Tarik-Ulur Keterwakilan Perempuan Sebagai Menteri Dalam Kabinet Pemerintahan
on

Tarik-Ulur Keterwakilan Perempuan Sebagai Menteri Dalam Kabinet Pemerintahan
Supriyadi Arief1, Mohamad Rasyid Ridho2, Moh. Arief Erawan3
1Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, E-mail: supriyadiarief95@gmail.com
2Program Studi Doktoral Universitas Islam Bandung, E-mail: ridho14@gmail.com
3Program Studi Doktoral Universitas Islam Bandung, E-mail: moharieferawan19@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 14 November 2019
Diterima: 8 Agustus 2020 Terbit: 30 September 2020
Keywords:
Women; Minister; Government Cabinet.
Kata kunci:
Perempuan; Menteri; Kabinet Pemerintahan.
Corresponding Author:
Supriyadi A Arief E-mail: supriyadiarief95@gmail.com
DOI:
10.24843/JMHU.2020.v09.i03. p04
Abstract
Reformasi konstitusi Indonesia yang terjadi pada selang tahun 1999-2002 telah melahirkan ruang yang sama pada kedudukan setiap warga negara dalam pemerintahan dan tidak ada pengecualian akan hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam 27 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini menggambarkan bahwa para perumus konstitusi sangat menyadari pentingnya persamaan bagi seluruh warga negara dan sekaligus merupakan wujud nyata dari upaya menghilangkan diskriminasi antar setiap orang maupun golongan tertentu.
Pada hakikatnya, konstitusi telah memberikan ruang yang sama terhadap persamaan kedudukan dalam pemerintahan. Persamaan kedudukan tersebut mengakomodir segala bentuk perbedaan dari latar belakang setiap warga negara. Tanpa memandang agama, suku, jabatan, hingga pembedaan perempuan maupun laki-laki, setiap warga negara tidak memiliki keistimewaan dalam suatu pemerintahan. Salah satu contoh adanya persamaan kedudukan tersebut adalah dengan diberikannya posisi strategis bagi perempuan sebagai pengambil kebijakan dalam pemerintahan seperti jabatan menteri. Persepsi awal yang hanya menjadikan perempuan sebagai objek dari kebijakan, kini berubah menjadi perempuan sebagai figur pengambil kebijakan dalam pemerintahan.
Pengaturan tentang jabatan menteri dalam kabinet pemerintahan diatur dalam pasal 17 UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri yang membidangi urusan tertentu. Sebagai pembantu Presiden, mekanisme tentang pengaturan menteri dan kementeriannya selanjutnya di jabarkan dalam UU 39/2008. Selaku pimpinan tertinggi eksekutif, maka kementerian itu berada dalam kekuasaan Presiden. Itu sebabnya dalam Pasal 3 UU 39/2008 menyebutkan bahwa seluruh kementerian bertanggung jawab kepada Presiden.1 Dalam setiap sistem pemerintahan presidensil seperti di Indonesia, lumrah jika pimpinan tertinggi eksekutif membawahi seluruh cabang kementerian yang ada. Perbedaan hanya terjadi dalam hal peran lembaga negara lain mencampuri kekuasaan tersebut.2
Pasca reformasi tidak sedikit perempuan yang diberikan amanah oleh Presiden terpilih untuk menjabat sebagai menteri. Para menteri perempuan ini juga telah melahirkan berbagai capaian luar biasa hingga mendapatkan prestasi internasional. Diantara beberapa menteri perempuan tersebut adalah Sri Mulyani Indrawati yang dinobatkan sebagai The Best Minister in The World alias Menteri Terbaik di Dunia oleh World Government Summit 3 dan Susi Pudjiastuti yang berhasil meningkatkan ekspor
komoditas perikanan Indonesia dan menerapkan kebijakan pemberantasan pencurian ikan atau Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUUF).4
Capaian maksimal para menteri perempuan ini menunjukkan bahwa keberadaan perempuan sebagai menteri mampu mengimbangi peran para menteri pria dalam kabinet. Jumlah menteri perempuan dalam satu periode kabinet pemerintahan memang semakin meningkat dalam perkembangannya. Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode 2014-2019, presentase perempuan yang menjabat sebagai menteri sebanyak 23% dari jumlah keseluruhan menteri dalam kabinet pemerintahan. Akan tetapi, jumlah tersebut kemudian berkurang pada periode 20192024 yang merupakan periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Penempatan seseorang sebagai menteri dapat kategorikan sebagai kebijakan ‘previllege’ Presiden dalam menentukannya. Sebagai negara yang menganut sistem Presidensil dengan didukung koalisi partai politik, proses penentuan menteri tentu tidak akan lepas dari tarik ulur koalisi partai politik yang mendukung Presiden terpilih. Penentuan komposisi menteri akan apresiatif dan maksimal apabila previllege tersebut didasarkan oleh kompetensi bidang dari setiap calon menteri, namun akan menjadi problematik apabila kebijakan tersebut juga ‘disisipi’ adanya porsi kementerian tertentu bagi partai pengusung calon Presiden terpilih. Tentu hal ini akan berpengaruh pada presentase penempatan posisi perempuan sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan.
Perkembangan pemilihan perempuan sebagai menteri dalam setiap era pemerintahan menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam selain diskursus tentang kedudukan menteri perempuan dalam perspektif persamaan kedudukan dihadapan pemerintahan. Dalam hal ini apakah jumlah perempuan sebagai menteri sudah ideal jumlahnya dalam mendukung kerja pemerintahan. Untuk itu perlu dikaji dan diuraikan lebih jauh tentang problematika penempatan perempuan sebagai menteri di Indonesia dan presentase efektif keterwakilan perempuan sebagai menteri dalam suatu kabinet pemerintahan.
Kajian tentang kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan kenegaraan lebih terfokus pada perlindungan hak-hak perempuan secara regulasi dan partisipasi perempuan pada ranah politik serta. Pembahasan tersebut diantaranya dapat ditemukan dalam jurnal yang ditulis oleh Laura Hardjaloka dengan judul “Potret Keterwakilan Perempuan Dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi Dan Implementasi” serta artikel yang ditulis oleh Dede Kania berjudul “Hak Asasi Perempuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”. Merujuk hal tersebut, pembahasan dua kajian tersebut tidak mengkaji keterwakilan perempuan dalam ranah kehidupan ketatanegaraan yang lain, seperti keterwakilan perempuan dalam suatu kabinet pemerintahan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan menguraikan jaminan terhadap hak-hak seorang perempuan yang dapat menjadi menteri sekaligus bentuk pelaksanaan dari jaminan tersebut.
Penelitian ini akan mengkaji fokus permasalahan secara normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 5 Penelitian hukum normatif dilakukan karena hendak menemukan aturan maupun prinsip-prinsip hukum untuk menyelesaikan fokus permasalahan yang dikaji oleh penulis. Dalam penelitian hukum normatif, data sekunder mencakup bahan hukum primer yang meliputi norma atau kaidah dasar, peraturan dasar (UUD 1945), peraturan perundang-undangan (UU HAM dan UU Kementerian Negara) serta bahan hukum sekunder seperti hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum. 6 Selanjutnya penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah serta pendekatan konseptual dalam mengkaji artikel ini. Melalui tiga pendekatan tersebut diharapkan akan terlihat problematika hingga solusi terkait kedudukan menteri yang dijabat oleh seorang perempuan.
Rumusan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mencerminkan adanya akomodasi persamaan hak sebagai materi muatan dalam konstitusi negara. Akomodasi persamaan hak dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut dalam pandangan Bagir Manan mengandung dua aspek penting, yakni:7 Pertama, persamaan kesempatan untuk bekerja atau menempati posisi pada jabatan pemerintahan. Kedua, berhak menerima perlakuan sama yang diberikan oleh pemerintah. Sementara itu, menurut Hernadi Affandi bersamaan kedudukan dalam pemerintahan dapat diartikan sebagai terbukanya kesempatan yang sama untuk berperan serta pada pemerintahan. Hak setiap warga negara untuk mengambil peran dalam suatu pemerintahan berarti dibukanya kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk bekerja di pemerintahan, menduduki jabatan pemerintahan, maupun mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sama. 8 Kesempatan yang setara dalam mengabdikan diri dalam bidang pemerintahan tersebut termasuk adanya kesempatan yang sama bagi perempuan menduduki jabatan menteri dalam satu kabinet pemerintahan.
Terbukanya ruang yang sama bagi perempuan dalam pemerintahan menunjukkan bahwa negara telah menjamin HAM yang sejalan dengan nilai-nilai dalam demokrasi konstitusional. Demokrasi dan HAM diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sulit untuk dipisahkan. Perlindungan HAM merupakan tujuan yang juga sekaligus syarat
mutlak terhadap jalannya demokrasi. Sebaliknya, kegagalan dalam melakukan perlindungan dan penghormatan HAM merupakan ancaman bagi demokrasi.9
Jaminan keberlangsungan penyelenggaran pemerintahan yang tidak diskriminatif ini kemudian berkembang menjadi kewajiban bagi setiap negara. Bahkan, ketentuan dalam ICCPR mengharuskan warga negara mempunyai kesempatan dan hak tanpa adanya pembedaan apapun dalam melaksanakan urusan pemerintahan.10 Lebih lanjut, ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 43 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk turut serta dalam pemerintahan (baik secara langsung maupun melalui perantaraan wakil yang dipilih) dan diangkat pada jabatan pemerintahan.
Secara khusus tentang syarat pengangkatan seorang menteri oleh Presiden hanya berupa syarat administratif umum semata, yakni: WNI; bertakwa kepada Tuhan YME; memiliki kesetiaan terhadap Pancasila, UUD dan cita-cita proklamasi kemerdekaan; sehat; berintegritas dan berkepribadian baik; tidak pernah dipenjara karena melakukan perbuatan pidana yang diancam penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih.11
Adanya syarat tersebut juga didukung oleh larangan rangkap jabatan tertentu, misalnya jabatan negara yang lain yang juga diatur dalam perundang-undangan, jabatan direksi pada suatu perusahaan, pimpinan pada organisasi tertentu yang kegiatannya dibiayai oleh APBN/APBD. 12 Prasyarat yang diatur dalam UU Kementerian Negara tersebut menunjukkan bahwa tidak ada batasan terhadap ruang gerak perempuan untuk dapat menduduki suatu jabatan tertentu.
Akomodasi posisi perempuan secara khusus terkait perannya sebagai seorang menteri dalam pemerintahan telah secara jelas memiliki dasar hukum pelaksanaannya. Selain diatur dalam konstitusi, persamaan hak perempuan dalam keterwakilannya di pemerintahan telah diakomodir dalam undang-undang pelaksanannya. Oleh sebab itu, dengan tidak adanya sekat diskriminatif antara perempuan maupun laki-laki, maka saat ini perempuan telah mendapatkan ruang yang sama dalam pemerintahan.
Presiden mempunyai kekuasaan diantaranya adalah mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara sebagai pihak yang akan membantu Presiden dalam tugas pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD 1945. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik seperti jabatan menteri seringkali dianggap sebagai hak mutlak atau hak prerogatif Presiden.13 Posisi seorang menteri merupakan jabatan yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan secara langsung. Dalam hal ini, seorang menteri melalui kementerian yang dipimpinnya mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam menentukan politik kebijakan negara yang diputuskan oleh Presiden. Oleh sebab itu, posisi menteri dan Presiden merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dan yang lainnya.
Dalam catatan sejarah, awal pembentukan kementerian pada fase awal pasca kemerdekaan maupun pada demokrasi terpimpin, penempatan posisi menteri juga memberikan ruang bagi perempuan untuk berada pada posisi startegis tersebut. Pada kabinet Syahrir terdapat salah satu tokoh perempuan yang diangkat sebagai Menteri Sosial pertama di Indonesia, yakni Maria Ulfah. Maria menjabat dalam era kabinet Syahrir II dan kabinet Syahrir III.14 Selain itu, Maria juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Generasi menteri perempuan selanjutnya adalah SK Trimurti yang merupakan anggota Partai Buruh Indonesia ditunjuk sebagai Menteri Sosial pada Kabinet Amir Sjarifuddin ke-215
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno menandai babak baru sistem pemerintahan Indonesia. Pada era ini, terdapat 7 (tujuh) kabinet pemerintahan dengan posisi Soekarno sebagai pimpinan kabinet dalam jabatannya sebagai Presiden. Terdapat dua posisi menteri yang diduduki oleh perempuan, yakni Menteri Sosial yang dijabat oleh Ruslah Sardjono dan Menteri Pendidikan Dasar yang dijabat oleh Artati Mardzuki Sudirdjo.16
Penempatan perempuan dalam kabinet selanjutnya terjadi pada masa orde baru yang merupakan masa jabatan Presiden Soeharto (1966-1998). Pada awalnya, hanya terdapat 1 (satu) orang menteri perempuan yakni L. Soetanto yang menjabat sebagai menteri Urusan Peranan Wanita pada Kabinet Pembangunan III. Jumlah tersebut bertambah menjadi 3 (tiga) orang dalam Kabinet Pembangunan IV, yakni Nani Soedarsono sebagai Menteri Sosial, dan Menteri Urusan Peranan Wanita dijabat oleh L.Soetanto yang kemudian digantikan oleh Anindyati Soelasikin Murpratomo. 17 Penambahan jumlah perempuan sebagai menteri pada era orde baru terjadi pada akhir masa jabatan Soeharto, yakni pada Kabinet Pembangunan VII, saat itu terdapat tiga kementerian yang dijabat oleh perempuan, yakni Kementerian Pertanian yang dijabat oleh Justika Sjarifudin Baharsjah, Kementerian Sosial dijabat oleh Siti Hardiyanti Rukmana, serta Tutty Alawiyah yang menjabat sebagai menteri Negara Peranan Wanita.18
Jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang berakibat pada pergantian Presiden tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah perempuan sebagai menteri. Pada masa kepemimpinan Presiden Habibie, Presiden K.H Abdurahman Wahid, hingga Presiden Megawati Soekarnoputri jumlah perempuan sebagai menteri stagnan dengan jumlah dua orang. Pada era Presiden Habibie hanya Siti Hardiyanti Rukmana yang tidak menjabat sebagai menteri lagi, dan posisinya digantikan oleh Justika Sjarifudin Baharsjah. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden K.H Abdurahman Wahid juga hanya terdapat dua kementerian yang dijabat oleh perempuan, yakni
Kementerian Pemukiman dan Pembangunan Daerah yang dijabat oleh Erna Witoelar serta Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan yang diduduki oleh Khofifah Indar Parawansa.19 Sementara itu, pada pemerintahan Presiden Megawati juga hanya menempatkan dua orang menteri perempuan dari sebanyak 35 menteri termasuk penggantian. Kedua menteri tersebut adalah Rini Soewandi yang menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Sri Redjeki Sumaryoto yang menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.20
Masa kepemimpinan Presiden Megawati ini menunjukkan bahwa dengan posisi Presiden seorang perempuan tidak menjadi garansi terhadap posisi menteri perempuan yang proporsional dalam kabinet pemerintahan. Presentase perempuan sebagai menteri kemudian bertambah dua kali lipat dari sebelumnya di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada kabinet Indonesia Bersatu jilid I, terdapat empat perempuan yang menduduki jabatan menteri, yakni Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Koordinator Perekonomian yang juga sekaligus merangkap sebagai Menteri Keuangan, Marie Elka Pangestu yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Siti Fadilah Supari menjabat sebagai Menteri Kesehatan, serta Meutia Farida Hatta yang menduduki posisi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
Jumlah kementerian pada kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang dijabat oleh menteri wanita masih tetap empat kementerian dengan terjadi satu kali fase pergantian menteri perempuan yang juga digantikan oleh seorang perempuan. Pos kementerian yang diisi oleh para wanita tersebut adalah: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dijabat oleh Marie Elka Pangestu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS Armida Alisjahbana, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Linda Amalia Sari, serta Kementerian Kesehatan yang diduduki oleh Endang Rahayu Sedyaningsih digantikan oleh Nafsiah Mboi.21
Pada kabinet Indonesia Maju Jilid I era pemerintahan Presiden Joko Widodo, terdapat delapan perempuan dari tiga puluh empat orang yang menjabat sebagai menteri. Delapan Menteri tersebut adalah Puan Maharani sebagai Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri, Sri Mulyani Indrawati Sebagai Menteri Keuangan, Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nila Moeloek sebagai Menteri Kesehatan, Yohana Yambise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Rini Soemarno sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara. Sebenarnya terdapat sembilan pos kementerian yang diduduki oleh perempuan. Akan tetapi, Khofifah Indar Parawansa sebagai salah satu Menteri mengundurkan diri dan digantikan oleh menteri pria.
Terbaru, terjadi penurunan jumlah perempuan yang menjabat sebagai menteri pada pemerintahan Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Pada periode ini, hanya terdapat lima orang perempuan sebagai menteri. Tiga dari menteri tersebut adalah menteri yang pada periode sebelumnya, yakni Retno Marsudi Sri Mulyani serta Siti Nurbaya. Sementara itu, dua orang lainnya adalah Ida Fauziyah yang menjabat
sebagai Menteri Tenaga Kerja, dan I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang ditunjuk sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Merujuk perkembangan penempatan perempuan sebagai menteri pada kabinet pemerintahan dari masa ke masa, maka penempatan tersebut memang merupakan kebijakan prerogatif Presiden dan tidak memiliki komposisi keterwakilan yang pasti dalam setiap pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam jabatan menteri tersebut bisa saja bertambah atau bahkan bisa saja berkurang tergantung Presiden itu sendiri.
Sejak awal penempatan hingga saat ini, jabatan perempuan sebagai menteri memang lebih diprioritaskan berhubungan dengan kehidupannya sosialnya, seperti jabatan menteri sosial atau menteri perlindungan perempuan. Memang pada dua masa Presiden terakhir yakni Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo telah menempatkan perempuan pada beberapa kementerian ‘diluar’ pos kementerian yang berhubungan dengan kodratnya seperti Kementerian Keuangan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Akan tetapi, posisi tersebut masih kecil dibadingkan dengan beberapa kementerian strategis lain yang masih ‘dirajai’ oleh para kaum pria. Sebut saja Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, atau bahkan Kementerian Hukum dan HAM yang sampai saat ini belum pernah dijabat oleh menteri perempuan. Padahal tidak sedikit perempuan yang mempunyai kompetensi dalam beberapa kementerian startegis yang menjadi bagian dari Triumvirat tersebut.
Apabila dibandingkan dengan posisi perempuan yang menduduki pos kementerian startegis pada beberapa negara seperti di Italia, Albania, Belanda, Jerman, hingga di Norwegia, jabatan Menteri Pertahanan telah dijabat oleh Menteri Perempuan.22 Tugas dan tanggung jawab sebagai menteri Pertahanan sudah pasti sebagian besarnya akan berhubungan dengan dunia militer yang hampir sebagian besar didominasi oleh para pria. Akan tetapi, menilik posisi tersebut yang dapat dijalankan di beberapa negara di Eropa tentu hal tersebut tidak tertutup kemungkinan juga terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, selama kepemimpinan Presiden dari era Soekarno hingga Joko Widodo saat ini belum memiliki kemauan dan keberanian dalam menempatkan perempuan pada posisi menteri pertahanan.
Posisi kementerian strategis yang kedudukannya disebutkan dalam UUD NRI 1945 atau biasa disebut dengan Triumvirat, salah satu diantaranya kini sementara diduduki oleh seorang perempuan, yakni Retno Marsudi yang menjabat sebagai menteri Luar Negeri. Akan tetapi, untuk jabatan Menteri Pertahanan (seperti yang disebutkan diatas) dan Menteri Dalam Negeri belum pernah dijabat oleh perempuan. Untuk jabatan Menteri Dalam Negeri misalnya, apabila berkaca dari negara lain seperti Jepang telah menempatkan perempuan pada posisi Menteri Dalam Negeri. Bahkan, Raya El Hassan yang dilantik sebagai Menteri Dalam Negeri Lebanon.23
Pengisian jabatan menteri pada kabinet pemerintahan memang tidak memiliki ketetapan serta presentase yang jelas. Padahal pengisian jabatan secara tidak langsung akan menentukan proses bekerjanya kementerian tersebut. Sementara itu, domain pengangkatan menteri memang menjadi kewenangan mutlak seorang Presiden, namun wewenang tersebut seharusnya diwujudkan dalam jumlah yang baku atau batasan minimal terhadap posisi perempuan sebagai menteri. Hal ini akan menunjukkan adanya dukungan negara pada konsepsi bersamaan kedudukan dalam pemerintahan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi. Selain itu, hal tersebut juga dimaksudkan agar tidak terjadi ‘kemunduran’ pada keterwakilan perempuan sebagai menteri pada kabinet pemerintahan hanya berdasar adanya pergantian masa pemerintahan Presiden.
Jumlah baku terhadap presentase perempuan sebagai menteri tersebut merupakan upaya affirmative action terhadap posisi penempatan perempuan dalam kabinet pemerintahan. Upaya tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganggu hak prerogatif presiden dalam menentukan komposisi menterinya. Namun, hal ini merupakan langkah konkrit yang dapat dilakukan guna mengakomodir perempuan dalam kabinet pemerintahan. Pilihan tersebut akan lebih maksimal apabila terdapat kemauan dan kesadaran dari Presiden akan kedudukan perempuan pada jabatan di suatu kementerian.
Adanya penentuan jumlah perempuan dalam kabinet pemerintahan juga tidak hanya dipandang sebagai bentuk pemenuhan dalam presentase angka semata, namun penentuan jumlah tersebut harus disesuaikan dengan komposisi menteri yang ada, sehingga menghasilkan bentuk kabinet pemerintahan yang ideal antara komposisi menteri laki-laki dan menteri perempuan.
Penempatan seorang perempuan sebagai menteri tentu tidak akan lepas dari ada atau tidaknya dorongan/masukan kepada Presiden untuk menempatkan para perempuan yang ahli dibidangnya masing-masing untuk menduduki posisi menteri pada suatu pos kementerian. Selain itu, berkenaan dengan hak yang prerogatif dalam penentuan seorang menteri yang dimiliki oleh seorang Presiden, seharusnya hak tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk jumlah keterwakilan perempuan yang memadai dalam suatu kabinet.
Penentuan batas minimal merupakan bentuk jawaban dari presentase keterwakilan perempuan yang tidak pernah tetap jumlahnya. Upaya tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganggu hak prerogatif Presiden dalam menentukan komposisi menterinya. Namun, hal ini justru dimaksudkan sebagai langkah konkrit yang dapat dilakukan guna mengakomodir keterwakilan perempuan dalam kabinet pemerintahan.
Batas minimal yang dimaksudkan oleh penulis dapat berkaca pada batas 30% sebagaimana keterwakilan perempuan pada daftar calon legislatif setiap partai yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu. Walaupun ranahnya berbeda antara jumlah 30% dalam legislatif dan usulan batas minimal keterwakilan perempuan dalam suatu kabinet pemerintahan (eksekutif), langkah ini merupakan bentuk nyata guna mengakomodir keterwakilan perempuan sebagai pihak yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menduduki jabatan strategis dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia dan sebagai pengambil kebijakan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Angka 30% merupakan presentase minimal yang memberikan pengaruh signifikan dalam proses pengambilan dan penetuan suatu kebijakan. Jumlah keterwakilan perempuan sebagai menteri dapat saja melebihi jumlah tersebut, tergantung dengan hasil penilaian dan penelusuran seorang Presiden terhadap para calon menterinya. Pilihan tersebut akan lebih maksimal apabila terdapat kemauan dan kesadaran dari Presiden akan kedudukan perempuan pada jabatan di suatu kementerian.
Langkah ini merupakan suatu bentuk tindakan khusus untuk menjamin terlaksananya persamaan kedudukan dalam pemerintahan. Secara konstitusional, upaya pengkhususan atau disebut juga affirmative action disebutkan dalam Pasal 28H ayat (2) dan 28I ayat (2) UUD 1945. Affirmative Action adalah kebijakan yang bertujuan agar suatu golongan memperoleh peluang yang sama dengan golongan lain dalam bidang yang sama, atau dapat diartikan sebagai pengistimewaan kepada kelompok tertentu.24 Sementara itu, affirmative action sebagai diskriminasi positif dalam pandangan Jazim Hamidi merupakan kebijakan yang dibuat untuk melindungi hak kaum yang rawan mendapatkan diskriminasi.25
Berangkat dari hal tersebut, maka tindakan khusus yang dimaksud dalam tulisan ini dilakukan agar presentase perempuan yang menduduki posisi menteri dapat setara atau minimal dapat meminimalisir jumlah yang timpang dengan para pria yang menjadi menteri dalam suatu kabinet. Secara khusus hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong jumlah perempuan sebagai menteri lebih representatif.
Secara umum, negara yang menerapkan affirmative action mempunyai cara pandang yang sama dengan menitikberatkan perempuan sebagai kelompok masyarakat yang seharusnya diberikan tindakan khusus oleh negara agar dapat menempatkan posisinya pada wilayah-wilayah publik seperti jabatan dalam pemerintahan. Walaupun perempuan merupakan bagian terbesar dari penduduk di Indonesia, namun jumlah terbesar perempuan tidak seimbang dengan keterwakilan mereka dalam aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, pendidikan dan sosial lainnya.26 Oleh sebab itu, penerapan affirmative action harus difokuskan pada upaya untuk menghadirkan representasi identitas perempuan secara kuantitas, yang pada akhirnya akan mendorong kesetaraan serta hadirnya kepentingan bagi perempuan.27
Disadari atau tidak, salah satu nilai yang terkandung dalam demokrasi adalah adanya jaminan dan pengakuan terhadap kesetaraan. Oleh sebab itu, pelaksanaan tindakan khusus berupa penentuan batasan minimal terhadap presentase perempuan sebagai menteri dapat dilakukan. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hal, yakni:
-
1. Paham Patriarkhis Masih Tinggi
Mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan perempuan secara tradisional yang menghambat dan membatasi partisipasi perempuan di bidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan. 28 Selain itu, kuatnya peran tersebut sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. 29 Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa perempuan masih dibawah subordinat laki-laki.
-
2. Penentuan Komposisi Yang Belum Proporsional
Dalam rentan waktu sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, perkembangan penempatan komposisi setiap kabinet pemerintahan selalu didominasi oleh para pria sebagai menteri, sangat jarang perempuan diberikan ruang untuk menjabat sebagai menteri dalam suatu kabinet pemerintahan. Jikapun perempuan diberikan kesempatan sebagai menteri, hanya ditempatkan pada posisi kementerian yang berhubungan dengan kodrat dan kehidupan sosialnya sehari-hari dan jumlahnya sangat terbatas.
-
3. Intervensi Parpol Yang Berlebihan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem Presidensil di Indonesia dibangun atas dasar sistem koalisi partai-partai pengusung calon presiden terpilih yang berada di DPR, hal ini berakibat pada pasangan calon Presiden-Wakil Presiden wajib memenuhi Presidential Treshold. Muara dari hal tersebut adalah apabila pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang diusung oleh koalisi partai pengusung memperoleh kemenangan dalam Pemilu, maka konsekuensi logisnya adalah partai politik akan meminta ‘jatah’ menteri sebagai bentuk politik balas budi yang pernah dilakukan oleh partai-partai pengusung tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, maka sangat terbuka adanya tindakan khusus untuk yang dapat mengakomodir perempuan dalam setiap kabinet pemerintahan. Adanya penentuan jumlah perempuan dalam kabinet pemerintahan juga tidak hanya dipandang sebagai bentuk pemenuhan dalam presentase angka semata, namun penentuan jumlah tersebut harus disesuaikan dengan komposisi menteri yang ada, sehingga menghasilkan bentuk kabinet pemerintahan yang ideal antara komposisi menteri laki-laki dan menteri perempuan.
Selain penentuan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai menteri yang akan menghasilkan komposisi yang ideal antara menteri laki-laki dan menteri perempuan, penentuan suatu kabinet pemerintahan seharusnya juga didasarkan pada corak zaken kabinet. Zaken yang dimaksudkan adalah bahwa menteri yang dipilih harus memiliki intergritas, kapabilitas dan akseptabilitas. 30 Zaken kabinet merupakan komposisi
kabinet yang berbasis ahli dianggap sebagai pilihan ideal ketimbang berbasis partai politik karena kabinet ahli relatif bisa terhindar dari potensi politk kepentingan.31
Keterwakilan perempuan sebagai menteri dapat memberikan presentase yang efektif dalam suatu kabinet pemerintahan. Efektifitas tersebut akan tercapai apabila terdapat kesesuaian profesionalitas seorang perempuan dengan dengan apa yang menjadi prioritas pemerintahan serta kemampuan memetakan tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintah. Hal ini harus dipertimbangkan secara maksimal oleh Presiden. Sebab bisa saja keterwakilan dan profesionalitas seorang menteri perempuan tercapai namun pada pelaksanaannya kebijakan yang dipilih oleh para menteri perempuan justru tidak akan sejalan dengan fokus pemerintahan dan keadaan yang akan dihadapi. Oleh sebab itu, adanya keterwakilan perempuan dalam setiap kabinet pemerintahan tidak boleh hanya sebatas hak prerogatif Presiden dalam kerangka kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari Presiden dan sebagai amanat konstitusi semata, bnamun Presiden juga harus mempertimbangkan berbagai hal lainnya, agar terjadi keselarasan antar visi Presiden, profesionalitas seorang calon menteri, serta kebijakan yang akan diambil oleh menteri dalam mengimplementasikan serta menghadirkan gagasan terhadap setiap permasalahan yang akan dihadapi. Itulah sebabnya, penting bagi Presiden untuk mengenal lebih mendalam calon menteri yang akan dipilihnya, khususnya perempuan yang akan ditunjuk sebagai menteri.
Akhirnya, seluruh elemen negara harus turut serta aktif memberikan masukan konstruktif serta pengawasan yang berkesinambungan kepada Presiden dalam menentukan komposisi kabinetnya. Hal ini dimaksudkan agar representasi keterwakilan perempuan dalam upaya pengambilan kebijakan pemerintahan pada jabatan kementerian tertentu tidak akan berkurang atau bahkan tidak terwakili sama sekali kedudukannya. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar mengeliminasi secara kontributif adanya politik transaksional dalam penentuan posisi strategis menteri pada kabinet pemerintahan.
Pemenuhan hak konstitusional warga negara dapat terlihat pada adanya ruang terhadap perempuan untuk menduduki jabatan sebagai menteri pada suatu kabinet pemerintahan. Keterwakilan perempuan sebagai menteri hingga pada pemerintahan saat ini telah diakomodir dalam beberapa kabinet pemerintahan. Akan tetapi, tidak terdapat jumlah yang tetap terhadap perempuan yang menjadi menteri. Perempuan cenderung menempati kementerian yang berhubungan dengan kodrat dan kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu, dapat dilakukan suatu tindakan khusus (affirmative action) berupa penentuan batas minimal jumlah keterwakilan perempuan dalam suatu kabinet pemerintahan. Selain itu, penentuan komposisi kabinet pemerintahan juga didasarkan pada profesionalitas seorang calon menteri. Hal ini dimaksudkan agar kabinet yang disusun merupakan kabinet zaken. Beberapa indikator tersebut akan maksimal apabila Presiden memiliki kemauan dan keterbukaan untuk menempatkan perempuan sebagai menteri dengan komposisi yang hampir setara dengan para menteri pria.
Daftar Pustaka
Buku
Abdurrahman, A, (eds). (2012). Satu Dasawarsa Perubahan UUD 1945. Bandung: Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Affandi, Hi. (2017). Persamaan Kedudukan Di Depan Hukum dan Pemerintahan (Konsepsi dan Implementasi). Bandung: Mujahhid Press.
Manan, B. (2009). Hukum Kewarganegaraan Indonesia Dalam UU No. 18 Tahun 2006, cetakan-1. Yogyakarta: FH UII Press.
Gaffar, J. M., & Budiarti, R. T. (2012). Demokrasi konstitusional: praktik ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945. Konstitusi Press (Konpress).
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2014). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, cet. 16. Rajawali Pers, Jakarta.
Jurnal
Ardiansa, D. (2017). Menghadirkan Kepentingan Perempuan dalam Representasi Politik di Indonesia. Jurnal Politik, 2(1), 71-99.
DOI: https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.82.
Artina, D. (2016). Keterwakilan Politik Perempuan dalam Pemilu Legislatif Provinsi Riau Periode 2014-2019. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 23(1), 123-141.
DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol23.iss1.art7.
Fahlevi, R., & Mustaqim, D. H. (2020). Kolaborasi Kabinet Zaken dan Kabinet Koalisi dalam Pembentukan Kabinet Efektif. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 19(02), 4854. DOI: https://doi.org/10.21009/jimd.v19i02.14939.
Hamidi, J. (2016). Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 23(4), 652-671. DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol23.iss4.art7.
Nazriyah, R. (2016). Pemberhentian Jaksa Agung dan Hak Prerogatif Presiden. Jurnal Konstitusi, 7(5), 013-040. DOI: https://doi.org/10.31078/jk%25x
Sayuti, H. (2013). Hakikat Affirmative Action dalam Hukum Indonesia (Ikhtiar Pemberdayaan yang Terpinggirkan). MENARA, 12(1), 41-47.
Widarto, J. (2009). Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 Terhadap Upaya Affirmative Action Dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 Di Kota Malang. Konstitusi Jurnal, 2(1), 73.
Hasil Penelitian dan Makalah
Isra, S, (Et.al). (2014). Lembaga Kepresidenan Dan Postur Kabinet Menurut UUD 1945. Hasil Kajian Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Bekerjasama dengan Tim Transisi Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Mochtar, Z.A. (2019). Kabinet, Koalisi dan Sistem Presidensial. Dalam Seminar Nasional dengan Tema “Pengisian Jabatan Kabinet Dalam Penguatan Sistem Presidensil” Yang Dilaksanakan pada rangakaian Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (RAKERNAS APHTN-HAN), Gorontalo, 6 Juli.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 9 No. 3 September 2020, 507-520
Internet
Admin Kementerin Kelautan Daan Perikanan. (2017). Tak Hanya Illegal Fishing, Ini Capaian Tiga Tahun Kinerja KKP. KKP. Retrieved from
https://kkp.go.id/artikel/111-tak-hanya-illegal-fishing-ini-capaian-tiga-tahun-kinerja-kkp.
Alif, Herdi. (2018). Sri Mulyani Jadi Menteri Terbaik Dunia Bikin Bangga Pembaca. DetikFinance. Retrieved from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4364771/sri-mulyani-jadi-menteri-terbaik-dunia-bikin-bangga-pembaca.
Fatimah, Susi. (2014). Kabinet Pembangunan VII Hanya Bertahan Tiga Bulan. Retrieved from https://news.okezone.com/read/2014/09/15/339/
1039111/kabinet-pembangunan-vii-hanya-bertahan-tiga-bulan.
Hidayanti, Nurul. (2017). Ini Bukan Ibu-Ibu Rumpi, Tapi Menhan Negara Eropa. Retrieved from https://kumparan.com/@kumparannews/ini-bukan-ibu-ibu-
rumpi-tapi-menhan-negara-eropa.
Hustami,A Esti. (2018). Sosok Maria Ulfah, Sejarah Mencatatnya Sebagai Perempuan Pertama yang Jadi Menteri Sosial RI loh!. Retrieved from https://www.grid.id/read/04707010/yuk-mengenal-sosok-maria-ulfah-sejarah-mencatatnya-sebagai-perempuan-pertama-yang-jadi-menteri-sosial-ri-loh?page=all.
Klinik Hukum Online. (2009). Affirmative Action. Retrieved from https:// www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6904/affirmative-action/.
Republika.co. (2014). Dari Soekarno Sampai Jokowi. Retrieved from https://republika.co.id/berita/koran/news-update/14/11/03/negalv14-dari-soekarno-sampai-jokowi.
RS, Zen. (2016). Serba-Serbi Sejarah Kabinet di Indonesia. Retrieved from https://tirto.id/serba-serbi-sejarah-kabinet-di-indonesia-bwmt.
Zainal, Alfian. (2019). Rayya El Hassan, Wanita Pertama Menjabat Menteri Dalam Negeri Di Timur Tengah, Kekuasaannya Luas. Retrieved from https://batam.tribunnews.com/2019/02/06/raya-el-hassan-wanita-pertama-menjabat-menteri-dalam-negeri-di-timur-tengah-kekuasaannya-luas.
520
Discussion and feedback