Perlindungan Kue Tradisional Bali dalam Perspektif Kekayaan Intelektual

Ratna Ayu Widyaswari1

1Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 2 Februari 2020

Diterima: 4 September 2020

Terbit: 31 Oktober 2020

Keywords:

Legal protection; Intellectual

Property; Expression of Traditional Culture;

Indonesian Traditional Pastry


Kata kunci:

Kekayaan Intelektual; Ekspresi

Budaya Tradisional; Kue Tradisional Bali


Corresponding Author:

Ratna Ayu Widiaswari, e-mail : [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2020.v09.i03. p09


Abstract

dapat dilindungi sebagai hak komunal seperti yang telah tercantum dalam pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, namun juga dapat dilindungi sebagai hak individu. Jajanan tradisional khas bali yang telah diberi label tertentu sebagai daya pembeda dan dipasarkan juga dapat dilindungi melalui Hukum Merek, dan diakomodasi oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta jajanan khas Bali yang dimodifikasi baik dari segi rasa, tekstur, dan lainnya sangat mungkin untuk dilindungi dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

  • 1.    Pendahuluan

Bangsa Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai sumber daya yang berlimpah seperti kekayaan alam, warisan budaya juga warisan kuliner yang luar biasa. Warisan budaya tersebut memiliki nilai moral tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Keberagamaan dan kekhasan budaya dari setiap suku bangsa merupakan kekayaan dan aset yang berharga dan tidak terhitung jumlahnya. Warisan budaya sebagai peninggalan nenek moyang adalah suatu bagian dari jati diri suatu bangsa dan oleh sebab itu kebudayaan, peninggalan bersejarah dan kemudian bagaimana masyarakat melestarikannya menentukan martabat sebuah bangsa.1

Di dalam semakin berkembangnya perdagangan internasional seperti jasa pariwisata membuat negara-negara berlomba untuk mempromosikan negaranya dengan menonjolkan ciri khas dan budaya masing-masing. Salah satu destinasi pariwisata yang dikenal di mancanegara dan memiliki budaya dan ciri khas adalah Bali. Bali memiliki keanekaragaman bentuk-bentuk Ekspresi Budaya Tradisional, salah satunya jajanan atau kue tradisional Bali. Adapun jenis-jenis kue tradisional tersebut diantaranya seperti Jaja Uli, Jaja Begina, Laklak, dan lain sebagainya.

Keberadaan jajanan tradisional ini tidak dapat disangkal lagi merupakan kebutuhan masyarakat untuk berbagai keperluan baik upacara adat, maupun sebagai konsumsi pribadi. Lahirnya pemikiran mengenai bahan-bahan yang digunakan serta teknik pembuatan jajanan tradisional sampai pada bentuknya sekarang ini tentunya tidak sederhana. Proses ini melibatkan banyak modal dan sumber daya manusia. Bahkan, seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan pariwisata di Bali, Jajanan Bali tersebut tidak hanya diproduksi untuk kegiatan upacara adat maupun konsumsi pribadi saja, namun juga telah menjadi suatu produk penunjang kegiatan bisnis kepariwisataan seperti produk oleh-oleh yang tentunya sangat layak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.

Walaupun Ekspresi Budaya Tradisional telah mendapat perlindungan secara komunal, namun lemahnya perlindungan hukum secara individu terkadang menimbulkan berbagai klaim dari produk seni, budaya, maupun produk kuliner yang tidak hanya terjadi sekali. Beberapa kasus diantaranya adalah klaim rendang oleh Malaysia, dan juga ditemukannya lebih dari 19 paten tentang tempe yang tersebar di AS maupun Jepang.

Klaim ini merupakan suatu fenomena yang memperlihatkan bahwa perlindungan hukum terhadap Kekayaan Intelektual (KI) yang dihasilkan masyarakat tradisional hingga saat ini belum kuat yang berakibat pada pemanfaatan maupun eksplorasi oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab terhadap kekayaan masyarakat tradisional yang semakin meningkat dan meluas. 2 Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika perlindungan hukum kekayaan intelektual yang maksimal diberikan khususnya terhadap Jajanan Khas Bali. Perlindungan Kekayaan Intelektual tersebut memang pada dasarnya memberikan pengakuan terhadap hak atas kekayaan dan hak untuk menggunakan atau menikmati hasil karya intelektual tersebut dalam waktu tertentu. Artinya, selama waktu tertentu pemegang hak atau pemilik kekayaan intelektual tersebut dapat mengizinkan atau melarang pihak lain untuk menggunakan hasil karya intelektualnya.3

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa macam hak kekayaan intelektual di dunia yang telah disepakati oleh World Trade Organization (WTO) yang telah terakomodasi dalam The Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang mencakup peraturan, norma dan standar perlindungan KI, diantaranya adalah hak cipta, serta hak lain seperti indikasi geografis, (geographic indication), paten (patents), merek (trademark, services mark, trade name), desain produk industri (industrial design), dan termasuk perlindungan varietas tanaman, desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit), perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan (protection of undisclosed information), dan pengendalian praktik-praktik persaingan curang dalam perjanjian lisensi (control of anti-competitive practices in contractual licences). 4

Ekspresi Budaya Tradisional merupakan warisan budaya dan kekayaan milik masyarakat tradisional (milik komunal) yang telah lama tumbuh dalam masyarakat tradisional dan berkembang secara turun temurun dan sekarang ini sudah terakomodir perlindungannya dan tentunya telah memenuhi kualifikasi untuk dilindungi sebagai bagian dari Kekayaan Intelektual yang dimiliki secara komunal5 TRIPs merupakan standar perlindungan HKI dimana kepemilikan dari Kekayaan Intelektual harus mutlak dimiliki oleh pribadi. 6 Awalnya masyarakat tradisional atau masyarakat yang umumnya terdapat di negara-negara berkembang hanya mengenal konsep kepemilikan yang dimiliki bersama-sama atau konsep kepemilikan komunal. Padahal, dalam Undang-undang Hak Cipta yaitu UU No. 28 Tahun 2014, Ekspresi Budaya Tradisional juga dimungkinkan untuk dapat dilindungi dengan kepemilikan secara pribadi atau eksklusif. Hal ini karena perjanjian TRIPs merupakan orientasi dari konsep-konsep Kekayaan Intelektual yang telah ada di dalam hukum negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara maju tidak perlu menyesuaikan diri dan tidak mengalami kesulitan

dalam membangun perlindungan Kekayaa Intelektual yang sesuai standar perjanjian TRIPs.

Dalam hukum nasional Indonesia secara garis besar, Hak Kekayaan Intelektual atas Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia dilindungi berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam Undang-undang ini telah diatur perlindungan dari Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya disebut EBT) dimana perlindungannya dipegang oleh Negara. Terkait kue tradisional Indonesia, walaupun belum terdapat peraturan yang secara spesifik menyatakan perlindungan secara khusus terhadap kue tradisional Indonesia, kue tradisional Indonesia telah dilindungi sebagai Kekayaan Intelektual Komunal atau Masyarakat Adat, yang diatur pada pasal 38 Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional yang hak-nya dipegang negara sehingga bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.

EBT mengajarkan nilai-nilai, kearifan, tradisi, pengetahuan komunal yang kemudian diwariskan kepada anak cucu dalam bentuk legenda, hikayat, upacara, kesenian, yang kemudian perlahan-lahan membentuk norma sosial diantara hidup masyarakat Indonesia. Apabila EBT hilang dari tengah masyarakat Indonesia, berarti norma sosial dan tradisi Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun serta dapat membawa implikasi sosial, seperti pertentangan pikiran dan perselisihan antar kelompok, yang dapat ditemui pada negara-negara yang memiliki banyak kebudayaan yang memiliki kedudukan atau arti tertentu (etnik), seperti Indonesia juga akan hilang.

Upaya untuk melindungi Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) memang pada kenyataannya tidak mudah. Namun, perbedaan perspektif ini tidaklah mengurangi pentingnya perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yaitu selain dalam bentuk pelestarian, juga dalam bentuk lainnya yang dapat mendorong kemajuan perekonomian. Perlindungan yang terdapat di negara-negara maju memiliki berbagai perbedaan sudut pandang dengan sudut pandang di negara-negara berkembang terkait perlindungan KI. Dalam pemikiran negara-negara maju, perspektifnya terletak pada bagaimana mendapatkan kesempatan eksplorasi yang sebesar-besarnya terhadap pengetahuan tradisional sehingga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan produk-produk baru yang kemudian dapat dipasarkan dan menghasilkan nilai ekonomi yang besar dari hasil komersialisasi produk-produk tersebut. Sementara pada pemikiran negara berkembang, perspektif perlindungan lebih kepada bagaimana pengetahuan tradisional dapat menciptakan kemanfaatan serta menghasilkan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang diantara masyarakat di komunitasnya.7

Bentuk perlindungan baik secara pribadi maupun komunal tentunya memiliki inti yang sama yaitu dalam rangka memajukan kreativitas dan pemicu dalam menciptakan inovasi-inovasi baru yang dapat memberikan manfaat secara luas kepada masyarakat. Perlindungan secara komunal maupun individu dapat menjadi suatu alat yang secara khusus digunakan untuk lebih memperkaya, memperkenalkan dan menyebarkan kekayaan warisan budaya bangsa. Dalam Hukum Kekayaan Intelektual khususnya Ekspresi Budaya Tradisional juga melekat berbagai aspek sosial yang dapat berguna dalam kemajuan masyarakat khususnya di negara berkembang.

Salah satu warisan kebudayaan tradisional yang merupakan salah satu bentuk dari Ekspresi Budaya Tradisional adalah warisan kuliner Indonesia yang berupa kue tradisional yang biasa disebut sebagai jajanan pasar. Jajanan tradisional pada zaman dahulu tidak hanya sebagai camilan atau kudapan, melainkan digunakan dan dihubungkan dengan suatu ritual atau upacara seperti penolak bencana maupun sebagai hantaran yang memiliki lambang, arti tersendiri atau pertanda suatu kejadian. Misalnya digunakan dalam upacara syukuran seperti mitoni, menikah, melahirkan, sembuh dari sakit, alat upacara keagamaan seperti banten dalam Agama Hindu atau sesajen. Lambang tersebut bertujuan sebagai wujud rasa terima kasih dan bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa. Jajanan ini bukan hanya memiliki nilai religius tertentu bagi masyarakat Indonesia, dan bahkan juga memiliki nilai ekonomi.

Berbagai kasus klaim beberapa produk kuliner Indonesia seperti yang telah disebutkan diatas menjadi pelajaran untuk lebih meningkatkan upaya perlindungan hukum kekayaan intelektual atas ekspresi budaya tradisional di Indonesia. Perlindungan yang tepat bagi Ekspresi Budaya Tradisional ini sangat penting dibahas agar klaim tersebut tidak terjadi pada berbagai produk-produk kuliner tradisional di Indonesia, khususnya terhadap produk jajanan tradisional Indonesia yang tidak hanya memiliki nilai moral dan religius bagi masyarakat Indonesia, melainkan juga nilai ekonomi. Perlindungam Ekspresi Budaya Tradisional atas kue tradisional Indonesia hanya memberikan hak secara komunal. Hukum yang telah ada saat ini mengatur bahwa hak atas EBT dipegang oleh negara.

Namun demikian, dalam perkembangannya EBT mulai dikembangkan secara individual dalam mendukung berbagai sektor, salah satunya sektor kepariwisataan. Hal ini diharapkan perlindungan terhadap bentuk Ekspresi Budaya Tradisional seperti kue tradisional dapat lebih kuat, serta produk EBT dapat lebih dikenal dan memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat. Selain itu, konsep perlindungan ini sejalan sebagaimana konsep Kekayaan Intelektual yang memang berbasis individu. Dengan pertimbangan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dikaji mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diterapkan terhadap EBT di Indonesia, khususnya terhadap kue tradisional (jajanan pasar) Indonesia.

Penelitian mengenai Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisonal terhadap Kue Tradisional Indonesia belum pernah dibahas atau diteliti secara spesifik dalam jurnal atau karya ilmiah. Dengan berlandaskan latar belakang yang telah dibahas diatas, adapun rumusan masalah yang dapat diangkat adalah sebagai berikut :

  • 1.    Apakah kue tradisional Bali sebagai Ekspresi Budaya Tradisonal dapat dilindungi sebagai Kekayaan Intelektual secara individu?

  • 2.    Bagaimana mekanisme perlindungan atas kue tradisional Bali sebagai Ekspresi Budaya Tradisional agar mendapat perlindungan secara individu?

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai kue tradisional Indonesia yang dapat dilindungi sebagai Kekayaan Intelektual berbasis individu dan mekanisme perlindungan atas kue tradisional Indonesia sebagai Ekspresi Budaya Tradisional agar mendapat perlindungan secara individu.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian normatif. Penelitian normatif digunakan demi menjawab permasalahan hukum di dalam penelitian ini yaitu perlindungan kekayaan intelektual terhadap kue tradisional Bali. Penelitian dengan menggunakan penelitian normatif yang merupakan penelitian yang dipusatkan pada kajian mengenai penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah dalam hukum positif, maka diharapkan dapat memberikan solusi bagi penemuan hukum yang akan datang Penelitian hukum normatif meletakkan hukum sebagai sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah, dan peraturan perundang-undangan putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran). 8 Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian ini juga disebut penelitian hukum kepustakaan karena penelitian ini hanya meneliti pustaka belaka. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau sebagai kaidah yang kemudian berlaku di dalam suatu masyarakat yang menjadi tuntunan perilaku seseorang.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan. Suatu penelitian normatif tentunya menggunakan pendekatan perundang-undangan dikarenakan penelitian ini menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai tema sentral dalam pemecahan masalah mengenai norma. Pendekatan perundang-undangan digunakan guna mengetahui berbagai peraturan hukum khususnya hukum kekayaan intelektual di Indonesia. 9 Bahan hukum yang dipergunakan dalam tulisan ini merupakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritatif atau dibuat oleh pejabat yang berwenang, yang berupa peraturan perundang-undangan dalam tulisan ini adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPS), dan Bern Convenion for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun 1997. Kemudian, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam tulisan ini adalah berupa berbagai dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian, karya ilmiah, jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian ini.10

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Jajanan Tradisional Bali Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional Yang Dapat Dilindungi

Warisan budaya Indonesia merupakan warisan budaya tak benda yang merupakan hasil kreativitas masyarakat komunal. Dalam konsep komunal, walaupun terdapat anggapan bahwa karya-karya intelektual merupakan kekayaan milik bersama, karya-karya tersebut tetap menjadi salah satu faktor yang penting dan harus tetap mendapat perhatian mengingat hukum kekayaan intelektual terus berkembang. Hukum Kekayaan Intelektual telah terpaut sangat erat dan telah menjadi bagian dalam sistem hukum nasional sebagai akibat dari hasil pergaulan bangsa-bangsa baik negara-negara dari

industri maju maupun negara-negara yang industrinya masih berkembang. Selain itu, keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) juga semakin memperkuat sistem hukum nasional di bidang hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Ketentuan Internasional yang disepakati oleh anggota-anggota WTO mengenai kekayaan intelektual antara lain mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPS), dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang telah terikat dalam perjanjian tersebut, maka Indonesia wajib mentaati standar-standar internasional perlindungan kekayaan intelektual dan melakukan penegakan hukum (law enforcement) di bidang Kekayaan Intelektual. 11

Menurut Edy Damain, Ekspresi Budaya Tradisional merupakan suatu ciptaan dalam bentuk bidang seni, yang mengandung unsur karakteristik dari warisan tradisional sebagai kultur bangsa yang merupakan sumber daya bersama yang dipelihara oleh suatu masyarakat tradisional tertentu dalam kurun waktu yang berkesinambungan.12

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) lahir dari nilai-nilai strategis dari Pengetahuan Tradisional (PT) yang telah diekspresikan menjadi suatu karya dalam bentuk dan wujud tertentu seperti tari tradisional dan juga berbagai jenis kuliner tradisional. Sebelum diekspresikan menjadi EBT, maka disebut sebagai Pengetahuan Tradisional (PT). Secara umum, Pengetahuan Tradisional (PT) mengacu pada berbagai macam praktik masyarakat lokal dan adat di dunia yang mereka kembangkan dari pengalaman mereka berabad-abad dan menurun, inovasi, dan kemudian pengetahuan tradisional tersebut ditransfer baik secara lisan maupun tulisan dari generasi ke generasi. Pengalaman ini adalah kolektif yang dimiliki dan dikelola dalam beberapa bentuk seperti cerita rakyat, nilai-nilai budaya, ritual, iman, hukum masyarakat, bahasa lokal, dan peribahasa. Ada beberapa macam istilah yang terdapat pada berbagai literatur-literatur mengenai pengetahuan tradisional. Berbagai istilah yang muncul berkaitan dengan pengetahuan tradisional diantaranya pengetahuan tradisional (traditional knowledge), pengetahuan lokal (local knowledge), dan pengetahuan asli (indigenous knowledge).13 The Director of United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization menyatakan mengenai istilah pengetahuan tradisional secara garis besar yaitu :14

(Terjemahan bebas : Penduduk asli di dunia memiliki pengetahuan yang luas tentang lingkungan mereka, berdasarkan pada berabad-abad kehidupan yang dekat dengan alam. Hidup di dalam dan dari kekayaan dan keanekaragaman ekosistem yang kompleks, mereka memiliki pemahaman mengenai sifat-sifat tanaman, hewan, fungsi ekosistem serta teknik untuk menggunakan dan mengelola mereka secara khusus dan rinci. Di masyarakat pedesaan pada negara-negara berkembang, spesies sumber daya lokal banyak menjadi andalan untuk dijadikan makanan, obat-obatan, bahan bakar, bahan bangunan dan produk lainnya. Sama hal nya, pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang

lingkungan, dan hubungannya dengan itu, seringkali merupakan elemen penting dari identitas suatu budaya).

Selain pengertian tersebut yang diformulasikan oleh salah satu organisasi internasional, pengertian lain mengenai pengetahuan tradisional dapat juga ditemukan dalam dokumen World Intellectual Property Organization (WIPO) yaitu WIPO/GRTKF/IC/9/5. WIPO telah mendefinisikan kategori subjek ini, sering disingkat menjadi TK (Traditional Knowledge), yaitu sebagai :

“isi atau substansi pengetahuan yang dihasilkan dari aktivitas intelektual di konteks tradisional, dan mencakup pengetahuan, keterampilan, inovasi, praktik dan pembelajaran yang merupakan bagian dari sistem pengetahuan tradisional, dan pengetahuan yang mewujudkan gaya hidup tradisional masyarakat adat dan lokal, atau yang terkandung dalam sistem pengetahuan yang dikodifikasi yang dilewatkan antar generasi.”15

Selanjutnya menurut Jenewa, pengetahuan tradisional merupakan suatu hasil dari aktivitas berpikir yang kemudian diwariskan antar generasi, serta memiliki hubungan dengan suatu kelompok masyarakat tertentu. Pengetahuan ini menekankan pada penyebaran dan penghimpunan atau pengumpulan pengetahuan antar generasi.16 Dari beberapa definisi tersebut diatas, dapat dilihat bahwa pengetahuan tradisional memiliki karakter khusus yaitu:

  • a.    Merupakan sebuah pengetahuan yang dipraktikan secara turun-menurun

  • b.    Kepemilikan dari pengetahuan tradisional tersebut bersifat komunal atau dimiliki bersama-sama oleh masyarakat tersebut.

  • c.    Pengetahuan tradisional merupakan hasil interaksi antara penemunya dengan alam.

Ada tiga posisi mengenai hubungan yang ada pada pengetahuan tradisional, maupun Ekspresi Budaya Tradisional dengan Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) yaitu :

  • 1.    Pernyataan posisi yang lebih menekankan pada kepemilikan bersama atas suatu PTEBT. Menurut pernyataan ini yang disebut sebagai Domain Position, keberadaan pengetahuan tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh setiap orang tanpa terkecuali. Posisi ini tidak menyetujui PTEBT dijadikan sebagai produk komoditi. Maka, pemikiran ini menolak penciptaan HKI yang lebih menekankan perlindungan terhadap hak eksklusif atau pribadi karena dapat merusak struktur dan lembaga tradisional dalam Pengetahuan Tradisional

  • 2.    Pemikiran kedua yaitu menekankan mengenai kepemilikan terhadap PTEBT oleh suatu kelompok, badan, atau lembaga tertentu yang dianggap bisa memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan tradisional untuk tujuan komersil. Anggapan ini menyatakan bahwa KI merupakan hal yang penting dalam hal oleh siapa dan bagaimana suatu PTEBT dimanfaatkan dan digunakan untuk barang komoditi. Pemikiran ini disebut The Appropriate Position.

  • 3.    Pemikiran yang ketiga menekankan pada pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh pemegang hak harus diberikan dengan perlindungan dan kepemilikan yang penuh untuk mencegah klaim dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Menurut The Moral Right Position ini, yang dapat memanfaatkan PTEBT dan kemudian dikomersilkan hanyalah orang yang memiliki hak (pemegang hak) tersebut.17

Selanjutnya, mengenai perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT). EBT diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 dimana dinyatakan bahwa hak cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional dipegang oleh Negara. Negara wajib menginventarisasi, menjaga dan memelihara ekspresi budaya tradisional. Namun, perlindungan secara komunal ini berarti kedudukan Ekspresi Budaya Tradisional masyarakat adat sangat rentan dan membuka kesempatan yang besar untuk dieksplotasi secara sewenang-wenang oleh pihak lain karena tidak memiliki perlindungan hukum. Padahal, perlindungan terhadap EBT sangat penting karena hal ini merupakan sumber pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang memiliki nilai komersial.18

Sejak upaya besar-besaran dilakukan untuk melindungi hak kekayaan intelektual di era industrialisasi dan globalisasi di negara-negara maju, maka sejalan dengan fenomena tersebut, perlunya juga perlindungan yang memadai terhadap Ekspresi Budaya Tradisional juga terus disuarakan oleh penduduk asli yang sebagian besar berasal dari negara-negara berkembang yang merupakan asal EBT. 19 Berdasarkan debat internasional mengenai pelestarian serta perlindungan EBT, dapat diakui bahwa perlindungan EBT terkadang diklasifikasikan sebagai warisan budaya yang tak berwujud dan kekayaan intelektual.20 Mengenai pengakuan terhadap aspek budaya dan pengetahuan tradisional, sampai saat ini memang hanya dapat di verifikasi dan diakui oleh United Nastions Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) terkait dengan hal-hal yang dianggap sebagai warisan budaya di dunia. UNESCO merupakan lembaga atau badan yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)/United Nations pada tahun 1945. Badan ini dikhususkan untuk mendukung keamanan, perdamaian, dan bertugas mempromosikan kerja sama antar negara melalui budaya, ilmu pengetahuan, pendidikan, dalam rangka meningkatkan rasa saling menghormati yang berlandaskan kepada HAM, kebebasan hakiki, peraturan hukum, dan keadilan.21

Pengakuan terhadap perlindungan atas EBT seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat menekankan perlindungan secara komunal. Padahal, perlindungan EBT secara individu dapat dilakukan. Perlindungan secara individu ini sangat dimungkinkan untuk dilakukan di era globalisasi seperti sekarang ini untuk mencegah agar karya EBT

bertransformasi melalui sarana modern tanpa sepengetahuan dan izin dari masyarakat lokal yang mengembangkan dan melestarikan karya EBT.22 Selain itu, diharapkan agar masyarakat dapat menerima manfaat komersial atas suatu karya EBT yang tidak hanya memiliki nilai adat dan budaya, tetapi juga memiliki nilai jual yang tinggi apabila dikemas dengan baik. Hal ini sesuai dengan Kekayaan Intelektual yang pada dasarnya mengandung nilai-nilai individualistik.23

Hukum Kekayaan Intelektual yang mengandung nilai individualistik berarti hukum kekayaan intelektual mengakui serta melindungi hasil karya intelektual (work and invention) sebagai kekayaan yang menjadi milik individu. Selain itu, terkandung juga nilai monopolistik, dan materialistik. Monopolistik, karena hukum memberikan hak eksklusif terhadap pemegang hak kekayaan intelektual dalam jangka waktu tertentu untuk memanfaatkan karya intelektualnya dan mencegah pihak lain memakai menggunakan hasil karya intelektualnya; materialistik, karena pemilik hak kekayaan intelektual dapat mengeksploitasi sebesar-besarnya manfaat ekonomi yang diperoleh dari kepemilikan hak intelektualnya tanpa gangguan dari pihak lain. Ada beberapa prinsip-prinsip dalam Hukum Kekayaan Intelektual yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut, yaitu :

  • -    Prinsip kepemilikan Kekayaan Intelektual sebagai hak eksklusif : sistem hukum kekayaan intelektual memberikan hak yang bersifat khusus kepada orang yang terkait langsung dengan kekayaan intelektual yang dihasilkan;

  • -    Prinsip perlindungan terhadap karya intelektual yang diberikan oleh negara berdasarkan pendaftaran;

  • -    Prinsip pendaftaran bersifat teritorial, dimana perlindungan diberikan dalam wilayah teritorial dimana karya didaftarkan;

  • -    Prinsip pemisahan benda secara fisik dengan karya intelektual yang terkandung dalam benda tersebut;

  • -    Prinsip jangka waktu perlindungan terbatas;

  • -    Prinsip hak terkait dalam ketentuan hak cipta;

  • -    Prinsip yang menonjolkan hak ekonomi daripada hak moral;

  • -    Prinsip pemegang kekayaan intelektual tidak hanya individu tetapi badan hukum;

  • -    Prinsip kekayaan intelektual yang berakhir menjadi public domain.

Salah satu produk EBT adalah kue tradisional Bali. Kue tradisional Bali yang memiliki beraneka macam jenis selama ini hanya dikenal dan digunakan untuk konsumsi sehari-hari atau acara tertentu, dan juga digunakan sebagai persembahan dalam upacara adat. Perlindungan hukum atas produk ini masih sebatas perlindungan secara komunal. Padahal, kue tradisional Bali dapat dilindungi secara individu atau ekslusif agar memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat, serta menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi.

Selain itu, hak eksklusif yang diberikan oleh hukum merupakan suatu penghargaan yang sesuai bagi para investor dan pencipta kue tradisional khas Bali dalam bentuk yang

lebih modern.24 Melalui penghargaan tersebut, masyarakat dapat dipacu untuk lebih kreatif dan terus mengasah kemampuan intelektualnya sehingga dapat bermanfaat bagi peningkatan sumber daya manusia yang handal. Hal ini juga sejalan dengan tujuan HKI untuk menjamin agar proses kreatif tersebut terus berlangsung dengan menyediakan perlindungan hukum yang memadai dan menyediakan sanksi terhadap pihak yang menggunakan proses maupun hasil kratif tersebut tanpa izin.25

Salah satu cara agar jajanan tradisional Bali mendapat perlindungan kekayaan intelektual secara individu adalah dengan memproduksi kue tradisional Bali dan kemudian memberikan sedikit modifikasi dan inovasi metode pengolahan atau produksi sehingga menciptakan suatu hal pembeda dan menjadi suatu produk jajanan khas Bali yang baru. Dari modifikasi tersebut dapat menghasilkan baik dari segi rasa mapun tekstur yang berbeda, maka sangat dimungkinkan kue tersebut menjadi hasil karya intelektual yang dapat dilindungi secara individu berupa Hak Kekayaan Intelektual atas Rahasia Dagang. Selanjutnya, kue tersebut juga diproduksi dan dikemas dengan baik, maka dapat dijual sebagai cemilan maupun oleh-oleh, dengan memberikan suatu label tertentu yang berbeda dengan dari produk kue-kue lainnya, maka akan dapat didaftarkan sebagai kekayaan intelektual individu berupa Hak atas Merek.

  • 3.2 Mekanisme Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Terhadap Kue Tradisional Indonesia Sebagai Bentuk Ekspresi Budaya Tradisional

  • 3.2.1    Manfaat Perlindungan Kekayaan Intelektual

Kekayaan Intelektual (KI) dibagi menjadi dua bagian, yaitu KI yang bersifat pribadi dan bersifat komunal. Budaya yang termasuk dalam kategori komunal berarti bahwa kekayaan atau budaya tersebut dimiliki bersama-sama oleh suatu kelompok masyarakat. Sangat sulit mendaftarkan kebudayaan maupun pengetahuan tradisional yang bersifat KI Komunal ke dalam hak paten karena pengetahuan tradisional dimiliki secara bersama-sama. Hal ini karena hak paten itu hanya digunakan terbatas pada hak-hak yang sifatnya seperti merek, desain industri, dan penemuan atau teknologi. Adapun cara lain yang dapat dilakukan yaituu memasukannya dalam KI kategori pribadi, yang berarti tergolong hak cipta, dan juga hak merek. Perlindungan hukum terhadap ekspresi Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) sangat dibutuhkan terutama oleh negara-negara berkembang. Perlindungan akan hal ini menjadi sanagat penting disebabkan karena perlindungan dianggap sebagai tindakan yang diambil untuk menjamin kelangsungan hidup warisan budaya tak benda dan kreativitas komunal. 26 Selain itu juga untuk menghindari klaim kekayaan milik masyarakat tradisional oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Pada intinya, berbagai jenis Kekayaan Intelektual seperti paten, hak cipta, dan sebagainya dapat diklasifisikasikan kedalam dua kelompok yaitu menjadi dua, yaitu Copyright (Hak Cipta) dan Industrial Right (Hak Industrial). Kedua klasifikasi tersebut memiliki perlindungan hukum yang berbeda satu sama lain. Perlindungan hukum atas

Hak Cipta (Copyrights) sebagai hak yang eksklusif diberikan secara otomatis atau langsung kepada pencipta setelah ciptaannya telah diwujudkan dalam bentuk nyata (Automatic Protection atau automatically protection system).27 Menurut Bern Convention for The Protection of Literary and Artistic Works, perlindungan Copy Right tidak wajib untuk didaftarkan, karena perlindungan tersebut sudah secara otomatis melekat dan didapat ketika karya tersebut diwujudkan dalam suatu karya yang nyata, atau disebut expression work. Walaupun hak cipta tidak wajib untuk didaftarkan, akan tetapi Undang-Undang menganjurkan pendaftaran dilakukan, karena pendaftaran dapat memudahkan pembuktian dan kepastian hukum yang lebih jelas apabila terjadi sengketa mengenai hak cipta. Apabila seseorang mendaftarkan hak cipta, maka akan didapat sertifikat pendaftaran. Tetapi selain dapat dibuktikan sebaliknya, maka sertifikat tersebut bukanlah merupakan suatu bukti kepemilikan yang sah tentang kepemilikan suatu Kekayaan Intelektual. 28 Selain berguna untuk memudahkan pembuktian hukum, tujuan didaftarkannya setiap hasil Karya intelektual adalah demi memenuhi tuntutan globalisasi seperti perlindungan terhadap investor, dan terutama untuk produk-produk yang memiliki orientasi ekspor, serta memotivasi individu untuk terus berkarya dan menghasilkan produk-produk dan inovasi baru yang terinspirasi dari hasil karya yang telah didaftarkan tersebut sehingga pada akhirnya dapat membantu pemerintah pusat untuk meningkatkan jumlah kekayaan intelektual nasional.29 Hak cipta berbeda dengan kelompok kekayaan intelektual lainnya seperti paten dan merek yang mengharuskan dilakukannya proses pendaftaran sebagai syarat mendapat perlindungan hukum kekayaan intelektual.30

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia telah mencakup perlindungan hukum terhadap EBT masyarakat adat yang hak nya dipegang oleh negara. Walaupun telah mendapat perlindungan secara komunal, namun kedudukan pengetahuan tradisional masyarakat adat sangat rentan untuk dieksplotasi, dimanfaatkan secara sewenang-wenang demi mendapat keuntungan sendiri oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kekayaan EBT yang dimanfaatkan oleh masyarakat kemudian dikembangkan sedemikian rupa oleh orang tersebut dengan jerih payah baik fisik maupun materi, maka dapat dimanfaatkan oleh orang tersebut karena perlindungan hukum kekayaan intelektual dapat memberikan keuntungan di bidang ekonomi. Selain itu, Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) juga mampu memberikan keuntungan di bidang sosial dan budaya. Contohnya adalah perlindungan paten mampu mengubah kebiasaan sosial menjadi perilaku positif yaitu selalu termotivasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui budaya penelitian yang berbasis manfaat bagi kehidupan manusia. 31 Dalam perlindungan hak cipta, keberadaan HKI juga dapat membentuk budaya dan perilaku sosial yang selalu menghormati dan menghargai hasil karya orang lain yang telah dibuat dengan penuh

pengorbanan. Menurut Eric. H. Smith, pelaksanaan HKI yang baik dapat memberikan manfaat yang luas terhadap suatu negara, hal ini didasarkan pada :

  • 1.    HKI membuat pertumbuhan penanaman modal pada suatau negara semakin cepat baik pertumbuhan di dalam negeri maupun di luar negeri;

  • 2.    HKI dapat menciptakan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara.

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) merupakan salah satu kekayaan aset negara yang sangat berharga dan berpotensi bagi kemakmuran bangsa karena dapat dengan mudah dikomersialisasikan atau dengan kata lain memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Namun, kepemilikannya banyak diakui secara sepihak oleh pihak asing tanpa mengindahkan masyarakat yang menciptakan sehingga hal ini sering memicu terjadi konflik kepentingan antara negara seperti Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dari suku-suku yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Hal ini merupakan salah satu kekurangan Indonesia dalam mengembangkan sistem perlindungan, karena belum adanya sistem perlindungan yang tepat dan memadai serta terbatasnya data, informasi maupun dokumentasi. 32 Hingga saat ini juga belum terdapat kejelasan mengenai bagaimana menghimpun data-data untuk mendokumentasikan berbagai macam pengetahuan tradisional asal Indonesia ini. Selain itu, juga tidak terdapat kerja sama di antara pemerintah di Indonesia untuk mewujudkan proses dokumentasi, maupun pembuatan data-base pengetahuan tradisional. Walaupun memang proses pendokumentasian tentunya akan menyita biaya dan waktu yang sangat banyak, tetapi apabila kerjasama yang baik dilakukan dan pemerintah serta seluruh elemen masyarakat saling bersinergi, contohnya seperti masyarakat bersama-sama saling mendata pengetahuan tradisional daerah masing-masing, dan kemudian melaporkannya kepada pemerintah yang berwenang tentunya akan memudahkan proses pendokumentasian ini.

Suatu ciri masyarakat tradisional adalah masyarakat yang komunal dimana kepentingan bersama selalu diutamakan diatas kepentingan individu. Sebab-sebab mengapa masyakat tradisional belum dapat merasakan manfaat ekonomi atas pengetahuan tradisional yang dimiliki karena berbagai alasan yaitu menekan kepada kepentingan bersama, persaingan yang cukup tinggi, biaya produksi hasil-hasil kekayaan tradisional, izin pembuatan produk yang tidak selalu mudah di dapat, akses pengetahuan yang kurang, serta tidak adanya lembaga atau badan khusus yang menangani kontrol dan penyediaan fasilitas bagi kekayaan intelektual agar dapat dipasarkan menjadi suatu produk tertentu. Ekspresi Budaya Tradisional juga apabila dipatenkan, dengan tambahan inovasi baru, maka yang mendapat keuntungan hanyalah pemegang paten tersebut dan masyarakat tradisional asli bahkan harus melalui prosedur tertentu dengan biaya yang tinggi apabila ingin memanfaatkan kembali hasil paten tersebut.33 Oleh karena itu, masyarakat asli harus didorong untuk melakukan inovasi serta mendaftarkan karya intelektual berdasarkan EBT yang dimiliki

agar dapat menikmati hak eksklusif yang diberikan oleh HKI. Hak yang bersifat khusus ini yang kemudian akan mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan, atau berbuat tampa ijin.

Berbagai kelemahan yang dimiliki oleh sistem HKI secara internasional maupun nasional tentunya bukan menjadi suatu alasan untuk menentang HKI. Di samping berbagai kelemahannya, HKI memiliki peranan yang sangat penting dalam era globalisasi dan ketatnya persaingan di bidang penemuan dan teknologi, serta hasil karya-hasil karya yang tentunya perlu mendapat perlindungan hukum. HKI ini merupakan solusi terbaik untuk melindungi karya-karya tersebut.

  • 3.2.2    Mekanisme Perlindungan Kekayaan Intelektual Terhadap Kue Tradisional Khas Bali

Salah satu bentuk warisan budaya dan kekayaan Indonesia yang dapat dikatakan sebagai bentuk Ekspresi Budaya Tradisional adalah dalam bentuk warisan kuliner tradisional, seperti kue atau jajanan pasar/tradisional Indonesia. Kue tradisional Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang biasanya dibuat dari tepung ketan dan umbi-umbian, gula jawa, maupun metode pembuatan yang masih tradisional. Cara pembuatan maupun bahan-bahan jajanan Indonesia ini pun memiliki makna tersendiri dibaliknya. Contohnya adalah pembuatan kue dari tepung ketan seperti dodol, wajik, jenang, dan sejenisnya dipercaya memiliki asal usul dimana kue yang terbuat dari ketan biasanya menjadi lengket. Kue yang lengket tersebut mengandung doa bagi pernikahan Jawa agar pengantin senantiasa memiliki hubungan yang lengket atau sulit dipisahkan.34 Filosofi lain juga melambangkan budaya Indonesia yaitu orang-orangnya memiliki hubungan yang dekat satu sama lain. Selain itu, kue yang rasanya manis juga melambangkan pengalaman manis saat berkumpul bersama keluarga atau teman-teman.

Di Bali pada khususnya, jajanan tradisional sering digunakan sebagai sanganan untuk persembahan dalam upacara yadnya. Jajanan tradisional bagi masyarakat Hindu di Bali merupakan salah satu sarana untuk mengucapkan rasa bakti dan syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagai contoh adalah Jaja Uli dan Begina. Jaja Uli diartikan sebagai lambang kegembiraan yang terang, dan Jaja Begina sebagai lambang mengetahui. Terdapat pula Jaja Bantal, sebagai lambang dari hasil yang sungguh-sungguh, serta masih banyak lagi kue tradisional Bali lainnya. Dalam hal ini terlihat bahwa jajanan tradisional memiliki filosofi tersendiri, seperti nilai moral maupun nilai spiritual baik itu mengenai filosofis, falsafah, perilaku budaya maupun sejarah yang menjadi adat, ritual, simbol dan kearifan lokal setempat serta sebagai pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa.35 Beberapa contoh kue tradisional khas Indonesia seperti nagasari, onde-onde, kue lapis, rempeyek, apem, rengginang, merupakan beberapa jenis jajanan tradisional khas Indonesia. Nama-nama jajanan pasar ini kebanyakan dikenal secara umum. Namun di daerah tertentu memiliki nama sendiri,

contohnya bakwan di daerah Semarang disebut badak, sedangkan rempeyek, oleh masyarakat Tegal dinamakan mirong, Nagasari di daerah Bali disebut sumping.

Perlindungan terhadap kekayaan intelektual terhadap berbagai jajanan khas Bali seperti yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilakukan dengan beberapa cara. Perlindungan hukum yang dapat dicetuskan oleh Duffield yang menyatakan demi perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, maka dapat dikembangkan tiga cara berikut ini yaitu :

  • 1.    Dengan tetap menggunakan ketentuan yang telah ada saat ini yaitu memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang ada pada hukum kekayaan intelektual, dalam hukum adat, maupun dalam perjanjian, atau kontrak, transfer hukum yang seimbang, serta konsep hukum publik dan sipil lainnya.

  • 2.    Modifikasi atau membuat aturan tambahan atau pelengkap yaitu dengan cara mengkodifikasi dan mengakui ketentuan hukum adat secara formal serta menambahkan ketentuan kesepakatan akses dan beneftit sharing dalam perjanjian maupun kontrak, maupun memodifikasi hukum kekayaan intelektual dengan ketentuan pembuatan sertifikat asal materi, maupun Prior Inform Consent.

  • 3.    Menciptakan peraturan yang bersifat khusus atau Sui Generis dengan mengembangkan kategori baru dari kekayaan intelektual, maupun mengembangkan berbagai ketentuan agar dapat memanajemen keanekaragaman budaya masyarakat tradisional, dengan kewajiban-kewajiban atas pengetahuan tradisional serta hak untuk mendapatkan manfaat dari peraturan perundang-undangan tersebut. 36

Mengenai bentuk perlindungan yang dapat digunakan untuk melindungi kue-kue tradisional Bali dapat dilindungi dengan hukum kekayaan intelektual yang telah ada saat ini. Jajanan tradisional Bali yang merupakan salah satu bentuk Ekspresi Budaya Tradisional, telah diatur perlindungan secara komunal dalam UU Hak Cipta yaitu dinyatakan bahwa negara wajib melakukan inventarisasi, menjaga, serta memelihara seperti yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (2) hasil EBT tersebut. Inventarisasi itu sendiri merupakan bentuk dari perlindungan hukum preventif, yaitu hal-hal yang dilakukan tidak hanya dengan inventarisasi produk-produk kekayaan intelektual saja, namun juga mendata dan mendokumentasikannya. Inventarisasi ini juga dapat diterapkan dalam Pengetahuan Tradisional dalam bentuk dokumentasi jenis-jenis dan nama kue tradisional, resep-resep kue tradisional, serta metode atau cara pembuatan kue tradisional maupun presentasi (penampilan) dari kue tradisional tersebut. Setelah melakukan inventarisasi, sebagai bentuk perlindungan hukum lainnya untuk memperkuat perlindungan pengetahuan tradisional mengenai jajanan pasar yang bersifat komunal maka harus dipublikasikan secara luas di masyarakat baik lokal maupun mancanegara bahwa hak cipta tersebut telah dipegang oleh Negara sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Namun, agar masyarakat Bali mendapatkan manfaat ekonomi dari kue-kue tradisonal tersebut maka selain perlindungan secara komunal, bentuk perlindungan individu juga sangat mungkin dapat dilakukan. Untuk mendapat perlindungan secara individu atas kue-kue tradisional khas Bali dapat dilakukan dengan cara memodifikasi produk dari kue tradisional dengan kemasan, bentuk, warna maupun varian rasa yang lebih modern, tanpa mengubah keseluruhan inti dari kue tradisional itu sendiri. Seperti yang

saat ini sedang banyak beredar di pasaran yaitu Dodol dengan aneka rasa seperti durian dan nangka, bahkan sudah dikemas menjadi produk oleh-oleh khas Bali. Kemudian produk kue khas Bali lainnya yang terkenal yaitu Jaje Begina. Jaje Begina yang dapat ditemui di seluruh Bali dengan rasa yang hambar, serta hanya digunakan sebagai pelengkap sarana upacara, bahkan seringkali terbuang setelah upacara selesai, sekarang sudah tersedia dengan kemasan yang lebih modern, dan dengan berbagai rasa seperti rasa coklat, matcha (teh hijau), keju dsb.

Dengan memodifikasi rasa jajanan tradisional seperti yang telah disebutkan diatas, serta kemudian dikemas menjadi suatu produk dengan merk tertentu, maka kekayaan intelektual berupa hak cipta, hak merek, bahkan rahasia dagang sangat mungkin didapatkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlindungan hak cipta lahir pada saat ide tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata (fixation). Walaupun hak cipta ini tidak memerlukan pendaftaran guna memperoleh perlindungan, tujuan dari pendaftaran tersebut adalah sebagai alat bukti pengadilan jika terjadi sengketa. Rahasia Dagang juga tidak wajib didaftarkan, sedangkan untuk hak atas merek wajib didaftarkan. Adapun mekanisme yang harus dilakukan untuk mendapatkan perlindungan kekayaan Intelektual sebagai berikut :

  • A.    Hak atas Merek

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Merek adalah tanda yang ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua/lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Adapun mekanisme atau tata-cara pendaftaran hak merek menurut pasal 4 adalah sbb :

  • (1)    Permohonan diajukan oleh pemohon atau kuasanya kepada menteri secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa Indonesia.

  • (2)    Pendaftaran mencantumkan : tanggal, bulan, tahun Pemohon; nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon; nama lengkap dan alamat kuasa jika diajukan melalui kuasa; warna jika merek yang dimohonkan menggunakan unsur warna; nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal diajukan dengan hak prioritas; kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jasa.

  • (3)    Permohonan ditandatangani pemohon/kuasanya.

  • (4)    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan label merek dan bukti pembayaran biaya.

  • (5)    Biaya pendaftaran ditentukan per kelas barang dan/atau jasa.

  • (6)    Dalam merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa bentuk 3 dimensi, label merek yang dilampirkan dalam bentuk karakteristik dari merek tersebut.

  • (7)    Dalam hal merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa suara, label merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara.

  • (8)    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan surat pernyataan kepemilikan merek yang dimohonkan pendaftarannya.

  • (9)    Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya permohonan sebagaimana yang dimaksud pada auat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  • B.    Rahasia Dagang

Menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Rahasia Dagang adalah infomasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. Bagi rahasia dagang, unsur pendaftaran bukan merupakan suatu syarat perlindungan, mengingat sifat secret atau rahasia” dari rahasia dagang terkait dengan informasi yang tidak diketahui oleh umum. Meskipun demikian, yang wajib dicatatkan adalah pengalihan Hak Rahasia Dagang yang berupa pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pemilik rahasia dagang juga berhak memberikan lisensi atas hak-hak rahasia dagangnya untuk dilaksanakan oleh pihak lain melalui perjanjian lisensi terkait rahasia dagang. Adapun yang didaftarkan adalah syarat dan isi dari perjanjian tersebut yang tidak memuat ketentuan yang menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 4. Kesimpulan

Perlindungan atas kue tradisional Bali selama ini telah dilindungi secara komunal dan telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Namun, perlindungan kekayaan intelektual secara individu terhadap kue tradisional khas Bali juga dapat diperoleh dengan Hak atas Merek, serta perlindungan atas Rahasia Dagang dengan cara mengubah bentuk, tekstur, maupun rasa dari jajanan tradisional Bali misalnya dengan sentuhan modern, dan lainnya kemudian dikemas dengan merek tertentu yang memiliki daya pembeda. Perlindungan yang dapat diterapkan terhadap kue tradisional sebagai Ekspresi Budaya Tradisional dapat dilakukan dengan cara mengupayakan secara maksimal berbagai peraturan terkait yang telah ada sebelumnya, serta memodifikasi, membuat aturan tambahan atau pelengkap mengenai perlindungan kue tradisional. Selain itu, untuk melindungi kekayaan intelektual atas jajanan tradisional adalah dengan cara melakukan pendaftaran merek, serta rahasia dagang sesuai dengan mekanisme yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maupun menyebarluaskan informasi baik secara nasional maupun internasional mengenai pengetahuan tradisional yang berasal dari Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Damain,E. (2012), Glosarium Hak Cipta dan Hak Terkait, Alumni, Bandung.

Dharmawan, N.K.S et.al. (2017). Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Yogyakarta : Deepublish.

Hidayah, K. (2017), Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Malang : Setara Press.

Jaszi, P.I (2009), Traditional Culture: A Step Forward for Protection in Indonesia - A Research Report. Jakarta, Indonesia: Institute for Press and Development Studies.

Lindsey, T., et.al. (2011), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung : PT Alumni.

Mukti Fajar, N. D., & Achmad, Y. (2010). Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Roisah, K. (2015), Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Malang : Setara Press.

Saidin, O.K (2006), Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Soekanto, S. dan Mamudji, S. (2013), Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sudarmanto, (2012), KI dan HKI serta Implementasinya Bagi Indonesia, Jakarta : PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Jurnal

Aryanto, H. (2014). Pemanfaatan pengetahuan tradisional indonesia berdasarkan potensi daerah sebagai modal pembangunan. Jurnal Hukum &

Pembangunan, 44(2),               292-313.               DOI               :

http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol44.no2.24

Atsar, A. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Law Reform, 13(2), 284-299., DOI : https://doi.org/10.14710/lr.v13i2.16162

Dharmawan, N. (2014). Keberadaan Dan Implikasi Prinsip Mfn Dan Nt Dalam Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 3(2). DOI : 10.24843/JMHU.2014.v03.i02.

Dharmawan, N. (2017). Protecting Traditional Balinese Weaving Trough

Copyright Law : Is It Appropriate?. Diponegoro Law Review, 2(1), 57-84. DOI :http://dx.doi.org/10.14710/dilrev.2.1.2017.57-841

Indra Putra, N. B & Suarbha, I. W. (2013). Perlindungan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Terhadap Pengetahuan Tradisional Di Indonesia. Jurnal Kertha Negara, 1(4).

Kusmawan, D. (2014). Perlindungan Hak Cipta Atas Buku. Perspektif, 19(2), 137- 143.

DOI : http://dx.doi.org/10.30742/perspektif.v19i2.16

Mardiyanto, A., Kupita, W., Asyik, N., & Bintoro, R. W. (2013). Implementasi

Perlindungan Hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual Masyarakat Asli/Tradisional di Kabupaten Purbalingga. Jurnal Dinamika

Hukum, 13(1), 24-38., DOI :  http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2013.13.1.153

OseiTutu, J. J. (2011). A sui generis regime for traditional knowledge: The cultural divide in intellectual property law. Marq. Intell. Prop. L. Rev., 15, 147.

Rahayu, D. (2011). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Motif Batik Tanjungbumi Madura. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 23(1), 115-131. DOI:http://dx.doi.org/10.22146/jmh.16204.

Rohaini, R. (2015). Perlindungan Hukum terhadap Pengetahuan Tradisional melalui Pengembangan Sui Generis Law. FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 9(4)., DOI :   https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no4.609

Septarina, M. (2016). Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dalam Konsep Hukum Kekayaan Intelektual. Al-Adl: Jurnal Hukum, 8(2).,

Sofyarto, K. (2018). Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional terhadap Perolehan Manfaat Ekonomi. Kanun Jurnal         Ilmu

Hukum, 20(1), 149-162., DOI :  https://doi.org/10.24815/kanun.v20i1.9832

Sufiarina, S. (2012). Hak Prioritas Dan Hak Ekslusif Dalam Perlindungan Hki. ADIL: Jurnal Hukum, 3(2), 265-282., DOI :    https://doi.org/10.33476/ajl.v3i2.811

Sukihana, I., & Kurniawan, I. (2018). Karya Cipta Ekspresi Budaya Tradisional:  Studi

Empiris Perlindungan Tari Tradisional Bali di Kabupaten Bangli. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(1), 51-62.

Supasti, N. K. (2014). Relevansi Hak Kekayaan Intelektual Dengan Hak Asasi

Manusia Generasi Kedua. Jurnal Dinamika Hukum, 14(3), 518-527, DOI        :

http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2014.14.3.323

Website

Fimela, Filosofi Kenapa Jadah, Wajik & Dodol Jadi Kue Penting di Aacara

Pernikahan Jawa, Available :   https://www.fimela.com/lifestyle-

relationship/read/3810846/filosofi-kenapa-jadah-wajik-amp-dodol-jadi-kue-penting-di-acara-nikahan-jawa (diakses pada 5 Januari 2019)

Klub Gastronomi Indonesia, MENDAFTARKAN HAK CIPTA MASAKAN

TRADISIONAL, Available at : http://gastroina.blogspot.co.id/2015/07/mendaftarkan-hak-cipta-masakan.html , (diakses pada 25 Maret 2018)

Native Science Organization, What is Traditional Knowledge : Traditional Knowledge System in

the                    Arctic,                    Available                    From

http://www.nativescience.org/html/traditional_knowledge.html, (diakses 27 Maret 2018).

Ubbe, A. Laporan Tim Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Kebudayaan

Daerah, BPHN Depkumham: Jakarta.

http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_perlindungan_hukum_kebudayaan_d aerah.pdf, (diakses pada 25 Maret 2018)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including

Trade In Counterfeit Goods (TRIPS)

Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works dengan

Keppres No. 18 Tahun 1997.

UNESCO Constitution

593