungan utang debitur agar terlebih dahulu dilakukan penyitaan terhadap barang-barang debitur apabila debitur melakukan wanprestasi.

Perlindungan hukum bagi penanggung dalam perjanjian penanggungan termuat dalam ketentuan Pasal 1839 KUH Perdata yang memberikan hak kepada penanggung untuk menuntut kepada debitur atas apa yang telah ditanggungnya, walaupun perjanjian penanggungan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan debitur. Hak untuk menuntut yang dimiliki oleh penangung ini juga tidak terbatas pada utang pokok namun juga meliputi biaya, kerugian, dan bunga yang ditimbulkan apabila ada.

Penanggung dalam perjanjian penanggungan juga memperloleh perlindungan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1843 KUH Perdata. Pasal ini memberikan hak kepada penanggung untuk melakukan penuntutan atas ganti rugi kepada debitur serta dapat menuntut untuk dibebaskan dari penanggungan utang berdasarkan syarat-syarat yang diatur lebih lanjut pada Pasal 1843 KUH Perdata.

Bentuk perlindungan hukum penanggung untuk menuntut apa yang telah di tanggungnya, sesuai ketentuan Pasal 1839 KUH Perdata tersebut berkaitan dengan ketentuan pasal selanjutnya yaitu Pasal 1840 KUH Perdata. Pasal 1840 KUH Perdata memberikan pengaturan tentang akibat hukum dari perjanjian penanggungan yaitu hak kepada penanggung untuk menggantikan segala kedudukan kreditur lama terhadap debitur yang berarti bahwa penanggung berhak memperoleh pembayaran dari debitur, sebagaimana yang seharusnya dipenuhi debitur terhadap kreditur dalam perjanjian pokok. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa akibat hukum dari perjanjian penanggungan (borgtocht) salah satunya yaitu adanya pergantian kedudukan kreditur lama kepada pihak ketiga untuk menjadi kreditur yang baru bagi debitur. 19 Menurut sistem hukum di Indonesia peristiwa yang digambarkan pada Pasal 1820 KUH Perdata tergolong suatu peristiwa subrogasi.

Subrogasi sesuai dengan Pasal 1400 KUH Perdata merupakan suatu peralihan hak dari kreditur terhadap pihak ketiga setelah melakukan pembayaran terhadap kreditur baik disebabkan oleh persetujuan ataupun ketentuan undang-undang. Kitab UU Hukum Dagang(selanjutnya disebut KUHD) khususnya pada Pasal 284 juga mengatur tentang subrogasi yaitu adanya penanggung setelah membayar barang yang dipertanggungkan padanya, menggantikan kedudukan pihak tertanggung atas segala hak-hak yang timbul terhadap pihak ketiga terkait dengan terbitnya penanggungan tersebut. Maka dari itu, inti dari suatu peristiwa subrogasi ialah merujuk pada pergantian kedudukan kreditur oleh pihak penanggung yang telah membayar piutang tertanggung (kreditur).20

  • 3.2.    Hak Subrogasi Penanggung dalam Perjanjian Penanggungan (Borgtocht)

Perjanjian penanggungan sebagaimana pada Pasal 1820 KUH Perdata diartikan sebagai persetujuan yang ditandai adanya pihak ke tiga yang turut terikat demi kepentingan dari pihak kreditur dalam menanggung perikatan debitur yang telah wanprestasi. Sebagai suatu perjanjian, maka perjanjian penanggungan sesuai dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 Sub (1) KUH Perdata) mengatur adanya kesepakatan para pihak yang mengikatnya. Ketentuan ini menunjukan bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara bebas berdasarkan kesepakatan para pihak dengan demikian, perjanjian penanggungan pun dapat dilaksanakan secara bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, baik dilaksanakan secara tertulis maupun tidak tertulis.

Adanya kepercayaan diantara pihak kreditur dan penanggung sangat memungkinkan suatu perjanjian penanggungan tidak dirumuskan secara tertulis melalui akta otentik maupun tulisan di bawah tangan. Tidak dirumuskannya perjanjian penanggungan secara tertulis mengakibatkan penanggung tidak memiliki suatu bukti yang kuat untuk mempertahankan hak subrogasinya apabila dikemudian hari debitur kembali melakukan wanprestasi. Hak penanggung untuk melakukan penuntutan kepada debitur atas apa yang telah ditanggungnya dari debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1839 KUH Perdata belum dapat menjamin terpenuhinya hak subrogasi yang dimiliki penanggung apabila tidak terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa penanggung telah melakukan penanggungan atas utang debitur terhadap kreditur serta adanya hak subrogasi bagi penanggung yang timbul setelah dilakukannya penanggungan utang tersebut.

Suatu peristiwa subrogasi berdasarkan ketentuan KUH Perdata pada dasarnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu subrogasi yang terjadi karena persetujuan dan subrogasi yang terjadi karena undang-undang. Peristiwa subrogasi yang terjadi karena persetujuan termuat pada Pasal 1401 KUHPerdata, sementara subrogasi karena ketentuan undang-undang diatur pada Pasal 1402 KUH Perdata. Berdasarkan kriteria dalam hak subrogasi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian penanggungan (borgtocht), maka hak subrogasi tersebut tergolong dalam subrogasi yang lahir karena adanya ketentuan undang-undang, sesuai dengan Pasal 1402 KUH Perdata khususnya pada Sub (3). Pasal ini memberikan pengaturan bahwa subrogasi dapat terjadi karena adanya seseorang yang terikat dan memiliki kepentingan untuk melunasi utang orang lain, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa penanggungan (borgtocht) yang diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata. 21

Sebagai subrogasi yang lahir karena adanya ketentuan undang-undang, maka berdasarkan Pasal 1402 Sub (3) KUH Perdata tersebut tidak terdapat pengaturan yang mewajibkan para pihak untuk merumuskan timbulnya hak subrogasi tersebut dalam suatu perjanjian tertulis. Hal ini berbeda dengan subrogasi yang terjadi karena persetujuan pada Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata yang mewajibkan para pihak merumuskan peristiwa subrogasi dalam suatu akta otentik, meskipun kedua peristiwa ini menuntut suatu hal yang sama yaitu adanya perlindungan atas hak subrogasi yang diperoleh penanggung. Keadaan ini mengakibatkan penanggung tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat atas hak subrogasi yang diperolehnya, karena tidak adanya bukti tertulis yang memiliki kekuatan hukum kuat dan mengikat untuk

melakukan penuntutan apabila dikemudian hari debitur kembali melakukan wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya kepada penanggung (borg) yang berstatus sebagai kreditur baru.

Perjanjian tertulis merupakan salah satu bentuk dari alat bukti tertulis yang dalam suatu perkara perdata dikategorikan sebagai alat bukti yang utama. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata bahwa alat pembuktian berupa bukti tertulis merupakan alat pembuktian yang utama dengan empat alat pembuktian lainnya diantaranya bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan juga sumpah. Perikatan yang dirumuskan dalam suatu perjanjian tertulis baik dalam suatu akta otentik ataupun tulisan di bawah tangan dapat menjamin kepastian hukum para pihak didalamnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1867 KUH Perdata.

Keberadaan akta otentik pada dasarnya memiliki kekuatan hukum yang lebih baik dibandingkan tulisan (akta) dibawah tangan, sebab sesuai Pasal 1868 KUH Perdata diatur bahwa akta otentik disusun sesuai dengan ketentuan undang-undang ataupun dibuat dihadapan atau dimuka pejabat umum berwenang. Akta otentik juga memiliki kedudukan yang kuat dalam persidangan, sebab akta otentik memenuhi syarat formil dan juga materiil sebagai suatu alat bukti.22 Hal ini menunjukkan bahwa akta otentik memiliki kekuatan yang melekat padanya, yaitu kekuatan hukum mengikat (bindende bewijskracht) dan sempurna (volledig bewijskracht).23

Sementara itu, keberaadaan tulisan di bawah tangan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1874 KUH Perdata pada dasarnya merupakan suatu akta yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Tulisan di bawah tangan oleh karena dibuat berdasarkan atas kesepakatan diantara para pihak dalam perjanjian tersebut memiliki bentuk yang lebih bebas apabila dibandingkan dengan akta otentik. Namun demikian, keberadaan tulisan di bawah tangan tetap memiliki kekuatan pembuktian selama tidak terdapat suatu penyangkalan atau suatu keadaaan yang dapat membuktikan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam pembuatan suatu tulisan di bawah tangan harus juga dilengkapi dengan saksi-saksi yang cakap hukum untuk dapat memperkuat pembuktian.24

Berdasarkan kedudukan dari suatu alat bukti tertulis sebagai alat pembuktian yang utama, keberadaan perjanjian tertulis dalam perjanjian penanggungan (borgotcht) memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin terlindunginya hak subrogasi yang diperoleh penanggung setelah melakukkan penanggungan pelunasan utang debitur terhadap kreditur. Keberadaan perjanjian tertulis dalam hal ini baik berupa akta otentik maupun tulisan dibawah tangan bertujuan untuk mengikat perjanjian pinjam uang yang dilakukan antara debitur dengan kreditur baru yaitu pihak ketiga yang menanggung pelunasan utang debitur. 25 Tidak adanya pengaturan terkait dengan hal ini menunjukkan terjadinya suatu kekosongan norma terhadap pengaturan

perumusan perjanjian tertulis pada peristiwa subrogasi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian penanggungan (borgtocht) tersebut dalam sistem hukum jaminan di Indonesia.

Berdasarkan unsur-unsur dari Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata yang mengatur tentang subrogasi yang terjadi karena persetujuan dan diprakarsai oleh debitur serta ketentuan Pasal 1820 juncto Pasal 1840 KUH Perdata yang mengatur tentang hak subrogasi yang timbul sebagai akibat dari perjanjian penanggungan (borgtocht), mengandung asas-asas yang bersifat mirip atau analog. Kemiripan ketentuan Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata dengan peristiwa subrogasi yang lahir sebagai akibat dari perjanjian penanggungan yang diatur pada Pasal 1840 KUH Perdata, meliputi:

  • a.    terdapat pihak ketiga;

  • b.    pihak ketiga menanggung pelunasan utang debitur terhadap kreditur;

  • c.    pihak ketiga yang sudah membayarkan utang debitur terhadap kreditur menggantikan seluruh hak yang dimiliki kreditur atas debitur.

Pada metode argumentum per analogiam untuk melakukan konstruksi hukum dalam hal terjadi kekosongan norma, dilakukan perluasan makna terhadap suatu ketentuan perundang-undangan yang mengatur hal yang bersifat analog atau mirip dengan peristiwa konkrit serta terdapat kepentingan masyarakat yang menuntut penilaian sama untuk dilakukannya perluasan makna pada suatu ketentuan perundang-undangan tersebut. Berdasarkan metode tersebut, asas-asas mendasar yang terkandung dalam Pasal 1401 Sub (2) dan Pasal 1840 KUH Perdata menunjukan kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang mirip atau analog. Perbedaannya, pada ketentuan Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata yang mengatur tentang subrogasi yang terjadi karena persetujuan mewajibkan para pihak untuk merumuskan peristiwa tersebut dalam suatu akta otentik, sementara itu pada hak subrogasi yang timbul sebagai akibat perjanjian penanggungan (borgtocht) pada Pasal 1840 KUH Perdata tidak diatur hal serupa.

Pada keadaan ini juga terdapat kepentingan masyarakat yang menuntut penilaian yang sama untuk dilakukan perluasan makna pada Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata terhadap peristiwa subrogasi yang lahir sebagai akibat dari perjanjian penanggungan. Kepentingan masyarakat yang menuntut adanya penilaian yang sama tersebut ialah untuk memberikan perlindungan yang kuat secara hukum bagi penanggung (borg) atas hak subrogasi yang diperolehnya. Mengingat bahwa tanpa adanya alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang utama sebagaimana halnya suatu perjanjian tertulis, hak subrogasi yang diperoleh penanggung (borg) sebagai akibat dari penanggungan utang debitur terhadap kreditur, sesuai dengan ketentuan Pasal 1839 juncto Pasal 1840 KUH Perdata belum memperoleh perlindungan hukum yang kuat.

Berdasarkan metode konstruksi hukum melalui argumentum per analogiam, dengan memperhatikan asas-asas mendasar pada Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata mengandung suatu keadaan yang bersifat mirip dengan ketentuan Pasal 1840 KUH Perdata sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya serta adanya kepentingan masyarakat yang menuntut peniliaian sama yaitu untuk melindungi hak subrogasi penanggung. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dilakukan perluasan makna terhadap ketentuan Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata untuk mengatasi kekosongan norma terkait perumusan peristiwa subrogasi terhadap hak subrogasi yang timbul akibat perjanjian penanggungan yang diatur pada ketentuan Pasal 1840 KUH Perdata

dalam suatu perjanjian tertulis baik dalam suatu akta otentik sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1401 Sub (2) KUH Perdata ataupun dalam suatu tulisan di bawah tangan.

  • 4.    Kesimpulan

Kedudukan hukum penanggung dalam borgtocht dapat dilihat dari kewajiban penanggung untuk menanggung pelunasan utang debitur wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata serta hak bagi penanggung yang diatur secara implisit dalam ketentuan Pasal 1831-1843 KUH Perdata. Hak subrogasi yang diperoleh penanggung dalam borgtocht akan memiliki perlindungan hukum yang kuat untuk mendapatkan pelunasan utang dari debitur dengan merumuskan hak subrogasi yang timbul akibat borgtocht tersebut dalam suatu perjanjian tertulis baik berupa akta otentik maupun tulisan di bawah tangan, mengingat bahwa alat bukti tertulis merupakan alat pembuktian yang utama berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata. Pemerintah bersama dengan lembaga legislatif, sebaiknya menyisipkan pengaturan perumusan peristiwa subrogasi dari perjanjian penanggungan ini dalam suatu perjanjian tertulis pada pasal terkait untuk dapat menjamin terpenuhinya hak subrogasi penanggung, sebagaimana yang diterapkan pada subrogasi yang terjadi karena persetujuan.

Daftar Pustaka

Buku

Brown II, Walter W. Entrepreneurial Finance: Analyzing the Demand for the Personal Guarantee. Anderson University, 2016.

D.Y, Witanto. Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Bandung: Mandar Maju, 2015.

H.S, Salim. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.

Mertokusumo, Sudikno, and Pitlo A. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2020.

Jurnal

Brown II, Walter, and Kent Saunders. “Entrepreneurial Finance: Analyzing the Demand for the Personal Guarantee.” The Journal of Entrepreneurial Finance 22, no. 2 (2020): 1.

Christy, Evie, Wilsen Wilsen, and Dewi Rumaisa. “Kepastian Hukum Hak Preferensi Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kasus Kepailitan.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 22, no. 2 (2020): 323–44.

Dewi, N.W.A.C.A, and I.P.R.A. Putra. “Akibat Hukum Penjamin Yang Melepaskan Hak Istimewa Dalam Perjanjian Penanggungan Yang Dibuat Secara Lisan.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 6 (2020): 933–42.

Dinaryanti, Ayu Riskiana. “Tinjauan Yuridis Legalisasi Akta Di Bawah Tangan Oleh Notaris.” Tadulako University, 2013.

Hidayat, Nurman. “Tanggung Jawab Penanggung Dalam Perjanjian Kredit.” Tadulako University, 2014.

Hukum, Fakultas, Universitas Udayana, Fakultas Hukum, and Universitas Udayana. “PENANGGUNGAN YANG DIBUAT SECARA LISAN” 8, no. 6 (1824): 933–42.

Kartika, I Gusti Ayu, Desak Putu Dewi Kasih, and I Made Sarjana. “Menguji Asas Droit De Suite Dalam Jaminan Fidusia.” Jurnal Magister Hukum Udayana 4, no. 3 (n.d.): 44160.

Lestari, Luh Made Asri Dwi, and Putu Tuni Cakabawa Landra. “Pengaturan Buy Back Guarantee Sebagai Jaminan Terkait Prinsip Kehati-Hatian Bank Dalam Kredit Pemilikan Rumah Bagi Developer.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 3 (2019).

Mukti, Cesari Harnindya. “Kekuatan Hukum Akta Subrogasi Pada Proses Buy Back Guarantee Oleh Developer.” Universitas Brawijaya, 2017.

NK, Nopitayuni. “Subrogasi Sebagai Upaya Hukum Terhadap Penyelamatan Benda Jaminan Milik Pihak Ketiga Dalam Hal Debitur Wanprestasi.” Kertha Semaya: Journal      Ilmu      Hukum      1,      no.      2      (2016):      4–5.

https://doi.org/https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/ 19187.

Pamungkas, Panji Yuda. “Perlindungan Hukum Bagi Penjamin Dalam Perjanjian Jaminan Perorangan (Borgtocht) Pada PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk Cabang Samarinda.” Risalah Hukum, 2012, 57–71.

Putra, Ady Artama. “Perlindungan Hukum Bagi Penjamin Dalam Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) Di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.” Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, no. 1 (2014).

Putra, Ady Artama, Bambang Winarno, Afifah Kusumadara, Bank Negara, Indonesia Persero, Tbk Branch, and Jombang The. “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DI PT BANK NEGARA INDONESIA ( Persero ) Tbk .,” n.d., 1–21.

Sasauw, Christin. “Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris.” Lex Privatum 3, no. 1 (2015).

Suatu, Mengikat, and Akta Notaris. “Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris.” Lex Privatum 3, no. 1 (2015).

Susanti, Susanti. “Pembaharuan Hukum Penanggungan: Studi Perbandingan Dengan Hukum Penanggungan (Borgtocht) Di Belanda.” Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan 6, no. 3 (2018): 377–87.

Wiguna, Ketut Gde Dannu, and I Gede Artha. “Tanggungjawab Induk Perusahaan Sebagai Penanggung (Corporate Guatantee) Anak Perusahaan Dalam Perjanjian Kredit Jika Terjadi Wanprestasi.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, no. 5 (2018): 1–14.

Wlliam, G Victor. “Akta Borgtocht Dalam Perjanjian Kredit.” Jurnal Media Hukum Dan Peradilan 5, no. 1 (2019): 50–61.

Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889).

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 0141/Pdr.P/2017/PA.Clp.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2275 K/Pdt/2016.

562