Tanggung Jawab PPAT dalam Penetapan Nilai Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Banda Aceh
on
Tanggung Jawab PPAT dalam Penetapan Nilai Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kota Banda Aceh
Harnita1, Muazzin2 , Zahratul Idami3
1Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, E-mail: [email protected]
-
2Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, E-mail: [email protected]
-
3Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 21 Juni 2019
Diterima: 26 September 2019
Terbit: 30 September 2019
Keywords:
PPAT responsibility; Buy and Sell Transactions; BPHTB
Kata kunci:
Tanggung jawab PPAT;
Transaksi Jual Beli; BPHTB
Corresponding Author:
Harnita, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2019.v08.i03.
p05
Abstract
PPAT is an official appointed by the State in carrying out office duties which include relating to the function of public services in the field of law. This is related to his authority in making a sale and purchase deed. Based on Article 5 paragraph (1) of Qanun Number 7 of 2010 concerning Fees for Acquisition of Land and Building Rights, in the inclusion of a sale and purchase deed made by PPAT, it must be following the actual transaction price. But in practice, PPAT was still found which decreased the value of land and building sale and purchase transactions. The purpose of this research is to explain the responsibility of the notary as PPAT in determining the value of land and building sale and purchase transactions, and the reason of the notary as PPAT in determining the value of the sale and purchase transaction of land and buildings not following the actual price. This study uses a type of empirical legal research. The results of the study indicate that the notary / PPAT is responsible for the incompatibility of transaction values contained in the deed of sale and purchase which do not match the actual price. The notary / PPAT reason in determining the value of the sale and purchase transaction of land and buildings is not following the actual price due to unfair competition between fellow notaries / PPAT, constraints related to taxpayers, and a sense of solidarity among notaries.
Abstrak
PPAT merupakan pejabat yang diangkat oleh Negara dalam menjalankan tugas jabatan yang diantaranya berkaitan dengan fungsi pelayanan publik dalam bidang hukum. Hal ini berkaitan dengan kewenangannya dalam pembuatan akta jual beli. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Qanun Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dalam pencantuman akta jual beli yang dibuat oleh PPAT haruslah sesuai dengan harga transaksi yang sebenarnya. Namun dalam praktiknya masih ditemukan PPAT yang melakukan penurunan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan tanggung jawab notaris selaku PPAT dalam penetapan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan, dan alasan notaris selaku PPAT dalam penetapan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan tidak sesuai dengan
harga sebenarnya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa notaris/PPAT bertanggung jawab terhadap ketidaksesuaian nilai transaksi yang terdapat dalam akta jual beli yang tidak sesuai dengan yang harga yang sebenarnya. Alasan notaris/PPAT dalam penetapan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan tidak sesuai dengan harga sebenarnya adalah karena adanya persaingan tidak sehat antara sesama rekan notaris/PPAT, adanya kendala yang berhubungan dengan wajib pajak, dan adanya rasa kesetiakawanan antara sesama notaris.
Istilah PPAT secara jelas dan tegas ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UU HT) dalam Pasal 1 angka 4 yakni “Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah) Pasal 1 angka 24 menyatakan “PPAT diartikan sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.
PPAT diberikan kewenangan untuk membuat akta autentik terkait peralihan hak yang disebut akta jual beli1 .Akta jual beli (AJB) adalah akta yang membuktikan telah terjadinya peralihan hak dari penjual kepada pembeli. Prinsipnya jual beli tanah dan bangunan bersifat nyata dan tunai, dimana kedua belah pihak sepakat, dan kesepakatan tersebut dijabarkan dalam akta autentik yang dibuat oleh PPAT, serta biayanya telah dilunasi. Jika biaya transaksi jual tanah belum dilunaskan maka AJB tidak dapat dibuat. Dengan demikian kewajiban PPAT dalam membuat akta ialah terlebih dahulu harus pastikan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB )tersebut telah dibayar dengan memperlihatkan bukti setoran BPHTB.2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah(selanjutnya disingkat UUPDRD) menyebutkan bahwa terkait Pajak “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan” (selanjutnya disingkat BPHTB) ialah pajak daerah yang wewenangnya dipungut oleh pemerintah Kota/Kabupaten. Pajak merupakan peranan penting bagi suatu negara ialah sumber pemasukan dalam kas negara yang dipergunakan untuk keperluan kegiatan pemerintah dan pembangunan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 3 PPAT sangat berperan penting dalam transaksi jual beli tanah, dimana secara tidak langsung telah ikut membantu Kepala BPN Kabupaten/Kota untuk melakukan kegiatan terkait dengan tanah. Posisi PPAT sangat penting dalam penyampaian terkait dengan harga transaksi sebagai dasar penetapan BPHTB kepada masyarakat. Pembuatan akta jual beli dibuat pada saat obyek dan harga transaksi telah di sepakati dan telah dibayar secara lunas oleh pembeli, namun sebelumnya harus dilakukan verifikasi pajak sebagai syarat yang utama dalam transaksi jual beli tanah.4
Berdasarkan hasil observasi di lapangan didapatkan bahwa PPAT secara terang-terangan menyarankan untuk mengurangi nilai transaksi tanah menjadi sekecil-kecilnya kepada masyarakat, agar biaya pajak tidak besar dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi PPAT dalam menarik para klien. Pelanggaran ini terjadi akibat ketidaktahuan informasi terhadap peraturan-peraturan pemerintah, atau disebabkan faktor lain, seperti PPAT sudah mengetahui hal tersebut, namun tetap melakukan pelanggaran. Hal ini merupakan pencerminan dari moral dan etika perilaku dari PPAT sendiri.
Proses transaksi terkait dengan aktivitas PPAT ialah tentang jual beli, hibah dan tukar menukar. Proses tersebut sangat berkaitan langsung dengan Pajak BPHTB, namun dalam praktiknya, beberapa PPAT menjalankan aktivitasnya dengan mengenyampingkan keberadaan peraturan dan kode etik dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang diteliti adalah Bagaimanakah Tanggung jawab PPAT dalam penetapan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan di Kota Banda Aceh? dan mengapa notaris selaku PPAT menetapkan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan tidak sesuai dengan nilai transaksi sebenarnya?
-
2. Metode Penelitian
Mengaktualisasikan norma hukum dengan mengkaji ketentuan hukum serta yang terjadi di dalam masyarakat, metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini ialah metode penelitian yuridis empiris. Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang digunakan dengan menganalisis seluruh regulasi atau ketentuan perundangan terkait dengan masalah hukum yang akan diteliti. Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penulisan artikel ini.“Data primer” ialah data yang didapat melalui wawancara, diskusi terfokus dan obsevasi terhadap responden dan informan di lapangan.“Data sekunder” berupa aturan perundang-undangan dan pendapat para ahli yang ada pada literatur seperti buku-buku, Karya Ilmiah, laporan penelitian, media masa, ialah data yang digunakan untuk mendapatkan data primer terkait mengenai masalah-masalah ini.5
Teknik pengolahan untuk mendapat “data primer maupun data sekunder” yaitu melaui instrumen wawancara dengan beberapa informan dan responden dan observasi dengan mengamati karakteristik perilaku notaris dan masyarakat di Kota Banda Aceh agar mendapat penjelasan secara spesifik alasan tentang penelitian ini dilakukan, kemudian diperkuat dengan data sekunder yaitu melakukan penelitian kepustakaan dengan melihat beberapa literatur yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.
Data dalam artikel ini di analisis secara kualitatif dengan mengambarkan dan mendeskripsikan data yang ada, dimana seorang PPAT ikut bertanggung jawab terhadap nilai transaksi objek pajak dalam pembuatan akta jual beli.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Pemerintah menyelenggarakan pembangunan daerah dengan menggunakan hasil pajak yang merupakan sumber pendanaan daerah. Dengan demikian untuk kemajuan daerah, maka penerimaan daerah yang harus lebih ditingkatkan. Hal itu agar penyediaan pelayanan oleh pemerintah kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan daerah semakin meningkat. BPHTB ialah pajak yang dipungut berdasarkan UU PDRD.6Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) UU PDRD menyatakan “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Peraturan Daerah di Provinsi Aceh disebut dengan Qanun. Qanun merupakan peraturan daerah yang khusus berada di Provinsi Aceh berdasarkan prinsip Keistimewaan dan Otonomi khusus.
Berkaitan dengan penetapan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan di Kota Banda Aceh Pemerintah Kota Banda Aceh menetapkan pengesahan Qanun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disebut Qanun BPHTB). Pengesahan Qanun ini bertujuan agar Pemerintah kota dapat memungut Pajak BPHTB berdasarkan ketetapan yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku. Mengenai dengan obyek, subyek, dasar pengenaan dari tarif pajak diatur secara jelas di dalam qanun. Selain itu juga mengatur tentang administrasi pemungutannya. Namun dalam hal penerapannya berjalan dengan sebagai mana mestinya dan efektif dalam masyarakat, namun masih saja ada pelanggaran yang terjadi.
Tabel .1
Rekapitulasi Penerimaan BPHTB Menurut Kecamatan di Kota Banda Aceh Tahun 2017
No |
Kecamatan |
Target |
Realisasi |
1 |
Meuraxa |
237.500.000,00 |
224.367.638,22 |
2 |
Jaya Baru |
285.000.000,00 |
405.644.802,87 |
3 |
Banda Raya |
427.500.000,00 |
588.407.845,92 |
4 |
Baiturrahman |
712.500.000,00 |
1.288.256.571,76 |
5 |
Lueng Bata |
665.000.000,00 |
760.026.800,99 |
6 |
Kuta Alam |
1.092.500.000,00 |
1.921.983.708,85 |
7 |
Kuta Raja |
142.500.000,00 |
219.910.003,02 |
8 |
Syiah Kuala |
712.500.000,00 |
860.323.592,91 |
9 |
Ulee Kareng |
475.000.000,00 |
385.024.758,00 |
Jumlah/Total |
4.750.000.000,00 |
7.429.391.994,00 |
Sumber : “Data Dinas Pengolahan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kota Banda Aceh”
Pemungutan BPHTB di Kota Banda Aceh berdasarkan Qanun BPHTB Pasal 1 ayat (5) yang menyebutkan bahwa “Nilai Jual Objek Pajak (selanjutnya disingkap NJOP) ialah harga rata-rata dari transaksi jual beli yang terdapat pada pajak bumi dan bangunan”. Nilai pada NJOP ialah sebagai pengganti apabila transaksi jual beli tidak ada yaitu melaui perbandingan dengan nilai NJOP obyek yang sejenis. Sistem pemungutan self assessmet ialah cara yang dilakukan untuk memungut pajak BPHTB. Perhitungan dan pembayaran pajak yang terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak dengan menggunakan “surat setoran pajak daerah (SSPD)”. Kemudian melaporkannya kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD), sehingga banyak pihak yang terlibat dalam pemungutan BPHTB di Kota Banda Aceh yaitu :
-
1. Masyarakat/Wajib Pajak;
-
2. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah;
-
3. Bank;
-
4. PPAT
-
5. Badan Pertanahan Nasional.
Menurut Pasal 91 ayat (1) UU PDRD menyebutkan bahwa : “Notaris/PPAT hanya dapat menandatangani akta jual beli setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”. Hal tersebut karena, pihak yang ingin menjual tanah/bangunan diwajibkan menunjukkan bukti lunas pembayaran pajak BPHTB pada PPAT.
Tabel 2.
Target dan Realisasi BPHTB Daerah Kota Banda Aceh (2011-2017)
NO |
TAHUN |
TARGET BPHTB |
REALISASI BPHTB |
1 |
2011 |
Rp. 7.122.406.535,00 |
Rp. 6.262.345.015,00 |
2 |
2012 |
Rp. 5.500.000.000,00 |
Rp. 4.409.683.790,00 |
3 |
2013 |
Rp. 3.500.000.000,00 |
Rp. 5.256.331.078,00 |
4 |
2014 |
Rp. 4.000.000.000,00 |
Rp. 4.379.814.580,00 |
5 |
2015 |
Rp. 4.000.000.000,00 |
Rp. 4.991.171.660,00 |
6 |
2016 |
Rp. 4.250.000.000,00 |
Rp. 5.060.298.100,00 |
7 |
2017 |
Rp. 4.750.000.000,00 |
Rp. 7.429.391.994,00 |
Sumber : “Data Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kota Banda Aceh”
Pajak BPHTB ialah salah satu pajak yang memenuhi kriteria pajak daerah untuk menaikkan pendapatan daerah dan akuntabilitas daerah. Maka dengan demikian pajak tersebut harus benar-benar dioptimalkan dengan cara memeriksa objek dan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) BPHTB dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) BPHTB.7Selama ini dalam pelaksanaannya pemerintah daerah belum memperoleh pendapatan yang maksimal dari sektor pajak BPHTB, karena adanya wajib pajak yang tidak melaporkan nilai transaksi jual beli berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Qanun BPHTB, hal ini antara lain disebabkan oleh wajib pajak bahwa adanya perbuatan penggelapan pajak dalam melaporkan nilai transaksi jual beli yang juga melibatkan PPAT dan petugas pajak dalam proses penentuan nilai transaksi pajak tersebut. Selain itu, tidak adanya penetapan standar harga pasar yang di dapatkan dari harga jual beli obyek pajak sesuai NJOP pada daerah tersebut, sehingga turut mendorong terjadinya penyimpangan tersebut, yaitu melaporkan nilai jual beli yang lebih rendah.
Tindakan PPAT tersebut merupakan pelanggaran terhadap “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016” tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disingkat PP No. 24/2016) menyebutkan bahwa:
-
1. Dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b menyatakan “PPAT akan diberhentikan apabila melakukan pelanggaran berat, hal tersebut berdasarkan ”.
-
2. Dalam Pasal 10 ayat 4 huruf c “PPAT diberhentikan sementara seperti yang tersebut pada ayat (1) huruf c karena berbuat suatu pelanggaran yang tergolong ringan atas kewajiban sebagai PPAT, karena sebagai terdakwa yang diancam 5 tahun, tidak melaksanakan tugas dan jabatan PPAT setelah pengambilan sumpah, melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya,
melakukan perbuatan tercela dan masih ada beberapa hal lainnya yang diatur dalam aturan tersebut
Selain melanggar beberapa ketentuan yang terdapat dalam PP No. 24/2016 yang melakukan pelanggaran tersebut juga melanggar “Pasal 3 Kode Etik PPAT No. 112/KEP-4.1/IV/2017 tanggal 27 April 2017” mengatur tentang tugas PPAT dan PPAT pengganti. Setiap PPAT wajib :
-
1. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat PPAT, dan berkelakuan baik berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik.
-
2. Menggunakan bahasa Indonesia yang benar.
-
3. Memprioritaskan kepentingan negara dan masyarakat.
-
4. Ikut berkontribusi dalam bidang hukum.
-
5. Menjalankan tugas dan jabatan dengan peniuh tanggung jawab dan tidak memihak.
-
6. Memberikan layanan terbaik kepada klien
-
7. Memberi penyuluhan hukum pada masyarakat agar masyarakat memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik.
-
8. Menghormati, menghargai dan saling mempercayai antar sesama rekan sejawat
-
9. Membela juga menjaga marwah dan nama baik KORP PPAT dengan berdasarkan solidaritas dan rasa saling menolong.
-
10. Menjunjung tinggi keramahtamahan antar sesama pejabat dan dengan seluruh masyarakat yang punya hubungan dalam menjalankan tugas dan jabatannya.
-
11. Menetapkan kantor yang merupakan satu-satunya tempat untuk melaksanakan tugas dan jabatannya sehari-hari.
-
12. Memperbaharui segala data mengenai kantor PPAT pada “Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.”
Mengenai penemuan kesalahan dalam pembuatan akta autentik oleh teman sejawat yang menyebabkan para pihak menderita kerugian, PPAT yang bersangkutan wajib:
-
1. Memberitahu kesalahan dengan cara tidak menggurui, melainkan bertujuan agar menghindari timbulnya kerugian baik untuk klien maupun teman sejawat tersebut.
-
2. Segera setelah menyampaikan hal tersebut, maka juga perlu menjelaskan kesilapan tersebut kepada klien.
-
3. Melakukan perbuatan lainnya sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain :
-
a. aturan terkait profesi PPAT
-
b. Isi sumpah jabatan PPAT
-
c. Anggaran dasar rumah tangga dan keputusan lainnya berdasarkan ketentuan Perkumpulan IPPAT, yaitu :
-
- iuran,
-
- uang duka jika ada yang meninggal
-
- mentaati ketentuan terkait tarif dan kesepakatan yang mengikat semua perkumpulan IPPAT.
-
4. Hal lain yang terkait dengan kewajiban PPAT.8
Usaha meningkatkan pendapatan daerah melalui BPHTB, selain dipengaruhi oleh peran Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh, juga oleh notaris/PPAT yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta jual beli. Dalam melakukan pekerjaan yang terkait dengan pembuat akta jual beli seorang PPAT sangat berhubungan dengan perpajakan dan langsung berhadapan dengan calon wajib pajak. Notaris/PPAT di harapkan tidak mengurangi nilai transaksi angka pajak yang ditetapkan pada “akta jual beli” yang dibuatnya. Namun, notaris/PPAT harus berperan aktif memberi penyuluhan kepada calon pembeli dan penjual untuk tidak mengurangi nilai transaksi dibawah NJOP dan menyampaikan nilai transaksi secara jujur dan sebenar-benarnya untuk kemudian dicantumkan dalam AJB yang dibubuhi tanda tangan oleh kedua belah pihak di hadapan notaris/PPAT. Contoh sebuah kasus pada Akta Jual beli No : 404/AJB/X/2016. Nyonya Hj. Anisah menjual sebidang tanah dengan luas 122-M2 dengan harga nilai Jual sebenarnya Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), sedangkan nilai yang tertulis dalam AJB ialah sebesar Rp 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi nilai BPHTB, perbuatan seperti ini sering terjadi dalam proses pembuatan AJB.
Pemerintah melantik notaris untuk menjalankan tugasnya yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang hukum. Oleh karena itu notaris selaku PPAT tersebut juga menjalankan bagian dalam tugas negara. Undang-undang memberikan kuasa kepada notaris selaku PPAT secara atribusi untuk menghasilkan akta autentik. Dengan demikian kedudukan notaris dituntut menciptakan kepastian hukum dengan produk yang dihasilkannya melalui akta tersebut. Kewenangan pejabat umum sesuai dengan undang-undang telah diatur dalam :
-
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah;
-
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Mengenai tugas sebagai PPAT ditetapkan dalam PP No. 37/1998 PPAT ialah pejabat umum dilantik oleh “Kepala BPN RI”, yang diberikan kewenangan untuk menghasilkan akta pertanahan. Seseorang pembeli harus memastikan terlebih dahulu bahwa tanah yang akan dibeli bukan obyek sengketa dan tidak dalam anggunan kredit di bank. Peralihan tanah dalam hukum positif ada dari hukum adat, yang sifatnya ialah real dan kongkrit (tunai). Dengan beralihnya hak tersebut maka hak atas tanah tersebut telah pindah ke pihak lain.9
Akta PPAT ialah sebuah akta otentik, maka bentuk dan formalitas dari akta tersebut harus mengikuti aturan yang terdapat pada perundang-undangan. Akta autentik dibuat sesuai dengan aturan yang terdapat pada perundang-undangan yang dibuat dihadapan PPAT berdasarkan “Pasal 1868 KUHPerdata”. Syarat otentisitas suatu akta ialah :
-
1. Bentuknya telah di tentukan oleh UUJN;
-
2. Dibuat seorang PPAT;
-
3. Pejabat tersebut mempunyai kewenangan di mana tempat akta itu diselenggarakan.
Seorang PPAT harus memeriksa kelengkapan syarat untuk sahnya suatu tindakan hukum, seperti memeriksa kembali secara cermat dan teliti terkait dengan data pada sertifikat hak milik dengan buku tanah yang ada di Kantor BPN.10Ketentuan untuk membuat suatu akta auntentik tersebut ialah ketentuan yang harus di ikuti tanpa adanya sedikitpun melakukan penyimpangan. Penyimpangan dalam membuat akta otentik dapat menimbulkan akibat hukum terhadap akta tersebut 11 .Tidak dapat dipungkiri, posisi sebagai PPAT sangat rawan terhadap godaan materi yang menghampirinya. Hal tersebut pastinya dapat menjeratnya untuk melakukan penyimpangan. Penyimpangan tersebut terlihat dari banyaknya kasus perdata yang menjerat notaris selaku PPAT di berbagai daerah. Apabila secara praktik terdapat PPAT yang melakukan penyimpangan sehingga menyebabkan akta yang dibuatnya menjadi cacat hukum, misalnya dalam hal harga transaksi jual beli yang dibuat tidak sesuai dengan harga pada kenyataannya maka akta tersebut tidak mendapat jaminan hukum yang pasti dan dipastikan akan menjadi suatu masalah kedepannya.12
PPAT memiliki tanggung jawab berat, dikarenakan produk yang dibuat oleh notaris selaku PPAT ialah produk yang sangat berkonsekuensi dalam bidang hukum. PPAT memiliki kewajiban untuk mengamankan “pemasukan uang negara yaitu PPH dan BPHTB”. Hal ini sering terjadi ketimpangan yang berakibat kerugian pada negara dan memungkinkan PPAT terlibat dengan hal tersebut, dan ini sudah bukan rahasia umum lagi dan sangat merugikan negara.13PPAT memang sangat dituntut untuk lebih hati-hati dan tanggung jawab dalam membuat akta jual beli dikarenakan adanya penyebutan harga transaksi. PPAT dituntut lebih bijak dalam menilai dan menafsir harga yang wajar dari suatu bidang tanah. Sebaiknya PPAT terlibat untuk mengatur kesepakatan harga antara penjual dan pembeli, apalagi ikut menyarankan kepada para pihak untuk meletakkan harga yang tidak sebenarnya dalam akta jual beli guna menurunkan biaya Pajak BPHTB. Hal tersebut ditakutkan kedepannya akan menjadi masalah bagi notaris itu sendiri.14
Pengisian pajak haruslah benar berdasarkan Pasal 12 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bagi Wajib Pajak yang menyebutkan tentang total pajak yang terhutang wajib dilaporkan oleh wajib pajak berdasarkan surat pemberitahuan. Namun secara praktiknya, banyak wajib pajak yang meminta PPAT atau pegawainya untuk menghitung beban hutang pajak tersebut, sehingga karena keadaan demikianlah sering sekali ada pihak-pihak PPAT tertentu yang melakukan pelanggaran. 15 Seorang notaris dituntut untuk bersikap lebih transparan dan jelas dalam memberikan arahan terkait pengenaan pajak terhadap
suatu transaksi yang terjadi di kantornya, agar tidak menimbulkan kecurigaan maupun perselisihan di kedua pihak yang terkait dalam transaksi tersebut. PPAT benar-benar harus memperhatikan etikanya selaku PPAT agar tidak melanggar kode etik profesi notaris, maka oleh karena itu PPAT harus menanamkan sikap moral yang tinggi serta taat UUJN dan Kode Etik PPAT.
Akta jual beli ialah akta otentik yang dibuat oleh PPAT, oleh karenanya akta tersebut harus dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang berdasarkan “Pasal 3 PP No. 37/1998 jo Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah”. AJB adalah bukti telah dilakukannya jual beli dari kedua belah pihak yang perbuatan hukum tersebut bersifat tunai, serta sebagai pembuktian telah beralihnya hak atas tanah dari pemilik awal ke pemilik yang baru yang didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan untuk diperoleh sertifikat yang memiliki kekuatan hukum.16
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UU No. 21 Tahun 1997 jo UU No. 20 Tahun 2000 PPAT hanya dapat menandatangani AJB pada saat para pihak menyerahkan bukti pembayaran pajak, dan AJB dibuat setelah proses cek bersih pada kantor BPN selesai serta pajak BPHTB dan PPH telah dibayar oleh pembeli dan penjual. Pembayaran pajak BPHTB dapat dilakukan melalui Bank atau Kantor Pos. Akta jual beli tidak akan lahir apabila pajak BPHT tersebut belum dilunasi. Proses pembayaran BPHTB dalam praktiknya dibantu oleh PPAT yang bersangkutan, dalam hal inilah ada beberapa PPAT yang menyarankan masyarakat yang masih awam hukum untuk menurunkan harga transaksi jual beli sehingga pajak yang dibayarkan tidak terlalu mahal, dan hal tersebut sudah menjadi daya tarik tersendiri dikalangan notaris dalam memikat klien 17 .
PPAT bertugas untuk memberikan kepastian hukum terkait dengan kewenangannya sebagai pembuat akta autentik. Di dalam tugasnya mengandung 2 fungsi pokok PPAT, yaitu pertama PPAT bertanggung jawab terhadap kepastian hukum terhadap sahnya suatu pengikatan hukum, yang kedua PPAT memiliki kewenangan secara atribusi dalam menciptakan kepastian dan perlindungan hukum pada semua pihak.18Secara etimologi kata “tanggung jawab” berasal dari bahasa Inggris yaitu “Responsibility” yang artinya ialah tanggung jawab, bertanggung jawab atau yang memiliki tanggung jawab. 19 Tanggung jawab ialah kewajiban atas segala hal yang terjadi dan untuk memberi pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan.20
Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia tanggung jawab ialah “keadaan dimana seseorang berkewajiban menanggung segala sesuatu, memikul jawab, atau menanggung akibatnya”. Secara definisi tanggung jawab ialah “kesadaran akan perbuatan yang disengaja dan tidak disengaja”. Tanggung jawab juga merupakan
sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.21Terkait dengan wewenang notaris dideskripsikan secara teoritis, kewenangan berasal dari bahasa Inggris yaitu “Authority” yang artinya ialah kewenangan, yang berwenang atau yang memiliki kewenangan. 22Kesalahan atau kelalaian dari PPAT dalam membuat AJB berakibat merugikan suatu daerah dimana pajak yang didapat dari BPHTB akan menjadi berkurang. Akta yang dihasilkan oleh PPAT tersebut menimbulkan masalah karena telah dilakukan dengan cara yang menyimpang dari prosedur baik secara materil maupun formil.23Pertanggungjawaban PPAT secara formil dalam kasus diatas ialah penyimpangan terhadap syarat formil, dimana “harga transaksi yang tertera dalam akta jual beli berbeda dengan nilai transaksi yang sebenarnya”. Pada kasus tersebut pada AJB tertera bahwa nilai transaksi tidak sama dengan harga yang sebenarnya, sehingga pajak yang harus di bayar pun lebih kecil apabila dibandingkan dengan yang seharusnya dibayar berdasarkan nilai transaksi yang sebenarnya.
Akibat perbuatan tersebut PPAT dapat disanksi hukuman berupa pemberhentian dengan tidak hormat karena telah melakukan penyimpangan. Akta jual beli tersebut juga tidak memenuhi syarat formil dari ketentuan sebuah akta yang mengakibatkan kekuatan pembuktiannya akta menjadi akta di bawah tangan, hal tersebut seperti yang termaktub dalam “Pasal 28 ayat (2) Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2006 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah”. Notaris juga dapat dijatuhi sanksi administrasi atas kesalahannya terkait dengan akta yang dibuatnya berupa teguran secara lisan pada notaris/PPAT tersebut dan teguran juga dapat dilakukan secara tertulis, serta notaris/PPAT tersebut dapat diberhentikan sementara selama 1 hingga 6 bulan, dan yang paling berat notaris/ppat tersebut dapat diberhentikan dengan cara tidak hormat dari jabatan yang di pikulnya tersebut.24
PPAT seharusnya memiliki moralitas yang baik tidak mudah terpengaruh oleh godaan dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku. Itu dikarenakan bahwa seorang PPAT adalah pejabat umum yang dipercaya, maka PPAT harus mengedepankan ketelitian dan kecermatan saat melakukan jabatannya dengan sebaik-baiknya, mengingat profesi PPAT adalah pejabat umum yang profesional yang juga dapat dijatuhi sanksi.25
Masyarakat juga memiliki peran dalam hal penyampaian harga transaksi sebagai dasar pajak BPHTB yang harus di sampaikan pada PPAT untuk pembuatan akta jual beli. Pembuatan akta jual beli dilakukan pada saat telah disepakati dan telah dilakukan pelunasan terhadap harga transaksi atas tanah tersebut. Namun terlebih dahulu harus dilakukan verifikasi pajak BPHTB yang merupakan salah satu peralihan hak. Hal ini dimaksudkan karena setiap perbuatan hukum berupa pengalihan hak atas tanah dan bangunan tersebut harus dapat menunjukkan bukti telah dilunaskannya pajak BPHT pada PPAT yang bersangkutan.
Untuk meningkatkan pembangunan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, diharapkan PPAT benar-benar dapat membantu pemerintah dalam hal perpajakan yaitu melalui “penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara”. Selain memiliki peran yang penting dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan, PPAT juga mempunyai peran untuk memungut pajak BPHTB. Hal itu karena akta jual beli ialah bukti telah terjadinya peralihan hak yang di buat oleh PPAT yang membutuhkan surat setoran BPHTB. Jika penghadap belum membayar BPHTB, maka PPAT belum dapat menandatangani akta jual beli tersebut.Hal ini disebabkan karena BPHTB ialah salah satu syarat yang wajib ada sebelum PPAT membuat akta dan menandatanganinya.
-
3.2 Alasan Notaris selaku PPAT Menetapkan Nilai Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan Tidak Sesuai Dengan harga transaksi sebenarnya.
Terdapat berbagai macam alasan/faktor yang menyebabkan terjadinya pembuatan akta jual beli tanah oleh PPAT sehingga menjadi tidak sesuai atau menyimpang dari tata cara pembuatan akta PPAT, salah satunya yaitu menetapkan nilai transaksi jual beli dalam akta dibawah rata-rata harga pasar dengan tujuan untuk mengecilkan nilai pajak. Alasan/faktor yang menyebabkan notaris tidak menetapkan nilai transaksi jual beli sesuai dengan harga sebenarnya ialah :
-
a. Adanya Persaingan Tidak Sehat antara Sesama Rekan Notaris/PPAT
Perkembangan perekonomian Indonesia yang semakin pesat di segala bidang yang juga memunculkan berbagai profesi di segala bidang. Profesi tersebut semakin bertambah seiring waktu dan kemajuan zaman. Setiap profesi mempunyai ”lahan” tersendiri sebagai bidang pekerjaannya yang terpisah-pisah namun saling berhubungan satu dengan lainnya. Tingkat pertumbuhan masyarakat yang tinggi akan berdampak pada tingkat kebutuhan yang tinggi pula di segala bidang, dan hal tersebut adalah sebagai sesuatu yang berbanding lurus. Notaris/PPAT sebagai salah satu profesi yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat diantara berbagai profesi lainnya yang ada, keberadaannya serta perkembangannya juga dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat.
Pertumbuhan notaris/PPAT di suatu daerah akan terus meningkat. Dengan semakin banyaknya notaris/PPAT akan memicu persaingan diantara sesama rekan notaris. Hal itu akan mendorong para notaris/PPAT untuk melakukan perbuatan yang kurang baik dalam rangka mendapatkan klien sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara bahkan dapat mengabaikan peraturan perundang-undangan maupun kode etik yang seharusnya menjadi pedoman dalam menjalankan jabatannya agar tetap berada pada koridor yang benar.
Persaingan antar sesama notaris/PPAT lama-lama mengarah kepada persaingan yang tidak sehat. Persaingan di zaman yang tengah berkembang saat ini menyebabkan pudarnya nilai-nilai idealisme yang ada di masyarakat dan notaris/PPAT. Sehingga, mengakibatkan ada sebagian oknum notaris yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan klien dengan cara instan. Seperti misalnya adalah dengan menurunkan harga transaksi jual beli agar pengenaan pajak BPHTB menjadi rendah dibawah standar NJOP rata-rata daerah tersebut.
Menurut penelitian yang dilakukan hal tersebut sudah bukan menjadi rahasia lagi dan sudah menjadi daya tarik sendiri dikalangan notaris/PPAT yang menimbulkan persaingan tidak sehat antar rekan notaris/PPAT sehingga masyarakat yang membuat akta jual beli tanah dan bangunan memilih oknom notaris/PPAT yang mau bekerja sama dalam hal demikian agar pajak yang dibayarkan tidak terlalu mahal. Persaingan adalah sesuatu yang sarat dalam sebuah perjuangan, tidak ada yang salah dalam suatu persaingan asalkan jika hal itu dilakukan secara sehat dan tidak melanggar batasan-batasan yang ada.
Persaingan tidak sehat antar rekan notaris/PPAT adalah suatu persaingan yang timbul dan terjadi diantara para notaris. Persaingan tersebut dikatakan tidak sehat karena terdapat oknum-oknum notaris/PPAT yang berlomba-lomba untuk mencapai tujuan mereka yang sama yaitu mendapatkan klien sebanyak mungkin dalam waktu yang singkat namun hal tersebut dengan sadar dilakukan dengan mengabaikan aturan-aturan yang ada.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat yang menggunakan jasa notaris/PPAT ada beberapa notaris/PPAT dalam prakteknya menyarankan serta ikut serta dalam menurunkan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan sehingga dengan tujuan agar pajak BPHTB yang dibayar menjadi berkurang, hal ini yang menarik minat masyarakat untuk menggunakan jasa notaris tersebut. 26 Maksud dari persaingan itu sendiri di dalam UUJN tidak terdapat penjelasan yang tegas yang dapat kita temui di dalam UUJN mengenai hal tersebut, akan tetapi mengenai persaingan tidak sehat dapat kita merujuk pada penjelasan Pasal 17 huruf a UUJN, yaitu “Larangan ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat dengan memerlukan jasa notaris”.
Larangan tersebut bertujuan agar mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar rekan notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya. Oleh karena itu ada beberapa oknum notaris/PPAT yang melakukan hal tersebut dalam melakukan prakteknya akan tetapi, masih banyak notaris/PPAT yang tidak mengikuti hal yang sama dan tetap berpegang teguh pada kaidah hukum yang telah ditetapkan dan menjalankan serta mengikuti dengan sebagaimana mestinya tanpa terpengaruh dengan tindakan-tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh sebagian oknum notaris/PPAT tersebut.
Perbedaan tersebutlah yang mengakibatkan timbulnya persaingan yang tidak sehat diantara sesama rekan notaris tersebut karena persaingan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair atau adil sehingga menimbulkan kesenjangan diantara rekan sejawat tersebut. Dengan adanya penjelasan seperti yang tersebut dalam penjelasan pasal 17 huruf a UUJN telah menunjukkan bahwa meskipun UUJN tidak memberikan definisi secara jelas mengenai maksud dari persaingan tidak sehat antar rekan notaris/PPAT, tetapi undang-undang tidak menghendaki adanya persaingan tidak sehat tersebut, hal ini terbukti dengan diberikannya aturan yang berupa tindakan preventif untuk mencegah terjadinya suatu persaingan tidak sehat antar rekan notaris/PPAT.
Kendala yang berhubungan wajib pajak ini lebih disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pajak BPHTB dan kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk membayar pajak BPHTB. Masyarakat tidak menyadari bahwa pajak tersebut sangatlah penting dalam memajukan pembangunan, dan kurangnya pengetahuan mereka bagaimana cara perhitungan pajak yang sebenarnya yang harus dibayar sehingga wajib pajak mengalami kendala/kesulitan dalam melakukan perhitungan terhadap BPHTB yang harus dibayarnya atas peralihan hak yang dilakukannya. Di sinilah sering adanya peran dari oknum-oknum notaris/PPAT yang sering menyarankan masyarakat yang awam hukum untuk meminta tolong oknum notaris/PPAT untuk melakukan perhitungan terhadap BPHTB yang harus dibayar.
Ditambah dengan adanya self assessment system dimana wajib pajak diberikan kewenangan untuk menghitung dan membayar sendiri jumlah BPHTB yang harus dibayarnya, sehingga hal demikian menjadi celah bagi pihak notaris/PPAT dalam mengecilkan nilai transaksi dalam pembuatan akta jual beli tanah tersebut. Dan juga petugas pajak mengalami kesulitan dalam hal pemungutan pajak karena kurangnya kesadaran masyarakat.
Masyarakat awam mengatakan bahwa pajak tersebut hanya menguntungkan negara saja dan sangat memberatkan bagi masyarakat, dan mengenai penetapan jumlah pembayaran, terkadang ada beberapa wajib pajak yang memiliki masalah yaitu dalam hal keberatan jumlah pembayaran pajak sehingga meminta oknum notaris/PPAT tertentu untuk mau bekerjasama dalam menurunkan harga transaksi jual beli tanah dan bangunan dibawah NJOP rata-rata. Padahal kita ketahui bahwa pajak tersebut sangat membantu negara dalam proses pembangunan demi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat itu sendiri.
-
c. Adanya Rasa Kesetiakawanan antara Sesama Notaris
Kesetiaan antara notaris/PPAT secara tidak langsung semacam “esprit decorps” yang menyebabkan mereka saling percaya dan merasa terlindungi serta merasa bahwa satu sama lain saling dapat menjaga rahasia. Hal-hal tersebut yang menyebabkan rasa yakin bahwa perbuatan yang mereka lakukan akan aman dan tidak akan terdapat masalah di kemudian hari yang dapat menyulitkan mereka.
-
4. Kesimpulan
Setiap PPAT harus bertanggung jawab terhadap harga jual beli yang dibuatnya yang terdapat pada akta jual beli agar terpenuhinya syarat formil sebuah akta autentik. PPAT dalam melaksanakan jabatannya haruslah memperhatikan dan sesuai aturan yang berlaku agar terhindar dari perbuatan yang dapat menimbulkan sanksi terhadapnya yang dapat dijatuhi oleh Majelis Pengawas PPAT. Alasan notaris/PPAT dalam penetapan nilai transaksi jual beli tanah dan bangunan tidak sesuai dengan harga sebenarnya adalah karena adanya persaingan tidak sehat antara sesama rekan notaris/PPAT, adanya kendala yang berhubungan dengan wajib pajak, dan adanya rasa kesetiakawanan antara sesama notaris.
Daftar Pustaka
Buku
Abdulkadir Muhammad (2006), “Etika Profesi Hukum”, Bandung; PT.Citra Aditya Bakti.
Adil, (2011) Mengenai Notaris Syariah, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Prastowo, A. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Waluyo, B. (2002). Penelitian Hukum Dalam Prak-tek, Cet. Ke-3, Jakarta: Sinar Grafika.
Boedi Harsono, (2002). Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Ashshofa, B. (2007). Metode Penelitian Hukum, Cetakan V, jakarta: PT. Rineka Cipta
Departemen Pendidikan Nasional, (2002), “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” Jakarta: Balai Pustaka.
Perangin, E. (1994). Hukum agraria di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Harris, F & Leny Helena, (2017). Notaris Indonesia, Jakarta: PT Lintas Cetak Djaja
Kelsen, H. (1967). Pure Theory of Law, translation from the second (Revised and Enlarged) German Edition, translated by Max Knight. Berkeley, London: University Of California Press.
Asshiddiqie, J., & Safa'at, M. A. (2006). teori Hans Kelsen tentang hukum. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kenpaniteraan.
Jonaedi Efendi & Johnny Ibrahim. (2018). “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris”, Jakarta, Pranada Media.
Moelong, J. Lexy. (2010). Metode Penelitian Kualitatif, Ed. Rev, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya.
Mardiasmo. (2002). Perpajakan, Yogyakarta: Erlangga.
Miyasto, (1997). Sistem Perpajakan, Yogyakarta: PT.Liberty.
Arief, B. N. (2002). Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya, Bandung.
Ridwan H.R. (2006). Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Saleh, R. (1996). Pembinaan cita hukum dan asas-asas hukum nasional. Jakarta: Karya Dunia Fikir.
Hanitijo, R. (1990). Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Salim, H. S., & Nurbani, E. S. (2013). Penerapan Teori hukum pada penelitian tesis dan disertasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Satjipto, R. (1983). Masalah Penegakan Hukum. Bandung: sinar baru.
Soekidjo Notoatmojo, (2010), Etika hukum dan Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta,
Soekanto, S. (1983). Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wignjosoebroto, S. (2001). Profesi Profesionalisme dan Etika Profesi. Media Notariat.
Soetandyo, W. (2002). Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam & Huma.
Sudarto. (2002). Metodelogi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo.
Kie, T. T. (2007). Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Tutik, T. T., & Febriana, S. (2010). Perlindungan hukum bagi pasien. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Tobing, G. L. (1980). Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga.
Tobing, G. L., (1999). Peraturan Jabatan Notaris,Cet .V, Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Jurnal
Imron, A. K., & Imanullah, M. N. (2017). Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Objek Tanah Yang Belum Terdaftar Bersamaan Permohonan Pendaftaran Tanah Pertama Kali. Jurnal Repertorium, 4(2). 7-15.
Sonata, D. L. (2014). Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 8(1). 15-35
Darusman, Y. M. (2016). Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik dan sebagai pejabat pembuat akta tanah. ADIL: Jurnal Hukum, 7(1), 36-56.
https://doi.org/10.33476/ajl.v7i1.331
Diatmika, I. G. A. O., Atmadja, I. D. G., & Utari, N. K. S. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Jabatan Notaris Berkaitan Dengan Adanya Dugaan Malpraktek Dalam Proses Pembuatan Akta Otentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 150-160. https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p14
Ikramullah, I., Ismail, I., & Syahbandir, M. (2016). Peranan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Pidie. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 18(2), 299-318.
Wardhani, L. C. (2017). Tanggung Jawab Notaris/PPAT Terhadap Akta yang Dibatalkan oleh Pengadilan. Lex Renaissance, 2(1),
Ravianto, R. (2017). Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Dengan Pendekatan Self Assessment System. Jurnal Akta, 4(4), 567-574.
Hardiawan, Y. (2018). Peranan Notaris Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Proses Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kabupaten Banyuasin. Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, 5(2). 92-106.
http://dx.doi.org/10.28946/rpt.v5i2.194
Chrissanni, Y. B., & Purnawan, A. (2017). Peranan PPAT Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Tanah Dan Bangunan (BPHTB) On Line Atas Transaksi Jual Beli Tanah Dan Bangunan Di Kota Magelang. Jurnal Akta, 4(3), 339-346.
Zainuddin, Z. (2017). Idealisasi Pembuatan Akta Tanah Guna Menjamin Kepastian Hukum. 51(1), 149-170. http://dx.doi.org/10.14421/asy-syir'ah.2017.511.149-170
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Bagi Wajib Pajak
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
PP RI Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang “Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah”.
Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2006 tentang “Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah”.
Qanun Nomor 7 tahun 2010, tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Kota Banda Aceh.
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 tentang Pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Wawancara
Asrul Hadi,’’Wawancara’’ Kasubag umum KPPN Banda Aceh,’’Wawancara’’25 Maret 2019
Fitri Linda Sari, Pembeli (Masyarakat Lampulo), wawancara, tanggal 12 Juni 2019
Gita Melisa, Notaris selaku PPAT,’’Wawancara’’ Tanggal, 23 Maret 2019
Hanif, Masyarakat,’’Wawancara’’ Tanggal, 23 Maret 2019
Miswar, Kasi PAD BPKAD Banda Aceh, ‘’Wawancara’’ Tanggal, 24 Januari 2019
T. Abdurrahman, Notaris/PPAT, ‘’Wawancara’’ Tanggal , 12 Februari 2019.
T. Irwansyah, Notaris Selaku PPAT, ‘’Wawancara’’ Tanggal 14 Januari 2019
Tesis/Disertasi
Partuti, I. Z. H. (2010). Peran Notaris Selaku Ppat Dalam Penerapan Sistem Self Assessment Pada Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) Berkaitan Dengan Akta Yang Dibuatnya Di Wilayah Jakarta Barat (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
Tarigan, N. C. (2017). Analisis Yuridis Atas Pelayanan Notaris/PPAT Kepada Kliennya Dalam Hal Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).(Studi di Kota Medan).
Widjono, W. S. Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Di Kota Medan (Master's thesis).
370
Discussion and feedback