JURNAL MAGISTER HQgQM UDAYANA (QDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. IONo. IApriI 2021

E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x

http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Antitesis Pemenuhan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Sanksi Adat: Studi Di Desa Tenganan, Karangasem

Ni Nyoman Juwita Arsawati1, Putu Eva Ditayani Antari2

1Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 21 Januari 2021 Diterima : 4 April 2021

Terbit : 9 April 2021

Keywords:

Children's Rights; Victims, Sexual Violence; Customary

Sanctions


Kata kunci:

Pemenuhan Hak Anak;

Korban; Kekerasan Seksual;

Sanksi Adat

Corresponding Author:

Ni Nyoman Juwita Arsawati, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/JMHU.2021.v10.i01.

p09


Abstract

The purpose of this paper is to examine the customary law sanctions that are threatened against perpetrators of sexual violence against children, for example in the people of Tenganan Village, Karangasem-Bali, which are Balinese customary law communities who still adhere to their traditions in the era of modernization and globalization that is developing in Bali. Whether the customary sanctions for perpetrators of sexual violence against children in Tenganan Village, Karangasem-Bali are in accordance with the principle of fulfilling children's rights. This research is a type of normative legal research or what is often called doctrinal research. The approach used in this research is the Legislative Approach, the Conceptual Approach and the Comparative Approach. The result of this paper is that customary sanctions against sexual violence against children that occur in Tenganan Village do not position children as victims of sexual violence. On the other hand, children are placed in a position to participate as perpetrators. The customary sanctions do not provide legal protection and fulfillment of children's rights for child victims of sexual violence.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sanksi hukum adat yang diancamkan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, contohnya pada masyarakat Desa Tenganan, Karangasem-Bali yang merupakan masyarakat hukum adat Bali yang masih memegang teguh tradisinya di era modernisasi dan globalisasi yang berkembang di Bali. Apakah sanksi adat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Desa Tenganan, Karangasem-Bali telah sesuai dengan prinsip pemenuhan hak anak.Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normative yang menggunakan tiga jenis pendekatanantara lain pendekatan Perundang-undangan, Pedekatan Konseptual dan Pendekatan Perbandingan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sanksi adat terhadap kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Desa Tenganan tidak memposisikan anak sebagai korban kekerasan seksual. Sebaliknya anak ditempatkan pada posisi turut serta sebagai pelaku. Dalam sanksi adat tersebut tidak memberikan perlindungan hukum dan pemenuhan hak anak bagi anak korban kekerasan seksual.

  • 1.    Pendahuluan

Anak merupakan anugerah dan tumpuan harapan dari orang tuanya, serta menjadi generasi penerus suatu bangsa. Oleh karenanya tumbuh kembang seorang anak harus dilaksanakan dengan memenuhi hak-hak dasar anak tersebut. Seorang anak hendaknya mendapatkan perlindungan atas harkat dan martabatnya dari lingkungan terdekatnya, agar anak dapat tumbuh menjadi dewasa secara fisik maupun psikologis.

Anak dalam sistem hukum Indonesia memang belum memiliki unifikasi definisi, namun dalam perspektif hukum pidana, anak merupakan individu yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Anak sebagai individu yang memerlukan perlindungan orang dewasa kerap mengalami pelanggaran atas hak-haknya seperti eksploitasi dan kekerasan terhadap anak. Mirisnya hal tersebut sebagian besar dilakukan oleh orang-orang terdekat dan dikenal oleh anak, yang ditunjukkan dengan data yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang menyatakan bahwa 90% (sembilan puluh persen) pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang terdekat.1 Kekerasan terhadap anak tersebut terbagi menjadi kekerasan verbal, kekerasan psikis, dan kekerasan fisik termasuk kekerasan seksual.

Kekerasan seksual terhadap anak menjadi perhatian khusus karena hal ini menjadi fenomena gunung es yang belum sepenuhnya terangkat ke permukaan,2 terutama pelakunya merupakan orang terdekat atau keluarga anak tersebut. Kejahatan seksual terhadap anak meliputi pencabulan, pemerkosaan, penyiksaan seksual, pelecehan seksual, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kehamilan dan lainnya. Kekerasan seksual terhadap anak menurut Finkelhor dan Browne memiliki dampak sebagai berikut:3

  • 1.    Betrayal, yaitu rasa dikhianati yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan anak akibat dari kekerasan seksual;

  • 2.    Traumatic sexualization, yaitu rasa takut melakukan hubungan seksual yang menimpulkan orientasi seksual yang menyimpang di kemudian hari;

  • 3.    Powerlessness merupakan kondisi tidak berdaya akibat rasa takut, sehingga anak menjadi cenderung merasa lemah;

  • 4.    Stigmatization adalah situasi dimana anak merasa malu akan dirinya sebagai korban kekerasan seksual dan memiliki gambaran diri yang buruk.

Seluruh dampak tersebut biasanya akan terakumulasi pada diri seorang anak sebagai korban kekerasan seksual. Ketidakmampuan anak untuk melawan kekerasan seksual terhadap dirinya mengakibatkan anak merasa kehilangan kontrol, rasa bersalah, dan malu atas dirinya. Keadaan diri tersebut juga mengakibatkan anak merasa berbeda dan menjadi marah atas kondisi tersebut, lalu memberi hukuman sebagai pelampiasan dalam bentuk minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang. Hal ini diharapkan

mampu melupakan sejenak kenangan buruk yang terjadi pada dirinya. Melihat besarnya dampak kekerasan dan tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak memaksa pemerintah untuk berlaku represif terhadap pelaku, dengan memberikan ancaman hukuman maksimal atas kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Sanksi ini dalam pandangan Erlinda masih memiliki titik lemah, khususnya dalam penegakan hukum, sehingga kasus-kasus kekerasan tersebut semakin meningkat setiap tahunnya.4

Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kota-kota besar, melainkan juga terjadi di wilayah pedesaan yang masih kental akan hukum adatnya.5 Sehingga menurut hukum adat terdapat pula sanksi yang diancamkan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Sebagai contohnya masyarakat Desa Tenganan, Karangasem-Bali yang merupakan masyarakat hukum adat Bali yang masih memegang teguh tradisinya di era modernisasi dan globalisasi yang berkembang di Bali.

Desa Tenganan Pegringsingan ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Desa Tenganan merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka.6 Desa Tenganan ini sendiri memiliki luas wilayah 9,52 km2 dengan jumlah penduduk di tahun 2016 mencapai 4.627 jiwa yang terbagi menjadi 2.248 laki-laki dan 2.379 perempuan.7 Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Masyarakat desa Tenganan menganut sistem Endogami dalam perkawinan atau yang ingin melaksanakan perkawinan diwajibkan untuk memilih pasangan hidup yang berasal dari wilayah desa atau sukunya sendiri dan juga terdapat beberapa syarat dalam proses pekawinan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan masyarakat yang melanggar ini dikenakan sanksi adat.

Kuatnya daya berlaku hukum adat di Tenganan juga berlaku terhadap kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di desa tersebut. Sanksi tidak hanya diberikan kepada pelaku berupa upacara perkawinan antara pelaku dan korban. Selain itu atas dasar bahwa kesalahan orang tua dalam mendidik anaknya juga turut andil dalam mengakibatkan kekerasan seksual, maka orang tua juga mendapat sanksi adat berupa denda sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) yang wajib dibayar setiap tahunnya dan disaksikan warga desa lainnya. Sanksi menurut hukum adat ini dipandang sudah cukup menjadi ganjaran setimpal atas perbuatan yang telah dilakukan, sehingga tidak lagi dilanjutkan dengan laporan ke pihak Kepolisian.

Pemberlakuan sanksi adat dalam kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Desa Tenganan inilah yang selanjutnya akan dikaji berdasarkan perspektif hak asasi manusia, khususnya pemenuhan hak anak. Selain itu akan dilakukan pula analisis menurut konsep restorative justice dan pertanggungjawaban pidana sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan tulisan ini yang kajiannya berlainan dengan tulisan ini, dianyaranya penelitian yang mengkaji ketidaksetaraan gender menjadi penyebab tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak dan faktor penyebabnya,8 sebab-sebab terjadinya kekerasan seksual yang terjadi pada anak,9 dan motif yang mempengaruhi perilaku seseorang melakukan kekerasan seksual pada seorang anak.10 Berdasarkan atas uraian tersebut ada 2 (dua) permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini, yakni: bentuk perlindungan hukum yang diberikan terkait pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan seksual, dan sanksi adat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Desa Tenganan, Karangasem-Bali telah sesuai dengan prinsip pemenuhan hak anak.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normative atau yang sering disebut penelitian doktrinal. Surjono Sukanto mendefiniskan penelitian hukum normatif sebagai penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian.11 Jenis penelitian ini dipandang sebagai salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran, yaitu dengan melihat peraturan yang ada dengan pelaksanaannya atau kenyataan dalam masyarakat.12 Sementara Arief Sidharta sebagaimana dikutip I Made Pasek Diantha, penelitian hukum normative merupakan ciri khas dari penelitian ilmu hukum yang berfungsi dalam memberikan argumentasi yuridis ketika terjadi kekosongan, kekaburan, dan konflik norma.13

Sementara pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Pendekatan Perundang-undangan, Pedekatan Konseptual dan Pendekatan Perbandingan. Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan cara menginventarisasi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hak-hak anak dan kejahatan seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) hingga peraturan-peraturan lain yang ada di bawahnya. Selanjutnya pendekatan konseptual akan digunakan mengkaji masalah melalui teori pemidanaan, terori perlindungan hukum, konsep restorative justice, dan konsep pemenuhan hak-hak anak. Sementara pendekatan perbandingan akan mengkomparasikan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak menurut hukum nasional dan hukum adat yang berlaku di Desa Tenganan, Karangasem-Bali.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer berupa UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak. Selain itu menggunakan pula bahan hukum sekunder yaitu berbagai buku, jurnal, dan karya ilmiah yang membahas mengenai sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai bentuk perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak anak. Seluruh bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan mengadopsi teknik snowball dan dicatat dalam catatan kecil. Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut selanjutnya dianalisis dan dipaparkan guna mendapatkan kejelasan kesimpulan terkait rumusan masalah, sehingga penelitian ini termasuk penelitian deskriptif analitis.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban dalam Kekerasan Seksual

Kehadiran hukum dalam suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai sesuatu yang pasti dan tidak dapat dielakkan, sehingga keduanya merupakan keterkaitan. Marcus Tullius Cicero bahkan menyatakan ubi societas ibi ius yang bermakna bahwa dalam setiap masyarakat, walaupun kelompok terkecil masyarakat, pasti terdapat suatu aturan hukum. Keberadaan hukum dalam masyarakat ini juga menjadi pencetus lahirnya negara hukum formal yang sering pula disebut dengan Nachtwakerstaat (negara penjaga malam). Hukum dipandang sebagai sarana yang dapat dipergunakan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Namun keberadaan hukum pada negara hukum formil hanya berkaitan dengan sanksi yang dikenakan kepada individu yang telah menggangu keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Hukum tidak digunakan untuk mengatur segala aspek kehidupan individu sebagai upaya pencegahan, melainkan sebagai tindak respresif.

Saat masyarat semakin menyadari keberadaan hukum tidak hanya menciptakan kemanan dan ketertiban melalui sanksi semata, maka lahirnya pemikiran yang disebut dengan negara hukum formil atau sering pula disebut negara hukum kesejahteraan (Welfare State). Negara hukum materiil tidak hanya berfungsi untuk memberikan sanksi kepada masyarakat, namun hukum mulai mengatur setiap aspek kehidupan individu dalam masyarakat. Bahkan hukum diwajibkan untuk mampu menghadirkan kesejahteraan dalam masyarakat. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa dalam hal ini hukum berupaya menyiptakan keamanan dan ketetiban dalam masyarakat melalui upaya-upaya yang bersifat pencegahan (preventif). Baik dalam bentuk preventif maupun represif itulah keberadaan hukum dalam masyarakat berfungsi untuk memberikan perlindungan hukum.

Satjipto Rahardjo mengutip pernyataan Fitz Gerard bahwa perlindungan hukum mempunyai arti bahwa hukum bermaksud mengintegrasikan dan mengkoordinasikan segala kepentingan di masyarakat oleh karena dalam suatu lalu lintas dalam kepentingan, proteksi terhadap kepentingan tertentu hanya bisa dilakukan dengan membatasi berbagai macam kepentingan di pihak lain. Kepentingan hukum adalah berhubungan dengan hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum sebagai otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan masyarakat yang perlu diatur dan diproteksi. Perlindungan hukum memperhatikan tahapan yakni perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum serta segala peraturan mengenai hukum yang diberikan oleh warga masyarakat yang pada hakekatnya merupakan suatu

kesepakatan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatur hubungan tingkah laku antara anggota-anggota warga masyarakat dan antara orang dengan pemerintah yang mewakili suatu kepentingan masyarakat.14 Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan upaya untuk memberikan perlindungan dengan jalan memberikan hak berkuasa kepada pihak-pihak tertentu untuk membentuk hukum yang dapat mengatur perilaku individu dalam masyarakat, semata untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.

Adanya pemberian hak berkuasa kepada pihak tertentu sebagaimana disampaikan oleh Satjipto Rahadjo, tidak pula bermakna bahwa pihak berkuasa dapat leluasa bertindak melainkan juga wajib untuk diatur kekuasaannya menurut hukum. Dengan demikian maka hukum harus dapat mengatur kewenangan pihak berkuasa dan masyarakat yang dilindungi kepentingannya, sehingga dapat tercipta perlindungan hukum yang dicita-citakan. Adapun negara hukum untuk dapat memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan individu-individu dalam masyarakat, menurut Frederich Julius Stahl harus dapat memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:15

  • 1)    Perlindungan hak asasi manusia;

  • 2)    Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasai manusia yang biasa dikenal sebagai TriasPolitika;

  • 3)    Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; dan

  • 4)    Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Selain Satjipto Rahardjo, Muchsin juga mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia. Sependapat dengan hal tersebut, Setiono mendefinisikan perlindungan hukum sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.

Perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada warganya menurut R. La Porta paling nyata ditunjukkan dengan adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) lainnya. Perlindungan hukum berdasarkan sifatnya, dapat dibedakan menjadi perlindungan yang bersifat pencegahan dan perlindungan yang bersifat hukuman. Perlindungan yang bersifat pencegahan dapat ditunjukkan dengan membentuk peraturan, sementara perlindungan yang bersifat hukuman dapat berupa sanksi yang diberikan atas pelanggaran terhadap peraturan guna menegakkan peraturan.16

Wahyu Sasongko selanjutnya memberikan tujuan pembuatan peraturan sebagai sarana pencegahan untuk memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara dan

menjamin hak-hak asasi. Sementara penegakan peraturan melalui sanksi dilakukan dengan melalui:17

  • 1.    instrumen hukum administrasi negara untuk mencegah pelanggaran hak perizinan dan pengawasan;

  • 2.    hukum pidana guna memberikan sanksi pidana dan hukuman terhadap pelanggaran; dan

  • 3.    hukum perdata guna memulihkan hak dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.

Lebih lanjut, Wahyu Simbolon mengutarakan bahwa perlindungan hukum merupakan hubungan antara pemerintah dan warga negara. Perlindungan hukum menjadi hak bagi warga negara, sebaliknya akan menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Perlindungan hukum preventif memberikan kesempatan kepada subyek hukum untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Sehingga tujuan perlindungan hukum preventif adalah mencegah terjadinya sengketa atau perselisihan. Sebaliknya perlindungan hukum represif dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif ini ditunjukkan dengan adanya sarana pengadilan yang ditujukan menyelesaikan sengketa melalui pemberian hukuman atau sanksi.18

Perlindungan hukum yang diberikan kepada korban dalam pandangan Barda Nawawi Arif dapat ditinjau dari 2 (dua) perspektif yaitu:19

  • 1.    perlindungan agar tidak menjadi korban tindak pidana, artinya sebagai upaya pemenuhan tanggung jawab negara atas perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan umum seseorang; serta

  • 2.    perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan berdasarkan hukum atas derita/kerugian yang dialami orang yang menjadi korban tindak pidana, sehingga identic pula disebut sebagai penyantunan korban.

Konsepsi tentang perlindungan hukum terhadap anak inilah yang seharusnya mampu diimplementasikan dalam upaya melindungi hukum anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pemerintah hendaknya mampu memberikan perlindungan preventif melalui peraturan perundang-undangan, serta perlindungan represif dengan adanya ancaman sanksi yang lebih berat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Hal ini dilakukan mengingat dampak masiv yang ditimbulkan terhadap psikologis anak sebagai korban kekerasan seksual.

Kekerasan seksual menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Selanjutnya disingkat Undang-Undang PKDRT) merupakan salah satu jenis kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 8

Undang-Undang PKDRT selanjutnya menguraikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang meliputi:20

  • 1.    pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

  • 2.    pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuktujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Pada bagian penjelasan selanjutnya diuraikan bahwa pemaksaan hubungan seksual tersebut bisa disebabkan karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak wajar dan/atau tidak disukai. Sehingga dalam hubungan suami-istri pun dapat terjadi kekerasan seksual apabila salah satu pihak merasa terpaksa atau tidak suka. Sehingga Renaldi P. Bahewa menyatakan bahwa dimensi yang mencakup kekerasan seksual itu meliputi tindakan yang mengarah pada ajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin.21

Definisi kekerasan seksual juga dapat diperoleh dalam End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional yaitu merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan seksual itu sendiri bisa dalam tindakan perkosaan ataupun pencabulan.22

Serupa dengan beberapa pernyataan sebelumnya Lyness menyatakan kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya.23 Kekerasan seksual tergolong sebagai tindak penganiayaan yang berdasarkan pelakunya dapat digolongkan menjadi familial abuse dan extra familial abuse. Incest merupakan contoh familial abuse, yaitu kekerasan seksual dimana antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya merawat anak. Sedangkan extra familial abuse merupakan kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban.24

Meskipun dilakukan oleh kategori pelaku yang tidak sama, namun kekerasan seksual terhadap anak dominan dilakukan oleh pelaku yang dikenal oleh korban. Pelaku kerap melakukan bujukan dengan iming-iming hadiah atau memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual.

Pelaku yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak disebut dengan Pedophilia. Kekerasan seksual terhadap anak menurut Weber dan Smith berdampak jangka panjang secara psikologis. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari. Ketidakberdayaan korban saat menghadapi tindakan kekerasan seksual di masa kanakkanak, tanpa disadari digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau perilaku seksual bisa dilakukan kepada figur yang lemah atau tidak berdaya.25

Perlindungan hukum terhadap anak secara umum menurut Arif Gosita dapat ditinjau dari dasar filosofis, dasar etis, dan dasar yuridis.26 Dasar filosofis diuraikan bahwa Pancasila merupakan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai pandangan hidup akan menjiwai lahirnya pentingnya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan. Selanjutnya dasar etis bermakna bahwa pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Sementara dasar yuridis dari perlindungan hukum terhadap anak yaitu perlindungan anak harus dilaksanakan secara terintegrasi dari UUD 1945 sampai pada peraturan perundang-undangan lain yang ada di bawahnya dalam susunan hierarki norma hukum negara.

Melihat dampak kekerasan seksual tersebut maka, negara berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak dari kejahatan seksual yang bersifat pencegahan (preventif) dilakukan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak. Keseluruhan peraturan tersebut merupakan lex specialis yang digunakan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dengan sanksi pidana yang lebih berat. Sementara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dipergunakan sebagai lex generalis-nya.

Upaya represif berupa penjatuhan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dilihat pada ketentuan Pasal 81, 81A, 82, dan 82A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Undang-Undang 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Berdasarkan peraturan tersebut terdapat jenis-jenis sanksi sebagai berikut:

  • 1.    Pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun, yang dapat diperberat 1/3 (sepertiga) hukuman dalam kondisi tertentu;

  • 2.    Pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); serta

  • 3.    Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, rehabilitasi, kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik, yang dikecualikan apabila pelaku merupakan anak.

Pidana penjara dapat ditambahkan sepertiga dari hukuman apabila pelaku merupakan orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama. Selain itu penembahan pidana 1/3 (sepertiga) juga dikenakan bagi pelaku yang sebelumnya pernah dipidana atas tindak pidana yang sama. Sementara bagi pelaku yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia dapat dikenakan pidana maksimal (ultimum remidium) berupa pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Bagi pelaku yang telah ditetapkan bersalah dan dipidana penjara akan mendapatkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu pidana tambahan rehabilitasi biasanya ditetapkan oleh hakim bagi pelaku yang dikenakan pidana tambahan kebiri atau pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pidana tambahan diputuskan oleh hakim bersamaan dengan pidana penjara dalam satu putusan. Namun pidana tambahan akan dilaksanakan setelah menjalankan pidana penjara, untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Pelaksanaan pidana tambahan diawasi secara berkala oleh Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, dam Kementerian Kesehatan.

Kebijakan pengenaan pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini dilakukan untuk menimbulkan rasa jera bagi pelaku sekaligus bertujuan mencegah dan menurunkan angka kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Pidana tambahan dipandang sebagai langkah-langkah yang optimal dan komprehensif, disamping menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan menormakan pidana tambahan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan demikian maka sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan perubahan-perubahannya merupakan bentuk perlindungan hukum preventif dan represif yang diberikan negara kepada warganya.

  • 3.2.    Restorative Justice dalam Pemenuhan Hak Anak sebagai Korban Kekerasan Seksual

Pembahasan mengenai upaya perlindungan hukum selalu berkaitan dengan adanya sanksi tegas melalui pidana. Istilah pidana merupakan terjemahan kata straf dalam Bahasa Belanda yang pertama kali dikemukakan oleh Moeljatno. Kata pidana inkonvensional digunakan sebagai terjemahan dibandingkan kata hukuman. Pidana

dimaknai Moeljatno sebagai suatu penderiataan atau nestapa yang sengaja dikenakan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana.27

Roeslan Saleh lalu menyatakan bahwa pidana pada hakikatnya selalu berupa perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. Selain itu pidana juga sudah selayaknya dimaknai sebagai sesuatu yang mampu menghadirkan kerukunan serta sebagai proses pendidikan agar orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan hukum dapat kembali diterima di masyarakat.28

Proses penjatuhan pidana terhadap seseorang yang disebut dengan pemidanaan bukanlah dengan maksud menderitakan atau merendahkan martabat pelakunya. Sebaliknya dalam Pasal 55 ayat (1) Rancangan KUHP 2010, pemidanaan memiliki tujuan yaitu:29

  • 1.    Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

  • 2.    Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

  • 3.    Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; serta

  • 4.    Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Tujuan pemidanaan ini tentunya disesuaikan dengan teori pemidanaan gabungan yang diterapkan guna tetap memperhatikan Hak Asasi Manusia pelaku sewaktu menjalankan hukumannya. Muladi menyatakan bahwa tujuan pemidanaan hendaknya menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang menyatakan keadilan hanya dapat dicapai apabila tujuan yang Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan.30 Terdapat 3 (tiga) teori dasar yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yaitu teori absolut, teori relative, dan teori gabungan.

  • 1.    Teori Absolut, yang sering pula disebut dengan teori retribusi atau teori pembalasan memandang bahwa pidana dijatuhkan pada seseorang semata karena orang tersebut telah terbukti melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Oleh karena itu Imanuel Kant menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan oleh Hakim menunjukkan suatu tuntutan akan keadilan. Lebih jelas lagi Imanuel Kant menyatakan pidana tidak memiliki tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Pidana dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan.31

  • 2.    Teori Relatif atau teori tujuan memandang pidana memiliki tujuan lain demi pemanfaatan, baik kepada pelaku maupun lingkungan sekitarnya, dengan cara mengisolasi atau memperbaiki pelaku yang dapat mencegah kejahatan terjadi lagi di kemudian hari dan mampu menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik.32 Muladi menambahkan pidana dijatuhakn bukan semata-mata karena kejahatan yang dilakukan seseorang, namun juga mencegah agar kejahatan tersebut tidak terulang. Dengan demikian maka ketertiban dalam masyarakat merupakan tujuan utama pidana menurut teori ini.33

  • 3.    Teori Gabungan, yaitu teori yang hadir sebagai kombinasi tujuan pidana menurut teori absolut dan teori relatif. Leden Marpaung menyampaikan pidana dikenakan untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.34 Berdasarkan hal tersebut, maka dalam teori gabungan tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan kepuasan, baik bagi penjahat maupun bagi masyarakat.35 Teori gabungan inilah yang paling popular diterapkan pada era masyarakat modern dan dirasa mampu mempberikan perlindungan hukum kepada masyarakat secara preventif dan represif. Perlindungan secara preventif ditujukan guna mencegah terjadinya kembali tindak pidana, sementara perlindungan secara represif akan memberikan pembalasan atas kejahatan yang dilakukan pelaku.

Teori gabungan terkait tujuan pemidanaan ini selanjutnya mengilhami Albert Eglash untuk mencetuskan istilah restorative justice. Albert mengatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.36 Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.37

Puteri Hikmawati dalam tulisannya merangkum setidaknya 3 (tiga) keunggulan dalam penerapan restorative justice dalam proses pemidanaan. Dimana keunggulan tersebut merupakan prinsip-prinsip umum yang berlaku secara universal yaitu penyelesaian

yang adil, perlindungan yang setara, pemenuhan hak-hak korban.38 Proses peradilan sebagai upaya menyelesaikan sengketa dan memperoleh keadilan menurut Van Ness dan Strong tidak hanya melindungi korban namun harus juga mampu melindungi si pelaku. Oleh karenanya pelaku mengetahui terlebih dahulu tentang prosedural-prosedural pelindungan tertentu ketika dihadapkan pada penuntutan atau penghukuman. Bassioni lalu menambahkan bahwa bentuk perlindungan terhadap pelaku adalah diterapkannya asas presumption of innocence dalam proses peradilan sehingga memungkinkan pelaku untuk mendapatkan persidangan yang adil melalui bantuan hukum.39 Selain itu penyelesaian melalui restorative justice juga mampu meberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang diperoleh melalui proses saling memahami akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, asal bangsa, dan kedudukan sosial lainnya.40

Keunggulan lain dalam restorative justice yang berorientasi pada pemulihan kondisi sebagaimana layaknya sebelum terjadinya kejahatan adalah pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban. Rufinus Hotmaulana Hutauruk menyatakan pada sistem peradilan pidana pada umumnya, ditengarai bahwa korban tidak menerima pelindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.41 Oleh karenanya dalam restorative justice, pemenuhan hak korban diusahakan dengan mempertimbangkan kehidupan yang layak bagi korban guna memulihkan kondisi fisik dan psikologisnya.

Hal-hal tersebut merupakan keunggulan restorative justice yang akhirnya diadopsi dalam proses pemidanaan anak di Indonesia. Restorative justice mewajibkan agara pemenuhan hak-hak anak dapat terlaksana meskipun dalam proses peradilan. Pengadilan tidak boleh bersikap menghakimi, menyelahkan, dan menyudutkan anak yang berhadapan dengan hukum yang akan mampu menimbulkan efek trauma dan stigmatisasi negatif terhadap dirinya. Dampak buruk trauma tersebut akan membekas dalam ingatan anak hingga dia dewasa dan mengganggu psikologisnya.

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual memiliki hak-hak yang pemenuhannya bersifat wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak sebagai korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual, berhak mendapatkan:42

  • 1.    Rehabilitasi baik dalam lembaga maupun luar lembaga;

  • 2.    Upaya perlindungan dan pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi;

  • 3.    Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental, maupun sosial; dan

  • 4.    Pemberian aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Sesuai dengan ketentuan tersebut, Arif Gosita juka menyampaikan bahwa perlindungan kepada korban perlu untuk memperhatikan hak-hak korban yang berhubungan dengan suatu perkara yaitu:43

  • 1.    Korban berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi atas penderitannya sesuai dengan kemampuan si pemberi kompensasi atau restitusi si pembuat korban dalam terjadiya kejahatan dengan likuisensi dan penyimpangan tersebut;

  • 2.    Berhak menolak kompensasi atau restitusi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi karena tidak memerlukannya);

  • 3.    Berhak mendapat kompensasi atau restitusi untuk ahli warisnya apabila si korban telah meninggal dunia karena tindakan tersebut;

  • 4.    Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi;

  • 5.    Berhak mendapat kembali hak miliknya;

  • 6.    Berhak mendapatkan perlindungan dari ancama pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi;

  • 7.    Berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum; dan

  • 8.    Berhak mendapatkan upaya hukum.

Ditinjau dari pengaturan pemenuhan hak anak yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa telah ditetapkan upaya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Perlindungan tersebut menganut konsep teori pemidanaan gabungan dan restorative justice. Pemidanaan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak selain bertujuan untuk melakukan pembalasan dan memberi efek jera bagi pelaku, namun diatur pula upaya untuk mengembalikan kondisi anak sebagaimana sebelum kejahatan seksual itu terjadi. Hal ini sesuai dengan prinsip restorative justice yang menyatakan bahwa keadilan tidak dapat terpenuhi hanya dengan memberi sanksi kepada pelaku, namun sudah sepantasnya memperhatikan aspek pemenuhan hak-hak terhadap korban. Sehingga terhadap anak korban kekerasan seksual wajib mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lain yang sekiranya dapat memulihkan kondisi anak tersebut secara fisik dan psikologis. Selain itu identitas anak juga wajib untuk dirahasiakan untuk mencegah stigmatisasi di masyarakat.

Perlindungan sebagai upaya pemenuhan hak anak sebagai korban kekerasan seksual tentunya tidak semata dapat dilakukan oleh penegak hukum. Penegak hukum memiliki tugas utama untuk menegakkan hukum melalui penjatuhan sanksi yang adil bagi pelaku dan menimbulkan efek jera sehingga tidak mengulangi perbuatan tersebut. Sementara guna melindungi anak sebagai korban kekerasan seksual, penegak hukum wajib melakukan koordinasi dengan dengan lembaga-lembaga negara lainnya

yang mampu memberikan perlindungan terhadap anak. Lembaga-lembaga tersebut sekiranya dapat memulihkan anak dampak-dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual yang terjadi padanya, antara lain Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta organisasi perangkat daerah yang bertugas untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

  • 3.3.    Sanksi Adat dalam Kekerasan Seksual terhadap Anak di Desa Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dapat dilakukan dengan merumuskan sanksi pidana yang berat kepada pelaku kekerasan terhadap anak sebagai sarana preventif dan represif. Namun dengan diterapkannya konsep restorative justice dalam tindak kekerasan yang melibatkan anak, maka keberadaan sanksi pidana tidak cukup. Restorative justice menghendaki adanya upaya pemulihan kondisi dari korban sebagaimana layaknya sebelum terjadinya tindak pidana. Oleh karena itu pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan menjadi hal yang wajib diwujudkan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengenal hukum yang dibentuk oleh pemerintah sebagai hukum positif yang berlaku, namun juga mengakui keberadaan hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUDNRI 1945. Selain itu terdapat pula asas ius curia novit dalam sistem peradilan yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur.44 Dengan demikian maka hakim diharapkan mampu menggali nilai-nilai hukum di masyarakat, yaitu hukum adat yang masih hidup dan berkembang di Indonesia.

Keberadaan hukum adat sebagai hukum yang bersifat kedaerahan dijelaskan dalam pandangan von Savigny. Menurutnya hukum adat merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas penguasa (arbitrary act of a legislator), melainkan hukum adat dibangun dan dapat ditelusuri dalam jiwa masyarakatnya. Hukum merupakan norma yang lahir dari kebiasaan dan selanjutkan ditetapkan melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity).45 Salah satu contoh hukum adat yang mengikat pada masyarakat Indonesia adalah hukum adat Bali. Masyarakat Bali sangat mematuhi aturan hukum adatnya yang dituangkan dalam awig-awig. Bahkan terjadi anomali dimana masyarakat Bali lebih taat kepada hukum adat Bali bila dibandingkan dengan hukum positif Indonesia. Hal ini disebabkan kontrol sosial masyarakat dalam sistem hukum adat berperan dalam penegakannya, dan adanya sanksi sosial dipandang lebih menakutkan dibanding sanksi pidana. Salah satunya adalah sanksi adat yang berlaku di Desa Adat Tenganan, Karangasem-Bali apabila terjadi tindakan pidana yang dikenal dengan hukum pidana adat.

Muladi menyatakan bahwa hukum pidana adat dilandasi falsafah harmoni dan communal morality akan bertentangan dengan asas legalitas (principle of legality). Hukum pidana adat dalam perspektif pembentukan hukum dan penegakan hukum

harus dapat mencakup 4 (empat) prinsip dasar yaitu looking forward, restorative justice, natural crime, dan integrative yang dapat dijabarkan sebagai berikut:46

  • 1)    Penjatuhan pidana tidak semata bertujuan memberi pembalasan;

  • 2)    Pidana harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas, yaitu sudah terjadi dalam delik material atau potensial dalam suatu delik formal;

  • 3)    Hukum pidana adat tidak digunakan bilamana masih terdapat cara lain yang lebih baik dan lebih efektif;

  • 4)    Kerugian karena proses pemidanaan harus lebih kecil dibandingkan akibat kejahatan;

  • 5)    Hukum pidana adat mendapat dukungan masyarakat; dan

  • 6)    Dapat diterapkan secara efektif.

Pada masyarakat Bali yang telah terpengaruh globalisasi, hanya terdapat beberapa wilayah desa adat di Bali yang masih memegang teguh hukum adatnya yang telah ada sejak lama yang dikenal sebagai desa Bali Aga. Salah satu desa Bali Aga yang terkenal akan tradisi dan adat istiadat yang masih dilaksanakan hingga kini adalah Desa Adat Tenganan. Menurut hukum di Desa Adat Tenganan, terdapat sanksi yang mengatur tentang pidana kesusilaan atau kejahatan seksual. Apabila di wilayah desa tersebut terjadi kejahatan seksual, terutama apabila dilakukan oleh pasangan yang belum menikah, maka sanksi sosial yang diberikan adalah pasangan tersebut akan dinikahkan sesuai aturan hukum adat yang berlaku di Tenganan.47 Warga Desa Adat Tenganan terikat pada prinsip pernikahan endogamy yaitu perkawinan pada kelompok masyarakat yang sama. Warga desa tidak diperkenankan untuk menikah dengan orang di luar desa tersebut. Untuk mencegah hal tersebut, maka dalam awig-awig telah ditetapkan sanksi bagi warga yang menikah dengan laki-laki atau perempuan di luar desa adat Tenganan.48

Selain sanksi dinikahkan, terdapat pula sanksi yang dibebankan secara moral kepada orang tua dari pihak wanita yang dikemas dalam tradisi nampah nandan beling. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada Purnama Kapat (purnama keempat menurut kalender Bali). Menurut tradisi tersebut, orang tua pihak wanita yang terlibat kejahatan seksual wajib membayar denda sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) sekali dalam satu tahun, seumur hidupnya. Dengan demikian secara tidak langsung akan menimbulkan sanksi sosial yaitu rasa malu yang ditanggung oleh kedua orang tua anak perempuan tersebut, dan terstigma bahwa orang tua tersebut tidak bisa mendidik anaknya.49 Hal senada juga disampaikan oleh Krisna Widawan bahwa sanksi denda nandan beling bertujuan memberi sanksi moral kepada orang tua. Sebagai orang tua mereka harusnya menjaga anak perempuannya agar tidak melakukan sikap yang

bertentangan dengan aturan (awig-awig) yang telah tersirat dalam lontar. Tradisi ini merupakan salah satu introspeksi diri bagi krama lainnya.50

Berdasarkan sanksi adat yang diatur dalam awig-awig awig Desa Adat Tenganan dapat dilihat bahwa kejahatan seksual yang terjadi di desa tersebut tidak didikotomikan ke dalam kategori-kategori tertentu. Dengan demikian kejahatan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang terjadi di luar ikatan perkawinan sah akan dianggap sama dengan kejahatan seksual yang dilakukan dengan paksaan. Selain itu tidak pula ditemukan perlindungan hukum khusus dalam awig-awig yang diberikan apabila korban dalam kejahatan seksual adalah anak-anak. Sehingga apabila anak yang menjadi korban kekerasan seksual, maka secara hukum adat yang berlaku mereka akan dipaksa untuk menikah dengan pelaku kekerasan seksual.

Sanksi adat yang dijatuhkan tersebut apabila dikaji menunjukkan adanya pertentangan dengan prinsip pemenuhan hak anak dalam rangka perlindungan anak korban kekerasan seksual. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa anak korban kekerasan seksual akan mengalami trauma secara psikologis dan fisik atas tindakan tersebut. Menurut WHO, anak korban kekerasan seksual akan tumbuh menjadi individu yang memiliki tingkat kecemasan tinggi dan depresi karena keadaan emosinya yang terguncang.51 Sementara menurut Khani kekerasan seksual dapat mengakibatkan gangguan perkembangan mental bagi anak, yang mengakibatkan seorang anak menjadi takut dan cenderung menghindari interaksi-interaksi sosial.52 Oleh karena itu sudah selayaknya anak tersebut diberikan rehabilItasi untuk pemulihan kondisi mentalnya.

Undang-Undang Perlindungan Anak menjamin perlindungan hukum dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual, sehingga anak tersebut wajib dilindungi identitasnya dalam proses persidangan, wajib didampingi, dan diberikan bantuan hukum. Selain itu, anak tersebut juga mendapatkan rehabilitasi dengan melibatkan lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan seperti Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban (KPAI), serta organisasi perangkat daerah yang bertugas untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Seluruh perlindungan hukum terhadap anak tersebut tentunya tidak akan dapat terpenuhi melalui sanksi adat yang terjadi di Desa Tenganan. Pernikahan yang harus dilakukan anak akan semakin megganggu perkembangan kejiwaaannya karena saat menikah belum memiliki kedewasaan berpikir dan bersikap. Terlebih lagi anak harus menikah dan tinggal serumah dengan pelaku kekerasan seksual, merupakan hal yang berkebalikan dengan prinsip perlindungan itu sendiri. Anak seharusnya dihindarkan dari pelaku, karena kehadiran pelaku justru menjadi pemicu trauma mental bagi anak.

Selain itu dari perspektif pemenuhan hak anak, maka dengan terikat pada perkawinan akan sulit bagi anak untuk mendapatkan hak-haknya seperti hak untuk tumbuh dan berkembang sewajarnya, serta hak untuk mendapat pendidikan. Tidak akan mungkin bagi anak tersebut untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dalam perkawinan yang dilakukan secara terpaksa dengan pelaku kekerasan seksual. Anak semakin merasa tidak berdaya, takut, dan hilang kendali atas dirinya. Selain itu anak yang menjalani perkawinan akan cenderung mau untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, hingga memutuskan untuk melepaskan pendidikannya. Oleh karena itu maka sudah seharusnya dilaksanakan pembaharuan terkait sanksi adat tersebut sesuai dengan dogma perlindungan hukum dan pemenuhan hak anak yang tertuang dalam instrument hukum nasional khususnya melalui Undang-Undang Perlindungan Anak.

  • 4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka anak korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan hukum dalam bentuk pemberatan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yaitu pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun, yang dapat diperberat 1/3 (sepertiga) hukuman; denda Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan pidana tambahan berupa berupa pengumuman identitas pelaku, rehabilitasi, kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pidana tambahan ini akan dikecualikan apabila pelaku kekerasan seksual tersebut juga masih tergolong anak. Selanjutnya sebagai upaya memulihkan kondisi psikologis anak korban kekerasan seksual, anak juga berhak mendapatkan pendampingan bantuan hukum, perlindungan atas identitasnya, dan rehabilitasi yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga yang berwenang baik di tingkat pusat maupun daerah. Sanksi adat terhadap kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Desa Tenganan tidak memposisikan anak sebagai korban kekerasan seksual. Sebaliknya anak ditempatkan pada posisi turut serta sebagai pelaku. Hal ini nampak dari sanksi agar anak tersebut dikawinkan secara paksa menurut adat yang berlaku di Desa Tenganan. Selain tu, apabila anak tersebut permpuan dan dalam kondisi hamil maka orang tuanya juga turut dikenakan sanksi moral yang disebut nandan beling. Tradisi nandan beling ini berupa denda sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) yang harus dibayar oleh orang tua yang anak perempuannya hamil sebelum perkawinan, setiap tahunnya seumur hidup. Dengan demikian maka dalam sanksi adat tersebut tidak memberikan perlindungan hukum dan pemenuhan hak anak bagi anak korban kekerasan seksual. Dalam kejahatan seksual terhadap anak, anak diposisikan sebagai korban yang merasakan dampak merugikan yaitu ganggungan fisik dan psikologis. Oleh karenanya wajib untuk dilindungi, bukan dihakimi. Ketiadaan prinsip perlindungan hukum dan pemenuhan hak anak dalam sanksi adat di Desa Tenganan dapat diajukan saran kepada pemerintah agar dilaksanakan pembaharuan dan reformulasi sanksi adat terhadap kejahatan seksual yang dilakukan pada anak. Pembaharuan dan reformulasi tersebut wajib menaati upaya perlindungan hukum dan pemenuhan hak anak yang diamanatkan dalam hukum positif Indonesia, khususnya Undang-Undang Perlindungan Anak.

Daftar Pustaka

“90 Persen Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Merupakan Orang Terdekat: Okezone       Nasional.”       Accessed       April       3,       2021.

https://nasional.okezone.com/read/2019/08/03/337/2087270/90-persen-pelaku-kejahatan-seksual-pada-anak-merupakan-orang-terdekat.

Anis, Muhammad. “Perlindungan Anak Terhadap Kekerasan Seksual Di Kota Makassar.” El-Iqthisadi: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Dan Hukum 1, no. 2 (2020): 37–44.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti, 2001.

Arsawati, N.N.J, A.A.A.N. S.R. Gorda, and P.E.D. Antari. “The Philosophical Meaning Of Nyepi Celebration In Bali From The Context Of Maintaining Natural Sustainability And Social Harmony.” International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET) 9, no. 8 (2018): 1250–1254.

Arsawati, Ni Nyoman Juwita, A A A Ngr Tini Rusmini Gorda, I Made Wirya Darma, and Putu Sawitri Nandari. “ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL AKIBAT KETIMPANGAN GENDER.” Jurnal Legislasi Indonesia 16, no. 2 (2019): 237–49.

Bahewa, Renaldi P. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PELECEHAN SEKSUAL MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA.” LEX ADMINISTRATUM 4, no. 4 (2016).

Crosson-Tower, C. Understanding Child Abuse and Neglect. Boston: Allyn & Bacon., 2005.

Ekaputra, Muhammad, and Abdul Kahir. Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru. USUpress, 2010.

Erdianti, Ratri Novita. Kedudukan Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Di Indonesia. Vol. 1. UMMPress, 2019.

Erlinda, M.Pd. Upaya Peningkatan Anak Dari Bahaya Kekerasan, Pelecehan Dan Eksploitasi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2014.

Frensain, I Gusti Ayu Edmisten Vinzy, I Wayan Damayana, and Nyoman Trisna Aryanata. “Psychological Well-Being Warga Perempuan Desa Tenganan Pegringsingan Yang Melakukan Perkawinan Endogami.” JURNAL PSIKOLOGI MANDALA 1, no. 2 (2019).

Hajati, Sri, Ellyne Dwi Poespasari, and Oemar Moechthar. Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia. Airlangga University Press, 2019.

Hakim, Lukman. Penerapan Dan Implementasi Tujuan Pemidanaan Dalam Rancangan KUHP Dan Rancangan KUHAP. Sleman: Deepublish Publisher, 2020.

“Hamil Di Luar Nikah, Terapkan Sanksi Adat, Tenganan Paling Berat.” Accessed April 3, 2021. https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/04/17/65679/hamil-di-

luar-nikah-terapkan-sanksi-adat-tenganan-paling-berat.

Hamzani, Achmad Irwan. “Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya.” Yustisia Jurnal Hukum 3, no. 3 (2014): 137–42.

Hikmawati, Puteri. “Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju Keadilan Restoratif (Criminal Conditional Supervision As A Substitute Of Probation Sentence Towards Restorative Justice).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 7, no. 1 (2017): 71–88.

Hutauruk, Rufinus Hotmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum. Sinar Grafika, 2013.

Indriati, Noer Yuwanto, Krishnoe Kartika Wahyuningsih, S Sanyoto, and S Suyadi. “Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Anak (Studi Tentang Orangtua Sebagai

Buruh Migran Di Kabupaten Banyumas).” Jurnal Mimbar Hukum 29, no. 3 (2017): 474–87.

Jaya, Nyoman Serikat Putra. “Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.” Masalah-Masalah Hukum 45, no. 2 (2016): 123–30.

“LPSK: Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Meningkat Tiap Tahun.” Accessed April

3,   2021. https://news.detik.com/berita/d-4637744/lpsk-kasus-kekerasan-

seksual-pada-anak-meningkat-tiap-tahun.

Maladi, Yanis. “Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen.” Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 22, no. 3 (2010): 450–64.

Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 2002.

Muladi & Arief, B N. “Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana.” Bandung: PT. Humini, 2005.

Mulyadi, Lilik. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoretis Dan Praktik Peradilan: Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan, Dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban Kejahatan. Mandar Maju, 2010.

Noviana, Ivo. “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya.” Sosio Informa 1, no. 1 (2015).

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Reese-Weber, Marla, and Dana M Smith. “Outcomes of Child Sexual Abuse as Predictors of Later Sexual Victimization.” Journal of Interpersonal Violence 26, no. 9 (2011): 1884–1905.

Rostami, Mehdi, Mansour Abdi, and Hassan Heidari. “Study of Various Types of Abuse during Childhood and Mental Health.” Procedia-Social and Behavioral Sciences 159 (2014): 671–76.

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2005.

Suratman, Dillah, and H.Philips. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2013.

Tampubolon, Wahyu Simon. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Ditinjau Dari Undang Undang Perlindungan Konsumen.” Jurnal Ilmiah Advokasi 4, no. 1 (2016): 53–61.

Tuliah, Sabda. “Kajian Motif Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Melalui Modus Operandi Di Lingkungan Keluarga.” Jurnal Sosiatri-Sosiologi 6, no. 2 (2018): 1– 17.

Turner, Sarah, Tamara Taillieu, Kristene Cheung, and Tracie O Afifi. “The Relationship between Childhood Sexual Abuse and Mental Health Outcomes among Males: Results from a Nationally Representative United States Sample.” Child Abuse & Neglect 66 (2017): 64–72.

Wahyu Sasongko, Wahyu. “Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen.” Universitas Lampung, 2007.

Warsito, Dafit Supriyanto Daris. “Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika.” Jurnal Daulat Hukum 1, no. 1 (2018).

Wawancara dengan Kelian Banjar Dinas Desa Tenganan Pegringsingan-Karangasem 14 November 2019 (2019).

Widawan, I Kadek Krisna. “Bias Gender Dalam Pemilihan Prajuru Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Manggis, Karangasem.” Udayana University, n.d.

Wirabudi, Amy. “Terpikat Dobel Ikat: Tenun Gringsing. Indonesia.” EVE MAGAZINE, 2010.

Yulia, Rena. Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Graha Ilmu, 2010.

Yunisa, Nanda. UU Perlindungan Anak, UURI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UURI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2015.

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Lubuk Agung, 2011.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UURI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara No.297 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5606 Tahun 2014

124