Status Hukum Ghostwriter dan Pemegang Hak Cipta dalam Plagiarisme Menurut Undang-Undang Hak Cipta
on
Status Hukum Ghostwriter dan Pemegang Hak Cipta dalam Plagiarisme Menurut Undang-Undang Hak Cipta
Atiekah Achmad1, Kholis Roisah2
1Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-Mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-Mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 13 Nopember 2019
Diterima: 10 Juni 2020
Terbit: 31 Juli 2020
Keywords:
Legal protection; Ghostwriting;
Plagiarism
Kata kunci:
Perlindungan hukum;
Ghostwriting; Plagiarisme
Corresponding Author:
Atiekah Achmad, Email: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2020.v09.i02.p.15
Abstract
nomor 28 tahun 2014. Melalui Undang-Undang dapat diidentifikasi apakah seseorang melakukan plagiarisme dengan menggunakan jasa ghostwriter. Juga dengan alasan sulitnya perbuatan ini dikatakan sebagai pelanggaran hak kekayaan intelektual penelitian ini ditulis dengan mempelajari pendapat mengenai ghostwriting. Adanya berbagai pandangan dan kasus-kasus yang pernah ada di berbagai negara menjadi tolok ukur dalam mengidentifikasi masalah yang diangkat penulis dalam penelitian.
-
I. Pendahuluan
Melalui kemajuan teknologi, kesempatan penulis menuangkan inspirasi mereka untuk dapat menciptakan suatu karya semakin luas. Karya yang mereka wujudkan dapat berupa karya tulis yang dibukukan maupun karya tulis online. Kemajuan teknologi tidak hanya mengembangkan kemajuan fasilitas sarana bagi penulis namun juga memperluas jangkauan mereka untuk memperkenalkan karyanya pada public. Sarana yang dihasilkan dari teknologi berupa media sosial dan media online lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh penulis untuk menarik perhatian public. Media sosial dan media online menjadi sarana marketing bagi penulis. Ide-ide dan pikiran kreatif yang dimiliki oleh penulis d`idorong dan ditarik keluar melalui minat penulis yang semakin besar dari kemajuan sarana yang mempermudah aplikasi penulisan melalui media online. keberagaman media online sangat membantu penulis memilih ruang menulisnya. Melaui website aplikasi jejaring sosial dan situs-situs yang membuka kesempatan bagi penulis amatir hingga handal untuk mencoba mengapresiasikan diri mereka.
Penulis yang menggunakan sarana ini tidak lantas selalu memiliki niat untuk mempopulerkan diri mereka, justru banyak dari mereka yang terjun ke dunia penulisan online dengan merahasiakan identitas dirinya. Penulis-penulis anonymous yang berkecimpung di dunia online ini membatasi diri untuk menerbitkan karyanya agar dapat dinikmati para pembaca dan kemampuan menulis mereka tanpa harus menunjukkan dirinya siapa.
Para penulis tidak hanya ingin dikenal sebatas melalui bentuk karyanya saja, namun juga skill menulis untuk nilai tambah dan juga value atas apa yang dimiliki. Menggunakan media online untuk menampakkan kemampuan mereka tidak kemudian menjadikan mereka selalu dilirik oleh penerbit, namun juga para pihak-pihak yang hanya membutuhkan kemampuannya untuk menuangkan apa yang dimiliki seseorang menjadi bentuk suatu tulisan atau berbentuk buku.
Anonymous writer atau biasa disebut sebagai ghostwriter ini berada dalam ruang peran yang abu-abu. Melalui perannya sebagai penulis namun publikasi yang tidak untuk diperuntukkan untuk dirinya sendiri, menghilangkan peran ghost writer sebagai penulis atau pencipta. Dia tidak hanya kehilangan perannya sebagai penulis namun juga sebagai pemilik dari karya tersebut. Publik atau masyarakat yang menikmati hasil karyanya tidak akan pernah tahu cerita dibalik pembuatan karya tersebut.
Perlindungan hukum melalui Undang-Undang Hak Cipta yaitu, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 dirasakan tidak cukup untuk menolong para penulis anonymous atau ghost writer. Tidak hanya sebutannya yang asing namun juga pengaturannya dalam Undang-Undang tidak dikenal sehingga hak-hak yang lahir dari dia
menciptakan suatu karya cipta tidak memiliki dinding perlindungan. Hak-hak ghost writing dianggap telah diserahkan sepenuhnya dan tidak menyisakan suatu bentuk hak harafiah yang ikut lahir bersama ciptaannya. Hak-hak yang lahir dimana dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 adalah tidak hanya hak ekonomi namun hak lain seperti hak untuk mencantumkan identitas dan publikasi atas dirinya sebagai penulis karya tersebut.
Terkait dengan identitas penulis yang anonymous (ghost writer) yang memiliki ikatan kerja sama dengan pihak lain untuk penggunaan kemampuannya sebagai penulis memiliki garis batas yang sangat tipis bahkan ada beberapa yang telah melampaui garis batas untuk dinilai sebagai plagiarisme.
Melalui kemajuan teknologi yang sangat canggih seperti masa sekarang, untuk seseorang melakukan plagiarisme cenderung sangatlah tinggi. Menggunakan internet untuk browsing, mencari artikel, bahkan melakukan pengutipan secara penuh terhadap apa yang mereka temukan di halaman internet. Meski sudah ada pengaturan-pengaturan mengenai plagiarisme yang telah dilengkapi dengan sistem sanksi, kesulitan untuk men-detect suatu tulisan setiap orang untuk diperiksa unsur tingkat originalitasnya sangat lah sulit dan memakan waktu yang lama kecuali di saat suatu tulisan mendapatkan banyak sorotan perhatian. Terhadap penulis baik yang memegang hak cipta, paten, atau semua bentuk jenis hak Kekayaan Intelektual terikat secara penuh dan dilindungi oleh hukum melalui perundang-undangan terkait dengan prioritas Hak Kekayaan Intelektual. Meski demikian kita tidak dapat memungkiri bahwa terdapat kasus-kasus yang tetap tidak bisa diterobos oleh hukum untuk memberikan perlindungan terhadapnya.
Terkait penegasan apakah ghostwriting termasuk dalam kategori plagiarism sangat sulit untuk dibuktikan, tidak hanya karena status penulis aslinya menjadi ambiguous namun juga dapat dikatakan tidak nyata dan tidak diketahui sama sekali. Meskipun fenomena ghostwriting atau penulis “hantu” sudah lama terjadi, namun belum banyak resources yang mengulas mengenai fenomena ini. Fenomena ghostwriting muncul dengan alasan paling besar adalah masalah ekonomi. Ghostwriter adalah seorang penulis, baik itu berupa tulisan yang untuk dibentuk menjadi buku, novel atau yang lain untuk orang lain dan atas nama orang lain. Hak atas kekayaan intelektual yang dimilikinya secara harafiah sebagai penulis tidak menempel dalam dirinya secara utuh. Fenomena ini merupakan isu yang kontroversial, karena berkaitan dengan masalah etika dan legalitas bila dikaitkan dengan plagiarisme dan isu semacamnya. Aktivitas yang terselubung namun tanpa disadari banyak ditemukan dikalangan masyarakat.
Menurut pendapat Jane Robbins dalam article yang dipublishnya mengatakan bahwa ghostwriting adalah suatu karya original untuk kemudian di-publish atau diterbitkan atas nama orang lain dan juga menyerahkan segala identitas atas karya tersebut kepada orang yang menerbitkan karyanya. Ghostwriter dipekerjakan bisa karena di Sewa oleh orang yang ingin menerbitkan suatu karya tulis, adalah termasuk bentuk plagiarisme anonym.1
Lantas apakah ghostwriting merupakan pelanggaran etika authorship dan hukum yang berlaku masih sangat sulit dibedakan. Ada batas transparan yang tebal membentengi masalah legalitas dan cara pembuktian fenomena ghostwriting.
Lihat https://www.insidehighered.com/blogs/sounding-board/ethics-authorship-
ghostwriting-plagiarism#.VOzefj0XUZQ.twitter. Diakses pada tanggal 18 Juli 2019
-
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif-empiris. Penelitian yang menggabungkan pendekatan hukum normative dengan penambahan dari beberapa unsur-unsur empiris. Penelitian ini mengenai implementasi ketentuan hukum (Undang-Undang) dalam aksinya terhadap suatu peristiwa hukum tertentu dalam masyarakat. Bahan yang digunakan terdiri dari pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan implementasinya dalam masyarakat. Bahan hukum yang telah dikumpulkan kemudian deianalisa secara kualitatif dengan teori Tujuan Utilitis, sebagai teori yang mewakili aspek keadilan dan faedah dalam menyelesaikan suatu masalah hukum terkait pembuktian hak terkait penggunaan jasa ghostwriter dan mengidentifikasi legalitas hak yang terkandung dalam suatu karya cipta tersebut.
Istilah ghostwriting mungkin masih terdengar cukup asing terdengar, meskipun begitu sejatinya praktik ghostwriting ini sangat dikenal dikalangan para pelajar dan juga penulis buku. Apabila diartikan ghostwriter itu sendiri artinya “penulis hantu”. Penulis yang dialiaskan karena sifatnya yang anonymous atau tidak diketahui identitasnya pada suatu tulisan. Penulis anonym atau ghostwriter merupakan seorang penulis handal yang memiliki kemampuan dalam merangkai suatu tulisan atau buku. Melalui keahliannya tersebut mereka dapat bekerja sama bukan kepada penerbit buku melainkan dengan sesame penulis lainnya yang tidak memiliki keahlian dalam menulis.
Mereka menjual keahlian mereka dan bekerja sebagai penulis dibalik layar atau biasa disebut sebagai penulis hantu dalam dunia penulisan buku. Mereka akan menulis sesuai dengan keinginan klien mereka guna diterbitkan menggunakan nama klien mereka alih-alih sebagai penulis asli buku tersebut. Meski banyak perdebatan mengenai legalitas perbuatan ini, tidak berarti perbuatan ghostwriting menjadi berkurang, justru sebaliknya orang-orang makin berani untuk mencari ghostwriter untuk digunakan jasanya sebagai penulis. Melalui pengenalan-pengenalan istilah yang bermacam-macam kegiatan ghostwriting ini sangat diminati oleh pihak-pihak yang tidak memiliki keahlian menulis atau sekedar memiliki waktu untuk menulis. Bagi negara maju yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi atas perlindungan hak cipta seperti Amerika Serikat, mereka terus mengembangkan teori-teori atas konsep perbuatan ghostwriting. Bukan hanya pemahaman itu saja namun juga disertai teori-teori pembuktian pelanggaran hingga pembuktian serta pembagian hak diantara penulis hantu dengan klien yang namanya ditulis sebagai penulis suatu buku atau karya tulis dan sejenisnya.
Hal-hal yang paling sering dijadikan pokok pembahasan dan perdebatan adalah mengenai legalitas jasa ghostwriter tersebut, terutama mengenai plagiarisme. Plagiarisme menjadi stigma yang menempel pada definisi dari ghostwriting atau karya yang dihasilkan oleh ghostwriter. Bila ditelaah menggunakan pendekatan Undang-Undang maka perbuatan ghostwriting menjadi suatu bentuk plagiarisme. Dengan
alasan suatu karya cipta yang dipublikasikan tersebut bukan menggunakan identitas dari pencipta itu sendiri, melainkan menggunakan identitas dan dimiliki oleh orang lain yang menggunakan jasa ghostwriter. Selain identitas yang dijadikan perdebatan adalah mengenai persentase originalitas suatu karya tulis tersebut. Sulitnya diukur apakah karya tulis itu berdasarkan keahlian berfikir klien ataukan hasil berfikir dari penulis hantu saja. Dengan tingkat kesulitan pembuktian ini pelanggaran yang terjadi hampir sama sekali tidak tersentuh hukum. Untuk membuktikan perbuatan ini sebagai pelanggaran Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 harus dapat dibentangkan garis batas antara perbuatan jual beli jasa ataukah merupakan bentuk plagiarisme. Dengan garis batas yang sangat tipis dan sulit pembuktiannya, dibutuhkan kedua pihak yaitu penulis hantu dan klien yang namanya dicatutkan sebagai penulis.
Pada dasarnya sifat dari hak cipta ini adalah lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklratif atau first to declare. Melalui pengaturan dalam pasar 64 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta dinyatakan Pencatatan Ciptaan dan Produk hak terkait bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta dan hak terkait. Dilihat dari tanggal dibuat dan dipublikasi, maka buku yang telah terbit dianggap telah memenuhi syarat prinsip fist to declare. Apabila di kemudian hari terdapat suatu masalah terkait pelanggaran hak cipta maka bentuk penuntutan yang harus dilakukan adalah melalui gugatan kepada pihak yang dianggap melanggar hak cipta si pencipta atau dalam hal ini adalah penulis buku tersebut.
Selain dilakukan penggugatan, orang yang melanggar hak cipta orang lain juga dapat dipidana sesuai dengan yang telah diatur dalam Pasal 113, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118 Undang-Undang Hak cipta. Ketika penuntutan dilakukan secara pidana, penggugat dapat menuntut ganti rugi apabila terdapat unsur kerugian ekonomi semenjak diterbitkannya buku tersebut hingga diputus perkara oleh Hakim.
Undang-Undang melindungi hak ekonomi serta hak moral yang terdapat dari semua karya cipta, sehingga apabila kemudian penggugat dapat membuktikan pelanggaran dan benar adanya maka penggugat berhak untuk menuntut ganti rugi bersifat ekonomi dan pengembalian identitas dalam karya tersebut agar dicatut identitasnya sebagai penulis asli atau buku tersebut dapat ditarik dari pasar sebagai bentuk pembatasan pelanggaran.
Kelemahan dalam penerapan Undang-Undang ini adalah sulitnya mengidentifikasi bentuk pelanggaran yang bukan merupakan bentuk pelanggaran plagiarisme murni yang umumnya sebatas tidak original-nya suatu karya tulis, lantas bagaimana dengan pelanggaran seperti ghostwriting?
Ghostwriting yang dilakukan dengan cara tersembunyi dimana perbuatannya dilakukan layaknya sebuah transaksi jasa untuk kepentingan menciptakan suatu bentuk tulisan seperti buku, karya ilmiah, atau artikel yang sifatnya memiliki value ketika telah dipublikasi. Dengan prinsipnya yang “Paid to write” menjadikan bentuk jasa ini seperti hal nya pekerjaan jasa lainnya. Prinsip lahirnya hak, baik hak ekonomi ataupun hak moral yang lahir secara otomatis dalam diri penulis telah dilanggar. Undang-Undang mengatur hak yang lahir, namun melalui praktik ghostwriting telah dianggap adanya pelanggaran hak moral dan kemungkinan hak ekonomi. Menurut Max Tucker dalam wawancaranya di Web enterpreneur.com, “A ghostwriter is someone
hired to author a book that someone else will be credited for, and people who hired ghostwriter are not the actual author but a person who do not give credit as you pretend to did it”2
Mengenai legal atau tidaknya tindakan ghostwriting, selama hukum mengatur maka dapat dilakukan perbuatan hukum. Hukum di Indonesia tidak secara penuh mengatur mengenai penggunaan jasa penulis anonym dikarekan pemahaman yang kurang umum dikalangan masyarakat. Meski demikian tidak berarti perbuatan ini tidak melanggar hak cipta, denga alasan perbuatan ini melanggar moral conduct sebagai penulis dan pemegang hak moral yang dimiliki. False credit menjadi tolok ukur pemahaman bahwa perbutan ini memiliki unsur pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai plagiarism
Sesuai dengan pengertiannya, ghostwriting adalah suatu bentuk perbuatan dimana seseorang menggunakan jasa orang lain untuk menulis sebuah buku, artikel, atau tulisan akademik untuk dipublikasikan atas namanya. Meskipun tidak adanya unsur pencatutan isi materi dalam buku atau karya tulis yang dipublikasi, serta penggunaan jasa ghostwriting bukan hal yang abnormal namun secara moral hal ini tetap dipandang sebagai bentuk plagiarisme. Dari pandangan moral dimana bukan identitas asli dari author yang menulis buku tersebut untuk dicatut namanya dalam buku, dianggap sebagai bentuk pencurian karya dan identitas. Plagiarisme dapat diukur menggunakan perhitungan statistik untuk mengukur berapa besar karya tulis tersebut memasukkan unsur literasi dari literatur lainnya, namun kegiatan ghostwriting ini sangat sulit untuk dihitung menggunakan angka menghitung unsur-unsur pencatutan yang dianggap sebagai plagiarisme. Dengan alasan adanya kemungkinan bahwa karya tulis tersebut tidak lahir dari author yang namanya tertera didalam karya tulis itu menjadi acuan penting dalam mengidentifikasi apakah penggunaan jasa ghostwriting yang dilakukan termasuk dalam kategori plagiarisme.
Sebenarnya apabila kita tarik contoh simple, kita dapat menggunakan contoh kecurangan tulisan akademis yang dilakukan pelajar. Pelajar seperti mahasiswa yang memiliki tugas wajib membuat tugas akhir skripsi, tesis, disertasi dan jurnal. Apabila mereka kemudian memutuskan untuk tidak melakukan sendiri tugas akhirnya mereka dengan mempekerjakan ghostwriter, hal ini lah yang disebut sebagai pelanggaran moral hak cipta yang kemudian dapat dikenakan sanksi plagiarisme atau sama berat seperti melakukan pelanggaran plagiarisme. Meskipun kemudian dapat ditangguhkan dengan alasan serta bukti tertentu yang kemudian dianggap dia tidak melakukan pelanggaran tersebut, akan sulit membuktikannya. Pembuktian harus melalui dua pihak, dimana pihak yang menyewa ghostwriter harus mengeluarkan bukti-bukti yang dapat membuat dia lepas dari tuduhan pelanggaran etika dan moral karya tulis. Dia harus membuktikan bahwa karya tulis itu adalah merupakan hasil dari buah pikiran miliknya dan ghostwriter hanya sebatas membantu dalam penyusunan tulisan saja. Melalui transcript atau tulisan-tulisan buah pikiran miliknya yang kemudian diberikan kepada ghostwriter, serta segala macam bentuk diskusi yang dapat turut dijadikan bukti. Apabila author yang menyewa jasa ghostwriter tersebut tidak bisa membuktikan maka dia dianggap telah melakukan pelanggaran moral karya tulis, sehingga pihak
The Entrepreneur’s “Complete Guide to Ghostwriting” diakses
https://www.entrepreneur.com/article/280519 Juni Tanggal 5 2020
institusi terkait dapat menjatuhkan sanksi yang sesuai dengan aturan menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
Meskipun plagiarisme itu sendiri adalah pencurian atau co-optation atas suatu bentuk karya asli (authorship, dan hak-hak intelektual; yang menempel pada karya tulis tersebut) tanpa izin, atribusi individual, pengalihan hak dan lainnya.
Mengidentifikasi dan membuktikan seseorang menggunakan jasa ghostwriting dalam tingkat penulisan tugas akhir atau tidak harus melalui pelaporan terlebih dahulu, atau adanya kecurigaan dikarenakan tidak dikuasainya materi yang ditulis.
Contoh lain pelanggaran penulisan menggunakan jasa ghostwriter juga sering digunakan dalam literasi dunia medis. Menurut Jonathan Leo dan Jeffrey R. Lacasse “medical ghostwriting is the practice of pharmaceutical companies that are secretly authoring a journal or articles published under the byline of academic researcher”.3 Ghostwriting dalam bidang medis adalah suatu praktik yang dilakukan oleh perusahaan paramedis yang secara diam-diam membuat jurnal atau artikel yang kemudian dipublish atas nama peneliti akademik. Melalui Jonathan dan Jeffrey kita dapat memahami bahwa praktik ghost writing ini dapat terjadi dalam aspek apapun dan digunakan jasanya oleh siapa pun, bahkan dari kalangan akademis sekalipun.
Etika dalam melakukan sebuah penelitian, mempublikasikan jurnal, karya tulis, penelitian yang di publikasikan dan masih banyak lain jenis publikasi literatur atau bidang lainnya yang secara tertulis diam-diam menggunakan jasa ghostwriter. Tidak hanya sebatas bidang yang terkait penelitian namun bahkan bentuk karya tulisan yang memiliki value komersil menggunakan jasa ghostwriter.
Seperti contoh bidang lain yang tidak terkait dengan bidang akademik adalah commercial blogging. Suatu kegiatan yang mana seseorang membuat artikel-artikel yang secara khusus sesuai permintaan untuk kemudian bentuk tulisan tersebut dipublikasikan atas nama dari yang memiliki blog tersebut. Pemilik blog menggunakan jasa ghostwriter yang kemudian namanya dialihkan menjadi content writer agar terdengar lebih halus dan tidak mudah disadari atau dimengerti oleh orang yang bekerja atas namanya.
Melalui pengalaman peneliti content writer akan dikontrak secara berkala dengan pengawasan yang ketat untuk menuliskan artikel-artikel yang yang tema, judul bahkan hingga kata kunci dari artikel tersebut telah ditentukan. Content writer cenderung memiliki kewajiban untuk memenuhi target penulisan untuk kemudian tulisan tersebut dipublikasi di internet.
Sebenarnya apa itu content writer? Merupakan seorang penulis professional yang dimana tulisannya aka kemudian di publikasikan di internet, content writer dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan yang bekerja di bidang entertainment internet. Dengan tingkat atensi masyarakat terhadap internet banyak sekali perusahaan-perusahaan atau yang terkecil minimal pemilik blog kemudian
menggunakan jasa ghost writer untuk digunakan sebagai content writer. Pada abad ke-21 ini kesempatan-kesempatan untuk melakukan kecurangan sangatlah besar.4
Dengan mempekerjakan beberapa jasa ghostwriter perusahaan atau individu (employer) akan kemudian dapat memproduksi hasil tulisan yang dengan skala massa atau berarti employer memiliki artikel berjumlah puluhan tiap harinya untuk di publikasikan. Sehingga kemungkinan untuk blog atau website miliki employer ini terbaca oleh publik adalah sangat tinggi.
Keuntungan yang dimiliki oleh pemilik blog atau employer sangatlah tinggi apabila dinilai dengan standar uang terutama bagian blog atau website yang kemudian menggunakan IP dari negara lain atau contoh IP milik negara Amerika Serikat. Standar economicvalue yang dihasilkan dari artikel-artikel yang ada kemudian dinilai dengan menggunakan standar $US.
Contoh lain bentuk kecurangan untuk karya tulis lainnya memang paling mudah dapat ditemui di bidang akademik. Mungkin kegiatan mencontek adalah bentuk kecurangan plagiarisme paling sulit dilakukan, namun bagaimana dengan bentuk kecurangan lainya yang juga merupakan plagiarisme?5
Setiap karya tulis dilindungi haknya baik secara implisit maupun eksplisit. Dalam perlindungannya meski menggunakan asas first to declare namun apabila menggunakan pendekatan filsafat adalah suatu hak ekslusif yang timbul secara otomatis yang lahir dari suatu karya ciptaan atas ide yang dituangkan dalam bentuk tulisan oleh seseorang. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 hak-hak yang terkandung di dalam karya cipta ini merupakan bentuk hak ekslusif yang dimiliki orang pencipta karya tersebut.
Sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 4, hak ekslusif adalah hak yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Setiap pencipta memiliki kedua hak tersebut secara otomatis. Pada harafiahnya kedua hak tersebut akan menempel pada pencipta meskipun telah dialihkan kepemilikannya kepada orang lain.
Hak yang dapat dialihkan hanya sebatas hak ekonomi saja, sedangkan hak moral akan selalu menempel pada pencipta atas sebuah karya itu. Hak moral adalah hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta yang terdiri atas;
-
1. Identitas diri sebagai pencipta suatu karya tulisan yang dimilikinya.
-
2. Hak untuk diakui secara luas sebagai pencipta karya tulisnya.
-
3. Hak untuk mempertahankan ciptaan apabila terjadi distorsi, mutilasi, modifikasi atau hal-hal dalam bentuk penyalahgunaan karya tulis yang dapat merugikan kehormatan dan reputasinya
Hak moral suatu karya tulis tidak dapat dialihkan kepada orang lain hanya saja apabila pencipta telah meninggal dunia maka sebatas hak kepemilikannya kepada pewaris, atau menggunakan wasiat atau ketentuan lain yang diperbolehkan oleh Perundang-Undangan. Dalam keadaan terjadinya hal-hal yang menyebabkan hak moral sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1)6 Undang-Undang aquo hanya dapat terjadi apabila Pencipta telah meninggal dunia, menggunakan persyaratan yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.
Hak ekonomi yang dimiliki oleh Pemegang Hak Cipta, adalah hak ekslusif yang dapat diperoleh Pencipta berbentuk manfaat ekonomi atas ciptaannya. Pengertian hak ekonomi dicantumkan dalam pasal 8 Undang-Undang Hak Cipta, kemudian dijabarkan secara lebih rinci mengenai bentuk-bentuk hak ekslusif yang dimiliki oleh pencipta, yaitu;
Pemilik hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan:7
-
1 .Penerbitan Ciptaan
-
2 .Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya
-
3 .Penerjemahan Ciptaan
-
4 .Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan
-
5 .Pendistribusian Ciptaan dan salinannya
-
6 .Pertunjukan Ciptaan
-
7 .Pengumuman Ciptaan
-
8 .Komunikasi Ciptaan
-
9 .Penyewaan Ciptaan
Keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari tindakan-tindakan yang telah dikategorikan diatas adalah sepenuhnya merupakan bagian dari hak ekslusif yang turut lahir akibat dari sebuah penciptaan suatu karya atau ciptaan. Apabila hak moral lahir secara otomatis dan akan selalu menempel pada pencipta, hak ekonomi harus didasari dengan pendaftaran atas suatu ciptaan atau sesuai sifat dari hak cipta yaitu first to declare. Seorang pencipta harus melakukan suatu tindakan berupa menerbitkan ciptaannya untuk kemudian dapat diakui sebagai seorang pencipta yang kemudian hasil dari menerbitkan ciptaannya itu akan secara otomatis mengalir kepada pencipta. Tentunya diluar itu terdapat pembagian-pembagian hasil dengan individu-individu yang terkait di dalam penerbitan dan pendistribusian ciptaannya tersebut.
Hak ekonomi adalah hak yang kelangsungannya dapat dialihkan kepada pihak lain, misalnya seperti dijual atau dialihkan untuk waktu tertentu.
Dalam perlindungannya hak cipta secara jelas diatur mulai dari hak esensial yang terkandung di dalam sebuah ciptaan, pengaturan mengenai jenis keuntungan-
keuntungan dalam hak ekslusif di dalamnya, hingga penyelesaian sengketa apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi atas suatu ciptaan.
Di dalam Undang-Undang Hak Cipta pengertian mengenai pencipta dan pemegang hak cipta adalah sama namun berbeda di beberapa aspek. Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Pemegang hak cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta. Pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Penciota atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
Dapat diketahui dari pengertian-pengertian diatas mengenai siapa itu Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Apabila ditarik pengertian yang lebih dangkal maka penempatan keduanya akan menjadi seperti; Pencipta secara otomatis adalah pemegang hak cipta, Pemegang Hak Cipta belum tentu merupakan Pencipta, sehingga terdapat teori yang seakan bertabrakan dengan pengertian atas kepemilikan sesuai konsep hukum alam. Dimana suatu ha katas kebendaan (ciptaan) adalah menjadi secara otomatis dan abadi milik si-Pencipta.
Berbeda dengan teori utilitarianisme atau kemudian disebut moral utilaterian, dimana suatu karya ilmiah maupun eksperimen ilmiah atau bentuk ciptaan lainnya dikaitkan dengan perhitungan kemanfaatan atau perhitungan untung rugi.8
Untuk kemudian dikaitkan dengan fenomena ghostwriting faham kepemilikan hak ekslusif atas suatu ciptaan menjadi lebih bersebarangan dengan pengertian hukum alam. Hak moral yang hanya dapat dimiliki oleh seorang pencipta menjadi tidak berlaku, serta hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta kemudian melalui proses pengalihan hak menjadi secara otomatis berpindah bahkan jauh sebelum hak itu lahir.
Terhadap perlindungan atas Hak Cipta, praktik ghostwriting ini tentunya secara filosofi telah merubah konsep filsafat atas perlindungan dari hak atas ciptaan di bidang literatur. Perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu perbuatan melindungi atau memperlindungi. Kata Memperlindungi merupakan sebuah kata kerja yang bermakna menjadikan atau menyebabkan berlindung. Sedangkan kata Melindungi merupakan kata kerja yang memiliki arti sebagai menjaga, merawat dan memelihara.9
Harus dilindungi haknya baik hak moral maupun hak ekonomi pencipta, atas keahliannya yang merupakan sebuah kelebihan dan anugerah dari Tuhan dan digunakan sebagai sumber penghidupan bagi dirinya. Atas keahliannya pencipta memperoleh nafkah, sama dengan manusia lainnya yang memperoleh nafkah hidup dari keahliannya. Selain untuk dirinya, manusia lain juga dapat menikmati hasil karyanya sehingga perlindungan atas karya pencipta sangat diharuskan bukan saja sebagai apresiasi ciptaan namun juga bentuk hadiah perlindungan atas keikutsertaannya dalam menghidupkan dunia literatur Indonesia.
Terkait penggunaan teori filsafat hukum alam oleh Thomas Aquinas yang mengatakan bahwa hukum alam adalah bagian dari hukum Tuhan, bagian yang
diungkapkan dalam pikiran alam. Manusia sebagai mahluk yang berakal, menerapkan bagian dari hukum Tuhan ini terhadap kehidupan manusia, karenanya ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hal tersebut berasal dari prinsip-prinsip hukum abadi, sebagaimana terungkap dalam hukum alam yang merupakan sumber dari semua hukum manusia.10
Inti dari teori hukum alam dikaitkan dengan hak cipta, bahwa pencipta memiliki hak untuk menikmati hasil kerjanya, termasuk keuntungan yang dihasilkan oleh keintelektualannya. Karena pencipta telah memperkaya masyarakat melalui ciptaannya, pencipta memiliki hak untuk mendapatkan imbalan yang sepadan dengan nilai sumbangannya. Di sini, hukum alam memberi hak milik atas suatu karya encipta, memberi individu hak untuk mempertahankan dan hak untuk mengawasi karya-karyanya dan mendapat kompensasi yang adil atas sumbangannya kepada masyarakat.11
Selain Thomas Aquinas ada John Locke yang juga merupakan tokoh filsuf hukum alam, dimana dia meletakan dasar-dasar pemikiran mengenai hak asasi manusia. Pemikirannya dalam bukunya Two Treaties on Civil Governmental, bahwa manusia adalah keadaan bebas, atau ada secara alamiah sebelum negara ada. Manusia telah memiliki hak-hak alamiah yaitu hak-hak manusia yang dimiliki secara pribadi, seperti hak hidup, hak akan kebebasan dan kemerdekaan, hak milik, hak memiliki sesuatu dan sebagainya. Menurut kodratnya manusia sejak lahir telah memiliki hak kodrat atau hak alamiah, yang menurut John Locke disebut sebagai hak dasar. Untuk supaya hak-hak dasar terlaksana dengan baik maka manusia menyelenggarakan perjanjian untuk membentuk masyarakat, selanjutnya membentuk negara. Dalam perjanjian tersebut orang menyerahkan hak-hak alamiah kepada masyaraka, tetapi tidak seluruhnya. Selanjutnya ditunjuk seorang penguasa dan diberikan kewenangan untuk menjaga dan menjamin terlaksana hak-hak asasi manusia tersebut. Hak asasi manusia tidak diserahkan seluruhnya kepada penguasa, oleh sebab itu kekuasaan yang dimiliki penguasa sifatnya terbatas, yang dibatasi oleh hak-hak asasi tersebut.12
Ghostwriter adalah seseorang yang bertindak atas nama orang lain untuk menciptakan suatu karya tulis atau literatur. Ghostwriting dapat diartikan sebagai perbuatan yang menciptakan sebuah karya untuk orang lain atau client yang kemudian didistribusikan atas nama client tersebut. 13Bentuk ghostwriting dapat terdiri dari berbagai macam bentuk dan penjabaran jenisnya sangat luas namun yang selalu berbentuk sebuah karya literatur atau tulisan. Seperti contoh bentuk ghostwriting adalah sebuah tulisan
yang dibuat oleh ghostwriter berbentuk karya ilmiah, research, karya tulis fiksi dan masih banyak bentuk lainnya.
Ghostwriter dapat dibagi dalam berbagai macam kategori, tergantung dari bentuk kontrak awal terjadinya perjanjian ghostwriter tersebut dengan employer, sebagai berikut;
-
1. Ghostwriter dalam Literatur Buku
Seseorang yang bekerja atau “paid to write” untuk seseorang dalam hal menulis sebuah karya tulis berbentuk buku yang kemudian akan diterbitkan atas nama seseorang yang bertindak sebagai employer. Bentuk ghostwriting dalam literatur buku dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu;
-
a. Karya tulis Fiksi, dan
-
b. Karya tulis Non-Fiksi
Karya tulis fiksi dapat berupa novel, puisi, ataukah bentuk tulisan lainnya yang sejenis, sedangkan karya tulis Non-Fiksi sebagai contoh adalah sebuah karya tulis ilmiah, penelitian ataupun karya tulis yang dijadikan literatur atau acuan pendidikan.
-
2. Ghostwriter dalam Literatur Non-Fisik
Seseorang yang bekerja atau “paid to write” untuk seseorang dalam hal menulis sebuah karya tulis bukan berbentuk buku atau cetakan fisik lainnya yang kemudian akan diterbitkan atas nama seseorang yang bertindak sebagai employer.
Bentuk ghostwriting ini biasanya akan ditulis kemudian diterbitkan atau dipublikasi kepada masyarakat melalui akses jejaring internet. Karya tulis tersebut dapat berupa sebuah karya tulis non fiksi maupun fiksi yang diperuntukan sebagai konsumsi public secara luas melaui sosial media ataukah jaringan sosial internet lainnya. Bentuk contoh tugas ghostwriter dapat berupa;
-
a. Writer Content
-
b. Blogger
-
c. Penulis script atau manuscript sebuah acara karya tulis
-
d. Penulis dalam sebuah website, blog, aplikasi berita, aplikasi jejaring sosial lainnya yang membutuhkan tenaga penulis
Ghostwriter akan bertindak sebagai penulis tanpa nama yang bentuk karya-karya tulisnya kan digunakan sebagai kepentingan dari pemilik blog, website, sebuah, aplikasi sosial. Hasil dari ghostwriting akan kemudian secara otomatis berpindah hak-hak nya kepada pemilik jejaring sosial atau suatu bentuk wadah yang, menggunakan karya tulisannya itu. Penulis atau ghostwriter kemudian mendapat yang dinamakan kompensasi atau fee atas karya tulisnya tersebut.
Biasanya ghostwriter akan digunakan oleh employer dalam bentuk kerja sama sebagai freelancer. Terutama bagi ghostwriter yang bertindak berkaitan dengan publisitas yang menggunakan internet. Bagi ghostwriter yang digunakan jasanya untuk kepentingan menerbitkan buku mereka hanya akan digunakan jasanya untuk penerbitan karya tulis itu saja, namun apabila diinginkan kembali jasanya oleh seseorang yang ingin menerbitkan buku atau karya tulis cetak maka kontrak kerja sama mereka akan berbeda dengan sebelumnya atau sama sesuai dengan kesepakatan mereka masing-masing.
-
3. Ghostwriter hanya sebagai pengaplikasi Jasa Menulis
Ghostwriter ini berbeda jenisnya dengan dua jenis ghostwriter diatas, karena ghostwriter hanya memberikan jasa menulisnya jasa bukan jasa untuk menciptakan sebuah karya. Ghostwriter membantu untuk mengaplikasikan ide dan pokok-pokok yang ingin dituliskan pencipta namun terkendala dengan kondisi yang dimilikinya seperti;
-
a. Tidak adanya waktu dan ruang yang cukup untuk menulis ide karya miliknya
-
b. Ketidakmampuan pengetahuan pencipta dalam menuliskan atau menerapkan ide karyanya dalam bentuk tulisan
Atau alasan lainnya yang menghalangi pencipta dalam menuliskan ide karya miliknya.
Kondisi dimana penulis tidak mampu untuk mengaplikasikan ide karyanya tentu dalam batas yang bisa ditolerir melalui etika penulisan atau penggunaan jasa ghostwriter untuk tetap dapat disebut sebagai pencipta atau pemilik hak cipta.
Pencipta tetap harus ikut andil dalam proses pembuatan karya tulis tersebut, dalam menggambarkan, menerangkan, memberikan imajinasi-imajinasi yang mencerminkan idenya secara struktural dan sistematis sehingga dapat dimengerti oleh ghostwriter atau penulis bantuan untuk kemudian diaplikasikan dalam bentuk karya tulis.
Batasan penulis untuk tetap dapat dikategorikan sebagai penulis asli atau tetap memiliki hak baik hak moral maupun hak ekonomi atas suatu karya tulis yang lahir karena penerbitan atau pemublikasian karya tersebut adalah pencipta yang meski bukan merupakan penulis namun ikut andil dalam pembuatan karya tersebut melalui;
-
a. Pencetusan ide
-
b. Penuturan ide
Yang kemudian berkembang menjadi
-
a. Pencipta atau pemilik ide akan menuturkan,
-
b. Menjelaskan
-
c. Memberikan hasil penelitian yang dimilikinya
-
d. Kemudian memberikan konsep dan jalan cerita dari apa yang ingin dituliskannya dari awal hingga akhir
-
e. Untuk kemudian diaplikasikan penulis (ghostwriter) secara professional dalam bentuk karya tulis yang terstruktur, sistematis, mudah dimengerti, dan rapi
Pelaku pengguna jasa ghostwriter tetap dapat menjaga hak moralnya sebagai penulis apabila dia berada di keadaan dimana dia bisa membuktikan posisi dirinya benar adalah penulis dan ghostwriter hanya sebatas membantunya dalam pengaplikasian penulisan dan editing saja.
Sebagai contoh, Hilary Liftin adalah satu contoh dari ratusan bahkan ribuan ghostwriter yang berhubungan dengan kalangan selebtritas Hollywood .Liftin yang bekerja di bagian publishing di New York sejak umurnya masih 20 tahun, Liftin bercerita dimana dia digiring oleh agent yang membawahinya untuk menjadi ghostwriter dari seorang actrees TV yang terkenal. Client miliknya meminta Liftin
untuk menjadi ghostwriter dengan memberikan intruksi penulisan atas namanya tanpa pernah mereka bertemu.14
Pengalaman yang dialami Hilary Liftin yang memang berprofesi sebagai ghostwriter dan juga co-writer professional Amerika yang bentuk kerjasamanya dengan banyak artist-artist besar Hollywood diantaranya; Milley Cyrus dengan bentuk karyanya yaitu Miles To Go, bersama Teri Hatcher’s Burnt Toast: And Other Philosophies of Life dan banyak diantara artist Hollywood lainnya yang menggunakan keahlian Liftin sebagai ghostwriter atas buku mereka.
Apabila pelaku kemudian melakukan hal yang sama seperti para klien Hilary Liftin maka dia suatu hari dapat dikenakan sanksi, karena pemilik ide dan konsep dari karya tulis ini bukanlah dirinya melainkan miliki ghostwriter selaku author asli yang menjual hak ekonominya kepada klien yang mempekerjakannya.
Terdapat batasan untuk dapat diterimanya status pelaku sebagai pemilik hak cipta secara moral, etika sebagaimana teori filsafat hukum alam yang dimiliki oleh hak cipta?
Sesuai dengan pengertian pencipta dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara individu atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.
Melalui pengertian diatas yang dicantumkan di pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 disebut pencipta adalah mereka yang secara individu atau bersama menghasilkan suatu ciptaan. Secara eksplisit Undang-Undang mengatakan bahwa mereka pencipta adalah yang menghasilkan suatu ciptaan. Bagi penulis atau author adalah mereka yang menulis sendiri atas karya ciptaan miliknya. Apabila dilakukan tidak hanya oleh dirinya saja maka dapat bekerja sama secara kelompok terbentuk sebagai co-author.
Secara harfiah melalui pengertiannya yang diatur dalam Undang-Undang baik penulis maupun co-author harus bekerjasama menghasilkan suatu ciptaan yang khas, keduanya memiliki hak atas keuntungan yang didapatkan karena kehadirannya dalam proses pembuatan karya tersebut. Teori Hukum Alam menyatakan bahwa jangan meniru Hak Milik Intelektual orang lain tanpa persetujuannya, karena perbuatan tersebut sama dengan mencuri, sesuatu yang terlarang. Sementara itu penganut ajaran Utilitarianism yang tokohnya adalah Jeremy Bentham menyatakan bahwa Hak Milik Intelektual itu memiliki nilai ekonomi. Pemiliknya telah mengeluarkan tenaga dan biaya untuk menemukan atau mencipta sesuatu.15
Moral dari ghostwriting mungkin sangat sulit untuk dibuktikan atas tuduhan ghostwriter, ghostwriting memang terkandung unsur plagiarism karena ada unsur pengambilalihan hak cipta yang tidak pada aturan sebenarnya, bukan merupakan
pencurian namun merupakan penipuan, dimana ada moral dan integritas yang terlukai didalamnya.16
Ghostwriting adalah suatu bentuk kecurangan serius 17 dan sangat melukai moral filsafat dari perlindungan hak cipta, tidak hanya dalam hal merampas hak moral yang dimiliki penulis atau pencipta aslinya namun juga terkait memalsukan data diri dengan mengganti identitas pencipta menjadi identitas pemegang hak cipta.
Melalui pengalihan hak memang hak ekonomi dapat berpindah namun melalui teori hukum alam hak moral tetap akan menempel pada pencipta aslinya, namun kegiatan ghostwriting yang dimana ghostwriter menyerahkan segala bentuk hak baik hak moral maupun hak ekonomi kepada client menjadikan sebuah konsep baru. Di Cina melalui regulasi yang dimilikinya secara eksplisit menangani perkara seperti ghostwriting, melalui pengadilan tinggi terkait putusan Copyright di tahun 2002, copyright secara utuh menjadi milik pemegang hak cipta namun harus membayar remunerasi yang setimpal kepada ghostwriter.18
Indonesia adalah negara menghormati prinsip invention, innovation, and discovery oleh karena itu Indonesia memberlakukan gerakan anti plagiarisme, dimulai dari tingkat akademik yang telah memberlakukan pengecekan turnitin yang merupakan bentuk dari gerakan dukungan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Bentuk ujian akhir bagi mahasiswa pun tidak hanya wajib melalui turnitin saja namun juga setiap mahasiswa wajib mengikuti ujian yang biasa kita sebut “ujian sidang” tugas akhir mereka, ini artinya tiap mahasiswa wajib mengikuti dua lapis tes originalitas bagi tugas akhir yang mereka tulis. Bentuk pencegahan ini juga didukung oleh Bab IV Pasal 6 ayat (1)Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 17 Tahun 2010;
“Pimpinan Perguruan Tinggi mengawasi pelaksanaan Kode Etik mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh senat perguruan tinggi/ atau organ lain yang sejenis, yang antara lain berisi kaidah pencegahan dan penanggulangan plagiat”.
Juga, syarat-syarat lain seperti lampiran Surat Pernyataan bahwa semua karya tulis yang dihasilkan oleh author dalam jenjang pendidikan wajib menyatakan bahwa karya tulisan yang ditulis adalah bebas dari plagirisme atau unsur-unsur yang termasuk
dalam plagiarisme. Selain melampirkan Surat Pernyataan, karya tulis juga wajib di upload secara elektronik. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk penanggulangan plagiarisme, apabila di kemudian hari ditemukan laporan bahwa suatu karya tulis mengandung kesamaan dengan karya tulis lain maka mahasiswa dapat dipanggil untuk kemudian dilakukan proses pemeriksaan.
Dalam pasal 1 Undang-Undang no 17 Tahun 2010 disebutkan “Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.”19
Hal ini juga berlaku bagi karya ilmiah dan bentuk penulisan lain dalam jenjang akademik, semua jenis karya tulis dalam jenjang akademik yang mengandung unsur plagiarisme atau termasuk dalam kategori plagiarisme seperti menggunakan jasa ghostwriting apabila dapat dibuktikan maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan yang tertulis pada Pasal 12 Bab VI tentang Sanksi dalam Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2010.
Sanksi-sanksi terkait pelanggaran originalitas sebuah karya tulis yang dilakukan oleh mahasiswa dapat berupa; (a) teguran; (b) peringatan tertulis; (c) penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa; (d)pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh mahasiswa; (e) pemberhentian dengan hormat dari status sebagai mahasiswa; (f) pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa; atau (g) pembatalan ijazah apabila mahasiswa telah lulus dari suatu program.
Sedangkan sanksi yang dapat diberikan kepada dosen/tenaga kependidikan yang paling ringan adalah berupa teguran dan paling berat adalah diberhentikan dengan tidak hormat dari statusnya sebagai dosen/tenaga kependidikan serta pembatalan ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
Meskipun dalam penerapannya sanksi terhadap penggunaan jasa ghostwriter tidak memiliki payung hukum namun melalui KUHP tindakan ini bisa dipidana dengan tuduhan Penipuan yang diatur dalam KUHP Pasal 378;
“barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”20
Unsur-unsur yang memberatkan author untuk dikenakan sanksi pidana terpenuhi apabila; (1) dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri; (2) menggunakan nama palsu atau identitas palsu; (3) membuat keadaan palsu; (4) menggunakan tipu muslihat; (5) membuat rangkaian kebohongan.
Dan ancaman pidana lainnya apabila pelaku memberikan Surat Pernyataan yang isinya adalah bahwa dia selaku author dari karya tulis itu sendiri maka hal ini dapat kemudian dianggap sebagai surat keterangan palsu, karena isinya tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Tindakan plagiarisme yang dilakukan baik secara sadar meski kemudian tidak dilakukan secara langsung oleh individu tersebut melainkan menggunakan perantara individu lain dan kemudian mengambil kredit atas individu tersebut menjadi miliknya adalah juga merupakan bentuk plagiarisme.
Menggunakan jasa ghostwriter atau apapun yang disebutkan lain namun merupakan suatu tindakan yang memiliki dampak sama merupakan sebuah pelanggaran hak cipta atau bagian dari pelanggaran hak atas kekayaan intelektual yang dilindungi.
Apabila menggunakan pendekatan filosifis untuk mengartikan pemilik sebenarnya atas suatu karya cipta literatur atau karya cipta tulis lainnya maka sebagai berikut; pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara individu atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi,21 dimana bentuk kepemilikannya secara langsung dan otomatis menempel pada dirinya.
Banyak sekali cara yang digunakan oleh pelajar atau mereka yang bergerak dalam bidang akademis atau terkait didalamnya untuk melakukan bentuk-bentuk kecurangan terhadap pengerjaan tugas atau pekerjaan tertulis, salah satunya adalah ghostwriting.
Plagiarisme adalah kegiatan penyalahgunaan menggunakan ide seseorang dan katakata miliknya tanpa memberikan kredit orisinalitas atas pengetahuan tersebut.22
Apabila dibandingkan dengan era sebelum populer atau mudah dalam menggunakan internet tingkat kesulitan terjadinya plagiarisme sangat tinggi. Sulitnya ditemui prasarana pendukung dalam mendapatkan sumber tulisan kecuali buku menjadi salah satu kesulitan yang dialami oleh seseorang. Untuk memiliki buku atau sumber literature tentunya seseorang harus mengeluarkan uang untuk membeli literature tersebut mendorong seseorang untuk lebih berfikir. Dengan diwajibkannya seseorang membaca sebuah literature dan mencerna makna yang terkandung didalamnya menjadikan orang tersebut lebih berfikir kreatif. Tingkat orisinalitas hasil dari berpikir itu pun dapat terdeteksi, karena sumber-sumber nyata dapat ditunjukkan dan dideteksi.
Namun kembali kepada praktik ghostwriting tentu hal ini justru memungkinkan untuk terjadinya praktik ini lebih besar. Teori paling mudah yang digunakan untuk menjawab jawaban kenapa praktik ghostwriting ini terjadi adalah karena tingkat kemalasan seseorang sangatlah tinggi karena sulitnya mendapatkan sumber tertulis. Sehingga seseorang akan cenderung menggunakan jasa ghostwriting dalam mengerjakan tugas tertulisnya.
Jadi pemberian sanksi terhadap individu yang mempekerjakan ghostwriter dapat dikenakan sanksi sebagai berikut;
-
1. Bagi pelajar/mahasiswa/dosen/peneliti dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 12 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
-
2. Bagi individu yang bekerja dibawa tekanan perusahaan, dapat kemudian menuntut hak ekonomi serta hak moralnya menggunakan dasar hukum Pasal 95 tentang Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, atau juga bisa digugat menggunakan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
-
4 Kesimpulan
Ghostwriting dikatakan sebagai bentuk tindakan plagiarisme dengan alasan adanya unsur pencurian literasi dan penipuan mengenai originalitas suatu karya tulis. Batasan suatu karya tulis untuk pengguna jasa ghostwriting agar terlepas dari unsur plagiarisme, adalah pelaku pengguna jasa harus dapat membuktikan bahwa alasan menggunakan jasa ini hanya sebatas bentuk bantuan dalam pengetikan saja. Keseluruhan ide penyusunan dan penulisan semua adalah murni dari pihak pelaku itu sendiri. Bukti-bukti itu dapat berupa kertas-kertas transcript atau surat-surat tertulis atau elektronik yang bisa dijadikan sebagai bukti bahwa pelaku benar hanya menggunakan bantuan ghostwriter dalam penyusunan atau penulisan literasi bukan isi atau ide suatu karya tulis.
Selama belum ada hukum terkait yang mengatur secara spesifik ghostwriting masuk dalam kategori plagiarisme dengan alasan adanya pencurian literasi di dalam tindakannya. Maksud dari pencurian literasi adalah pelaku menggunakan karya tulis yang dihasilkan oleh orang lain untuk diakui menjadi miliknya dan dia berlaku sebagai penulis karya tersebut. Pelaku pengguna jasa ghostwriting dapat dijatuhi sanksi akademik bagi mereka yang merupakan mahasiswa/dosen/peneliti/ dan tenaga pendidikan. Juga bagi mereka yang bekerja sebagai ghostwriter atas tuntutan profesi atau tekanan perusahaan mereka dapat menggugat sesuai dengan aturan dalam Pasal 95 Undang-Undang Hak Cipta tentang penyelesaian sengketa atau menggunakan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Daftar Pustaka
Buku
Anwar, Moch. (1989). Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia 1994, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka
Singh S. The zombie doctorate. (2015). Proceedings of the 14th European Conference on Research Methodology for Business and Management Studies, Malta: University of Malta.
Jurnal
Leo, J dan Lacasse J.R. “Ghostwriting” Division of Health Sciences, Lincoln Memorial University, Harrogate, TN, USA. 2College of Social Work, Florida State University, Tallahassee, FL, USA.
Singh, S. (2016). Plagiarism And Ghostwriting: The Rise In Academic Misconduct. South African Journal of Science, 112(5-6), 1
7. https://doi.org/10.17159/sajs.2016/20150300
Wallace, M.J. Newton PM. (2014). Turnaround time and market capacity in contract cheating. Educational Studies. 40(2), 233-236.
https://doi.org/10.1080/03055698.2014.889597
Sudaryanto. (2015). Tragedi Challanger (Tinjauan Etika Kantian dan Etika Utilitarian). Jurnal Filsafat, 25(2), 173-196. https://doi.org/10.22146/jf.12673
Nainggolan, B. (2016). Landasan Filosofis Dan Substansi Pembaruan Dalam Undang-UndangNomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 1(1), 31-44.
Haryono dan Sutono, A. (2017). Pengakuan Dan Perlindungan Hak Cipta Tinjauan Secara Filosofis Dan Teoritis. CIVIS, 6(2).
http://dx.doi.org/10.26877/civis.v6i2.1904
Jankowska, M. (2013). On The Implications Of The Inalienability Of The Right Of Authorship For Ghost-writing Contracts. Review Of Comparative Law, 18, 77.
Rajagukguk, Erman. (2014). Hak Milik Intelektual dan Putusan-Putusan Pengadilan.
Jurnal Sosial dan Budaya Syari, 1(1), 1-6.
http://dx.doi.org/10.15408/sjsbs.v1i1.1520
Fusch, P. I., Ness, L. R., Booker, J. M., & Fusch, G. E. (2017). The Ethical Implications Of Plagiarism And Ghostwriting In An Open Society. Journal of Social Change, 9(1), 4. https://doi.org/10.5590/JOSC.2017.09.1.04
Stella-Maris, O., & Awala-Ale, A. (2017). Exploring students’ perception and
experience of ghostwriting and contract cheating in Nigeria higher education institutions. World, 4(4), 551-572. http://dx.doi.org/10.22158/wjer.v4n4p551
Putusan Hakim
Interpretation by the Chinese Supreme People’s Court of Several Issues Relating to the Application of Law to Trial in Cases of Civil Disputes over Copyright. https://www.fmprc.gov.cn/ce/cgvienna/eng/xw/t924422.htm
Peraturan Perundang-Undang
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Undang-Undang No 17 Tahun 2010 “Tentang Pencegahan Dan Penaggulangan Plagiat Di Perguruan Tinggi”
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Website
Jane Robbins. (2015). The Ethics of Authorship: Is Ghostwriting Plagiarism?. https://www.insidehighered.com/blogs/sounding-board/ethics-authorship-ghostwriting-plagiarism#.VOzefj0XUZQ.twitter.
Lizzie Crocker. (2015). “Hilary Liftin Reveals Secrets of a Celebrity Ghostwriter”, diakses melalui; https://www.thedailybeast.com/hilary-liftin-reveals-secrets-of-a-celebrity-ghostwriter?ref=scroll
Max Tucker The Entrepreneur’s “Complete Guide to Ghostwriting” diakses melalui; https://www.entrepreneur.com/article/280519
447
Discussion and feedback