Penggunaan Akta Kuasa Menjual Sebagai Jaminan Pelunasan Utang Dalam Peralihan Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah

Rosa Lianda Islami1, Dahlan2, Suhaimi3

1Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: rosalianda118@gmail.com

2Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, E-mail: dahlan_ali@unsyiah.ac.id

3Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, E-mail: pak_emy@unsyiah.ac.id

Info Artikel

Masuk: 14 Agustus 2020

Diterima: 28 Desember 2020

Terbit: 31 Desember 2020


Keywords:

Deed of Authorization to Sell;

Property Rights to Land;

Notary


Kata kunci:

Akta Kuasa Menjual; Hak Milik Atas Tanah; Notaris

Corresponding Author:

Rosa Lianda Islami, E-mail:

rosalianda118@gmail.com

DOI:

10.24843/JMHU.2020.v09.i04.

p12


Abstract

Power of attorney is a statement whereby a person gives authority to another person or legal entity to and on his behalf perform legal acts. The practice of granting power of attorney based on a power of attorney to sell made by a notary is not in accordance with the regulations, as a result the power of attorney used as collateral for debt repayment contains elements of illegal acts. The decisions reviewed in this thesis research are decision number: 69 / Pdt.G / 2018 / PN.Bna and decision number: 70 / PDT / 2017 / PT.BDG. The purpose of this study is to analyze the law of the use of selling deeds as collateral for debt repayment in the transfer of ownership of land rights. This type of research is normative juridical with an invited approach and a case approach. The source of the legal material used is secondary data which is analyzed qualitatively and comes from deductive. The results reveal that whether the deed that sells as collateral for debt repayment in the transfer of ownership of land ownership is in accordance with the regulations.

Abstrak

Kuasa adalah pernyataan dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada orang atau badan hukum lain untuk dan atas namanya melakukan perbuatan hukum. Praktiknya pemberian kuasa berdasarkan akta kuasa menjual yang dibuat notaris tidak berjalan sesuai peraturan perundang-undangan, akibatnya akta kuasa menjual yang digunakan sebagai jaminan pelunasan utang mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Adapun putusan yang dikaji dalam penelitian tesis ini yaitu putusan nomor: 69/Pdt.G/2018/PN.Bna dan putusan nomor : 70/PDT/2017/PT.BDG. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis akibat hukum dari penggunaan akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan utang dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah. Jenis penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa apakah akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan

utang dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  • 1.    Pendahuluan

Hukum romawi kuno memberlakukan “suatu asas yang mengakibatkan suatu perbuatan hukum hanya berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan hukum itu sendiri dan hanya dapat mengikat dirinya sendiri dengan segala akibat hukum dari perbuatannya”. 1 Berkembangnya kebutuhan di masyarakat, hukum romawi melepaskan prinsip dasar tersebut, dan seseorang yang melakukan perbuatan hukum untuk memperoleh suatu hak dapat mengangkat orang lain untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum, yang disebut lembaga perwakilan. Dalam hukum negara Prancis lembaga perwakilan semakin berkembang baik berupa “pemberian tugas, pemberian wewenang, dan pernyataan pemberian kuasa yang semuanya itu diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan satu perkataan, yakni kuasa”. 2

“Kuasa adalah pernyataan dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada orang atau badan hukum lain untuk dan atas namanya melakukan perbuatan hukum”. Maksud “atas nama” yaitu “suatu pernyataan bahwa yang diberi kuasa berwenang untuk mengikat pemberi kuasa secara langsung dengan pihak lain, sehingga perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri”. Penerima kuasa berwenang bertindak seolah-olah dia adalah orang yang memberikan kuasa itu. 3 Kuasa sebagai kewenangan mewakili untuk melakukan tindakan hukum dari si pemberi kuasa dalam bentuk tindakan hukum sepihak, berkewajiban untuk melaksanakan prestasi pada satu pihak saja, yaitu penerima kuasa.4

Pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata dan pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa (Pasal 1795 KUH Perdata). Syarat sahnya pemberian kuasa diberikan secara formil, dirumuskan dalam Pasal 1793 KUH Perdata bahwa: “kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat maupun dengan lisan”.

Pemberian kuasa dalam bentuk akta notaris lahir karena adanya perikatan yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Dalam pembuatan akta, seorang notaris harus mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi: untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Disamping Pasal 1320 KUH Perdata, dalam pembuatan perjanjian berlaku asas

kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pembatasan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi “suatu sebab adalah terlarang, apabila oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Salah satu bentuk pemberian kuasa yang dibuat oleh notaris adalah akta kuasa menjual. Praktiknya akta kuasa menjual yang dibuat oleh notaris tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal demikian dalam kehidupan sehari-hari nyatanya sering menimbulkan suatu permasalahan antara si pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Notaris juga dalam menjalankan jabatannya seharusnya bertindak jujur, amanah, seksama, mandiri sesuai Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris selanjutnya disebut UUJN-P yakni: “Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.

Notaris seharusnya apabila berhadapan dengan para pihak berhak memberikan penyuluhan hukum agar perbuatan hukum yang dibuat para pihak tidak merugikan salah satu pihak, ketentuan ini diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN-P yaitu: “memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta”. Berkembangnya kebutuhan di masyarakat membuat notaris dihadapkan dengan berbagai persoalan. Seperti halnya akta kuasa menjual dalam putusan berikut ini:

  • a.    putusan nomor 69/Pdt.G/2018/PN.Bna, akta kuasa menjual nomor 2 yang dibuat oleh notaris Ika Susilawati, S.H, M.Kn, tertanggal 5 November 2015. Terkait permasalahan dalam kasus ini, utang piutang yang dilakukan oleh H. Amir Faisal kepada Abdul Yassak menggunakan jaminan sertifikat hak milik atas nama istrinya Hj. Dara Sofia tidak sesuai dengan kesepakatan di awal karena dibuat dalam bentuk akta kuasa menjual yang dibuat dihadapan notaris Ika Susilawati, S.H, M.Kn.

  • b.    putusan nomor 70/PDT/2017/PT.BDG, akta kuasa menjual nomor 13 tanggal 24 September 2014 dan 16 tanggal 25 September 2014 yang dibuat oleh notaris Ardiansyah, S.H, M.Kn, notaris Cianjur. Notaris yang membuat akta kuasa menjual sebagai dasar peralihan hak dari debitor ke kreditor karena adanya utang debitor merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Pembuatan akta kuasa menjual tersebut mengandung unsur pemaksaan dan tidak ditanda tangani di hadapan notaris.

Berdasarkan permasalahan diatas, akta kuasa menjual yang dibuat dihadapan notaris seharusnya pemberian kuasa dibuat demi mewakili kepentingan si pemberi kuasa, berkembang menjadi pemberian kuasa demi mewakili kepentingan si penerima kuasa. Pemberian akta kuasa menjual tersebut telah menyebabkan akta kuasa menjual dijadikan dasar dalam hal debitor wanprestasi kepada kreditor, dan kreditor yang memberi utang kepada debitor dengan mudahnya membuat akta jual beli untuk balik nama berdasarkan akta kuasa menjual tersebut.

Akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan utang menjadi pilihan kreditor dalam melakukan perjanjian dibandingkan dengan melalui lembaga hak tanggungan. Untuk itu, menarik untuk membahas lebih lanjut tentang bagaimana akibat hukum dari

penggunaan akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan utang dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah.

Tujuan penelitian ini untuk untuk menganalisis akibat hukum dari penggunaan akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan utang dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier5 yang berkenaan dengan akta kuasa menjual dan utang piutang dengan jaminan berupa objek tanah yang sesuai peraturan perundang-undangan, hukum perdata, hukum agraria, UUHT, jurnal hukum dan putusan peradilan yang kemudian seluruhnya dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif yang menganalisis norma hukum, asas hukum dalam peraturan perundang-undangan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Akta Kuasa Menjual Sebagai Jaminan Pelunasan Utang Dalam Peralihan Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah

  • 3.1    Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Kuasa Menjual

Ketentuan mengenai kuasa diatur dalam Pasal Bab ke 16 (enam belas) dalam Buku III KUH Perdata, untuk memahami pengertian kuasa dapat di telaah dari Pasal 1792 KUH Perdata yang menyatakan “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Maksud dari menyelenggarakan suatu urusan ditinjau dari sisi yuridis yang berarti bahwa melakukan sesuatu perbuatan hukum akan mempunyai akibat hukum tertentu. Sedangkan maksud untuk atas namanya adalah terdapat seseorang yang mewakili kepentingan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. 6 Dengan demikian sifat dari pemberian kuasa adalah mewakilkan atau perwakilan.

Umumnya pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak dengan arti bahwa kewajiban melaksanakan prestasi atau suatu perbuatan hukum hanya kepada pihak penerima kuasa saja.7 Dan pada pemberian kuasa ini terjadi dua hal bersamaan yaitu : “adanya pernyataan kehendak dari kedua belah pihak bahwa yang satu memberikan perintah dan yang lain menerima perintah itu dan adanya pernyataan sepihak dari pemberi perintah (kuasa) bahwa ia menghendaki agar diwakilkan oleh si penerima kuasa”.

Pembuatan kuasa khususnya kuasa menjual oleh pemberi kuasa dengan penerima kuasa dapat dilakukan dalam bentuk surat di bawah tangan dan dengan akta autentik yang dibuat oleh notaris. Dasar hukumnya adalah ketentuan Pasal 1867 KUH Perdata yang menyatakan “pembuktian dengan bentuk tulisan yang dilakukan dengan tulisan autentik maupun dengan tulisan di bawah tangan”.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta dapat mengesahkan surat dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak. Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) a UUJN-P yang menyatakan: Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

Ketentuan ini menjelaskan bahwa notaris menjamin kepastian tanggal surat di bawah tangan dan kepastian tanda tangan para pihak dalam surat tersebut biasanya disebut Legalisasi. 8 Tanggung jawab notaris terhadap surat di bawah tangan yang di legalisasi adalah

  • a.    tanggung jawab atas kebenaran identitas para pihak, apakah benar cakap melakukan perbuatan hukum, memastikan bahwa benar para pihak yang memang berwenang untuk menandatangani surat di bawah tangan tersebut.

  • b.    tanggung jawab atas isi surat di bawah tangan, notaris menanyakan apakah benar isi surat di bawah tangan tersebut merupakan kehendak para pihak dan tanpa paksaan, memastikan tidak ada perbuatan hukum dalam isi surat tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

  • c.    tanggung jawab atas kebenaran tanda tangan para pihak yang ditandatangani di hadapannya.

  • d.    tanggung jawab atas kebenaran tanggal dibuat di hari pada saat penandatanganan surat di bawah tangan, yang kemudian dibukukan ke buku daftar legalisasi.

Kewenangan notaris lainnya terhadap surat di bawah tangan terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) b UUJN-P yang menyatakan: Notaris berwenang membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan ini disebut sebagai waarmerking bahwa para pihak sudah menandatangani surat di bawah tangan sebelum mendatangi notaris untuk di daftarkan ke dalam buku khusus. Ciri dari waarmerking adalah tanggal surat di bawah tangan berbeda dengan tanggal pada saat didaftarkan di notaris.9

Kewenangan notaris dalam waarmerking hanya sebatas mendaftarkan surat di bawah tangan ke dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris, notaris membubuhkan tanda tangan di bagian bawah surat dengan keterangan: “ditandai dan dimasukkan kedalam Buku Daftar yang disediakan untuk keperluan itu, pada hari…, tanggal….”. Sedangkan tanggung jawab notaris terhadap surat di bawah tangan yang di waarmerking adalah tanggung jawab atas kebenaran surat di bawah tangan tersebut

telah didaftarkan dikantor notaris, diberi nomor dan dimasukkan ke dalam buku khusus. Notaris tidak bertanggung jawab atas isi surat di bawah tangan.10

Kewenangan notaris terhadap surat di bawah tangan berbeda dengan kewenangannya dalam membuat akta autentik. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan: akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Sedangkan pengertian akta autentik menurut Pasal 1 angka 7 UUJN-P menyebutkan “akta notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang”.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam akta autentik agar dapat memenuhi otentisitas suatu akta sebagai berikut:

  • a.    Akta tersebut dibuat oleh pejabat umum yang tunjuk oleh undang-undang.

  • b.    Pejabat umum tersebut mempunyai kewenangan untuk membuat akta.

  • c.    Akta tersebut dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang dan memenuhi syarat sah perjanjian (1320 KUH Perdata).

Akta kuasa menjual sebagai akta autentik yang dibuat oleh notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai berikut:

  • a.    Kekuatan Pembuktian Lahiriah

Merupakan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta autentik. Akta autentik membuktikan sendiri keabsahannya maksudnya adalah suatu akta yang memenuhi syarat dan memiliki bentuk seperti akta autentik. Akta tersebut berlaku seperti aslinya sampai ada pembuktian sebaliknya. 11 Dengan kekuatan pembuktian lahiriah akta autentik, maka persoalan pembuktiannya hanyalah mengenai keaslian tanda tangan pejabat dalam akta. Menurut Pasal 138 RiB/164 RDS (Pasal 148 KUHPerdata), pembuktian sebaliknya oleh pihak lawan hanya diperkenankan dengan memakai surat, saksi- saksi dan ahli.

Kekuatan pembuktian lahiriah suatu akta autentik merupakan pembuktian yang lengkap, berlaku terhadap setiap orang dan tidak terbatas kepada para pihak saja. Sebagai alat bukti. Keistimewaan akta autentik (akta pejabat maupun akta para pihak) terletak pada kekuatan pembuktian lahiriahnya. Akta notaris bentuk lahiriah yang sempurna, berlaku dan mengikat terhadap setiap orang sebagai suatu akta autentik, oleh karena ia dibuat dan ditanda tangani oleh pejabat negara yang berwenang untuk itu. Kekuatan pembuktian lahiriah tidak ada pada akta di bawah tangan (1875 KUH Perdata).12

  • b.    Kekuatan Pembuktian Formal

Maksudnya adalah dari akta autentik tersebut dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan oleh para pihak dalam akta autentik merupakan

kehendak para pihak. Kekuatan pembuktian formal dalam akta autentik menjamin kepastian tanggal dan kebenaran tanggal, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta, para pihak dalam akta (komparan), dan tempat akta dibuat. Artinya notaris membuktikan kebenaran dari apa yang dilihat, disaksikan, dan dialami sendiri oleh notaris.13

Akta di bawah tangan atau surat di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formal terkecuali pihak yang berkehendak dan menandatangani akta/surat itu mengakui tanda tangannya. Dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya, pembuktian formal akta autentik merupakan pembuktian lengkap. “Kekuatan pembuktian akta pejabat maupun akta para pihak adalah sama, artinya bahwa keterangan pejabat yang terdapat dalam kedua golongan akta maupun keterangan para pihak dalam akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang”.14

  • c.    Kekuatan Pembuktian Material

Kekuatan pembuktian material akta autentik merupakan suatu kepastian bahwa para pihak tidak hanya sekedar menghadap dan menerangkan kepada notaris akan tetapi juga membuktikan bahwa mereka juga telah melakukan seperti apa yang tercantum dalam materi akta. Kekuatan pembuktian akta notaris menurut Pasal 1870, 1871 dan Pasal 1875 KUH Perdata memberikan pembuktian yang sempurna dan mengikat.15

Pembuktian tentang kebenaran yang terdapat dalam akta bagi para pihak yang bersangkutan, ahli waris serta penerima hak, dengan pengecualian bilamana yang tercantum dalam akta hanya sekedar penuturan belaka atau tidak memiliki hubungan langsung dengan akta. Dengan demikian siapapun yang membantah atas kebenaran isi akta autentik tersebut, pihak yang membantah wajib membuktikan kebalikannya.

Untuk itu kuasa menjual lebih baik dibuat dalam bentuk akta autentik daripada legalisasi dan waarmarking. Kewenangan notaris dalam membuat akta kuasa menjual harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  • a.    Bentuk akta kuasa menjual

Pasal 1796 KUH Perdata menyatakan “Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan benda-benda... hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam hal pemberian akta kuasa menjual, notaris menggunakan bentuk akta khusus yang menggunakan kata-kata yang tegas, karena akta kuasa menjual tidak diperkenankan dibuat dalam bentuk umum.

  • b.    Masa berlaku akta kuasa menjual

Diatur dalam Pasal 1813, 1814, 1816 KUH Perdata yang intinya adalah

  • 1)    pemberi kuasa meninggal dunia

  • 2)    dicabut oleh si pemberi kuasa, suatu pemberian kuasa dapat berakhir karena ditariknya kuasa oleh si pemberi kuasa

  • 3)    kuasa baru, pemberian kuasa ditarik atau berakhir karena pembuatan suatu akta kuasa baru yang diketahui si penerima kuasa.16

  • c.    Akta kuasa menjual harus memenuhi syarat sah perjanjian

Sepakat mengadakan perjanjian, cakap untuk melakukan perbuatan hukum, suatu hal yang halal, dan suatu sebab yang halal yaitu isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum.

  • d.    Larangan penggunaan kuasa mutlak

Ketentuan larangan penggunaan kuasa mutlak diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, yang menyatakan:

Kuasa mutlak yang dimaksud dalam Diktum Pertama adalah . . . kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa... Kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya.17

Kemudian dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d PP No. 24 Tahun 1997 menentukan bahwa PPAT menolak pembuatan akta jika salah satu bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. Namun terdapat kuasa mutlak yang dikecualikan dari ketentuan tersebut yaitu kuasa yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan atau merupakan satu kesatuan dari suatu perjanjian yang mempunyai alas hukum yang sah. Dalam arti lain kuasa yang diberikan untuk kepentingan penerima kuasa agar penerima kuasa tanpa bantuan pemberi kuasa dapat menjalankan hak-haknya untuk kepentingan dirinya sendiri.18

  • 3.2 Kewajiban Notaris Untuk Memberikan Penyuluhan Hukum Sebelum Membuat Akta Kuasa Menjual Sebagai Akta Autentik

Kewajiban notaris selaku PPAT untuk memberikan penyuluhan hukum terhadap pembuatan akta autentik sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, dengan tujuan masyarakat sadar hukum, paham hukum, dan patuh terhadap hukum untuk mencapai kepastian hukum. “Pemahaman seseorang tentang hukum beraneka ragam dan sangat tergantung pada apa yang diketahui dari pengalaman yang dialaminya tentang

hukum dan masyarakat mengetahui bahwa fungsi hukum adalah untuk melayani masyarakat”.19

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN-P menyatakan: notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Maksud dari penyuluhan secara etimologis yaitu proses, cara, penerangan, penyelidikan. Dalam arti lain “memberikan petunjuk bagi seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak menentukan pilihannya atau menolong seseorang menemukan jalannya”.20

Pemberian penyuluhan hukum oleh notaris selaku PPAT kepada pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta autentik lebih mengarah kepada nasehat untuk memberikan pemahaman hukum terkait perbuatan hukum yang akan dituangkan dalam akta autentik. Dengan adanya perbuatan hukum yang diberikan oleh notaris diharapkan dapat terciptanya kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memberikan manfaat bagi para pihak. 21

Pemahaman hukum yang diberikan kepada penghadap harus berdasarkan kejujuran dan ketidakpihakkan di antara para penghadap, memberikan pemahaman hukum secara adil tanpa memihak salah satu penghadap. Memberikan pemahaman mengenai perbuatan hukum yang boleh dilakukan atau perbuatan hukum yang dapat melanggar peraturan perundang-undangan.

Notaris wajib memberikan penyuluhan hukum terhadap para pihak yang membuat perjanjian, agar perbuatan hukum dalam akta antara para pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyuluhan hukum yang sesuai dengan perbuatan hukum para pihak dituangkan dalam bentuk akta autentik. Akta autentik yang dibuat oleh notaris harus berdasarkan UUJN. Ketentuan dalam Pasal 38 UUJN-P menyatakan: Akta autentik yang dibuat oleh notaris terdiri dari:

  • a.    Awal akta atau kepala akta memuat tentang:

  • 1)    judul akta disesuaikan dengan perbuatan hukum yang dikehendaki para pihak, seperti akta kuasa menjual, akta perjanjian, akta sewa menyewa dan lain-lain.

  • 2)    nomor akta yang disesuaikan setiap bulannya dengan dimulai dari nomor 01 tanpa disertai tanggal, bulan dan tahun. Nomor berdasarkan urutan akta yang sudah selesai di buat minutanya dan sudah ditanda tangani oleh para pihak, saksi dan notaris.

  • 3)    Jam, hari, bulan dan tahun disesuaikan di awal kalimat akta setelah di tanda tangani akta tersebut oleh para pihak, saksi dan notaris.

  • 4)    Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris ditulis setelah penulisan tanggal dilanjutkan dengan keterangan berhadapan dengan saya, (nama notaris), Sarjana Hukum, notaris berkedudukan di (tempat kedudukan), dengan di hadiri oleh saksi-saksi yang akan disebut pada bagian akhir akta ini dan telah dikenal oleh saya, notaris.

  • b.    Badan akta memuat tentang:

  • 1)    Komparisi

Yaitu bagian dari badan akta yang memuat keterangan mengenai identitas para pihak, dan dari keterangan tersebut dapat menunjukkan para pihak dalam akta cakap atau tidak melakukan perbuatan hukum. Contohnya, identitas para pihak yang wajib dituliskan dalam akta yaitu nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para pihak atau penghadap yang mewakili.

  • 2)    Keterangan mengenai kedudukan bertindak

Berdasarkan identitas para pihak, komparisi juga memuat tentang penjelasan kedudukan bertindak para pihak setelah mengisi identitas para pihak. Kemudian dijelaskan berdasarkan apa kedudukan bertindak tersebut diberikan. Contoh kedudukan bertindak: bertindak untuk diri sendiri, bertindak berdasarkan kuasa di bawah tangan, bertindak dengan persetujuan kawin yang turut hadir di hadapan notaris, bertindak selaku wali dari anak yang masih di bawah umur, bertindak berdasarkan akta kuasa, bertindak selaku direktur dari Perseroan Terbatas dan lain-lain.

  • 3)    Isi akta

Merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan diuraikan dalam kalimat dan bahasa hukum yang dimengerti oleh para pihak ketika membaca akat tersebut. Didahului dengan premis sebagai pendahuluan atau pernyataan awal dari sebuah isi akta yang merupakan latar belakang dari isi akta tersebut. Isi akta harus dituangkan sesuai syarat sah perjanjian dan peraturan perundang-undangan.

  • 4)    Identitas saksi

Dilihat dari kartu tanda penduduk saksi, bagian akhir isi akta memuat keterangan identitas saksi terdiri dari nama, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari setiap saksi yang hadir menghadap.

  • c.    Akhir atau penutup akta

  • 1)    Uraian tentang pembacaan akta berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P yang menyatakan: “membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”.

Dan dapat juga dibuat dengan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN-P yang menyatakan : ”Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta di paraf oleh penghadap, saksi, dan Notaris”.

  • 2)    Uraian tentang penandatangan dan tempat penandatangan akta, apabila ada penerjemah akta juga dituliskan. Penghadap atau para pihak melakukan penandatanganan akta dihadapan saksi dan notaris setelah pembacaan akta. Adapun tanda tangan yang tidak termasuk atau tidak diakui keabsahaannya yaitu:

  • a)    Hanya berupa abjad atau huruf, misalnya M atau K baik dalam huruf kapital atau huruf kecil karena bukan merupakan inisial atau identitas nama penghadap.

  • b)    Hanya berupa tanda silang atau garis lurus, karena tidak mampu memberikan identitas yang jelas dari penghadap.

  • c)    Dibuat dengan stempel huruf cetak atau diketik dengan komputer, hal tersebut tidak menunjukkan dituliskan oleh tanda tangan penghadap. Berdasarkan Pasal 1874 KUH Perdata, stempel, ketikan komputer secara formil bukanlah tanda tangan.

  • 3)    Uraian tentang identitas lengkap para saksi, seperti nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, warga negara dan nomor induk kependudukan, disertai dengan kedudukan dan jabatannya dalam akta.

  • 4)    Uraian tentang ada atau tidak adanya perubahan dalam minuta akta seperti penambahan, pencoretan, penggantian dan jumlah perubahannya yang akan di simpulkan dalam salinan akta.

Dari ketentuan tersebut, akta autentik yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak dibuat berdasarkan kewenangan notaris, dengan memberikan penyuluhan hukum sehubungan pembuatan akta autentik demi tercapainya kepastian hukum. Notaris dianggap sebagai profesi yang terhormat karena bertugas melayani kepentingan masyarakat umum.

Kedudukan yang terhormat memberikan beban dan tanggungjawab bagi setiap notaris untuk menjaga kejujuran dan ketidakpihakkan notaris dalam membuat akta autentik. Kejujuran dan ketidakpihakkan notaris dalam menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum harus dijaga, ketentuan yang mengatur kewajiban mengenai kemandirian dan ketidakpihakkan notaris sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, yang menentukan bahwa: "Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib: Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum".

Selanjutnya aturan tersebut juga terdapat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (4) Kode Etik Notaris yang menentukan bahwa: “notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan notaris) wajib: Berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan notaris”.

Ketentuan tersebut dijalankan oleh notaris agar tidak merugikan para pihak yang membuat perjanjian dan menghindari terjadinya permasalahan hukum dan gugatan ke pengadilan dari pihak yang merasa dirugikan. Notaris menjadi turut tergugat dalam perkara peradilan. Dan pihak yang merasa dirugikan menuntut notaris baik secara administrasi, perdata dan pidana tergantung permasalahan hukum yang terjadi. Untuk itu notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus jujur dan tidak berpihak terhadap para pihak serta memberikan penyuluhan hukum terhadap

perbuatan hukum antara para pihak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bukan atas dasar kemauan dari para pihak yang tidak memiliki dasar hukum.

  • 3.3 Kedudukan Akta Kuasa Menjual Dalam Peralihan Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah

Akta kuasa menjual merupakan salah satu bentuk dari kuasa yang sering digunakan dalam praktik notaris, kuasa menjual biasanya terkait dengan peralihan kepemilikan hak milik atas tanah. Kuasa menjual dibuat dalam bentuk kuasa menjual yang berdiri sendiri (murni) dan kuasa menjual yang tidak berdiri sendiri (accesoir). Latar belakang penggunaan kuasa menjual yang berdiri sendiri (murni) dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah yaitu:

  • a. Pemegang hak atas tanah sebagai pemberi kuasa tidak bisa hadir dihadapan

pejabat yang berwenang karena dalam kondisi sakit.

  • b. Pemegang hak atas tanah sebagai pemberi kuasa tidak bisa hadir dihadapan

pejabat yang berwenang karena berada diluar daerah atau tidak berada ditempat untuk sementara waktu.

  • c.    Tanah yang bersangkutan akan dijual kembali kepada pihak lain, hal ini biasanya dibuat oleh mereka yang bergerak dalam bidang jual beli tanah atau oleh para makelar tanah untuk menghindari pembayaran pajak.

  • d.    Pelaksanaan jual beli tertunda karena pemberi kuasa si penjual merupakan ahli waris lebih dari satu orang, dan tidak berada di daerah yang sama, yang membuat harus dikuasakan.

  • e.    Jual beli belum dapat dilaksanakan karena hal tertentu walaupun pihak pembeli sudah membayar lunas.

Pemberian kuasa menjual yang tidak berdiri sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya. Jenis Perjanjian pokok yang dimaksud adalah perjanjian kredit, perikatan jual beli, perjanjian bangun bagi, serta pemisahan dan pembagian. Kuasa menjual yang menjadi perjanjian accesoir merupakan perjanjian yang berbeda dengan perjanjian kuasa menjual yang berdiri sendiri (murni). Alasan pemberian kuasa menjual yang tidak berdiri sendiri (accesoir) dan didahului dengan perjanjian pokok sebagai berikut:

  • a.    Perjanjian kredit antara kreditor dengan debitor, yang kemudian dalam akta kuasa menjual: kreditor yaitu pihak bank sebagai penerima kuasa dan debitor yaitu pihak nasabah perorangan/ badan hukum sebagai pemberi kuasa. Dengan dilanjutkan pembuatan APHT dan didaftarkan di kantor pertanahan, untuk menerima sertifikat hak tanggungan, berdasarkan hal tersebut kreditor dapat melakukan eksekusi  dibawah tangan dengan  pernyataan  bahwa  debitor bersedia

menyerahkan penjualan di bawah tangan secara sukarela kepada kreditor dengan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

  • b.    Perikatan jual beli antara penjual dan pembeli, yang kemudian dalam akta kuasa menjual: pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa kepada penerima kuasa (pembeli) untuk melaksanakan kepentingan pengurusan terhadap jual beli dan

balik nama sertifikat tanah yang diperjual belikan yang seharusnya sudah menjadi hak si pembeli.

  • c.    Perjanjian bangun bagi antara si pemilik tanah dengan pemborong atau kontraktor, yang kemudian dalam akta kuasa menjual si pemilik tanah memberi kuasa kepada pemborong atau kontraktor untuk mengurus dan melaksanakan apa yang tertuang dalam akta tersebut.

  • d.    Pemisahan dan pembagian dimana si pemilik tanah adalah kepemilikan bersama untuk itu para pemberi kuasa memberi kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual tanah milik bersama sehingga masing-masing yang berhak mendapatkan bagian yang menjadi haknya.

  • 3.4 Akibat Hukum Dari Penggunaan Akta Kuasa Menjual Sebagai Jaminan Pelunasan Utang Dalam Peralihan Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah

Kuasa menjual dalam praktiknya sering digunakan dalam peralihan hak atas tanah. Dasar peralihan hak atas tanah berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 adalah melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya. Dalam jual beli tanah, kegunaan akta kuasa menjual adalah pemberi kuasa (pemilik sertifikat) memberikan suatu kewenangan kepada penerima kuasa untuk menjual bertindak untuk atas nama pemberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum jual beli tanah.

Isi perjanjian kuasa menjual tanah harus secara jelas dan terperinci menguraikan objek dari kuasa yaitu: luas tanah, nomor sertifikat, batas-batas tanah, nama pemegang hak, nama pemberi hak, nama penerima kuasa. Dan akta kuasa menjual hanya menguraikan suatu perbuatan hukum yaitu suatu tindakan perwakilan untuk melakukan jual beli tanah untuk dan atas nama pemberi kuasa. Oleh karena itu akta kuasa menjual merupakan suatu bentuk akta khusus.

Pemberian akta kuasa menjual yang berkaitan dengan utang piutang diantara debitor dan kreditor, bertujuan untuk mengeksekusi objek jaminan berupa tanah dan bangunan di atasnya dapat dilakukan apabila sesuai dengan prosedur hukum. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUHT eksekusi jaminan hak tanggungan dapat dilakukan secara di bawah tangan apabila adanya kesepakatan antara debitor dan kreditor, untuk melakukan penjualan di bawah tangan.

Tujuannya untuk mendapatkan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT menyatakan: atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli atau pemegang hak tanggungan kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan lewat sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) UUHT).

Notaris dapat menolak untuk membuatkan akta kuasa menjual yang digunakan sebagai jaminan atas utang piutang diantara para pihak. Dengan pertimbangan diantara lain:

  • a. Suatu utang piutang dengan jaminan tanah sudah ada lembaga jaminan yang

mengaturnya seperti UUHT.

  • b. Akta kuasa menjual untuk jaminan pelunasan utang sangat beresiko dan

merugikan debitor, karena akta kuasa menjual apabila sudah dibuat dapat

langsung melakukan transaksi jual beli tanah, terlepas dari apakah debitor sudah melunasi utangnya ataupun wanprestasi terhadap utangnya.

  • c.    Harga transaksi dalam penjualan dapat merugikan debitor karena bukan berdasarkan kesepakatan bersama dengan harga tertinggi namun dapat karena penjualan yang dilakukan kreditor hanya mengambil pelunasan terhadap utang debitor saja. Sehingga apabila objek jaminan lebih tinggi nilai asetnya daripada utangnya kepada kreditor sangat merugikan debitor.

Namun secara praktik perbuatan hukum yang akan dilakukan dengan lahirnya akta kuasa menjual yang dibuat notaris tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dikarenakan hal sebagai berikut:

  • a.    Notaris dihadapkan dengan persoalan para pihak, apabila para pihak dapat memberikan kebenaran dan kejujuran atas perbuatan hukum yang ingin dilakukan maka notaris dapat memberikan penyuluhan hukum yang tepat untuk membuat suatu akta autentik.

  • b.    Notaris kurang menguasai materi, kurang update terhadap peraturan perundang-undangan dari suatu perbuatan hukum yang akan dilakukan para pihak, sehingga salah membuat akta autentik.

  • c.    Notaris dihadapkan dengan permintaan dari para pihak untuk dibuatkan akta autentik sesuai dengan yang mereka sepakati.

Terkait dengan hal tersebut, akta kuasa menjual yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan menimbulkan permasalahan hukum dan menjadi gugatan diantara para pihak. Seperti dalam putusan berikut ini:

  • a.    Putusan nomor: 69/Pdt.G/2018/PN.Bna, akta kuasa menjual nomor 2 yang dibuat oleh notaris Ika Susilawati, S.H, M.Kn, tertanggal 5 November 2015.

  • b.    Putusan nomor: 70/PDT/2017/PT.BDG, akta kuasa menjual nomor 13 tanggal 24 September 2014 dan 16 tanggal 25 September 2014 yang dibuat oleh notaris Ardiansyah, S.H, M.Kn, notaris Cianjur.

Akta kuasa menjual dalam putusan nomor: 69/Pdt.G/2018/PN.Bna digunakan sebagai dasar peralihan kepemilikan hak milik atas tanah tanpa ada perjanjian pokok dan perjanjian tambahan lainnya. Sehingga merugikan sipemilik sertifikat yaitu Hj. Dara Sofia karena tanahnya sudah beralih ke Abdul Yassak sebagai kreditor atas wanprestasi pembayaran utang yang dilakukan H. Amir Faisal sebagai suami Hj. Dara Sofia. Dan sertifikat hak milik yang sudah beralih menjadi milik Abdul Yassak, dijual lagi ke pihak lain dan sudah terjadi jual beli sebanyak tiga kali serta sertifikat tersebut terakhir atas nama M. Daud dan Erwin.

Pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan negeri yaitu tidak ada hak menjual dari Abdul Yassak atas sertifikat hak milik tersebut karena kuasa menjual tidak boleh mengandung kuasa mutlak sesuai dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 dan Pasal 39 ayat (1) huruf d PP No. 24 Tahun 1997 yaitu: “PPAT menolak pembuatan akta

jika salah satu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang berisikan perbuatan hukum pemindahan hak”.

Isi dan substansi dari akta kuasa menjual nomor 02 tanggal 5 November 2015 terdapat klausula yang menyatakan “kuasa ini diberikan secara mutlak dan tidak akan berakhir oleh sebab-sebab yang telah termaktub dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Atas dasar tersebut, pertimbangan hakim bahwa akta kuasa menjual nomor 02 tanggal 5 November 2015 termasuk kategori surat kuasa mutlak.

Kuasa mutlak adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa sehingga pada hakikatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak. Penjelasan lainnya surat kuasa mutlak merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya.

Oleh karena, surat kuasa mutlak adalah dilarang digunakan dalam peralihan kepemilikan hak milik atas tanah. Notaris yang membuat akta kuasa menjual tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat berakibat terjadinya perbuatan melawan hukum. Peralihan kepemilikan hak milik atas tanah yang timbul berdasarkan surat kuasa mutlak menjadi batal demi hukum. Batal demi hukum mengakibatkan suatu perjanjian menjadi tidak berlaku atau tidak sah dan akta tersebut kembali ke keadaan semula sebelum akta diperjanjikan, yang artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada yang kemudian membawa segala sesuatu kembali keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian.

Hakim mengadili bahwa akta kuasa menjual nomor 02 tanggal 5 November 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, dan akibat akta kuasa menjual tersebut, maka akta jual beli nomor: 29/2016 tanggal 9 Agustus 2016, akta jual beli nomor: 35/2017 tanggal 26 September 2017 dan akta jual beli nomor: 35/2018 tanggal 3 April 2018 tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, dan sertifikat hak milik kembali menjadi milik Hj. Dara Sofia.

Para tergugat yang tidak menerima hasil putusan, melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi dengan nomor: 56/PDT/2019/ PT BNA tanggal 30 Juli 2019. Hakim mengadili bahwa membatalkan putusan pengadilan negeri banda aceh nomor 69/Pdt.G/2018/PN.Bn. Pertimbangan hukumnya adalah bahwa fakta hukum mengenai bukti surat dan dalil-dalil yang diberikan pihak penggugat dahulu para tergugat (Abdul Yassak dan dkk) sudah sesuai menurut hukum.

Pertimbangan hakim bahwa terkait surat kuasa mutlak dan perlindungan hukum yang diberikan kepada pembeli yang beritikad baik dalam sengketa perdata berobjek tanah, Mahkamah Agung RI telah menyatukan pandangan melalui Kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA RI) Nomor 7 Tahun 2012, yang dalam butir IX dirumuskan bahwa: “Perlindungan harus diberikan kepada pembeli beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (objek jual beli tanah). Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak”.

Hj. Dara Sofia sebagai pemilik asal dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas lepasnya status kepemilikan sertifikat kepada Abdul Yassak. Sedangkan jual beli yang terjadi tiga kali setelah beralih kepemilikan dari Abdul Yassak kepada pihak lain tetap sah

menurut hukum, karena pembeli yang beretikad baik tetap dilindungi. Sehingga hakim mengadili untuk membatalkan putusan nomor 69/Pdt.G/2018/PN.Bna.

Upaya hukum lainnya telah dilakukan oleh Hj. Dara Sofia dengan pengajuan gugatan ke Mahkamah Agung, namun hasil putusan nomor: 680 K/Pdt/2020 tanggal 2 Juni 2020 menguatkan putusan pengadilan tinggi nomor: 56/PDT/2019/ PT BNA. Sehingga Hj. Dara Sofia tetap tidak bisa memperoleh sertifikatnya kembali. Berdasarkan kasus pertama Hj. Dara Sofia telah dirugikan atas lahirnya akta kuasa menjual sebagai jaminan pelunasan utang, karena sertifikat hak milik telah beralih ke orang lain.

Putusan kedua nomor: 70/PDT/2017/PT.BDG, akta kuasa menjual nomor 13 tanggal 24 September 2014 dan akta kuasa menjual nomor 16 tanggal 25 September 2014 yang dibuat oleh notaris Ardiansyah, S.H, M.Kn, notaris Cianjur. John Asmar Marpaung dan Rukyah Rahmawati sebagai pemilik sertifikat hak milik telah dirugikan dengan lahirnya akta kuasa menjual tersebut. Karena akta kuasa menjual tersebut juga sebagai jaminan pelunasan utang kepada Syarif Hidayat. Namun disini akta kuasa menjual tersebut belum dilaksanakan dan dijual oleh Syarif Hidayat sebagai penerima kuasa dalam akta kuasa menjual tetapi sudah menjalankan hak-haknya diatas tanah tersebut.

John Asmar Marpaung dan Rukyah Rahmawati memohon akta kuasa menjual untuk dibatalkan melalui peradilan umum dan menggugat notaris Ardiansyah, S.H, M.Kn sebagai notaris yang membuat akta kuasa menjual karena menurut pengakuan John Asmar Marpaung dan Rukyah Rahmawati, akta yang dibuat tidak ditandatangani di hadapan notaris, namun hanya di desak oleh Syarif Hidayat sebagai tergugat untuk di tanda tangani dan kemudian dibawa ke kantor notaris untuk dibuatkan salinannya.

Berdasarkan pertimbangan hakim bahwa putusan pengadilan negeri nomor: 8/pdt.G/2016/Pn Cjr gugatan para penggugat tidak dapat diterima. Dalam putusan banding putusan pengadilan tinggi nomor: 70/PDT/2017/PT.BDG menguatkan putusan pengadilan negeri nomor: 8/pdt.G/2016/Pn Cjr. Upaya hukum melalui kasasi dengan nomor: 786 K/Pdt/2018 tanggal 28 Mei 2018, amar putusan kasasi menolak permohonan kasasi dari para pemohon.

Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUJN-P yakni: “Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”. Notaris seharusnya tidak berpihak kepada salah satu penghadap, walaupun kesalahan yang dilakukan adalah penandatanganan diminta dilakukan tidak di hadapan notaris dan dibawa oleh pihak kreditor untuk ditandatangani oleh debitor.

Pasal 44 ayat (1) UUJN-P yang menyatakan: “segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya”. Untuk itu akta autentik yang tidak memenuhi unsur tersebut terdegradasi menjadi akta di bawah tangan.

Akta kuasa menjual tersebut tidak dapat dibatalkan melalui peradilan umum, dan untuk prosedur pembuatan akta atentik yang dibuat atas dasar ketidakjujuran dari para pihak yang menghadap merugikan notaris yang membuat akta. Notaris tidak mengetahui adanya unsur utang piutang dalam kesepakatan diantara para pihak. Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum berdasarkan peristiwa hukum yang

akan dilakukan oleh para pihak. Namun apabila dalam peristiwa hukum terjadi ketidakjujuran kepada notaris, maka notaris tersebut juga dirugikan karena telah menerbitkan akta kuasa menjual yang dapat digunakan oleh pihak yang beretikad tidak baik.

Terkait kedua putusan tersebut, akta kuasa menjual yang dibuat sebagai dasar peralihan hak dari debitor ke kreditor karena adanya utang debitor merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Akta kuasa menjual kegunaannya bukan untuk jaminan pelunasan utang dan bukan untuk mengeksekusi objek jaminan karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Pemberian kuasa berdasarkan akta kuasa menjual tersebut bertentangan dengan UUHT dan Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 dan Pasal 39 ayat (1) huruf d PP No. 24 Tahun 1997. Selain bertentangan dengan keduanya, akta kuasa menjual tersebut juga bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian.

Akta kuasa menjual sebagai suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dan berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ini berarti setiap orang yang dapat melakukan perbuatan hukum dapat membuat perjanjian dengan pihak lain tentang apa saja yang mereka inginkan. Namun, tidak berarti kebebasan berkontrak dapat mengenyampingkan asas keseimbangan, meskipun perjanjian yang dibuat para pihak mengikat sebagaimana layaknya undang-undang.22

Asas kebebasan berkontrak bukanlah suatu yang absolut melainkan relatif, artinya penggunaannya tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya oleh para pihak dalam perjanjian, sebab penggunaan kebebasan berkontrak harus memperhatikan dan harus mempertimbangkan asas-asas perjanjian dan ketentuan-ketentuan lain dalam pembuatan perjanjian.23

Kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuannya apabila para pihak mempunyai posisi tawar yang seimbang berdasarkan asas keseimbangan. Jika salah satu pihak lemah, maka pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat (kreditor) dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungannya sendiri. Syarat perjanjian yang seperti itu, dapat melanggar aturan yang adil dan layak. Di dalam kenyataannya para pihak yang saling berhubungan tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang, sehingga dalam hal inilah diperlukan campur tangan negara untuk melindungi pihak yang lemah.

Akta kuasa menjual sebagai suatu perjanjian berasaskan kebebasan berkontrak yang digunakan sebagai dasar peralihan hak milik atas tanah karena adanya wanprestasi utang piutang, tidak memberikan posisi tawar yang seimbang diantara para pihak, untuk itu negara sudah mengatur utang piutang melalui lembaga hak tanggungan yang diatur dalam UUHT yang memberikan posisi tawar lebih seimbang diantara para pihak.

Dengan terbitnya sertifikat hak tanggungan setelah pembuatan APHT dan setelah pendaftaran di kantor pertanahan, kreditor dan debitor telah saling mengikatkan diri secara sah. Sertifikat hak tanggungan memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sesuai ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT.

Tujuan irah-irah tersebut adalah agar sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 14 ayat (3) UUHT). Apabila debitor wanprestasi atas utangnya dan tidak melakukan itikad baik untuk melunasi utangnya, berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan, kreditor dapat melakukan eksekusi objek jaminan hak tanggungan. Berdasarkan UUHT, eksekusi jaminan terbagi menjadi tiga yaitu:

  • a.    Parate Executie

Secara etimologis parate executie berasal dari kata paraat artinya siap di tangan sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap di tangan.24 Pelaksanaan penjualan objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri dilakukan melalui prosedur parate executie. Berdasarkan Pasal 6 UUHT yang menyatakan: apabila debitor cidera janji atau wanprestasi, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuatan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Prosedur eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 6 jo Pasal 20 ayat (1) UUHT, begitu debitor wanprestasi, kreditor pertama pemegang hak tanggungan cukup mengajukan permohonan untuk pelaksanaan pelelangan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang berwenang untuk melakukan lelang eksekusi. Berdasarkan permohonan tersebut, pejabat lelang memproses pelaksanaan lelang, diawali dengan pengumuman lelang dilakukan sebanyak dua kali dan kemudian diikuti dengan penjualan lelang dan pembagian hasil lelang.25

  • b.    Eksekusi melalui pengadilan

Eksekusi hak tanggungan melalui pengadilan berdasarkan titel eksekutorial dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT, yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dimaksudkan kekuatan eksekutorial dalam sertifikat hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 ayat (1) b UUHT yang menyatakan : Jika debitor wanprestasi maka kreditor langsung meminta kepada pengadilan negeri agar dilaksanakan eksekusi berdasarkan sertifikat hak tanggungan yang mempunyai titel eksekutorial.26

  • c.    Eksekusi di bawah tangan

Eksekusi di bawah tangan terjadi apabila adanya kesepakatan antara debitor dan kreditor, untuk melakukan penjualan di bawah tangan. Tujuannya untuk mendapatkan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT menyatakan: atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli atau pemegang hak tanggungan kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan lewat sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) UUHT).27

Berdasarkan hal tersebut, utang piutang yang dibuat dengan perjanjian pokok diikuti dengan pembuatan APHT dan sertifikat hak tanggungan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada debitor dan kreditor. Kreditor diberikan kepastian hukum untuk objek jaminan, diikat dengan hak tanggungan, apabila wanprestasi, kreditor dapat melakukan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial.

Debitor diberikan kepastian terhadap sertifikatnya, apabila dirinya wanprestasi, maka eksekusi dapat didiskusikan dengan kreditor, mana yang lebih baik melalui lelang, dibawah tangan atau pengadilan. Dan hasil penjualan apabila ada sisa dari pemotongan utang dapat diberikan kepada debitor. Untuk itu akta kuasa menjual terhadap objek jaminan yang tidak diikat dengan hak tanggungan tidak memiliki kedudukan dalam UUHT. Akta kuasa menjual tidak memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang merupakan syarat titel eksekutorial. Dan akta kuasa menjual tidak mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pertanggungjawaban notaris selaku pejabat umum yang membuat akta kuasa menjual sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum kepada debitor dan kreditor. Utang piutang sudah seharusnya dibuatkan dalam bentuk perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit, kemudian dibuatkan APHT dan didaftarkan di kantor pertanahan untuk mendapatkan sertifikat hak tanggungan. Notaris dilarang membuat akta autentik untuk kepentingan salah satu pihak saja. Namun pertanggungjawaban notaris dalam membuat akta harus jujur dan tidak memihak kepada para pihak yang berkepentingan.

  • 4. Kesimpulan

Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus jujur dan tidak berpihak dalam memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Akta kuasa menjual kegunaannya bukan untuk jaminan pelunasan utang dan bukan untuk mengeksekusi objek jaminan karena tidak ada

peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Akta kuasa menjual sebagai suatu perjanjian tidak boleh dibuat dalam bentuk kuasa mutlak dan harus memenuhi syarat sah perjanjian berasaskan kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak penggunaannya tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya oleh para pihak dalam perjanjian harus dibatasi dengan asas keseimbangan, agar memberikan posisi tawar yang seimbang di antara para pihak. Untuk itu, penggunaan akta kuasa menjual yang berdiri sendiri sebagai jaminan pelunasan utang dapat dimintakan pembatalannya di muka pengadilan, karena akta kuasa menjual tersebut mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Setiap utang piutang dengan objek jaminan berupa tanah sudah diatur dalam UUHT. Pemberian akta kuasa menjual yang berkaitan dengan utang piutang di antara debitor dan kreditor, bertujuan untuk mengeksekusi objek jaminan berupa tanah dan bangunan diatasnya dapat dilakukan apabila terdapat perjanjian pokoknya, yaitu berupa kesepakatan antara debitor dan kreditor untuk melakukan penjualan di bawah tangan diikuti dengan dibuatkannya akta kuasa menjual sebagai perjanjian accecoir-nya (Pasal 20 ayat (2) UUHT). Dengan demikian memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada debitor dan kreditor.

Daftar Pustaka

Buku

Andasasmita, K. (1990). Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat.

Budiono, H. (2012). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Poesoko, H. (2007). Parate Executie, Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Soekanto, S. & Mahmudji. S. (2001). Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Radja Grafindo Persada.

Jurnal

Anggraeni, S. Z. Perbedaan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Waarmerking, Legalisasi, dan Akta Notariil.

Bukit, J., Warka, M., & Nasution, K. (2018). Eksistensi Asas Keseimbangan Pada Kontrak Konsumen Di Indonesia. DiH: Jurnal Ilmu Hukum.

Hanavia, E., & Novianto, W. T. (2017). Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Title Eksekutorial Dalam Sertifikat Hak Tanggungan (Doctoral dissertation, Sebelas Maret University).

MELLY, M. (2016). Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Keabsahan Akta Pengikatan Jual Beli Dimana Ada Pihak Yang Menggunakan Surat Kuasa Jual Yang Tidak Dilegalisasi. Premise Law Journal, 11, 162535.

Pramono, D. (2015). Kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh notaris selaku pejabat umum menurut hukum acara perdata di Indonesia. Lex Jurnalica, 12(3), 147736.

Prasetyo, R. E., & Fahamsyah, M. K. D. E. (2016). Makna Pemberian Penyuluhan Hukum Oleh Notaris Pembuatan Akta Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris. Jurnal Lex Humana, 1.

Purwatik, P., & Djuwityastuti, D. Kuasa Jual sebagai Jaminan Eksekusi terhadap Akta Pengakuan Hutang (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 318. k/pdt/2009 Tanggal 23 Desember 2010) (Doctoral dissertation, Sebelas Maret University).

Putra, F., & Anand, G. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Yang Dirugikan Atas Penyuluhan Hukum Oleh Notaris. Humani (Hukum dan Masyarakat Madani), 8(2), 105-116.

Sukmawirawan, C. A. (2014). Kekuatan Pembuktian Legalisasi Dan Waarmerrking Akta Dibawah Tangan Oleh Notaris.

Tedjosaputro, L. (2019). Kajian Hukum Pemberian Kuasa Sebagal Perbuatan Hukum Sepihak Dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Jurnal Spektrum Hukum, 13(2), 162-180.

Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Martana, N. A., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S., Arsha, I. P. R., ... & Tribuana10, P. A. R. (2016). Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2015, 180.

Umbas, S. A. (2017). Kedudukan Akta di Bawah Tangan yang Telah Dilegalisasi Notaris dalam Pembuktian di Pengadilan. Lex Crimen, 6(1).

Utomo, T. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Kuasa yang Aktanya Dicabut Sepihak Oleh Pemberi Kuasa. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.

Walidani, L., & Adjie, H. (2018). Perlindungan Hukum Kreditur Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2859K/PDT/2011). Humani (Hukum dan Masyarakat Madani), 8(2), 117-130.

Website

Mahkamah Syar’iyah Bireuen Kelas IB, https://ms-bireuen.go.id/eksekusi-hak-tanggungan/.

858