IMPLEMENTASI HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI WILAYAH HUKUM POLDA BALI

PUTU SEKARWANGI SARASWATI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

IMPLEMENTASI HAK TERSANGKA

UNTUK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM

PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI WILAYAH HUKUM POLDA BALI

Oleh :

Putu Sekarwangi Saraswati

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unud

Abstrak

Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan kehidupan yang adil serta melindungi hak asasi manusia, dimana bantuan hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal tersangkut masalah hukum guna menghindari dari segala macam tindakan-tindakan yang dapat membahayakannya atau tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Berdasarkan teori sistem hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M. Friedman bahwa berlakunya hukum dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture), sehingga implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada tingkat penyidikan dapat dilihat dari sistem hukum itu sendiri. Tata cara pemberian bantuan hukum terhadap tersangka dapat dilihat dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56 KUHAP. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, penyidik selalu menawarkan hak tersangka untuk di dampingi penasihat hukum, tetapi tersangka tidak menggunakan haknya tersebut sehingga penyidik membuat berita acara yang ditandatangani tersangka dengan menunjukkan alasan tersangka tidak di dampingi penasihat hukum.

Kata kunci : Hak Tersangka, Bantuan Hukum, Penyidikan.

Abstract

Legal aid is very essential in creating a fair life and protect human rights, legal aid which aims to protect the rights of the community in terms of legal issues to avoid snagging of all kinds of actions that may harm or arbitrary action officers law enforcement. Based on the theory of the legal system (Legal System Theory) of Lawrence M. Friedman that the enactment of the law is affected by elements such as legal structures (legal structure), the substance of the law (a legal substance), and the culture of law (legal culture), so that the implementation of the right of the accused to obtain legal aid at the level of investigation can be seen from the legal system itself . The procedure to grant legal aid to the accused can be seen in Article 54, Article 55, Article 56 of the Criminal Procedure Code. Based on the results of research in the field, the investigator always offer the right of suspects to legal counsel and accompanied, but the suspect did not use his right so that the investigator make an official report signed by the suspect showed the suspect the reason is not accompanied by legal counsel.

Key words : Suspect Rights, Legal Aid, Investigation.

  • I.    PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang

Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan kehidupan yang adil serta melindungi hak asasi manusia. Bantuan hukum yang diberikan bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal tersangkut masalah hukum guna menghindari dari segala macam tindakan-tindakan yang dapat membahayakannya atau tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.

Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak Romawi. Ketika itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulai khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium.1 Setelah meletusnya revolusi Perancis, bantuan hukum menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat di depan pengadilan, dan

bantuan hukum  ini  lebih  banyak

dianggap sebagai jasa di bidang hukum 2

tanpa suatu imbalan.2

Berlakunya     Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP telah     menimbulkan     perubahan

fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan adanya perubahan sikap dan cara bertindak para aparat pelaksana penegak hukum secara keseluruhan. Perubahan sistem peradilan pidana dari sistem inkuisitur yang dianut HIR ke sistem akusatur yang dimuat dalam KUHAP. Sistem pemeriksaan atau asas akusatur ini menempatkan tersangka sebagai subyek pemeriksaan. Pengaturan bantuan hukum dalam HIR (Het Herziene Indonesische Reglemen) diatur dalam 250 ayat (5) dan (6) dengan cakupan yang terbatas, artinya pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia, di samping itu Pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka

yang dituduh dan diancam hukuman

3 mati dan atau hukuman seumur hidup.3

Menurut M. Yahya Harahap bahwa “KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang manusia dalam kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan seorang manusia dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being)”.4 Selanjutnya dikemukakan bahwa “tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek bukan sebagai obyek”.5

Substansi KUHAP yang bertalian dengan perlindungan hak-hak asasi tersangka/terdakwa dapat dijumpai dalam pasal-pasalnya yang dijiwai asas persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum (equality before the law). Hak-hak tersangka tersebut dapat dilihat pada pasal 50

sampai dengan pasal 68 KUHAP yang diantaranya adalah hak untuk segera diperiksa, di ajukan ke pengadilan dan diadili, hak mendapat bantuan hukum, serta hak untuk memilih penasihat hukum/advokat.6

Keberadaan penasihat hukum dalam memberikan bantuan hukum pada tahap penyidikan diharapkan proses hukum menjadi adil bagi tersangka yang kurang mampu maupun yang tidak memahami hukum. Selain itu untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin untuk membela diri dengan didampingi pembelaan advokat yang profesional. Dalam memberikan bantuan hukum pada tingkat penyidikan penasihat hukum mempunyai kedudukan yang penting dalam setiap sistem peradilan pidana. Penasihat hukum (advokat) harus dapat bekerja sama dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan pengadilan dalam mencapai tujuan, yaitu mencegah kejahatan, mencegah pengulangan kejahatan dan merehabilitasi pelaku kejahatan serta mengembalikan mereka ke masyarakat. Profesi advokat sebagai bagian dari bantuan hukum harus dapat menjalankan perannya dalam membela

masyarakat kurang mampu dan tidak memahami hukum sama sekali yang biasanya menjadi obyek penyiksaan, perlakuan dan hukuman tidak adil, tidak manusiawi dan merendahkan martabat 7

manusia.

Bantuan hukum merupakan hak asasi manusia khususnya tersangka terutama bagi masyarakat yang termasuk dalam golongan miskin atau kurang mampu, yang apabila tidak dipenuhi maka berarti telah dilanggarnya hak asasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu proses hukum yang adil (due process of law) melalui suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan tetap memperhatikan hak asasi tersangka. Peranan penasihat hukum dalam hal ini sangat penting sebagai salah satu instrumen pengawasan serta kontrol terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan 8 dalam praktik penegakan hukum.8

Pemberian bantuan hukum ditingkat penyidikan dalam hukum acara peradilan pidana di Indonesia diharapkan

mampu memberikan perlindungan maksimal terhadap hak-hak hidup tersangka, khususnya yang berasal golongan lemah dan miskin, dalam bentuk bantuan hukum sejak tahap awal pemeriksaan terhadap tersangka. Bantuan hukum tidak hanya dimaknai sebagai hak tersangka sejak tahap penyidikan, melainkan juga sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap aparat penegak hukum, khususnya penyidik sebelum memulai pemeriksaan terhadap tersangka. Mengabaikan ketentuan tersebut akan fatal akibatnya bagi dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Perlindungan hak asasi tersangka sejak tahap penyidikan setidaknya diharapkan menjadi salah satu faktor yang meminimalisasi kemungkinan terjadinya kesewenangan oleh aparat penegak hukum maupun kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam penerapan prosedur hukum acara pidana.9

Tersangka yang tidak memahami hukum dan kurang mampu secara finansial sering mendapat perlakuan yang tidak adil, mengalami penyiksaan pada saat diinterogasi oleh para penegak hukum dan diadili serta dihukum oleh pengadilan yang

merendahkan martabatnya sebagai manusia. Mereka diperiksa tanpa proses hukum yang adil (due process of law) khususnya pada pemeriksaan tahap penyidikan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hak tersangka dalam memperoleh bantuan dengan judul “Implementasi Hak Tersangka Untuk Memperoleh Bantuan Hukum Pada Tingkat Penyidikan Di Wilayah Hukum Polda Bali”.

  • 2.    Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, antara lain :

Bagaimanakah implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji penerapan hak tersangka dalam memperoleh hak tersangka pada tahap penyidikan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada

tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali.

  • II.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris, dan jenis data yang digunakan adalah data primer (berupa wawancara) serta data sekunder (berupa bahan-bahan hukum).

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Hak Tersangka Untuk Memperoleh Bantuan Hukum Pada Tingkat Penyidikan Di Wilayah Hukum Polda Bali

Menurut Soerjono Soekanto bahwa hukum berlaku efektif ditentukan oleh lima faktor. Kelima faktor yang menentukan efektivitas berlakunya hukum adalah :

  • a.    Faktor Hukumnya sendiri.

  • b.    Faktor Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

  • c.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

  • d.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan  dimana  hukum

tersebut      berlaku      atau

diterapkan.

  • e.    Faktor Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.10

Menurut Lawrence M. Friedman bahwa “Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the legal system .... The structure of a system is its

skeletal fremework, it is the elements shape, the institutional body of the system”.11 Struktur dalam sebuah sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dengan berbagai fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Dalam hal ini adalah institusi penegak hukum yang merupakan unsur nyata dari suatu sistem hukum.

Kewajiban   penyidik untuk

memberikan bantuan hukum dapat diketahui apabila merujuk Pasal 54 KUHAP dan Pasal KUHAP yaitu dalam hal tersangka disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih.

Hak tersangka yang berkaitan dengan bantuan hukum diatur dalam Pasal 54 KUHAP, 55 KUHAP, 56 KUHAP, 57 KUHAP, 59 KUHAP dan Pasal 60 KUHAP. Menurut Pasal 54 KUHAP bahwa “guna kepentingan

pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini”. Berdasarkan Pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membela hak-haknya, tersangka berhak untuk didampingi seorang atau lebih penasihat hukum     pada     setiap     tingkat

pemeriksaan.12

Sesuai dengan ketentuan Pasal 114 KUHAP tersebut, penasihat hukum dalam memberikan hak mendapatkan bantuan hukum berubah sifatnya menjadi wajib. Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam semua tingkat pemeriksaan yang diatur dalam Pasal 56 dengan ketentuan, jika sangkaan atau dakwaan yang disangkakan atau didakwakan diancam dengan tindak pidana :

  • -    Hukuman mati

  • -    Hukuman lima belas tahun atau lebih

13

  • -    Hukuman lima tahun atau lebih.13

Implementasi Hak Tersangka untuk Memperoleh Bantuan Hukum pada Tingkat Penyidikan di Polda Bali terkait dengan pelaksanaan Pasal 115 KUHAP sudah berjalan dengan baik, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka selalu memberikan kesempatan kepada penasihat hukum dalam proses pendampingan pada tahap pemeriksaan. Dari sejak seorang tersangka ditangkap, para tersangka diperlakukan dengan baik. Saat mulai akan diperiksa, tersangka diantar ke ruangan penyidik untuk dilakukan pemeriksaan. Saat sudah di dalam ruangan penyidik, pertama penyidik memberitahukan semua hak-hak yang diperoleh tersangka pada saat pemeriksaan oleh penyidik, setelah itu tersangka diberitahukan ancaman pidananya. Jika ancaman pidananya diatas 5 tahun, penyidik akan menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma dari LBH. Namun apabila ancaman pidananya dibawah 5 tahun, karena berdasarkan aturan yang berlaku para penyidik tidak wajib menyediakan

bantuan hukum kepada tersangka dengan ancaman dibawah 5 tahun, maka penyidik akan menjelaskan hal tersebut kepada tersangka dan menanyakan apakah tersangka akan mencari penasihat hukum sendiri untuk mendampingi saat diperiksa atau tidak perlu didampingi penasihat hukum saat diperiksa. Apabila tersangka tidak menggunakan penasihat hukum saat diperiksa, maka penyidik akan membuat surat pernyataan bahwa memang benar tersangka tersebut tidak didampingi penasihat hukum saat diperiksa dan itu karena kehendak tersangka sendiri.

Berdasarkan keterangan Ibu Ni Made Yastini melalui wawancara pada tanggal 20 September 2012 bahwa memang benar selama ini implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada masa pemeriksaan di tingkat penyidikan di Polda Bali sudah berjalan dengan baik. Dari pihak LBH Bali tidak pernah mendapat keluhan dari keluarga tersangka bahwa di Polda Bali pernah melanggar Hak Tersangka untuk mendapat bantuan hukum ataupun keluhan bahwa selama pemeriksaan ada tersangka yang mengalami penyiksaan oleh penyidik di Polda Bali. Namun ditingkat penyidikan

tetapi bukan di Polda Bali, Implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada masa pemeriksaan di tingkat penyidikan belum berjalan dengan baik. Seperti contohya di Polresta. Polresta pernah tersandung kasus salah tangkap tersangka yang para tersangkanya tidak didampingi penasehat hukum selama proses pemeriksaan oleh penyidik dan para tersangka tersebut mendapat penyiksaan saat diperiksa untuk mengakui perbuatan yang jelas-jelas tidak mereka lakukan sampai ada yang kakinya ditembak, rahangnya dipentung dengan menggunakan besi dan dipukul. Kasus tersebut adalah kasus Dugaan Rekayasa Pelaku Perampokan SPBU 54.803.16 Simpang Kampus Unud Jimbaran Kuta Selatan Badung yang tersangka salah tangkap tersebut bernama Muhamad Yasin Toha, yang ditangani langsung oleh Ibu Ni Made Yastini selaku Penasehat Hukum Tersangka.

Muhamad Yasin Toha ditangkap tanggal 10 Februari 2011 di rumahnya di Dusun Sari Rejo, RT 25, RW 04 Desa Kebon Sari, kecamatan Sumber Suko Kabupaten Lumajang Jawa Timur dengan surat perintah penangkapan No.Sprin.Kap/51/II/2011/Reskrim

tertanggal 10 Februari 2011 dengan gugaan telah melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang terjadi di SPBU 54.803.16 Simpang Kampus Unud Jimbaran Kuta Selatan Badung. Kemudian tersangka ditahan di Rumah Tahanan Negara sejak 11 Februari 2011 s/d 2 Maret 2011 dengan surat perintah penahanan No.Sprin.Han/52/II/Reskrim teertanggal 11 Februari 2011 dan diperpanjang dengan surat perintah perpanjangan              penahanan

No.Sprin.Han/52.B/III/2011/Reskrim tertanggal 3 Maret 2011 s/d 11 April 2011. Sejak ditangkap dan ditahan tersangka menyampaikan kepada keluarganya bahwa selama proses penahanannya, tersangka mengalami penyiksaan dan hal tersebut disampaikan keluarganya kepada YLBHI-LBH Bali. Adanya indikasi penyiksaan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap para tersangka dan khususnya tersangka yang bernama Yasin telah disampaikan oleh keluarga Yasin dan keluarga tersangka yang lainnya seperti yang telah diberitakan dibeberapa media, diantaranya ;

  • a.    Radar Bali, tanggal 23 Maret 2011, dengan judul berita : Polresta

Denpasar dipropamkan “Terkait dugaan kasus salah tangkap”

  • b.    Radar Bali, 26 Maret 2011, dengan judul berita : Oknum Brimob juga disiksa “buntut pengakuan salah tangkap tersangka   perampokan

SPBU”

  • c.    Radar Bali, 27 Maret 2011, dengan judul berita :   Polda-Polresta

bungkam : Eko juga didor dan dipentung besi”

  • d.    Radar Bali, 29 Maret 2011, dengan judul berita : Kapolresta mendadak bertemu Kajari “Kemaluan Brimob Setiaji, Tersangka Perampokan SPBU dipukul”

Kasus lainnya yang juga ditangani langsung oleh Ibu Ni Made Yastini adalah kasus Pembunuhan yang dilakukan oleh Tersangka bernama Seprianus Mbora Ndolu beserta Daniel Panda Hoki yang mengalami penyiksaan saat penyidikan dengan dipukul untuk mengakui perbuatannya. Hal itu terjadi karena tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukum saat diperiksa oleh penyidik. Hingga salah satu keluarga tersangka mengadu ke LBH Bali dan meminta agar tersangka segera mendapatkan bantuan hukum dari LBH

Bali. Perbuatan tersebut dilakukan oleh penyidik di Polsek Kuta.

Berdasarkan kasus tersebut dapat disimpulkan oleh Ibu Ni Made Yastini selaku direktur LBH Bali bahwa implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada masa pemeriksaan di tingkat penyidikan di Bali khususnya di Denpasar dan Badung belum semuanya berjalan dengan baik. Karena masih saja ada penyidik yang tidak memberitahukan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka pada masa pemeriksaan dan masih banyak tersangka yang saat diperiksa ditingkat penyidikan tidak didampingi oleh penasehat hukum sehingga dapat terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik. Bentuk bentuk penyimpangan yang dilakukan penyidik adalah tersangka ditahan tanpa surat penahanan dari penyidik, penyidik melakukan penahan kepada tersangka tanpa adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik melakukan tindakan kekerasan terhadap tersangka pada pemeriksaan untuk mendapatkan petunjuk dan Pengunaan Upaya Paksa dalam hal penahanan, penyitaaan pengeledahan tidak sesuai dengan aturan yang digariskan dalam KUHAP.

Ibu Ni Made Yastini menambahkan bahwa Selain di Polresta, implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada masa pemeriksaan tingkat penyidikan di Kapolsek Kuta juga belum berjalan dengan baik. Karena pernah terjadi kasus 2 orang tersangka kasus pembunuhan bernama Seprianus Mbora Ndolu dan Daniel Panda Hoki yang mengalami penyiksaan saat masa pemeriksaan di tingkat penyidikan dengan dipukul untuk mengakui perbuatannya, karena 2 tersangka tersebut tidak didampingi oleh penasehat hukum selama masa penyidikan.

Pelaksanaan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses pemeriksaan pada tingkat penyidikan tidak dapat dilepaskan dari penyidik itu sendiri sebagai penegak hukum. Berdasarkan uraian tersebut, sudah seharusnya tersangka yang perkara pidananya diancam di atas 5 tahun dalam proses pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penyidik memberikan haknya menggunakan bantuan hukum dan menyediakan penasihat hukum (dalam hal tersangka tidak mampu) untuk kelancaran proses pemeriksaan tersangka tersebut.

Budaya hukum bagian dari budaya pada umumnya, berupa adat istiadat, pandangan, cara berpikir dan bertingkah laku, kesemuanya itu dapat membentuk kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dan cara-cara tertentu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Lawrence M. Friedman bahwa “Legal culture refers, then, to those parts of general culture, customs, opinion, ways of doing and thinking, that bend social forces toward or away from the law and in particular ways”.14 Dengan kata lain budaya hukum adalah bentuk prilaku masyarakat bagaimana hukum digunakan, dipatuhi dan ditaati.

Menurut H. L. A. Hart bahwa “a legal system is the union of primary and secondary rules”.15 Sistem hukum merupakan persatuan antara aturan primer dan sekunder. Aturan primer (primary rules) mengatur perilaku manusia untuk bertindak atau tidak bertindak, sedangkan aturan sekunder (secondary rules) merupakan aturan yang ditujukan kepada pejabat dan yang ditetapkan untuk mempengaruhi pengoperasian aturan utama.

Pentingnya masyarakat mengetahui hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia khususnya hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi yang tersangkut perkara atau kasus pidana, agar tidak ada masyarakat yang saat sebagai tersangka ketika diperiksa ditingkat penyidikan tidak didampingi oleh penasihat hukum sehingga dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dilakukan penyidik adalah tersangka ditahan tanpa surat penahanan dari penyidik, penyidik melakukan penahan kepada tersangka tanpa adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik melakukan tindakan kekerasan terhadap tersangka pada saat pemeriksaan ditingkat penyidikan.

Penerapan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, disamping dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat juga dipengaruhi oleh budaya hukum penyidik. Dalam hal ini menuntut sikap dari penyidik untuk bekerja lebih profesional, sehingga pelaksanaan penyidikan tidak melanggar hak-hak tersangka untuk menjamin kepastian hukum bagi tersangka itu sendiri. Oleh karena itu, penyidik

sebelum melakukan pemeriksaan sudah seharusnya berkoordinasi dengan penasihat hukum tersangka untuk dilanjutkan pemeriksaan. Berdasarkan penelitian diketahui koordinasi dari penyidik dan penasihat hukum kurang baik, hal ini dapat dilihat dari dilakukannya pemeriksaan tersangka sebelum dihadiri oleh penasihat hukum tersangka.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kompol Encep Syamsul Hayat, SH selaku penyidik di Polda Bali Pada Tanggal 18 September 2012 dapat diketahui tata cara pemeriksaan dimuka penyidik dari segi hukum dimulai dari : 1. Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan dengan bentuk apapun juga, memberikan keterangan harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran nurani, tidak boleh dipaksa dengan cara apapun baik dengan penekanan fisik dengan tindakan      kekerasan      dan

penganiayaan, maupun dengan tekanan penyidik maupun dari pihak luar. Dalam pelaksanaan proses pemeriksaan sangat sulit bagi tersangka membuktikan keterangan

yang diberikan dalam pemeriksaan adalah hasil paksaan dan tekanan. Kontrol yang tepat untuk menghindari terjadinya penekanan atau ancaman dalam pemeriksaan penyidikan     ialah     kehadiran

penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan.   Apabila ternyata

keterangan yang diberikan tersangka dalam berita  acara pemeriksaan

dilakukan dengan tekanan, ancaman atau paksaan maka hasil pemeriksaan itu tidak sah. Penasihat hukum dapat menempuh jalur praperadilan atas alasan penyidik telah     melakukan     cara-cara

pemeriksaan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang.

  • 2.    Semua keterangan tersangka tentang apa yang sebenarnya telah dilakukannya sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya dicatat oleh penyidik sesuai dengan keterangan tersangka. Pencatatan disesuaikan dengan katakata dan kalimat yang dipergunakan tersangka.     Penyidik     boleh

menyesuaikan dengan   susunan

kalimat yang lebih memenuhi kemudahan membacanya, asal maksud    yang    dikemukakan

tersangka tidak dirubah. Keterangan tersangka dicatat dalam berita pemeriksaan oleh penyidik. Setelah selesai ditanyakan atau diminta persetujuan dari tersangka tentang kebenaran isi acara tersebut. Persetujuan ini bisa dengan jalan membacakan isi berita acara, atau menyuruh membaca sendiri berita acara pemeriksaan kepada tersangka, apakah ia menyetujui isinya atau tidak. Kalau tersangka tidak setuju harus memberitahukan kepada penyidik bagian mana yang tidak disetujui untuk diperbaiki. Apabila tersangka menyetujui isi keterangan yang tertera dalam berita acara, tersangka dan penyidik membubuhkan tanda tangan dalam berita acara yang dimaksud. Apabila tersangka tidak mau membubuhkan tanda tangan dalam berita acara pemeriksaan, penyidik membuat catatan berupa penjelasan atau keterangan serta alasan kenapa tersangka tidak mau menandatanganinya.

Budaya hukum penyidik dalam melakukan penerapan hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum dapat dilihat dari jumlah kasus yang

didampingi oleh penasihat hukum, yaitu sebagai berikut :

NO

TAHUN

JUMLAH KASUS

1

2008

538 Kasus

2

2009

5 79 Kasus

3

2010

714 Kasus

4

2011

474 Kasus

5

2012

347 Kasus

JUMLAH

2652 KASUS

Sejak 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008 hingga tahun 2012 jumlah kasus tindak pidana yang ditangani oleh Polda Bali adalah 2652 Kasus.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kompol I Ketut Gede Swastika selaku penyidik di Polda Bali pada tanggal 18 September 2012, dapat dijelaskan data sebagai berikut :

  • a.    Bahwa Sejak 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008 hingga tahun 2012 jumlah tersangka yang mendapat bantuan hukum secara Cuma-Cuma sebanyak 100 Orang Tersangka.

  • b.    Bahwa Sejak 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008 hingga tahun 2012 jumlah tersangka yang telah memperoleh    haknya    untuk

didampingi penasehat hukum ada sebanyak 690 Orang Tersangka.

  • c.    Bahwa Sejak 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008 hingga tahun 2012 jumlah tersangka yang ancaman

pidananya dibawah 5 Tahun ada sebanyak 130 Orang yang menunjuk sendiri penasehat hukum untuk dirinya. Karena pihak penyidik tidak wajib menyediakan penasehat hukum bagi tersangka yang ancaman pidananya dibawah 5 tahun.

Tindak pidana yang sering mendapat bantuan hukum dari pihak penyidik adalah tindak pidana pencurian dan tindak pidana pembunuhan, namun yang paling sering mendapatkan bantuan hukum adalah tindak pidana pencurian.

Pemberian bantuan hukum kepada tersangka pada tahap penyidikan tidak selalu berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hambatan-hambatan yang terjadi dalam melakukan pendampingan terhadap tersangka pada tahap penyidikan sesuai dengan hasil wawancara dengan Ni Luh Gede Yastini pada tanggal 20 September 2012 di LBH antara lain : masalah SDM, kesehatan, cultural dan organisasi penasihat hukum itu sendiri. Hambatan yang sering dialami adalah kasus hukum yang ditangani merupakan kasus hukum

baru, sehingga penasihat hukum tidak sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, oleh karena itu sering kali penasihat hukum menolak untuk menangani kasus hukum tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan di lapangan, bantuan hukum yang diberikan oleh penasihat hukum tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang dihadapi. Kendala yang dialami atau yang meghambat dalam pemberikan bantuan hukum adalah kendala dana. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi klien yang tidak mampu, menyebabkan penasihat hukum yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang jasa/transport dari klien, bahkan harus rela mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya prodeo dalam perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata hanya sebesar Rp. 300.000,- per kasus sering tidak sampai kepada orang yang membutuhkan. Kalaupun dana

prodeo tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelit-belit di Pengadilan Negeri, sehingga banyak penasihat hukum lebih rela mengeluarkan dana pribadinya ketika menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit. Tidak hanya itu saja, kendala yang dihadapi ketika memberikan bantuan hukum adalah kurangnya koordinasi dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh penasihat hukum dan hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak mau didampingi oleh advokat ketika

disidik, kalaupun klien tersebut mau didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya.

Kendala-kendala lain yang dihadapi berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu AKBP Ni Ketut Werki, SH selaku penyidik di Polda Bali Pada Tanggal 19 September 2012 adalah apabila tersangkanya merupakan Warga Negara Asing, sehingga penyidik harus mencari penerjemah bahasa, dan tingkat kesulitannya lebih besar jika tersangkanya merupakan Warga Negara Asing yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris dan bahasa yang digunakan oleh tersangka merupakan bahasa yang jumlah penerjemah bahasanya cukup langka untuk ditemukan. Selain bahasa, kendala lainnya adalah jika suatu tindak pidana terjadinya pada saat malam hari dan pada saat hari libur terutama pada saat hari Nyepi. Karena apabila suatu tindak pidana terjadi pada saat malam hari, maka penyidik cukup mengalami kesulitan untuk mencari

Bantuan Hukum, karena pada malam hari kantor advokat/pengacara atau Lembaga Bantuan Hukum tidak buka, begitu pula saat hari libur, penyidik akan mengalami kesulitan untuk mencari Bantuan Hukum, dan yang paling sulit adalah apabila suatu tindak pidana terjadi pada saat hari Nyepi, sangat sulit mendapatkan Penasihat Hukum pada saat hari Nyepi. Tetapi apabila itu memang terjadi dan harus dengan segera mendapatkan bantuan hukum pada waktu-waktu sulit itu, penyidik akan tetap berusaha mencarikan bantuan hukum untuk tersangka.

  • IV. SIMPULAN DAN SARAN

  • 1.    Simpulan

Dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, Implementasi Hak Tersangka untuk Memperoleh Bantuan Hukum pada pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali belum berjalan dengan baik, masih ada

kasus tersangka yang tidak didampingi Penasehat hukum dan haknya sebagai tersangka terabaikan. Karena koordinasi dari penyidik dan penasihat hukum kurang baik, hal ini dapat dilihat dari dilakukannya pemeriksaan tersangka sebelum dihadiri oleh penasihat hukum tersangka. Ini terjadi karena masyarakat banyak yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia khususnya      hak      untuk

memperoleh bantuan hukum bagi yang tersangkut perkara atau kasus pidana dari sejak tahap penyidikan. Selain itu masih sering terjadi hambatan atau kendala dalam pendampingan tersangka     pada     proses

pemeriksaan tahap penyidikan

  • 2.    Saran

  • a.    Kepada         pemerintah

khususnya kepolisian di wilayah hukum Polda Bali hendaknya penyuluhan atau sosialisasi mengenai bantuan hukum semakin sering diadakan, agar masyarakat

mengetahui      pentingnya

kedudukan bantuan hukum dalam menjamin hak tersangka pada setiap proses pemeriksaan sampai dengan proses pengadilan.

  • b.    Kepada praktisi hukum hendaknya          dalam

memberikan bantuan hukum tidak melihat tersangka mampu/tidak, tetapi lebih melihat kepada kedudukan dalam memberikan bantuan hukum sebagai jaminan bahwa dalam pemeriksaan pada setiap tingkat tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh aparat yang berwenang untuk           melakukan

pemeriksaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1981, Bantuan    Hukum     dan

Kemiskinan struktural, Alumni, Bandung.

Daniel Panjaitan, 2006,   Panduan

Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan   Bantuan Hukum

Indonesia dan AusAID, Jakarta.

Frans Hendra Winarta, 2011, Bantuan Hukum di Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Hart, H. L. A, 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, London.

Kaligis,O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi  Tersangka,

Terdakwa,   dan   Terpidana,

Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang         Mempengaruhi

Penegakan hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, Kebutuhan Warga Masyarakat Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta.

Usaha Mencari Keadilan, PT.

Refika Aditama, Bandung.

Biodata Penulis

Nama   : Putu Sekarwangi Saraswati

Alamat  : Jl. Gandapura 1B no.8

No. Telp. : 08990159688

E-mail   : rinayuni_a@yahoo.com

Sofyan Lubis, M, 2010, Prinsip “Miranda    Rule”    Hak

Tersangka           Sebelum

Pemeriksaan: Jangan Sampai Anda    Menjadi    Korban

Peradilan, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Yahya Harahap, M, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta.

Zulaidi, 2010, Manfaat Pelaksanaan

Bantuan    Hukum    Bagi

Tersangka/ Terdakwa dalam

16