jurnal Mjlgister hukum udayana

(UDATANA MAGISTER LAW JOURNAL)

Vol. 9 No. 1 Mei 2020

E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu



Pancasila Sebagai Volkgeist: Pedoman Penegak Hukum dalam Mewujudkan Integritas Diri dan Keadilan


La Ode Dedihasriadi1, Edy Nurcahyo2


1Fakultas Hukum Universitas Sembilanbelas November, E-mail: ld.dedihasriadi@gmail.com

2Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton, E-mail: cahyonur3dy@gmail.com


Info Artikel

Masuk: 10 Oktober 2019

Diterima: 25 Pebruari 2020

Terbit: 31 Mei 2020


Keywords:

Pancasila; Volkgeits; law enforcement Guidelines; Self

Integrity; Justice


Kata kunci:

Pancasila; Volkgeist; Pedoman

Penegak Hukum; Integritas Diri; Keadilan


Corresponding Author: La Ode Dedihasriadi, E-mail:

ld.dedihasriadi@gmail.com


DOI:

10.24843/JMHU.2020.v09.i01. p10


Abstract

Pancasila is a volkgeist (the soul of the nation), which is an ideology in the nation and state. Indonesia as a state of law needs law enforcers who have the soul of Pancasila in building integrity and justice in the midst of society. The purpose of writing this article is to describe the nature of Pancasila as a guideline for law enforcement in demonstrating self-integrity and justice. This writing method is normative writing through an analytical approach. The result of writing this article is Pancasila has an element of value that can be used to build a spirit of integrity for law enforcement and have positive energy in realizing social justice. The role of Pancasila in enhancing the integrity of law enforcement in by encouraging law enforcement officials to live up to, explore, find and find the values contained in the soul of the community in order to create justice that is not only legal justice but also social justice, namely justice that respect equality between humans and other humans in society.

Abstrak

Pancasila adalah volkgeist (jiwa bangsa), yang menjadi ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia sebagai negara hukum membutuhkan penegak hukum yang memiliki jiwa pancasila dalam membangun intergritas diri dan keadilan di tengah masyarakat. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan hakikat pancasila sebagai pedoman penegakan hukum dalam mewujudkan integritas diri dan keadilan. Metode penulisan ini adalah penulisan secara normative melalui pendekatan analitis (analytical approach). Hasil penulisan artikel ini yaitu pancasila memiliki unsur nilai yang dapat digunakan untuk membangun jiwa integritas bagi penegak hukum dan memiliki energi positif (positive energy) dalam mewujudkan keadilan sosial. Peran pancasila dalam meningkatkan integritas penegakan hukum adalah dengan mendorong aparat-aparat penegak hukum dalam menghayati, menggali, mencari dan menemukan nilai-nilai yang terdapat di dalam jiwa masyarakat agar tercipta keadilan yang bukan hanya keadilan hukum semata melainkan juga keadilan social yaitu keadilan yang menghormati kesetaraan antara manusia dengan manusia lainnya dalam masyarakat.


  • 1.    Pendahuluan

Dalam konstitusi UUD tahun 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum” Eksistensi sebagai negara hukum tentunya Indonesia dalam merumuskan setiap instrument hukumnya harus berpedoman kepada pancasila sebagai Volkgeist yaitu sebagai sebuah sistem nilai dalam roda kehidupan berbangsa dan bernegara yang digali sesuai cita-cita, kebudayaan dan perjalanan hidup bangsa Indonesia.

Pancasila selain sebagai integral kebudayaan bangsa yang lahir berdasarkan Volkgeist bangsa Indonesia juga merupakan sebuah teks terbuka yang mengakomodir kebhinekaan (kesatuan suku, keyakinan beragama, warna dan bentuk ras, serta antar golongan) dalam tataran kehidupan bermasyarakat yang teraktualisasi dengan norma hukum. Salah satunya adalah hukum yang menjadi cerminan dari nilai dan jiwa (Volkgeist ) yang berjalan di dalam masyarakat itu adalah hukum yang hidup (living law).1 Yaitu hukum yang digali dalam masyarakat yang mengakomodir nilai-nilai pancasila.

Pancasila sebagai jembatan hidup yang digunakan sebagai kompas/penunjuk arah dalam setiap perbuatan atau aktivitas manusia baik secara individu maupun secara institusional di dalam segala bidang. Artinya, dalam setiap tindakan penyelenggaraan pemerintahan maupun proses penegakan hukum harus dijiwai semua sila Pancasila karena hakikat dari sila pancasila adalah semangat jiwa bangsa (volkgeist) yang saling mengikat satu sama lainnya.2 Tujuan dari prinsip negara hukum Indonesia yang berpedoman pada pancasila dan UUD tahun 1945 adalah bagaimana memberikan kontribusi yang besar pada penegakan hukum yang berbasis pada keadilan, kemanfaatan yang seluas-luasnya dan menciptakan kepastian hukum demi tercapainya sebuah ketertiban, kehidupan yang sejahtera dan memberi perlindungan hukum untuk semua kalangan dalam masyarakat.3

Pancasila dalam tataran etika dan moral merupakan instrument preventif yang mencoba membangun kualitas pengelolaan negara dan mendorong proses penegakan hukum (law inforcement) yang berintegritas dan berkeadilan yang memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat lewat sumber daya manusia yang menjunjung tinggi moralitas dan etika sebagaimana yang termaktub dalam sila ke 2 pancasila.

Eksistensi Pancasila sebagai volkgeist dalam ketatanegaraan termuat dalam lembaga-lembaga negara sebagaimana yang telah di tuangkan dalam konstitusi UUD 1945 yang terpisah di antara, lembaga yang berperan menjalankan UU (eksekutif), lembaga yang bertugas membuat UU (legislative) dan lembaga pengawasan dan penegakan UU (yudikatif). Dalam penegakan hukum ini secara garis besarnya adalah bagian dari aktivitas perpaduan dan kumpulan kehendak-kehendak manusia yang mewakili

kepentingan-kepentingan yang dibuat dan disepakati untuk dituangkan dalam instrument bersama.4

Integritas moral para penegakan hukum di Indonesia sangat menentukan kualitas kesejahteraan dan kebahagiaan dalam sebuah tatanan masyarakat sebagaimana yang di cita-citakan di dalam pancasila. Sejauh ini, proses penegakan hukum di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan selain terletak pada integritas yang berkeadilan para penegak hukum, juga masih kurangnya mentalitas keberanian, komitmen moral dan kemampuan dalam membuat terobosan-terobosan baru yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sehingga banyak melahirkan ketidakpuasan terhadap publik dalam mengakses pemerataan keadilan.5

Problematika integritas dan keadilan penegakan hukum dari masa ke masa masih menjadi masalah krusial (crucial problem) yang harus di selesaikan, karena hal ini masih seringnya kita jumpai baik di masyarakat secara umum maupun media massa online dan offline yang menyajikan penegakan hukum yang jauh dari harapan yang di inginkan oleh pancasila sebagai representatif harapan rakyat Indonesia. Problem lainnya adalah penegak hukum di tuntut untuk menjalankan tugas sesuai tupoksinya yaitu memberi pelayanan hukum bagi setiap orang bersengketa dalam berupaya mencari keadilan hukum, namun justru seringkali kita menemukan aparat hukum ini memanfaatkan moment karena kekuasaannya melakukan tindakan-tindakan a-moral sehingga menciptakan kesan secara individu maupun secara kelembagaan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia terkesan buruk di tengah perubahan dan kemajuan peradaban.6

Sejauh ini masih seringnya kita menjumpai proses penegakan hukum terhadap masyarakat masih jauh dari rasa keadilan public sehingga terkadang lahirlah ide dan tindakan masyarakat itu sendiri untuk mencari keadilan berdasarkan versinya sendiri yang memungkinkan berorientasi pada tindakan melanggar Hak Asasi Manusia.7 Jika merunut pada tahun-tahun sebelumnya, keberadaan penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini nyaris tidak jauh berbeda yaitu masih banyak menyisahkan ketidakpuasan publik di hati masyarakat.8 Akibat Masih banyaknya proses penegakan hukum yang jauh dari nilai-nilai yang teraktualisasi di dalam pancasila.

Oleh sebab itu, bagaimanakah mewujudkan penegakan hukum yang berintegritas dan berkeadilan untuk menciptakan proses penegakan hukum yang mengakomodir kepastian hukum, rasa keadilan publik dan seluas-luasnya kemanfaatan di tengah masyarakat yang berbhineka (suku, agama, ras dan antar golongan) sesuai harapan pancasila sebagai volkgeist?

  • 2.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normative (normative legal research), merupakan penelitian kepustakaan (literature) dengan cara meneliti bahan pustaka terkait objek yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analitis (analytical approach). Analisis yang digunakan berupa analisis kualitatif, yakni analisis dengan memberikan gambaran-gambaran (description) dengan kata-kata atas temuan-temuan sesuai objek kajian.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

  • Pancasila adalah Volkgeist Bangsa Indonesia

Jiwa bangsa (volkgeist) merupakan konsep utama dari bangunan pemikiran Friedrich Carl Von Savigny, dalam pandangan Savigny bahwa hukum itu tidaklah dibuat, melainkan tumbuh, hidup dan berkembang dalam jiwa bangsa atau ( das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke). Dalam Terminologinya volksgeist atau volksseele, nationalgeist, geist der nation, volkscharakter atau dalam istilah inggrisnya disebut sebagai national character secara harfiah bermakna jiwa atau semangat bangsa. Sedangkan Menurut herder, volksgeist adalah wujud dari sebuah semangat suatu masyarakat dan sekaligus menjadi ruh/jiwa sebuah bangsa. Volkgeist merupakan terminologi yang bermakna psikologi dan spiritual yang merupakan satu kesatuan (inheren) dan beroperasi di berbagai entitas yang memanifestasikan (perwujudan) dalam bentuk bahasa (language), folklore, adat istiadat dan juga ketertiban hukum.9 Keberadaan pancasila sebagai volksgeist senapas dengan pandangan savigny yang menyatakan bahwa instrumen hukum seyogyanya tumbuh dari budaya, cita-cita dan jiwa sebuah masyarakat.

Penjabaran pancasila yang tertuang dalam sila-silanya pada dasarnya memuat eksistensi volksgeist dimana bangsa Indonesia dalam praktek ketatanegaraan juga sering menggunakan kebiasan-kebiasan ketatanegaraan yang tidak tercantum di dalam undang-undang yang tertulis atau yang biasa di kenal dengan konvensi, selain itu dalam penegakan hukum pun seringkali penyelesaian sengketa hukum yang terjadi di masyarakat bangsa ini menggunakan nilai-nilai hukum yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat (living law) semisal hukum adat. Di sisi lain, fungsi keberadaan pancasila adalah membangun kesadaran moral dalam berbangsa dan bernegara baik sebagai kultur (masyarakat), struktur (para penegak hukum) maupun sebagai hukum dan undang-undang (substansi) sehingga tidak ada ruang sedikitpun dalam bangsa ini tidak tersentuh dengan pancasila yang keberadaanya sebagai spirit dan jiwa bangsa (volksgeist).

Keberadaan pancasila merupakan sekumpulan spirit para the founding father dalam merumuskan dan menyatukan semangat jiwa bangsa Indonesia yang berbhineka (suku, agama, ras dan antar golongan) untuk di jadikan sebagai pedoman penegakan hukum. Hal ini sejalan dengan pemikiran thibaut bahwa hukum adalah sebuah pedoman yang lahir dari proses yang berangkat dari dalam (internal) dan otonom

secara diam-diam (silently operating) dalam diri dan jiwa masyarakat (rakyat). Proses ini bermula dalam sebuah komunitas kesatuan (bangsa) dengan dasar komitmen kepercayaan dan keyakinan serta kesadaran komunal bangsa tersebut. Hukum layaknya seperti bahasa (language) yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam hubungan kebangsaan dan menjadi milik serta kesadaran bersama berdasarkan karakter dan jiwa bangsa yang bersangkutan (volksgeist).10

  • 3.1.    Pentingnya Integritas Para Penegak Hukum

Panjangnya disparitas keberadaan penegakan hukum di bumi nusantara (Indonesia) ini selalu menjadi topic yang tidak habis dinamikanya untuk dibahas sepanjang waktu. Akan tetapi, ini sebagai gambaran dan petunjuk bahwa rakyat sebagai bagian dari penegakan hukum ini, sesungguhnya masih menyimpan harapan dan keinginan kuat untuk merekonstruksi kembali penegakan hukum yang lebih baik di tengah kondisi ketidakpercayaan public terhadap penegak hukum sehingga ke depan dapat terwujud law enforcement yang sesuai dengan cita-cita dan tujuan pancasila.11 Sesungguhnya di tengah kehidupan masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi, yang menekankan kepada kebebasan individualistik, liberalisme, menganut paham sakularisme, proses penegakan hukum dengan mengesampingkan eksistensi budaya masyarakat memungkinkan untuk tidak menjadi problematic. Akan tetapi, bagaimana jika proses law inforcement ini di bangun dan di terapkan di tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai perbedaan kultur, perbedaan kesatuan SARA (suku, Agama, ras, dan antar golongan), menjadi tidak rasional negara dengan dalil dari, oleh dan untuk rakyat, lalu membentuk suatu peraturan perundangan-undangan, mengimplementasikan perundang-undangan dan mengadili sanksi-sanksi yang terdapat dalam undang-undang yang di akibatkan oleh kehidupan masyarakat itu sendiri tanpa melihat norma (Norm) dan nilai budaya masyarakat atau spirit yang hidup dalam jiwa masyarakat (volkgeits).12

Bagi bangsa Indonesia, kualitas penegakan hukum oleh aparat hukum sangat menentukan pandangan tentang eksis atau tidaknya sebuah hukum. Jika kualitas aparat lemah dalam law inforcement, maka akan menciptakan mindset di dalam masyarakat bahwa eksistensi hukum tidak ada dan bahkan condong terciptanya peradilan yang semena-mena (hukum rimba). Sebaliknya, jika aparat hukum memiliki komitmen yang kuat dan konsisten dalam menjalankan penegakan hukum, niscaya keberadaan dan wibawa hukum dalam masyarakat itu tercipta dengan sendirinya.13

Di Indonesia, secara umum institusional yang berperan melaksanakan proses penegakan hukum di antaranya institusi kepolisian, institusi kejaksaan, praktisi advokat dan lembaga peradilan. Selain itu masih ada badan-badan penegak hukum lainnya di antara salah satunya adalah lembaga KPK yang keberadaan integritas individu dan institusinya akhir-akhir ini menjadi sorotan public.

Tujuan bangsa Indonesia adalah sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD tahun 1945 yang termaktub di alinea ke-4 bahwa bagaimana sebuah masyarakat Indonesia mencapai kesejahteraan secara umum dalam berbagai bidang termasuk penegakan hukum, selain itu, tercipta masyarakat yang cerdas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta berperan dalam membangun ketertiban peradaban dunia. Dalam mewujudkan kesejahteraan umum bangsa adalah bagaimana negara merumuskan sebuah peraturan perundang-undangan yang berpijak kepada spirit dan jiwa masyarakat yang mengandung nilai-nilai pancasila. Tentunya Jika dalam proses perumusan undang-undang lahir dengan semangat mengakomodir pancasila, maka harus di dukung oleh aparat penegak hukum itu yang memiliki kualitas kesadaran moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila, karena keberadaan penegakan hukum (law inforcement) sebagai ujung tombak terwujudnya kesejahteraan masyarakat.14

Hal ini, sejalan dengan pandangan L.M. Friedman yang mengatakan bahwa berjalan atau tidaknya proses penegakan hukum sangat di tentukan oleh tiga komponen hukum yaitu substansi hukum (materi tentang peraturan perundang-undangan), struktur hukum (para penegak hukum), dan budaya hukum (kesadaran masyarakat) ketiga komponen tersebut dalam system hukum ini merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dalam komponen ini, jika sebuah peraturan perundang-undangan yang di buat dan di rumuskan berdasarkan pancasila sebagai volkgeits, cenderung tidak memiliki ‘nilai’ yang sempurna dalam implementasinya sekalipun undang-undang tersebut memuat sanksi yang ‘berat’ dan di topang oleh banyak lembaga-lembaga hukum, jika di dukung oleh penegakan hukum (law inforcement) yang tidak memiliki kemampuan menggali dan memahami pancasila sebagai (volkgeits). Tentu seiring itu, budaya hukum tidak akan tercipta secara sistematis mentaati hukum jika komponen substansi hukum dan komponen struktur hukum tidak dilandasi semangat implementasinya berdasarkan pancasila.

Pada komponen ini, struktur hukum (penegak hukum) merupakan ujung tombak terimplementasinya hukum atau tidaknya, dilaksanakan sesuai koridor/norma atau tidak, aparat hukum inilah yang menjadi penentu sebagai “the man behind the law”.15 Pada komponen struktur hukum ini menentukan arah sebuah negara indonesia yang di cita-citakan oleh pancasila karena keberdayaan substansi hukum dan kultur hukum di tentukan integritas penegakan hukum.

Berfungsinya hukum secara efektif, juga di kemukakan oleh Eugen Ehrlich, bahwa Pada hakikatnya kemajuan sebuah hukum tidak hanya berada pada ruang peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis maupun yurisprudensi pengadilan yang telah ada sebelumnya ataupun yang terdapat dalam buku-buku tentang ilmu pengetahuan hukum melainkan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Harus melihat Peraturan-peraturan yang di gali dan hidup dalam masyarakat secara nyata (living law), juga norma hukum yang berangkat jiwa bangsa (volkgeist) pada mayoritas keinginan masyarakat, bukan dari sekadar norma yang di di himpun dan di

implementasikan oleh institusi negara.16 artinya bahwa nilai hukum tersebut akan jauh lebih berwibawa dan di taati jika mengakomodir komponen nilai-nilai jiwa bangsa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu (volkgeist). Lebih dari itu ehrlich juga menguraikan bahwa hukum yang hidup (living law) adalah hukum yang berkembang dan eksis dalam kehidupan masyarakat dan terus mengalami perkembangan. Oleh karena itu negara wajib merespon kebutuhan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut untuk di tuangkan dalam peraturan perundang-undangan sehingga masyarakat dalam menikmati penegakan hukum sesuai dengan spirit dan harapan jiwa mereka sebagaimana yang telah tertuang dalam pancasila..17

Lebih lanjut Bagir Manan menguraikan bahwa hukum yang baik dalam penyusunannya maupun dalam implementasinya sangat di pengaruhi oleh kenyataan-kenyataan social, kondisi ekonomi, keseimbangan politik maupun keberadaan budaya. walaupun dalam kondisi tertentu, bahwa peran hukum dapat menjadi sebagai agent of change, tetapi dalam banyak hal hukum adalah cerminan dari jiwa bangsa (volkgeist).18

  • 3.2.    Nilai Pancasila dalam Mewujudkan Integritas Diri

Terciptanya pandangan ‘miring’ rakyat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia saat ini, menjadi momok yang memprihatinkan dan memalukan untuk bagi kita semua. Seolah-olah keberadaan Hukum kita telah berada pada titik bawah keterpurukannya sehingga mendapat banyak sorotan public baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagaimana kita dengar, tonton, dan kita baca dalam berbagai media, kita dapat melihat sepanjang perjalanan waktu wajah hukum Indonesia terus di kritik sebagai hukum yang buruk di muka bumi.19 Problematika wajah hukum kita tersebut di sebabkan karena banyaknya produk hukum (UU) yang lahir maupun proses penegakan hukum yang tidak menjawab spirit dan jiwa masyarakat (volkgeist) sebagaimana harapan pancasila sehingga hukum tidak pernah menemukan dirinya di dalam masyarakat.

Bahwa struktur hukum merupakan komponen utama dalam sistem pembangunan hukum yang di cita-citakan pancasila, karena unsur pokok penegakan hukum di tentukan oleh perilaku yang di jalankan oleh orang baik secara individu maupun secara institusional. Perilaku hukum ini (legal behavior)20 yang di bangun dengan semangat jiwa bangsa (volkgeist) tentu akan memberikan arah dan kemajuan pembangunan hukum yang di cita-citakan oleh masyarakat sehingga hukum menjadi satu-satunya Ruh/napas masyarakat dalam menjalani segala aktivitasnya karena berangkat dari jiwa masyarakat itu sendiri.

Dalam Konstitusi UUD 1945 pasal 27 ayat 1 menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum…”21 pada teks ini, memberikan kita harapan bahwa dalam perjalanan penegakan hukum di Indonesia akan mencapai tujuan sebagaimana yang menjadi jiwa dari pada masyarakat indonesia itu sendiri, pada kenyataannya banyaknya persoalan hukum baik pada tataran (UU) maupun penegakan hukum yang tidak pernah menjawab harapan pancasila sebagaimana yang tertuang dalam sila ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” oleh karena itu penting hukum ini di rumuskan dan di tegakan berdasarkan ruh atau jiwa bangsa itu sendiri (volkgeist). Secara normative maupun tataran formal, penegakan hukum (law inforcement) di negara Indonesia wajib di lakukan dengan memperhatikan dan menggali secara penuh dan utuh nilai-nilai yang hidup dalam jiwa bangsa (volkgeits) tempat dimana proses hukum itu berlangsung.

Sebagai contoh penegakan hukum, di awal tahun 1960-an pernah terjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung di mana dalam putusan tersebut MA memutuskan bahwa pembagian warisan antara anak laki dan anak perempuan mendapatkan pembagian yang sama rata dalam masyarakat batak karo yang terdapat di wilayah provinsi Sumatra utara kala itu. Akibatnya pada saat itu, Putusan Mahkamah Agung ini menciptakan jarak batin dan keguncangan jiwa yang begitu jauh di dalam masyarakat batak karo dalam proses pembagian warisan di antara anak laki-laki dan perempuan, karena di dalam norma dan nilai yang di jiwai (volkgeist) masyarakat karo tentang pembagian warisan bahwasannya anak perempuan itu, yang telah menikah menjadi bagian dari keluarga dan tanggung jawab suaminya. Sedangkan anak laki-laki menjadi penanggung jawab untuk saudara perempuan.22 Keberadaan putusan MA justru menjadi factor disintegritas dalam kehidupan masyarakat batak karo, padahal hakikatnya penegakan hukum harusnya membangun dan mempertahankan keberadaan hukum dan jiwa yang hidup dalam masyarakat batak karo sebagai bagian dari eksistensi pancasila yang mempertahankan integral bangsa yang berbhineka.

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang berintegritas dan berkeadilan yang sesuai harapan pancasila di antaranya adalah dengan mendorong penegakan hukum yang berorientasi membangun harkat dan martabat manusia, menciptakan kedamaian, kesejahteraan hidup serta kemuliaan setiap orang dengan menghayati sila ke-2 pancasila sehingga penegakan hukum dapat tercipta dengan secara kolektif institusional karena lahirnya pandangan bahwa hukum adalah untuk manusia.23 Selain itu, penegakan hukum jangan hanya sekadar menjalankan peraturan yang berbasis teks semata, tanpa membangun jiwa, moralitas, dan hati nurani untuk melihat hukum dan jiwa masyarakat yang tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri sebagaimana yang tertuang dalam sila ke-1 pancasila bahwa nilai agama dan keyakinan adalah unsur penting para penegak hukum dalam melindungi integritas dirinya.

Di sisi lain, Penegakan hukum harus mendorong pertisipasi public untuk mengawasi kinerjanya dengan melihat norma-norma yang hidup dalam sebuah wilayah tersebut

(living law), artinya bahwa penegakan hukum harus merespon jiwa bangsa yang berada dalam wilayah tertentu semisal hukum adat, yang dalam konstitusi di sebut sebagai kesatuan masyarakat adat.24 Karena keberadaan Hukum adat menurut savigny menjadi badge atau symbol serta tanda dari eksistensi sebuah hukum positif yang di akui oleh masyarakat tersebut.25 Artinya penegakan hukum harus berangkat pada semangat nilai-nilai pancasila sehingga dapat mengantarkan manusia pada keadilan. Oleh karena itu penegakan hukum, semangat jiwa bangsa tidak dapat di abaikan karena dapat menentukan arah keberlakuan substansi dan kultur hukum. Hal ini juga di utarakan oleh Karl Menhein mengatakan bahwa “situation gebundenheit” keadaan menentukan pemikiran dan tindakan. Dengan demikian idealnya perubahan hukum mengikuti perubahan waktu perubahan keadaan dan kenyataan yang hidup dalam dan berkembang dalam masyarakat.26 Pada pandangan Karl Menhein ini, menandakan bahwa dalam penegakan hukum mestinya harus melihat dan merespon nilai dan jiwa bangsa (volkgeist) yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu secara keseluruhan demi tercapainya keadilan dalam masyarakat itu sendiri.

Selain itu, Peran pancasila dalam meningkatkan integritas penegakan hukum adalah dengan mendorong aparat-aparat penegak hukum menghayati, mendalami, menggali, dan menghimpun nilai-nilai yang terdapat dalam jiwa bangsa itu sendiri, agar tercipta keadilan yang bukan hanya keadilan hukum semata melainkan juga keadilan social yaitu keadilan yang menghormati kesetaraan antara manusia dengan manusia lainnya dalam masyarakat itu sendiri, serta keadilan yang menghimpun semangat dan jiwa bangsa (volkgeits) bangsa Indonesia sebagaimana tujuan negara indonesia dalam pembukaan UUD tahun 1945 yang termaktub di pembukaannya yaitu berperan dalam melaksanakan tertibnya peradaban dunia yang berdasarkan keadilan social.27 sehingga tercapailah penegakan hukum yang di harapkan oleh pancasila sebagai volkgeist seperti yang tertuangkan dalam nadi pancasila itu sendiri yaitu “keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia”.

  • 4.    Kesimpulan

Eksistensi Pancasila sebagai volkgeist dalam ketatanegaraan termuat dalam lembaga-lembaga negara sebagaimana yang telah di tuangkan dalam konstitusi UUD 1945 yang terpisah di antara, lembaga yang berperan menjalankan UU (eksekutif), lembaga yang bertugas membuat UU (legislative) dan lembaga pengawasan dan penegakan UU (yudikatif). Penegakan hukum seyogyanya berangkat pada semangat nilai-nilai pancasila sehingga dapat mengantarkan manusia pada keadilan. Sejalan dengan pandangan Karl Menhein, bahwa dalam penegakan hukum mestinya harus melihat dan merespon nilai dan jiwa bangsa (volkgeist) yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu secara keseluruhan demi tercapainya keadilan dalam masyarakat. Peran pancasila dalam meningkatkan integritas penegakan hukum adalah dengan mendorong aparat-aparat penegak hukum dalam menghayati, menggali, mencari dan

menemukan serta menghimpun nilai-nilai yang terdapat di dalam jiwa masyarakat agar tercipta keadilan yang bukan hanya keadilan hukum semata melainkan juga keadilan social yaitu keadilan yang menghormati kesetaraan antara manusia dengan manusia lainnya dalam masyarakat itu sendiri, serta keadilan yang menghimpun semangat dan jiwa bangsa (volkgeits) bangsa Indonesia sebagaimana tujuan negara indonesia dalam pembukaan UUD tahun 1945 alinea ke-4 yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial. sehingga tercapailah penegakan hukum yang di cita-citakan pancasila sebagai volkgeist seperti yang di tuangkan sila ke-5 “keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia”.

Daftar Pustaka

Buku

Absori, A. (2018). PEMIKIRAN HUKUM PROFETIK: Ragam Paradigma Menuju Hukum Berket. Yogyakarta: Ruas Media

Friedman, W., (1990). Legal Theory, terjemahan oleh mohamad arifin. Jakarta: Rajawali Machmud, P (2013). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana

Rahardjo, S. (2003). Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Salim, H.S., & Nurbani, E. S. (2013). Penerapan Teori Hukum pada Penelitian tesis dan Disetasi. Jakarta: Raja Grafindo Persana

Jurnal/Prosiding

Ahmad, I. (2018). Rencana dan Strategi Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat.

Gorontalo Law Review, 1(1), 15-24. https://doi.org/10.32662/golrev.v1i1.94

Cahyadi, A. (2017). Hukum Rakyat a'La Friedrich Karl von Savigny. Jurnal Hukum & Pembangunan, 35(4), 386-406. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol35.no4.1466

Farida, A., & Nasichin, N. (2018). Teori Hukum Pancasila sebagai Sintesa Konvergensi Teori-Teori Hukum di Indonesia (Teori Hukum Pancasila sebagai Perwujudan Teori Hukum Transendental). Prosiding Seminar Nasional & Call for Papers Hukum Transendental.

Fakrulloh, Z. A. (2005). Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan. 2(1). 22-34.

Juwana, H. (2006). Penegakan Hukum dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi di Indonesia. Indonesian Journal of International Law, 3(2), 212-241.

Kurniawan, E. J. A. (2012). Pluralisme Hukum Dan Urgensi Kajian Socio-Legal Menuju Studi Dan Pengembangan Hukum Yang Berkeadilan Sosial. Yuridika, 27(1), 17-34. 10.20473/ydk.v27i1.284

Latipulhayat, A. (2015). Khazanah: Friedrich Karl Von Savigny. Padjadjaran Journal of Law, 2(1). 197-208. https://doi.org/10.22304/pjih.v2n1.a12

Purwaningsih, E. (2011). Penegakan Hukum Jabatan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian Berdasarkan Pancasila dalam Rangka Kepastian Hukum. Adil: Jurnal Hukum, 2(3), 323-336. https://doi.org/10.33476/ajl.v2i3.846

Raharjo, A., & Angkasa, A. (2011). Profesionalisme Polisi Dalam penegakan Hukum. Jurnal           Dinamika           Hukum,           11(3),           389-401.

http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.3.167

Ravena, D. (2014). Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia.       Jurnal       Wawasan       Yuridika,       23(2),       155-166.

http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v23i2.10

Roseffendi, R. (2018). Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum. Al Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, 3(2), 189-198. http://dx.doi.org/10.29300/imr.v3i2.2151

Siregar, C. (2014). Pancasila, Keadilan Sosial, dan Persatuan Indonesia. Humaniora, 5(1), 107-112. https://doi.org/10.21512/humaniora.v5i1.2988

Suhardin, Y. (2007). Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Hukum Pro Justitia, 25(3). 270-282.

Surbakti, N. (2012). Dampak Negatif Pengabaian Nilai Kultural Dalam Penegakan Hukum. Jurnal Ilmu Hukum. 15(1). 41-53.

Internet

Frans H. Winarta, Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018, kolom hukum online.

Com,        02        januari        2019        di        kutif        dari

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c2c4d8a2e4aa/refleksi-penegakan-hukum-indonesia-2018-oleh--frans-h-winarta/

Komisi Yudisial republic Indonesia. (2017). Penegakan Hukum Wujudkan Keadilan, Kepastian,            dan            Kemanfaatan            Hukum.

www.komisiyudisial.go.id/frondend/news_detail/541/penegakan-hukum-wujudkan-keadilan-kepastian-dan-kemanfaatan-hukum

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

152